Anda di halaman 1dari 4

UJIAN TENGAH SEMESTER PERADILAN KONSTITUSI

Nama : Gusti Agung Nyoman Ananda Devi Semara Ratih


NIM : 1704551111
Mata Kuliah : Peradilan Konstitusi
Kelas :A
1. Jelaskan kenapa mekanisme procedural terhadap pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden yang dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi dan MPR
adalah bersifat yuridis dan politis?
PEMBAHASAN
Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya didominasi oleh lembaga politik. Adapun syarat dalam pengajuan permintaan
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Persyaratan ini tidak mudah dipenuhi karena biasanya
komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat secara mayoritas adalah berasal dari partai
pemenang pemilu dan mitra koalisinya. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat tidak
bisa berlaku sewenangwenang menghendaki pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya tanpa didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggotanya.
Jika ditilik dari Pasal 7A dan 7B UUD 1945 setelah perubahan, pemakzulan
Presiden dilakukan melalui dua mekanisme yaitu proses politik dimana penjatuhan
Presiden dimulai dari penilaian dan keputusan politik di DPR yang mencerminkan wakil
seluruh rakyat. Mekanisme ini lazim dikenal dengan impeachment. Selanjutnya forum
previlegiatum yaitu proses hukum dimana pemeriksaan dilakukan secara hukum
melalui pengadilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya adalah pelanggaran hukum
berat yang telah ditentukan dalam konstitusi. Proses inilah yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi dengan pedoman Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21
Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dengan demikian, Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, proses politik yang terjadi di DPR untuk memberhentikan
Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diteruskan oleh DPR kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dimana mekanisme dan prosedur pemberhentian
tersebut juga melibatkan adanya proses hukum yang dilakukan Mahkamah Konstitusi.
Terdapat keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses perkara ini yang
notabenenya merupakan suatu peradilan hukum. Ketentuan ini merupakan konsekuensi
dari Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mengandung mengenai kewajiban Mahkamah Konstitusi. Keterlibatan ini juga
merupakan implikasi dari sistem ketatanegaraan Negara Indonesia yang menganut check
and balances dalam pelaksanaan kewenangannya agar tidak terjadi Abus de Pouvoir atau
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemerintahan.
Proses selanjutnya adalah forum politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang memutuskan Presiden dan atau Wakil Presiden akan diberhentikan atau tidak
diberhentikan. Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki wewenang diskresional untuk
diberhentikan atau tidak diberhentikan. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti
yang dituduhkan kepadanya maka DPR mengadakan sidang paripurna untuk meneruskan
usul tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pernyataan tersebut secara tegas
dinyatakan pada Pasal 7B ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dengan demikian, jika ditelaah menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 setelah dilakukannya perubahan, pemberhentian
Presiden dan atau Wakil Presiden bermula dari proses politik di DPR, lalu proses hukum
di Mahkamah Konstitusi, dan berakhir melalui proses politik lagi di Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian, Negara Indonesia menganut dua jenis
mekanisme dalam pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar, yaitu secara proses hukum dan secara
proses politik. Kedua jenis mekanisme tersebut dapat ditemukan pengaturannya dalam
Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Jelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan putusan Mahkamah Konstitusi
adalah bersifat final and binding dan jelaskan juga apa perbedaan antara yudicial
review dengan legislative review!
PEMBAHASAN
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Adalah Bersifat Final And Binding
Putusan Final pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), artinya putusan
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya
secara umum, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan
tersebut. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding). Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada
upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan arti Putusan Binding (mengikat) dalam Putusan MK
yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat
Indonesia.

B. Perbedaan Judicial Review dengan Legislative Review


1. Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial
review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
dilakukan oleh MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah UU terhadap UU dilakukan oleh MA. Sedangkan, legislative
review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki
kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan.
Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat
meminta legislative review ke DPR.
2. Permohonan judicial review memiliki syarat yang lebih ketat
dibanding legislative review. Dalam judicial review, sebuah peraturan
perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja
meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi
terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan
perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara
horizontal.
3. Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam
kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan
eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan
(penegak undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan kepada
yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang
berfungsi membuat undang-undang.

3. Sebutkan judul paper Saudara dan bagaimana rumusan masalahnya dan juga
bagaimana kesimpulan dari Paper Saudara tersebut!
PEMBAHASAN
A. JUDUL PAPER
“Mekanisme Prosedural dalam Pemilihan Hakim Mahkamah Konstitusi”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaturan dalam hal mekanisme procedural dalam pemilihan
hakim mahkamah konstitusi?
2. Bagaimana mekanisme prosedural dalam pemilihan hakim mahkamah
konstitusi?
C. KESIMPULAN
Mengenai tatacara pembentukan Hakim Mahkamah Konstitusi, telah
tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota Hakim konstitusi yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang
ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh)
orang anggota Hakim konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua 6 dipilih dari dan oleh
anggota setiap 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sekali. Lebih lanjut, mengenai Pemilihan
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 03/PMK/2012 tentang Tatacara Pemilihan Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai