Anda di halaman 1dari 23

Penstafan Dalam Manajemen keperawatan

I. Pengembangan staff

Aktivitas pengembangan staff meliputi semua training dan program pendidikan untuk
meningkatkan penampilan kerja dan pengetahuan

Aktifitas pengembangan staff tersebut antara lain:

1. Induction training

Adalah indoktrinasi singkat yang terstandart à 2- 3 hari untuk menjelaskan tujuan program,
perarturan organisasi

2. Orientasi

Adalah training individu yang ditujukan pada staf yang baru masuk

3. Inservice training

Termasuk instruksi tentang pekerjaan yang harus dilakukan untuk penampilan kerja petugas

Pendidikan dan Pelatihan

Definisi

Pendidikan dan pelatihan adalah merupakan upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia,
terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia (Notoatmojo,
1998)

Pendidikan (formal) adalah suatu proses pengembangan kea rah yang diinginkan oleh organisasi
yang bersangkutan

Pelatihan dibidang keperawatan merupakan salah satu kegiatan pengembangan staf yang bertujuan
untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia (perawat) (Gillies, 1996)

Pelatihan adalah pendidikan untuk memperoleh kemahiran atau kecakapan yang menurut kamus
besar bahasa Indonesia bertujuan untuk membiasakan diri agar mampu melakukan sesuatu. Untuk
mencari prestasi yang baik diperlukan latihan yang terus menerus dan secara continue

Pelatihan adalah merupakan bagian dari suatu proses pendidikan yang tujuannya untuk
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan khusus seseorang atau kelompok orang

Pelatihan adalah proses membantu pegawai- pegawai untuk memperoleh efektifitas dalam
pekerjaan mereka yang sekarang atau yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan fikiran
dan tindakan kecakapan, pengetahuan dan sikap

Pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi individu

 Mengembangkan pemimpin untuk memperoleh efektifitas pekerjaan perseorangan yang


lebih besar

 Hubungan antar manusia dalam organisasi yang lebih baik

 Meningkatnya kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya


Pentingnya Pendidikan bagi organisasi

 Penyesuaian kemampuan dalam jabatan

 Meningkatkan produktivitas kerja bagi karyawan

 Efektifitas dan efisiensi kerja

II.Metode Penugasan

Kemajuan jaman menuntut perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan untuk bersikap
profesional. Profesionalisme perawat dapat diwujudkan dibidang pelayanan kesehatan di
rumah sakit. Salah satu usaha untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan profesional
tersebut adalah pengembangan model praktek keperawatan profesional (MPKP) yang
memungkinkan perawat professional mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk
lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut.MPKP sangat bermanfaat bagi perawat,
dokter, pasien dan profesi lain dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Dengan MPKP, perawat
dapat memahami tugas dan tanggung jawabnya terhadap pasien sejak masuk hingga keluar
rumah sakit. Implementasi MPKP harus ditunjang dengan sumber daya manusia, sarana dan
prasarana yang memadai.Banyak metode praktek keperawatan yang telah dikembangkan selama 35
tahun terakhir ini, yang meliputi keperawatan fungsional, keperawatan tim, keperawatan
primer, praktik bersama, dan manajemen kasus. Setiap unit keperawatan mempunyai upaya untuk
menyeleksi model yangpaling tepat berdasarkankesesuaian antara ketenagaan, sarana dan
prasarana, dan kebijakan rumah sakit.Katagori pasien didasarkan atas, tingkat pelayanan
keperawatan yang dibutuhkan pasien ,Usia, Diagnosa atau masalah kesehatan yang dialami
pasien dan terapi yang dilakukan (Bron , 1987). Pelayanan yang profesional identik dengan
pelayanan yang bermutu, untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan dalam melakukan
kegiatan penerapan standart asuhan keperawatan dan pendidikan berkelanjutan. Dalam
kelompok keperawatan yang tidak kalah pentingnya yaitu bagaimana caranya metode
penugasan tenaga keperawatan agar dapat dilaksanakan secara teratur, efesien tenaga,
waktu dan ruang, serta meningkatkan ketrampilan dan motivasi kerja

Menurut Tappen (1995), model pemberian asuhan keperawatan ada enam macam, yaitu:
model kasus, model fungsional, model tim, model primer, model manajemen perawatan, dan
model perawatan berfokus pada pasien.

Macam metode penugasan

1.Metode Fungsional

Model pemberian asuhan keperawatan ini berorientasi pada penyelesaian tugas dan prosedur
keperawatan. Perawat ditugaskan untuk melakukan tugas tertentu untuk dilaksanakan kepada
semua pasien yang dirawat di suatu ruangan. Model ini digambarkan sebagai keperawatan
yang berorientasi pada tugas dimana fungsi keperawatan tertentu ditugaskan pada setiap
anggota staff. Setiap staff perawat hanya melakukan 1-2 jenis intervensi keperawatan pada
semua pasien dibangsal. Misalnya seorang perawat bertanggung jawab untuk pemberian obat-
obatan, seorang yang lain untuk tindakan perawatan luka, seorang lagi mengatur
pemberian intravena, seorang lagi ditugaskan pada penerimaan dan pemulangan, yang lain
memberi bantuan mandi dan tidak ada perawat yang bertanggung jawab penuh untuk perawatan
seorang pasien.

Seorang perawat bertanggung jawab kepada manajer perawat. Perawat senior


menyibukan diri dengan tugas manajerial, sedangkan perawat pelaksana pada tindakan
keperawatan. Penugasan yang dilakukan pada model ini berdasarkan kriteria efisiensi, tugas
didistribusikan berdasarkan tingkat kemampuan masing-masing perawat dan dipilih perawat
yang paling murah. Kepala ruangan terlebih dahulu mengidentifikasm tingkat kesulitan
tindakan, selanjutnya ditetapkan perawat yang akan bertanggung jawab mengerjakan tindakan
yang dimaksud. Model fungsional ini merupakan metode praktek keperawatan yang paling
tua yang dilaksanakan oleh perawat dan berkembang pada saat perang dunia kedua.

Kelebihan :

• Efisien karena dapat menyelesaikan banyak pekerjaan dalam waktu singkat dengan
pembagian tugas yang jelas dan pengawasan yang baik
• Sangat baik untuk rumah sakit yang kekurangan tenaga
• Perawat akan trampil untuk tugas pekerjaan tertentu saja
• Mudah memperoleh kepuasan kerja bagi perawat setelah selesai kerja.
• Kekurangan tenaga ahli dapat diganti dengan tenaga yang kurang berpengalaman untuk
tugas sederhana
• Memudahkan kepala ruangan untuk mengawasi staf atau peserta didik yang melakukan
praktek untuk ketrampilan tertentu.
Kelemahan :

• Pelayanan keperawatan terpisah-pisah atau tidak total sehingga kesulitan dalam

penerapan proses keperawatan.

• Perawat cenderung meninggalkan klien setelah melakukan tugas pekerjaan

• Persepsi perawat cenderung kepada tindakan yang berkaitan dengan ketrampilan saja

• Tidak memberikan kepuasan pada pasien ataupun perawat lainnya.

• Menurunkan tanggung jawab dan tanggung gugat perawat

• Hubungan perawat dan klien sulit terbentuk

2. Metode TIM

Metode tim adalah pengorganisasian pelayanan keperawatan dengan menggunakan tim yang
terdiri atas kelompok klien dan perawat. Kelompok ini dipimpin oleh perawat yang berijazah
dan berpengalaman kerja serta memiliki pengetahuan dibidangnya (Regestered
Nurse).Pembagian tugas dalam kelompok dilakukan oleh pimpinan kelompok/ ketua group dan
ketua group bertanggung jawab dalam mengarahkan anggota group / tim. Selain itu
ketua group bertugas memberi pengarahan dan menerima laporan kemajuan pelayanan
keperawatan klien serta membantu anggota tim dalam menyelesaikan tugas apabila
menjalani kesulitan dan selanjutnya ketua tim melaporkan pada kepala ruang tentang
kemajuan pelayanan / asuhan keperawatan terhadap klien.

Keperawatan Tim berkembang pada awal tahun 1950-an, saat berbagai pemimpin
keperawatan memutuskan bahwa pendekatan tim dapat menyatukan perbedaan katagori
perawat pelaksana dan sebagai upaya untuk menurunkan masalah yang timbul akibat
penggunaan model fungsional. Pada model tim, perawat bekerja sama memberikan asuhan
keperawatan untuk sekelompok pasien di bawah arahan/pimpinan seorang perawat profesional
(Marquis & Huston, 2000).

Dibawah pimpinan perawat professional, kelompok perawat akan dapat bekerja bersama
untuk memenuhi sebagai perawat fungsional. Penugasan terhadap pasien dibuat untuk tim
yang terdiri dari ketua tim dan anggota tim.

Model tim didasarkan pada keyakinaan proses keperawatan:

 Konflik antar staf dapat dikendalikan melalui rapat dan efektif untuk belajar.
 Memberi kepuasan anggota tim dalam berhubungan interpersonal
 Memungkinkan meningkatkan kemampuan anggota tim yang berbeda-beda

secara efektif.

 Peningkatan kerja sama dan komunikasi di antara anggota tim dapat menghasilkan
sikap moral yang tinggi, memperbaiki fungsi staf secara keseluruhan, memberikan
anggota tim perasaan bahwa ia mempunyai kontribusi terhadap hasil asuhan
keperawatan yang diberikan
 Akan menghasilkan kualitas asuhan keperawatan yang dapat dipertanggungjawabkan
 Metode ini memotivasi perawat untuk selalu bersama klien selama bertugas

Kelemahan :

 Ketua tim menghabiskan banyak waktu untuk koordinasi dan supervisi anggota tim dan
harus mempunyaiketerampilan yang tinggi baik sebagai perawat pemimpin maupun
perawat klinik
 Keperawatan tim menimbulkan fragmentasi keperawatan bila konsepnya tidak
diimplementasikan dengan total
 Rapat tim membutuhkan waktu sehingga pada situasi sibuk rapat tim
ditiadakan, sehingga komunikasi antar angota tim terganggu.
 Perawat yang belum trampil dan belum berpengalaman selalu tergantung
staf, berlindung kepada anggota tim yang mampu
 Akontabilitas dari tim menjadi kabur.
 Tidak efisien bila dibandingkan dengan model fungsional karena membutuhkan tenaga
yang mempunyai keterampilan tinggi.
 Tanggung jawab Kepala Ruang
 Menetapkan standar kinerja yang diharapkan sesuai dengan standar asuhan
keperawatan.
 Mengorganisir pembagian tim dan pasien-Memberi kesempatan pada ketua tim untuk
mengembangkan kepemimpinan.
 Menjadi nara sumber bagi ketua tim.
 Mengorientasikan tenaga keperawatan yang baru tentang metode/model tim dalam
pemberian asuhan keperawatan.
 Memberi pengarahan kepada seluruh kegiatan yang ada di ruangannya,
 Melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang ada di ruangannya,
 Memfasilitasi kolaborasi tim dengan anggota tim kesehatan yang lainnya,
 Melakukan audit asuhan dan pelayanan keperawatan di ruangannya,
kemudianmenindak lanjutinya,
 Memotivasi staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset keperawatan
 Menciptakaniklim komunikasi yang terbuka dengan semua staf.

Tanggung jawab ketua tim :

 Mengatur jadual dinas timnya yang dikoordinasikan dengan kepala ruangan


 Membuat perencanaan berdasarkan tugas dan kewenangan yang didelegasikan oleh
kepala ruangan.
 Melakukan pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi asuhan keperawatan
bersama-sama anggota timnya
 Mengkoordinasikan rencana keperawatan dengan tindakan medik
 Membuat penugasan kepada setiap anggota tim dan memberikan bimbingan melalui
konferens.
 Mengevaluasi asuhan keperawatan baik proses ataupun hasil yang diharapkanserta
mendokumentasikannya.
 Memberi pengarahan pada perawat pelaksana tentang pelaksanaan asuhan
keperawatan,
 Menyelenggarakan konferensi
 Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan,
 Melakukan audit asuhan keperawatan yang menjadi tanggungjawab timnya,
 Melakukan perbaikan pemberian asuhan keperawatan,

Tanggung jawab anggota tim:

 Melaksanakan tugas berdasarkan rencana asuhan keperawatan


 Mencatat dengan jelas dan tepat asuhan keperawatan yang telah diberikan
berdasarkan respon klien
 Berpartisipasi dalam setiap memberiikan masukan untuk meningkatkan asuhan
keperawatan
 Menghargai bantuan dan bimbingan dan ketua tim
 Melaporkan perkembangan kondisi pasien kepada ketua tim
 Memberikan laporan
3.Metode Primer.

Model primer dikembangkan pada awal tahun 1970-an, menggunakan beberapa konsep dan
perawatan total pasien. Keperawatanprimer merupakan suatu metode pemberian asuhan
keperawatan di mana perawat primer bertanggung jawab selama 24 jam terhadap perencanaan
pelaksanaan pengevaIuasi satu atau beberapa klien dan sejak klien masuk rumah sakit sampai
pasien dinyatakan pulang. Selama jam kerja, perawat primer memberikan perawatan langsung
secara total untuk klien. Ketika perawat primer tidak sedang bertugas, perawatan
diberikan/didelegasikan kepada perawat asosiet yang mengikuti rencana keperawatan yang telah
disusuni oleh perawat primer.

Pada model ini, klien, keluarga, staf medik dan staf keperawatan akan mengetahui bahwa pasien
tertentu akan merupakan tanggung jawab perawat primer tertentu. Setiap perawat primer
mempunyai 4-6 pasien. Seorang perawat primer mempunyai kewenangan untuk melakukan
rujukan kepada pekerja sosial, kontak dengan lembaga sosial masyarakat membuat jadual
perjanjian klinik, mengadakan kunjungan rumah, dan lain sebagainya. Dengan diberikannya
kewenangan tersebut, maka dituntut akuntabilitas yang tinggi terhadap hasil pelayanan yang
diberikan.Tanggung jawab mencakup periode 24 jam, dengan perawat kolega yang memberikan
perawatan bila perawat primer tidak ada. Perawatan yang yang diberikan direncanakan
dan ditentukan secara total oleh perawat primer.

Metode keperawatan primer mendorong praktek kemandirian perawat, yang ditandai dengan
adanya keterkaitan kuat dan terus menerus antara pasien dan perawat yang ditugaskan untuk
merencanakan, melakukan dan koordinasi asuhan keperawatan selama pasien dirawat. Perawat
primer bertanggung jawab untuk membangun komunikasi yang jelas di antara pasien, dokter,
perawat asosiet, dan anggota tim kesehatan lain. Walaupun perawat primer membuat rencana
keperawatan, umpan balik dari orang lain diperlukan untuk pengkoordinasian asuhan
keperawatan klien.

Dalam menetapkan seseorang menjadi perawat primer perlu berhati-hati karena


memerlukan beberapa kriteria, di antaranya dalam menetapkan kemampuan asertif, self
direction kemampuan mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klinik,
akuntabel serta mampu berkolaborasi dengan baik antar berbagai disiplin ilmu. Di negara maju pada
umumnya perawat yang ditunjuk sebagai perawat primer adalah seorang perawat spesialis klinik
yang mempunyai kualifikasi master dalam bidang keperawatan.

Karakteristik modalitas keperawatan primer adalah :

 Perawat primer mempunyai tanggung jawab untuk asuhan keperawatan pasien selama
24 jam sehari, dari penerimaan sampai pemulangan
 Perawat primer melakukan pengkajian kebutuhan asuhan keperawatan, kolaborasi
dengan pasien dan professional kesehatan lain, dan menyusun rencana perawatan.
 Pelaksanaan rencana asuhan keperawatan didelegasikan oleh perawat primer kepada
perawat sekunder selama shift lain.
 Perawat primer berkonsultasi dengan perawat kepala dan penyelia.
 Autoritas, tanggung gugat dan autonomi ada pada perawat primer

Kelebihan :
 Perawat primer mendapat akontabilitasyang tinggi terhadap hasil dan memungkinkan
untuk pengembangan diri
 Memberikan peningkatan autonomi pada pihak perawat, jadi meningkatkan motivasi,
tanggung jawab dan tanggung gugat
 Bersifat kontinuitas dan komprehensifsesuai dengan arahan perawat primer dalam
memberikan atau mengarahkan perawatan sepanjang hospitalisasi.
 Membebaskan manajer perawat klinis untuk melakukan peran manajer operasional
dan administrasi
 Kepuasan kerja perawat tinggi karena dapat memberiikan asuhan kep eperawatan
secara holistik. Kepuasan yang dirasakan oleh perawat primer adalah
memungkinkan pengembangan diri melalui penerapan ilmu pengetahuan.
 Stafmedis juga merasakan kepuasan karena senantiasainformasi tentang kondisi klien
selalu mutakhir dan komprehensifserta informasi dapat diperoleh darisatu perawat yang
benar-benar mengetahui keadaan kliennya
 Perawat ditantang untuk bekerja total sesuai dengan kapasitas mereka. Waktu yang
digunakan lebih sedikit dalam aktivitas koordinasi dan supervisi dan lebih banyak waktu
untuk aktivitas langsung kepada klien.
 Pasien terlihat lebih menghargai. Pasien merasa dimanusiakan karena
terpenuhi kebutuhannya secara individu.-Asuhan keperawatan berfokus pada kebutuhan
klien
 Profesi lain lebih menghargai karena dapat berkonsultasi dengan perawat yang mengetahui
semua tentang kliennya.
 Menjamin kontinuitas asuhan keperawatan.
 Meningkatnya hubungan antara perawat dan klien.
 Metode ini mendukung pelayanan profesional.-Rumah sakit tidak harus mempekerjakan
terlalu banyak tenaga keperawatan tetapiharus berkualitas tinggi

Kelemahan :

 Hanya dapat dilakukan oleh perawat profesional


 Tidak semua perawat merasa siap untuk bertindak mandiri, memiliki akontabilitas dan
kemampuan untuk mengkaji serta merencanakan asuhan keperawatan untuk klien
 Akontabilitas yang total dapat membuat jenuh.-Perlu tenaga yang cukup banyak dan
mempunyai kemampuan dasar yang sama.
 Biaya relatif tinggi dibanding metode penugasan yang lain
 Ketenagaan metode primer
 Setiap perawat primer adalah perawat “bedside”-Beban kasus pasien 4-6 orang untuk satu
perawat primer
 Penugasan ditentukan oleh kepala bangsal.
 Perawat primer dibantu oleh perawat professional lain maupun non professional
sebagai perawat asisten.

Tanggung jawab Kepala Ruang dalam metode primer

 Sebagai konsultan dan pengendalian mutu perawat primer


 Mengorganisir pembagian pasien kepada perawat primer
 Menyusun jadual dinas dan memberi penugasan pada perawat asisten
 Orientasi dan merencanakan karyawan baru
 Merencanakandan menyelenggarakan pengembangan staff

Tanggung jawab perawat primer:


 Menerima pasien dan mengkaji kebutuhan pasien secara komprehensif
 Membuat tujuan dan rencana keperawatan
 Melaksanakan rencana yang telah dibuat selama ia dinas
 Mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan pelayanan yang diberikan oleh disiplin
lain maupun perawat lain
 Mengevaluasi keberhasilan yang dicapai
 Menyipakan penyuluhan untuk pulang-Melakukan rujukan kepada pekarya sosial, kontak
dengan lembaga sosial dimasyarakat
 Membuat jadual perjanjian klinis
 Mengadakankunjungan rumah

4. Metode Kasus

Metode kasus adalah metode dimana perawat bertanggung jawab terhadap pasien tertentu
yang didasarkan pada rasio satu perawat untuk satu pasien dengan pemberian perawatan konstan
untuk periode tertentu. Metode penugasan kasus biasa diterapkan untuk perawatan khusus seperti
isolasi, intensive care, perawat kesehatan komunitas.

Kelebihan :

 Perawat lebih memahami kasus per kasus


 Sistem evaluasi

Kekurangan :

 Belum dapatnya diidentifikasi perawat penanngung jawab


 Perlu tenaga yang cukup banyak dan mempunyai kemampuan dasar yang sama

5. Metode Modifikasi

Metode modifikasi adalah penggunaan metode asuhan keperawatan dengan modifikasi antara tim
dan primer.

Menurut Sudarsono (2000), MPKP dikembangkan beberapa jenis sesuai dengan kondisi
sumber daya manusia yang ada, antara lain adalah:

a. Model Praktek Keperawatan Profesional III

Melalui pengembangan model PKP III dapat berikan asuhan keperawatan profesional tingkat III.
Pada ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan kemampuan doktor dalam keperawatan klinik
yang berfungsi untuk melakukan riset dan membimbing para perawat melakukan riset serta
memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawata

b. Model Praktek Keperawatan Profesional II

Pada model ini akan mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat II. Pada
ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan kemampuan spesialis keperawatan yang spesifik
untuk cabang ilmu tertentu. Perawat spesialis berfungsi untuk memberikan konsultasi tentang
asuhan keperawatan kepada perawat primer pada area spesialisnya. Disamping itu melakukan riset
dan memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan. Jumlah perawat
spesialis direncanakan satu orang untuk 10 perawat primer pada area spesialisnya. Disamping
itu melakukan riset dan memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan.
Jumlah perawat spesialis direncanakan satu orang untuk 10 perawat primer

c. Model Praktek Keperawatan Profesional I.

Pada model ini perawat mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat I dan
untuk itu diperlukan penataan 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode
pemberian asuhan keperawatan yang digunakan. Pada model ini adalah kombinasi metode
keperawatan primer dan metode tim disebut tim primer.

d. Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula

Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula (MPKP) merupakan tahap awal untuk menuju
model PKP. Model ini mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat pemula.
Pada model ini terdapat 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode
pemberian asuhan keperawatan dan dokumentasi asuhan keperawatanMenurut Ratna S.
Sudarsono (2000), bahwa penetapan sistem model MAKP ii diasarkan pada beberapa alasan,
yaitu :

a) Keperawatan primer tidak digunakan secara murni, karena perawat primer harus
mempunyai latar belakang pendidikan SI keperawatan atau setara
b) Keperawatan tim tidak digunakan secara murni , karena tanggung jawab asuhan
keperawatan pasien terfragmentasi pada berbagai tim
c) Melalui kombinasi kedua model ini diharapkan komunitas asuhan keperawatan dan
akountabilitasnya terdapat pada primer.

Nilai-nilai profesional dari penatalaksanaan kegiatan keperawatan diaplikasikan dalam bentuk


aktifitas pelayanan profesional yang dipaparkan dalam 4 pilar sebagai berikut :

1.Pendekatan Manajemen (Management Approach)

2.Penghargaan karir ( compensatory rewards)

3.Hubungan Profesional ( professional relationship)

4.Sistem pemberian asuhan pasien ( patient care delivery system)

Kegiatan yang ditetapkan pada tiap pilar merupakan kegiatan dasar MPKP yang dapat dikembangkan
jika tenaga keperawatan yang bekerja berkualitas

III. Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP)

Model praktik keperawatan profesional (MPKP) adalah suatu sistem (struktur, proses dan nilai-nilai
profesional), yang memfasilitasi perawat profesional, mengatur pemberian asuhan keperawatan,
termasuk lingkungan tempat asuhan tersebut diberikan. (Ratna sitorus & Yulia, 2006).

Model Asuhan Keperawatan Profesional adalah sebagai suatu sistem (struktur, proses dan nilai-
nilai) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk
lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut (Hoffart & Woods, 1996).
2. Komponen MPKP

Berdasarkan MPKP yang sudah dikembangkan di berbagai rumah sakit, Hoffart & Woods (1996)
menyimpulkan bahwa MPKP tediri lima komponen yaitu nilai–nilai professional yang merupakan inti
MPKP, hubungan antar professional, metode pemberian asuhan keperawatan, pendekatan
manajemen terutama dalam perubahan pengambilan keputusan serta sistem kompensasi dan
penghargaan.

a. Nilai–nilai professional

Pada model ini PP dan PA membangun kontrak dengan klien/keluarga, menjadi partner dalam
memberikan asuhan keperawatan. Pada pelaksanaan dan evaluasi renpra. PP mempunyai otonomi
dan akuntabilitas untuk mempertanggungjawabkan asuhan yang diberikan termasuk tindakan yang
dilakukan oleh PA. hal ini berarti PP mempunyai tanggung jawab membina performa PA agar
melakukan tindakan berdasarkan nilai-nilai professional.

b. Hubungan antar professional

Hubungan antar profesional dilakukan oleh PP. PP yang paling mengetahui perkembangan kondisi
klien sejak awal masuk. Sehingga mampu memberi informasi tentang kondisi klien kepada
profesional lain khususnya dokter. Pemberian informasi yang akurat akan membantu dalam
penetapan rencana tindakan medik.

c. Metode pemberian asuhan keperawatan

Metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan adalah modifikasi keperawatan primer
sehingga keputusan tentang renpra ditetapkan oleh PP, PP akan mengevaluasi perkembangan klien
setiap hari dan membuat modifikasi pada renpra sesuai kebutuhan klien.

d. Pendekatan manajemen

Pada model ini diberlakukan manajemen SDM, yaitu ada garis koordinasi yang jelas antara PP dan
PA. performa PA dalam satu tim menjadi tanggung jawab PP. Dengan demikian, PP adalah seorang
manajer asuhan keperawatan. Sebagai seorang manajer, PP harus dibekali dengan kemampuan
manajemen dan kepemimpinan sehingga PP dapat menjadi manajer yang efektif dan pemimpin yang
efektif.

e. Sistem kompensasi dan panghargaan.

PP dan timnya berhak atas kompensasi serta penghargaan untuk asuhan keperawatan yang
dilakukan sebagai asuhan yang profesional. Kompensasi dan penghargaan yang diberikan kepada
perawat bukan bagian dari asuhan medis atau kompensasi dan penghargaan berdasarkan prosedur.

3. Tujuan MPKP

a. Menjaga konsistensi asuhan keperawatan.

b. Mengurangi konflik, tumpang tindih dan kekososongan pelaksanaan asuhan

keperawatan oleh tim keperawatan.

c. Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.

d. Memberikan pedoman dalam menentukan kebijakan dan keputusan.


e. Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan

bagi setiap tim keperawatan.

4. Pilar–pilar dalam Model Praktik Keperawatan Professional (MPKP)

Dalam model praktik keperawatan professional terdiri dari empat pilar diantaranya adalah

Pilar I : pendekatan manajemen keperawatan

Dalam model praktik keperawatan mensyaratkaan pendekatan manajemen sebagai pilar praktik
perawatan professional yang pertama. Pada pilar I yaitu pendekatan manajemen terdiri dari :

1. Perencanaan dengan kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang MPKP meliputi


(perumusan visi, misi, filosofi, kebijakan dan rencana jangka pendek ;
harian,bulanan,dan tahunan)
2. Pengorganisasian dengan menyusun stuktur organisasi, jadwal dinas dan daftar
alokasi pasien.
3. Pengarahan
Dalam pengarahan terdapat kegiatan delegasi, supervise, menciptakan iklim
motifasi, manajemen waktu, komunikasi efektif yang mencangkup pre dan post
conference, dan manajemen konflik
4. pengawasan
5. Pengendalian

Pilar II : sistem penghargaan

Manajemen sumber daya manusia diruang model praktik keperawatan professional berfokus pada
proses rekruitmen,seleksi kerja orientasi, penilaian kinerja, staf perawat.proses ini selalu dilakukan
sebelum membuka ruang MPKP dan setiap ada penambahan perawatan baru.

Pilar III : hubungan professional

Hubungan professional dalam pemberian pelayanan keperawata (tim kesehatan) dalam penerima
palayana keperawatan (klien dan keluarga). Pada pelaksanaan nya hubungan professional secara
interal artinya hubungan yang terjadi antara pembentuk pelayanan kesehatan misalnya antara
perawat dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan dan lain–lain. Sedangkan hubungan
professional secara eksternal adalah hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.

Pilar IV : manajemen asuhan keperawatan

Salah satu pilar praktik professional perawatan adalah pelayanan keperawat dengan mengunakan
manajemen asuhan keperawatan di MPKP tertentu. Manajemen asuhan keperawat yang diterapkan
di MPKP adalah asuhan keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan
5. Nilai Praktek Keperawatan

MPKP merupakan model praktek keperawatan profesional yang mewujudkan nilai-nilai profesional.
Nilai-nilai profesional yang diterapkan pada MPKP adalah:

1. Pendekatan Manajemen ( Management Approach )

2. Penghargaan karir ( compensatory rewards )

3. Hubungan Profesional ( professional relationship)

4. Sistem pemberian asuhan pasien ( patient care delivery system )

IV. Sistem klasifikasi Pasien

Kategori keperawatan klien menurut Swanburg (1999) terdiri dari :

1. Self-care

Klien memerlukan bantuan minimal dalam melakukan tindak keperawatan dan pengobatan. Klien
melakukan aktivitas perawatan diri sendiri secara mandiri. Biasanya dibutuhkan waktu 1-2 jam
dengan waktu rata-rata efektif 1,5 jam/24 jam.

2. Minimal care

Klien memerlukan bantuan sebagian dalam tindak keperawatan dan pengobatan tertentu, misalnya
pemberian obat intravena, dan mengatur posisi. Biasanya dibutuhkan waktu 3-4 jam dengan waktu
rata-rata efektif 3,5 jam/24 jam.

3. Intermediate care

Klien biasanya membutuhkan waktu 5-6 jam dengan waktu rata-rata efektif 5,5 jam/24 jam.

4. Mothfied intensive care

Klien biasanya membutuhkan waktu 7-8 jam dengan waktu rata-rata efektif 7,5 jam/24 jam.

5. Intensive care

Klien biasanya membutuhkan 10-14 jam dengan waktu rata-rata efektif 12 jam/24 jam.

Metode lain yang sering digunakan di Rumah Sakit adalah metode menurut Donglas (1984), yang
mengklasifikasi derajat ketergantungan pasien dalam tiga kategori, yaitu perawatan miniaml,
perawatan intermediate, dan perawatan maksimal atau total.

1. Perawatan minamal

Perawatan ini memerlukan waktu 1-2 jam/24 jam. Kriteria klien pada klasifikasi ini adalah klien
masih dapat melakukan sendiri kebersihan diri, mandi, dan ganti pakaian, termasuk minum.
Meskipun demikian klien perlu diawasi ketika melakukan ambulasi atau gerakan. Ciri-ciri lain pada
klien dengan klasifikasi ini adalah observasi tanda vital dilakukan setiap shift, pengobatan minimal,
status psikologis stabil, dan persiapan pprosedur memerlukan pengobatan.
2. Perawatan intermediate

Perawatan ini memerlukan waktu 3-4 jam/24 jam. Kriteria klien pada klasifikasi ini adalah klien
masih perlu bantuan dalam memenuhi kebersihan diri, makan dan minum. Ambulasi serta perlunya
observasi tanda vital setiap 4 jam. Disamping itu klien dalam klasifikasi ini memerlukan pengobatan
lebih dan sekali. Kateter Foley atau asupan haluarannya dicatat. Dan klien dengan pemasangan infus
serta persiapan pengobatan memerlukan prosedur.

3. Perawatan maksimal atau total

Perawat ini memerlukan waktu 5-6jam/24 jam. Kriteria klien pada klasifikasi ini adalah klien harus
dibantu tentang segala sesuatunya. Posisi yang diatur, observasi tanda vital setiap 2 jam, makan
memerlukan selang NGT (Naso Gastrik Tube), menggunakan terapi intravena, pemakaian alat
penghisap (suction), dan kadang klien dalam kondisi gelisah/disorientasi.

V.Timbang Terima (Hand Over)

Pengertian Timbang Terima

Menurut Nursalam (2011) definisi timbang terima adalah suatu cara dalam menyampaikan dan
menerima sesuatu (laporan) yang berkaitan dengan keadaan klien. Timbang terima merupakan
kegiatan yang harus dilakukan sebelum pergantian dinas. Selain laporan antar dinas, dapat
disampaikan juga informasi yang berkaitan dengan rencana kegiatan yang telah atau belum
dilaksanakan.

Timbang terima merupakan sistem kompleks yang didasarkan pada perkembangan sosio-teknologi
dan nilai-nilai yang dimiliki perawat dalam berkomunikasi. Timbang terima dinas berperan penting
dalam menjaga kesinambungan layanan keperawatan selama 24 jam (Kerr, 2002). Menurut
Australian Medical Association/AMA (2006), timbang terima merupakan pengalihan tanggung jawab
profesional dan akuntabilitas untuk beberapa atau semua aspek perawatan pasien, atau kelompok
pasien, kepada orang lain atau kelompok profesional secara sementara atau permanen.

Timbang terima merupakan komunikasi yang terjadi pada saat perawat melakukan pergantian dinas,
dan memiliki tujuan yang spesifik yaitu mengomunikasikan informasi tentang keadaan pasien pada
asuhan keperawatan sebelumnya.

Tujuan timbang terima

Menurut Australian Health Care and Hospitals Association/ AHHA (2009) tujuan timbang terima
adalah untuk mengidentifikasi, mengembangkan dan meningkatkan timbang terima klinis dalam
berbagai pengaturan kesehatan.

Menurut Nursalam (2011) tujuan dilaksanakan timbang terima adalah:

1. Menyampaikan kondisi atau keadaan pasien secara umum.

2. Menyampaikan hal-hal penting yang perlu ditindaklanjuti oleh dinas

berikutnya.

3. Tersusunnya rencana kerja untuk dinas berikutnya.


Manfaat timbang terima

Manfaat timbang terima menurut AHHA (2009) adalah:

1. Peningkatan kualitas asuhan keperawatan yang berkelanjutan. Misalnya, penyediaan informasi


yang tidak akurat atau adanya kesalahan yang dapat membahayakan kondisi pasien.

2. Selain mentransfer informasi pasien, timbang terima juga merupakan sebuah kebudayaan atau
kebiasaan yang dilakukan oleh perawat. Timbang terima mengandung unsur-unsur kebudayaan,
tradisi, dan kebiasaan. Selain itu, timbang terima juga sebagai dukungan terhadap teman sejawat
dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan selanjutnya.

3. Timbang terima juga memberikan “manfaat katarsis” (upaya untuk melepaskan beban emosional
yang terpendam), karena perawat yang mengalami kelelahan emosional akibat asuhan keperawatan
yang dilakukan bisa diberikan kepada perawat berikutnya pada pergantian dinas dan tidak dibawa
pulang. Dengan kata lain, proses timbang terima dapat mengurangi kecemasan yang terjadi pada
perawat.

4. Timbang terima memiliki dampak yang positif bagi perawat, yaitu memberikan motivasi,
menggunakan pengalaman dan informasi untuk membantu perencanaan pada tahap asuhan
keperawatan selanjutnya (pelaksanaan asuhan keperawatan terhadap pasien yang
berkesinambungan), meningkatkan kemampuan komunikasi antar perawat, menjalin suatu
hubungan kerja sama dan bertanggung jawab antar perawat, serta perawat dapat mengikuti
perkembangan pasien secara komprehensif.

5. Selain itu, timbang terima memiliki manfaat bagi pasien diantaranya, pasien mendapatkan
pelayanan kesehatan yang optimal, dan dapat menyampaikan masalah secara langsung bila ada yang
belum terungkap.

Bagi rumah sakit, timbang terima dapat meningkatkan pelayanan keperawatan kepada pasien secara
komprehensif.

Menurut Nursalam (2011) timbang terima memberikan manfaat bagi perawat dan bagi pasien. Bagi
perawat manfaat timbang terima adalah meningkatkan kemampuan komunikasi antar perawat,
menjalin hubungan kerjasama dan bertanggung jawab antar perawat, pelaksanaan asuhan
keperawatan terhadap pasien yang berkesinambungan, perawat dapat mengikuti perkembangan
pasien secara paripurna. Sedangkan bagi pasien, saat timbang terima pasien dapat menyampaikan
masalah secara langsung bila ada yang belum terungkap.

Prinsip timbang terima

Friesen, White dan Byers (2009) memperkenalkan enam standar prinsip timbang terima pasien, yaitu
:

1. Kepemimpinan dalam timbang terima pasien


Semakin luas proses timbang terima (lebih banyak peserta dalam kegiatan timbang terima),
peran pemimpin menjadi sangat penting untuk mengelolatimbang terima pasien di klinis.
Pemimpin harus memiliki pemahaman yang komprehensif dari proses timbang terima pasien
dan perannya sebagai pemimpin. Tindakan segera harus dilakukan oleh pemimpin pada
eskalasi pasien yang memburuk.
2. Pemahaman tentang timbang terima pasien
Mengatur sedemikian rupa agar timbul suatu pemahaman bahwa timbang terima pasien
harus dilaksanakan dan merupakan bagian penting dari pekerjaan sehari-hari dari perawat
dalam merawat pasien. Memastikan bahwa staf bersedia untuk menghadiri timbang terima
pasien yang relevan untuk mereka. Meninjau jadwal dinas staf klinis untuk memastikan
mereka hadir dan mendukung kegiatan timbang terima pasien. Membuat solusi-solusi
inovatif yang diperlukan untuk memperkuat pentingnya kehadiran staf pada saat timbang
terima pasien.

3. Peserta yang mengikuti timbang terima pasien

Mengidentifikasi dan mengorientasikan peserta, melibatkan mereka dalam tinjauan berkala tentang
proses timbang terima pasien. Mengidentifikasi staf yang harus hadir, jika memungkinkan pasien
dan keluarga harus dilibatkan dan dimasukkan sebagai peserta dalam kegiatan timbang terima
pasien. Dalam tim multidisiplin, timbang terima pasien harus terstruktur dan memungkinkan
anggota multiprofesi hadir untuk pasiennya yang relevan.

4. Waktu timbang terima pasien

Mengatur waktu yang disepakati, durasi dan frekuensi untuk timbang terima pasien. Hal ini sangat
direkomendasikan, dimana strategi ini memungkinkan untuk dapat memperkuat ketepatan waktu.
Timbang terima pasien tidak hanya pada pergantian jadwal kerja, tapi setiap kali terjadi perubahan
tanggung jawab misalnya ketika pasien diantar dari bangsal ke tempat lain untuk suatu pemeriksaan.
Ketepatan waktu timbang terima sangat penting untuk memastikan proses perawatan yang
berkelanjutan, aman dan efektif.

5. Tempat timbang terima pasien

Sebaiknya, timbang terima pasien terjadi secara tatap muka dan di sisi tempat tidur pasien. Jika tidak
dapat dilakukan, maka pilihan lain harus dipertimbangkan untuk memastikan timbang terima pasien
berlangsung efektif dan aman. Untuk komunikasi yang efektif, pastikan bahwa tempat timbang
terima pasien bebas dari gangguan misalnya kebisingan di bangsal secara umum atau bunyi alat
telekomunikasi.

6. Proses timbang terima pasien

a. Standar protocol

Standar protokol harus jelas mengidentifikasi pasien dan peran peserta, kondisi klinis dari pasien,
daftar pengamatan/pencatatan terakhir yang paling penting, latar belakang yang relevan tentang
situasi klinis pasien, penilaian dan tindakan yang perlu dilakukan.

b. Kondisi pasien memburuk

Pada kondisi pasien memburuk, meningkatkan pengelolaan pasien secara cepat dan tepat pada
penurunan kondisi yang terdeteksi.

c. Informasi kritis lainnya

Prioritaskan informasi penting lainnya, misalnya: tindakan yang luar biasa, rencana pemindahan
pasien, kesehatan kerja dan risiko keselamatan kerja atau tekanan yang dialami oleh staf.

Jenis timbang terima

Menurut Hughes (2008) beberapa jenis timbang terima pasien yang


berhubungan dengan perawat, antara lain:

1. Timbang terima pasien antar dinas

Metode timbang terima pasien antar dinas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode,
antara lain secara lisan, catatan tulisan tangan, dilakukan di samping tempat tidur pasien, melalui
telepon atau rekaman, nonverbal, dapat menggunakan laporan elektronik, cetakan computer atau
memori.

2. Timbang terima pasien antar unit keperawatan

Pasien mungkin akan sering ditransfer antar unit keperawatan selama mereka tinggal di rumah sakit.

3. Timbang terima pasien antara unit perawatan dengan unit pemeriksaan

diagnostik.

Pasien sering dikirim dari unit keperawatan untuk pemeriksaan diagnostik selama rawat inap.
Pengiriman unit keperawatan ke tempat pemeriksaan diagnostik telah dianggap sebagai kontributor
untuk terjadinya kesalahan.

4. Timbang terima pasien antar fasilitas kesehatan

Pengiriman pasien dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas yang lain sering terjadi antara pengaturan
layanan yang berbeda. Pengiriman berlangsung antar rumah sakit ketika pasien memerlukan tingkat
perawatan yang berbeda.

5. Timbang terima pasien dan obat-obatan

Kesalahan pengobatan dianggap peristiwa yang dapat dicegah, masalah tentang obat-obatan sering
terjadi, misalnya saat mentransfer pasien, pergantian dinas, dan cara pemberitahuan minum obat
sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kesalahan pengobatan dalam organisasi perawatan
kesehatan.

Macam-macam timbang terima

Secara umum terdapat empat jenis timbang terima diantaranya:

1. Timbang terima secara verbal

Scovell (2010) mencatat bahwa perawat lebih cenderung untuk membahas aspek psikososial
keperawatan selama laporan lisan.

2. Rekaman timbang terima

Hopkinson (2002) mengungkapan bahwa rekaman timbang terima dapat merusak pentingnya
dukungan emosional. Hal ini diungkapkan pula oleh Kerr (2002) bahwa rekaman timbang terima
membuat rendahnya tingkat fungsi pendukung.

3. Bedside timbang terima

Menurut Rush (2012) tahapan bedside timbang terima diantaranya adalah:

a. Persiapan (pasien dan informasi).

b. Timbang terima berupa pelaporan, pengenalan staf masuk, pengamatan, dan penjelasan kepada
pasien.
c. Setelah timbang terima selesai maka tulis di buku catatan pasien.

4. Menurut Caldwell (2012) yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

bedside timbang terima adalah:

a. Menghindari informasi yang hilang dan memungkinkan staf yang tidak hadir pada timbang terima
untuk mengakses informasi.

b. Perawat mengetahui tentang situasi pasien dan apa saja yang perlu disampaikan, bagaimana
melibatkan pasien, peran penjaga dan anggota keluarga, bagaimana untuk berbagi informasi sensitif,
apa yang tidak dibahas di depan pasien, dan bagaimana melindungi privasi pasien.

5. Timbang terima secara tertulis

Scovell (2010) timbang terima tertulis diperkirakan dapat mendorong pendekatan yang lebih formal.
Namun, seperti rekaman timbang terima, ada potensi akan kurangnya kesempatan untuk
mengklarifikasi pertanyaan tertentu.

Langkah-langkah pelaksanaan timbang terima

Menurut Nursalam (2011) langkah-langkah dalam pelaksanaan timbang

terima adalah:

1. Kedua kelompok dinas dalam keadaan sudah siap.

2. Dinas yang akan menyerahkan dan mengoperkan perlu mempersiapkan hal-hal apa yang akan
disampaikan.

3. Perawat primer menyampaikan kepada penanggung jawab dinas yang selanjutnya meliputi:

a. Kondisi atau keadaan pasien secara umum.

b. Tindak lanjut untuk dinas yang menerima timbang terima.

c. Rencana kerja untuk dinas yang menerima timbang terima.

d. Penyampaian timbang terima harus dilakukan secara jelas dan tidak

terburu-buru.

e. Perawat primer dan anggota kedua dinas bersama-sama secara langsung

melihat keadaan pasien.

Pelaksanaan Timbang terima yang baik dan benar

Menurut AMA (2006) pelaksanaan timbang terima yang baik dan benar

diantaranya:

1. Timbang terima dilakukan pada setiap pergantian dinas dengan waktu yang cukup panjang agar
tidak terburu-buru.

2. Pelaksanaan timbang terima harus dihadiri semua perawat, kecuali dalam keadaan darurat yang
mengancam kehidupan pasien.
3. Perawat yang terlibat dalam pergantian dinas harus diberitahukan untuk mengetahui informasi
dari dinas selanjutnya.

4. Timbang terima umumnya dilakukan di pagi hari, namun timbang terima juga perlu dilakukan
pada setiap pergantian dinas.

5. Timbang terima pada dinas pagi memungkinkan tim untuk membahas penerimaan pasien rawat
inap dan merencanakan apa yang akan dikerjakan.

6. Timbang terima antar dinas, harus dilakukan secara menyeluruh, agar peralihan ini menjamin
perawatan pasien sehingga dapat dipertahankan jika perawat absen untuk waktu yang lama,
misalnya selama akhir pekan atau saat mereka pergi berlibur.

Pemilihan tempat untuk pelaksanaan timbang terima

AMA (2006) menyatakan bahwa tempat yang tepat pada saat akan

dilakukan pelaksanaan timbang terima adalah:

1. Idealnya dilakukan di ruang perawat atau nurse station.

2. Tempatnya luas dan besar sehingga memberikan kenyamanan dan memungkinkan semua staf
menghadiri dalam pelaksanaan timbang terima.

3. Bebas dari gangguan sehingga berkontribusi dalam meningkatkan kesulitan untuk mendengar
laporan dan dapat mengakibatkan penerimaan informasi yang tidak tepat.

4. Terdapat hasil lab, X-ray, informasi klinis lainnya.

Prosedur timbang terima

Nursalam (2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam prosedur timbang terima pasien, yaitu:

1. Persiapan

a. Kedua kelompok yang akan melakukan timbang terima sudah dalam keadaan siap.

b. Kelompok yang akan bertugas atau yang akan melanjutkan dinas sebaiknya menyiapkan buku
catatan.

2. Pelaksanaan

a. Timbang terima dilaksanakan pada setiap pergantian dinas.

b. Di nurse station (ruang perawat) hendaknya perawat berdiskusi untuk melaksanakan timbang
terima dengan mengkaji secara komprehensif halhal yang berkaitan tentang masalah keperawatan
pasien, rencana tindakan yang sudah ada namun belum dilaksanakan serta hal-hal penting lainnya
yang perlu dibicarakan.

c. Hal-hal yang sifatnya khusus dan memerlukan perincian yang lengkap sebaiknya dicatat secara
khusus untuk kemudian diberikan kepada perawat jaga berikutnya.

d. Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat timbang terima adalah:

1) Identitas pasien dan diagnosis medis.


2) Masalah keperawatan yang mungkin masih muncul.

3) Tindakan keperawatan yang sudah dan belum dilaksanakan.

4) Intervensi kolaboratif dan dependensi.

5) Rencana umum dan persiapan yang perlu dilakukan dalam kegiatan selanjutnya, diantaranya
operasi, pemeriksaan laboratorium, atau pemeriksaan penunjang lainnya, persiapan untuk
konsultasi atau prosedur lainnya yang tidak dilaksanakan secara rutin.

6) Perawat yang melakukan timbang terima dapat melakukan klarifikasi, tanya jawab dan melakukan
validasi terhadap hal-hal yang dilakukan pada saat timbang terima dan berhak menanyakan
mengenai hal-hal yang kurang jelas.

7) Penyampaian pada saat timbang terima secara singkat dan jelas.

8) Lamanya waktu timbang terima untuk setiap pasien tidak lebih dari 5 menit kecuali pada kondisi
khusus dan memerlukan penjelasan yang lengkap dan terperinci.

9) Pelaporan untuk timbang terima dituliskan secara langsung pada buku laporan ruangan oleh
perawat primer.

Menurut Yasir (2009) saat pelaksanaan timbang terima juga dapat:

a. Menggunakan tape recorder. Melakukan perekaman data tentang pasien kemudian


diperdengarkan kembali saat perawat jaga selanjutnya telah datang. Metode itu berupa one way
communication atau komunikasi satu arah.

b. Menggunakan komunikasi oral atau spoken atau melakukan pertukaran informasi dengan
berdiskusi.

c. Menggunakan komunikasi tertulis atau written. Yaitu melakukan pertukaran informasi dengan
melihat pada medical record saja atau media tertulis lain.

Tahapan dan bentuk pelaksanaan timbang terima

Lardner (1996) proses timbang terima memiliki 3 tahapan yaitu:

1. Persiapan yang dilakukan oleh perawat yang akan melimpahkan tanggung jawab meliputi faktor
informasi yang akan disampaikan oleh perawat jaga sebelumnya.

2. Pertukaran dinas jaga, dimana antara perawat yang akan pulang dan datang melakukan
pertukaran informasi. Waktu terjadinya timbang terima itu sendiri yang berupa pertukaran informasi
yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah antara perawat yang dinas sebelumnya kepada
perawat yang datang.

3. Pengecekan ulang informasi oleh perawat yang datang tentang tanggung jawab dan tugas yang
dilimpahkan merupakan aktivitas dari perawat yang menerima timbang terima untuk melakukan
pengecekan dan informasi pada medical record dan pada pasien langsung.

Hambatan dalam pelaksanaan timbang terima

Engesmo dan Tjora (2006); Scovell (2010) dan Sexton, et al., (2004)

menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat dalam pelaksanaan timbang
terima, diantaranya adalah:
1. Perawat tidak hadir pada saat timbang terima

2. Perawat tidak peduli dengan timbang terima, misalnya perawat yang keluar masuk pada saat
pelaksanaan timbang terima

3. Perawat yang tidak mengikuti timbang terima maka mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan
pasien mereka saat ini

Efek timbang terima

Timbang terima memiliki efek-efek yang sangat mempengaruhi diri seorang perawat sebagai
pemberi layanan kepada pasien. Efek-efek dari timbang terima menurut Yasir (2009) adalah sebagai
berikut:

1. Efek Fisiologis

Kualitas tidur termasuk tidur siang tidak seefektif tidur malam, banyak gangguan dan biasanya
diperlukan waktu istirahat untuk menebus kurang tidur selama kerja malam. Menurutnya kapasitas
fisik kerja akibat timbulnya perasaan mengantuk dan lelah menurunnya nafsu makan dan gangguan
pencernaan.

2. Efek Psikososial

Efek ini berpengaruh adanya gangguan kehidupan keluarga, efek fisiologis hilangnya waktu luang,
kecil kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, dan mengganggu aktivitas kelompok dalam
masyarakat.

3. Efek Kinerja

Kinerja menurun selama kerja dinas malam yang diakibatkan oleh efek fisiologis dan efek psikososial.
Menurunnya kinerja dapat mengakibatkan kemampuan mental menurun yang berpengaruh
terhadap perilaku kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas rendah dan pemantauan.

4. Efek Terhadap Kesehatan

Dinas kerja menyebabkan gangguan gastro intestinal, masalah inicenderung terjadi pada usia 40-50
tahun, dinas kerja juga dapat menjadi masalah terhadap keseimbangan kadar gula dalam darah bagi
penderita diabetes.

5. Efek Terhadap Keselamatan Kerja

Survei pengaruh dinas kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Smith et al
dalam Wardana (1989), melaporkan bahwa frekuensi kecelakaan paling tinggi terjadi pada akhir
rotasi dinas kerja (malam) dengan ratarata jumlah kecelakaan 0,69 % per tenaga kerja. Tetapi tidak
semua penelitian menyebutkan bahwa kenaikan tingkat kecelakaan industri terjadi pada dinas
malam. Terdapat suatu kenyataan bahwa kecelakaan cenderung banyak terjadi selama dinas pagi
dan lebih banyak terjadi pada dinas malam.

Klasifikasi pasien adalah metode pengelompokkan pasien menurut jumlah dan kompleksitas
persyaratan perawatan mereka. Dalam banyak sistem klasifikasi, pasien dikelompokkan sesuai
dengan ketergantungan mereka pada pemberi perawatan dan kemampuan yang diperlukan untuk
memberikan perawatan.
B. Tujuan Sistem klasifikasi Pasien

Tujuan klasifikasi pasien adalah untuk mengkaji pasien dan pemberian nilai untuk mengukur jumlah
usaha yang diperlukan untuk memenuhi perawatan yang dibutuhkan pasien (Gillies, 1994). Menurut
Swanburg, tujuan klasifikasi pasien adalah untuk menentukan jumlah dan jenis tenaga yang
dibutuhkan dan menentukan nilai produktivitas.

Setiap kategori deskriptor empat perawatan (aktifitas sehari-hari, kesehatan umum, dukungan
pengajar serta emosional, dan perlakuan sekitar pengobatan) dipakai untuk menunjukkan
karakteristik dan tingkat perawat yang dibutuhkan pasien di dalam klasifikasi tersebut.

Klasifikasi pasien sangat menentukan perkiraan kebutuhan tenaga. Hal ini dilakukan untuk
menetapkan jumlah tenaga keperawatan sesuai dengan kategori yang dibutuhkan untuk asuhan
keperawatan klien di setiap unit.

VI. Konfrensi Pelayanan Keperawatan

Konferensi terdiri dari pre conference dan post conference yaitu :

a. Pre Conference

Pre conference adalah komunikasi katim dan perawat pelaksana setelah selesai operan untuk
rencana kegiatan pada shift tersebut yang dipimpin oleh ketua tim atau penanggung jawab tim. Jika
yang dinas pada tim tersebut hanya satu orang, maka pre conference ditiadakan. Isi pre conference
adalah rencana tiap perawat (rencana harian), dan tambahan rencana dari katim dan PJ tim(Modul
MPKP, 2006)

Waktu : setelah operan

Tempat : Meja masing – masing tim

Penanggung jawab : Ketua tim atau Pj tim

Kegiatan :

1) Ketua tim atau Pj tim membuka acara

2) Ketua tim atau pj tim menanjakan rencana harian masing – masing perawat pelaksana

3) Ketua tim atau Pj tim memberikan masukan dan tindakan lanjut terkait dengan asuhan yang
diberikan saat itu.

4) Ketua tim atau Pj tim memberikan reinforcement.

5) Ketua tim atau Pj tim menutup acara

b. Post Conference

Post conference adalah komunikasi katim dan perawat pelaksana tentang hasil kegiatan sepanjang
shift dan sebelum operan kepada shift berikut. Isi post conference adalah hasil askep tiap perawatan
dan hal penting untuk operan (tindak lanjut). Post conference dipimpin oleh katim atau Pj tim
(Modul MPKP, 2006)
Waktu :Sebelum operan ke dinas berikutnya.

Tempat : Meja masing – masing tim.

Penanggung jawab : ketua tim atau Pj tim

Kegiatan :

1) Ketua tim atau Pj tim membuka acara.

2) Ketua tim atau Pj tim menanyakan kendala dalam asuhan yang telah diberikan.

3) Ketua tim atau Pj tim yang menanyakan tindakan lanjut asuhan klien yang harus dioperkan kepada
perawat shift berikutnya.

4) Ketua tim atau Pj menutup acara.

2. Tujuan Pre dan Post Conference

Secara umum tujuan konferensi adalah untuk menganalisa masalah-masalah secara kritis dan
menjabarkan alternatif penyelesaian masalah, mendapatkan gambaran berbagai situasi lapangan
yang dapat menjadi masukan untuk menyusun rencana antisipasi sehingga dapat meningkatkan
kesiapan diri dalam pemberian asuhan keperawatan dan merupakan cara yang efektif untuk
menghasilkan perubahan non kognitif (McKeachie, 1962). Juga membantu koordinasi dalam rencana
pemberian asuhan keperawatan sehingga tidak terjadi pengulangan asuhan, kebingungan dan
frustasi bagi pemberi asuhan (T.M.Marelli, et.al, 1997).

a. Tujuan pre conference adalah:

1) Membantu untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien, merencanakan asuhan dan


merencanakan evaluasi hasil

2) Mempersiapkan hal-hal yang akan ditemui di lapangan

3) Memberikan kesempatan untuk berdiskusi tentang keadaan pasien

b. Tujuan post conference adalah:

Untuk memberikan kesempatan mendiskusikan penyelesaian masalah dan membandingkan masalah


yang dijumpai.

3. Syarat Pre dan Post Conference

a. Pre conference dilaksanakan sebelum pemberian asuhan keperawatan dan post conference
dilakukan sesudah pemberian asuhan keperawatan

b. Waktu efektif yang diperlukan 10 atau 15 menit

c. Topik yang dibicarakan harus dibatasi, umumnya tentang keadaan pasien, perencanaan tindakan
rencana dan data-data yang perlu ditambahkan

d. Yang terlibat dalam conference adalah kepala ruangan, ketua tim dan anggota tim
4. Panduan perawat pelaksanaan dalam melaksanakan konferensi

Adapun panduan bagi PP dalam melakukan konferensi adalah sebagai berikut: (Ratna Sitorus, 2006).

1. Konferensi dilakukan setiap hari segera setelah dilakukan pergantian dinas pagi atau sore sesuai
dengan jadwal perawatan pelaksana.

2. Konferensi dihadiri oleh perawat pelaksana dan PA dalam timnya masing – masing.

3. Penyampaian perkembangan dan masalah klien berdasarkan hasil evaluasi kemarin dan kondisi
klien yang dilaporkan oleh dinas malam.

Hal hal yang disampaikan oleh perawat pelaksana meliputi :

a. Utama klien

b. Keluhan klien

c. TTV dan kesadaran

d. Hasil pemeriksaan laboraturium atau diagnostic terbaru.

e. Masalah keperawatan

f. Rencana keperawatan hari ini.

g. Perubahan keadaan terapi medis.

h. Rencana medis.

4. Perawat pelaksana mendikusikan dan mengarahkan perawat asosiet tentang masalah yang terkait
dengan perawatan klien yang meliputi :

a. Klien yang terkait dengan pelayanan seperti : keterlambatan, kesalahan pemberian makan,
kebisikan pengunjung lain, kehadiran dokter yang dikonsulkan.

b. Ketepatan pemberian infuse.

c. Ketepatan pemantauan asupan dan pengeluaran cairan.

d. Ketepatan pemberian obat / injeksi.

e. Ketepatan pelaksanaan tindakan lain,

f. Ketepatan dokumentasi.

5. Mengiatkan kembali standar prosedur yang ditetapkan.

6. Mengiatkan kembali tentang kedisiplinan, ketelitian, kejujuran dan kemajuan masing –masing
perawatan asosiet.

7. Membantu perawatan asosiet menyelesaikan masalaah yang tidak dapat diselesaikan.

Tahap – tahap inilah yang akan dilakukan oleh perawat – perawat ruangan ketika melakukan pre
conference

Anda mungkin juga menyukai