Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK SEFTRIAKSON DAN


AZITROMISIN DALAM PENGOBATAN DEMAM
TYPHOID

DiajukanKepada:

dr. B. SusantoPermadi, Sp.PD

Disusunoleh:

AYU ULAN RISKI LESTARI

1610221102

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA


LEMBAR PENGESAHAN

EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK SEFTRIAKSON DAN


AZITROMISIN DALAM PENGOBATAN DEMAM TYPHOID

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti

UjianKepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD AMBARAWA

Disusun oleh :

AYU ULAN RISKI LESTARI

1610221102

Pembimbing

dr. B. Susanto Permadi, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul
“Efektiviitas antibiotik seftriakson dan azitromisin dalam pengobatan demam
typhoid” dengan baik. Referat inimerupakan salah satu syarat dalam mengikuti
ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF IlmuPenyakit Dalam
RSUD Ambarawa.

Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih


kepada dr. B. Susanto Permadi, Sp.PDselaku pembimbing dan moderator Laporan
Kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Kasus inibanyak


terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.Semoga
Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang
berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Aamiin.

Ambarawa,Juli 2017

Penulis
BAB I
Demam Typhoid

1.1 Definisi

Typhoid atau typhus berasal dari yunani yaitu typhos yang artinya penderita
demam dengan gangguan kesadaran. Demam tifoid adalah penyakit infeksi
bakteri saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi atau
salmonella paratyphi.

1.2 Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di daerah tropis


dan sub tropis terutama di daerah negara berkembang, selainn itu kejadian demam
typhoid lebih banyak didaerah urban dibanding rural. Hal-hal tersebut
berhubungan dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
hygiene dan sanitasi rendah. . Pada daerah endemik,infeksi paling banyak terjadi
pada musim kemarau atau permulaan musim hujan.
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan
reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama
berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam
telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan
Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral.
Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses.
Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu
adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
1.3 Etiologi
Salmonella typhii merupakan bakteri gram negatif yang motil, mempunyai
flagel, bersifat aerob dan tidak membentuk spora. Salmonella typhii menghasilkan
endotoksin sehingga merusak jaringan usus halus. Salmonella typhi akan mati
pada pemanasan 57C dalam waktu beberapa menit. Salmonella typhi dapat
tumbuh pada semua media, dan pada media yang selektif bakteri ini
memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa.
Salmonella typhi masuk ke tubuh manusia secara face oral dan melalui makanan
yang terkontaminasi. Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau
pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di
atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

1.4 Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi (S,typhi) dan Salmonella paratyphi(S.


paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons immunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di
bawa ke plaque Payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Periode
inkubasi terjadi selama 10-14 hari. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap
selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksikan reaksi hipersensitif
tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque Payeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ
lainnya.

1.5 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Masa inkubasi terjadi sekitar 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul dapat
ringan-berat. Gejala-gejala tersebut diantaranya:
a. Minggu pertama, muncul gejala infeksi akut seperti demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak nyaman di perut, batuk dan epistaksis. Demam yang terjadi berpola
seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari 38,8 -
40,5ᵒC, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi pada sore hari. Demam
dapat berlanjut hingga 4 minggu apabila tidak diobati.
b. Minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas. Gejala berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan 1C tidak disertai dengan peningkatan
denyut 8x/menit), lidah khas tifoid (coated tongue/ lidah kotor ditengah,
tepi dan ujung berwarna merah disertai tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran dan yang lebih jarang
berupa roseolae.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Perifer
Pada penderita demam tifoid sering ditemukan leukopenia, dapat juga
leukosit normal, leukositosis walaupun tanpa infeksi sekunder, anemia
ringan, trombositopenia, peningkatan LED, peningkatan SGOT/SGPT.
b. Uji Widal
Dengan deteksi titer antibody terhadap S.typhi, S.paratyphi yakni
aglutinin O (dari tubuh kuman) dan agglutinin H (flagella kuman). Uji
widal memiliki sensitifitas 70% tetapi spesifitas yang kecil. Pembentukkan
aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, dan puncak
pada minggu ke empat serta tetap tinggi pada beberapa minggu dengan
peningkatan aglutini O terlebih dahulu baru diikuti oleh agglutinin H.
aglutinin O menetap hingga 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap 9-
12 bulan. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada
dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil
pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat. Titer
antibody >1:320 atau antobodi H >1 : 640 menguatkan diagnosis pada
gambaran klinis yang khas.
c. Uji TUBEX
Uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antobodi anti S.typhi O9.
Hasil positif menunjukkan infeksi Salmonellae serogroup D dan tidak
spesifik S.typhi. Infeksi S.paratyphi menunjukkan hasil negative.
Sensitivitas 75-80% dan spesifotas 75-90%. Pemeriksaan uji tubex
dilakukan 4-5 hari infeksi primer an 2-3 untuk infeksi sekunder.

Tabel 1. Penilaian TUBEX


Skor Interpretasi Keterangan
Tidak menunjukkan infeksi tifoid
<2 Negative
aktif
3 Borderline Tidak dapat disimpulkan
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

d. Uji Typhidot
Deteksi IgM dan IgG pada protein membrane luar S.typhi. hasil positif
diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM
dan IgG terhadap S.typhi. Sensitivitas 98% dan spesifitas 76,6%.
Pemeriksaam yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya
digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.
Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai
gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya

e. Uji ELISA
Telah banyak digunakan saat ini dalam mendiagnosis demam tifoid
melalui sampel urin dan serum. Sensitifitas dan spesitifitas lebih tinggi
dibandingkan uji widal. Hasil penelitian menyimpulkan uji ini mampu
mendiagnosis demam tifoid paling efisien pada minggu ke 2 dan ke 3
demam.
f. Kultur
Kultur merupakan standar baku dalam menegakan diagnosis. Kultur
daah biasanya positif pada awal 2 minggu pertama, kultur feses
biasanya positif selama minggui ke-3 hingga ke-5, kultur urin minggu
ke-4. Hasil positif memastikan demam tifoid namun hasil negative
tidak menyingkirkan diagnosis.

1.6 Diagnosis Banding

a. Demam dengue
b. Malaria
c. Enteritis bakterial
1.7 Tata Laksana

Tata laksana demam tifoid dapat berupa terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi. Terapi non farmakologis yaitu:

d. Istirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi


e. Diet lunak tetapi pada saat ini penderita demam typhoid dapat
diberi diet padat dini, kaya akan lauk pauk tetapi dengan sementara
menghindari sayuran yang berserat
Terapi farmakologis demam tifoid yaitu:
a) Terapi suportif (antipiretik, antiemetik, cairan yang adekuat)
b) Terapi antibiotic dengan pilihan antara lain:
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat
Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang
resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi
pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi
antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol,
ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan
resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant
Salmonella typhi (NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas
terhadap fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam
tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada
tabel.

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan


pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan
angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. . Azithromycin dan
cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu
penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka
kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi
abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien
dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang
berat.Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel. Walaupun di tabel ini tertera
cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi di Indonesia sampai saat ini
tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime.

1.8 Pencegahan

Dikembangkan vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke


daerah yang endemik

demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:

a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama
3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan efi kasi perlindungan sebesar 70-80%.\
b. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang
masing-masing diselang2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan
sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan
efikasi perlindungan 67-82%.
c. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan
efi kasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi
vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi perlindungan sebesar
89%.

Komplikasi

Komplikasi IntestinalPerdarahan usus

a. Perforasi usus
b. Ileus paralitik
c. Pancreatitis
Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis
b. Komplikasi darah :anemia hemolitik, trombositopenia, KID,
trombosis
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
d. Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinerfitis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis,
arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik : delirium,
meningismus, meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain
Barre, psikosis, sindrom katatonia
1.9 Prognosis

Jika tidak diobati, angka mortalitas pada demam tifoid adalah 10-20%,
sedangkan pada kasus yang diobati, angka mortalitasnya sekitar 2%. Kebanyakan
kasus kematian berhubungan dengan malnutrisi, balita, dan lansia. Pada pasien
lanjut usia prognosisnya lebih buruk
BAB II

Pengobatan Azitromisin dan Seftriaksom

2.1 Azitromisin

Deskripsi

Azitromisin merupakan salah satu antibiotik makrolid. Azitromisin dapat


menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan mengikat ribosom subunit
50S sehingga dapat mengganggu sintesis protein RNA-dependent pada
pemanjangan rantai

Farmakokinetik

a. Absorpsi
Absorbsi obat berlangsung cepat tetapi penyerapannya terganggu apabila
bersama dengan makanan,. Konsentrasi puncak dalam plasma yaitu, tablet
2-3 jam, IV 1-2 jam.
b. Distribusi
Kadar azitromisin yang tercapai didalam serum setelah pemberian secara
oral relatif rendah tetapi didalam jaringan dan sel fagosit sangat tinggi.
c. Metabolisme
Metabolisme di hati melalui demethylation
d. Eksresi
Via empedu, urin (6% dosis oral). Waktu paruh eliminasi termnal 68 jam

Dosis

Dosis azitromisin dalam penanganan demam tifoid yaitu:

a. Dewasa : 1x1gram/hari selama 5 hari, atau 1 x 500mg/hari selama 7


hari

b. Anak-anak : untuk pasien anak 3-17 tahun 1x 20mg/kgBB / hari (max
1 gram) selama 5-7 hari atau 10mg/kgBB (max 500 mg)
Reaksi obat

Gejala adanya over dosis terdapat gejala yang timbul diantaranya:


hilangnya pendengaran, mual, muntah, dan diare parah. Untuk menangani gejala
tersebut dapat diberikan activated charcooal , pengobatan simtomatik dan suportif

Kategori pada kehamilan (US FDA)

Merupakan kategori B

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap azitromisin atau antibiotik ketolide, makrolide


lainnya, riwayat ikterus kolestatik/disfungsi hati yang terkait dengan penggunaan
azitromisin sebelumnya,

Penggunaan secara hati-hati (sebaiknya dicegah)

Kadar K atau Mg rendah, bradikardi, pengobatan dalam abnormal heart


rhytm, gangguan fungsi hati ginjal, kehamilan dan menyusui
Interaksi

Antasid yang mengandung aluminium dan magnesium mengurangi kadar


puncak plasma (rate of absorption) azitromisin, namun nilai AUC (extent of
absorption) tak berubah. Azitromisin mengurangi klirens triazolam sehingga
meningkatkan efek farmakologinya.

2.2 Seftriakson

Deskripsi

Seftriakson merupakan salah satu obat dari sefalosporin generasi ke-3.


Seftriakson mengikat 1 atau lebih protein pengikat penisilin (PBPs) yang
menghambat tahap transpeptidisasi akhir sintesis peptidoglikan di dinding bakteri

Farmakokinetik

a. Absorpsi : padapemberian IM diserap dengan baik, dan konsentrasi


puncak pada pemberian IM adalah 2 jam
b. Distribusi : didistribusikan secara luas kedalam jaringan tubuh dan cairan.
Dapat melintasi/melewati plasenta dan kedalam ASI (konsentrasi rendah),
dapat melewati meninges (dengan atau tanpa inflamasi), dapat mencapai
konsentrasi terapetik di CSF, kantung empedu (konsentrasi tinggi)
c. Eksresi : urin (40-65 % unchanged drug ), feses, waktu paruh 6-9 jam

Dosis obat

a. Dewasa : 1x1gram/hari IM atau slow inj IV (selama mnimal 2-4 menit),


infus IV intermiten selama minimal 30 menit, meningkat 2-4 gram sebagai
satu dosis pada infeksi berat
b. Anak : ≤12 tahun 1x 20-50mg/kgBB/hari dapat meningkat 80mg/kgBB
pada infeksi berat

Kategori pada kehamilan

Kategori B
Kontraindikasi:

Hipersensitif terhadap seftriakson, komponen lain dalam sediaan dan


sefalosporin lainnya. Neonatus > 41 minggu denganikterus, hipoalbumniemia,
atau asidosis, neonatus<41 minggu, pengobatan bersamaan dengan IV Ca
(termasuk TPN mengandung Ca) pada neonatus > 41 minggu

Penggunaan secara hati-hati (sebaiknya dicegah)

Paseien dengan alergi penisilin, kolitis, penyakit kandung empedi,


gangguan renal atau hati, kehamilan dan menyusui

Efek samping

Diare, mual, muntah, neutropeni, eosinofilia, anemia, ruam, demam,


menggigil, peningkatan konsentrasi serum AST, ALT, BUN, reaksi lokal (rasa
sakit, indurasi, ekimosis, nyeri tekan). Jarang (pankreatitis, hipotrombinemia),
anafilaksis, anemia hemolitik

2.3 Kombinasi Azitromisin - Seftriakson terhadap Pengobatan Demam


Typhoid

Seftriakson sangat efektif pada demam tifoid, tetapi kurang dibandingkan


obat alternatif yang ideal untuk pengobatan demam tifoid yang tidak
berkomplikasi. Obat ini menunjukkan respon yang lambat dengan rerata waktu
selama 5-7 hari atau lebih lama untuk mencapai masa defervescence, yang bisa
dikaitkan dengan kemampuan penetrasi obat yang buruk ke dalam sel, sehingga
sulit untuk membasmi bakteri dari tempat intrasel.

Azitromisin mempunyai banyak karakteristik untuk pengobatan demam


tifoid yang efektif dan nyaman sehingga obat ini merupakan pilihan lebih lanjut
yang dapat digunakan. Azitromisin memperlihatkan penetrasi yang sangat baik
pada sebagian besar jaringan, dan obat ini mencapai konsentrasi di makrofag dan
neutrofil yang lebih dari 100 kali lipat lebih tinggi dibandingkan konsetrasi di
serum, sehingga obat ini memperlihatkan pengaruh maksimumnya di
kompartemen intrasel. Kombinasinya dapat memberikan manfaat tambahan. Oleh
karena itu, suatu pendekatan terbaru diusulkan untuk mengombinasikan kedua
obat untuk penatalaksanaan demam tifoid.

Penelitian ini melakukan suatu uji klinis kombinasi seftriakson dan


azitromisin pada 25 pasien yang menderita demam tifoid yang disebabkan oleh
S.typhi dengan kombinasi seftriakson 2g IV satu kali sehari selama 14 hari
dengan azitromisin 500 mg setiap hari selama 7 hari pertama. Hasil penelitian
tersebut mengamati adanya defervescence pada 4.88 hari. Kombinasi dari dua
obat ini (ceftriaxone dan azitromisin) telah menjadi praktik standar di Israel.
Kombinasi ini membutuhkan uji klinis lebih lanjut untuk mengevaluasi efektivitas
dan profil keamanan di India, sehingga kombinasi obat ini dapat
direkomendasikan sebagai terapi empiris untuk pengobatan demam tifoid di area-
area endemik.
DAFTAR PUSTAKA

Gokul BN, Menezes GA, Harish BN. ACC-1 beta- Lactamase-producing


Salmonella enterica Serovar Typhi, India. Emerg Infect Dis. 2010;16(7):1170-

Trivedi NA, Shah PC. A meta-analysis comparing the safety and efficacy of
azithromycin over the alternate drugs used for treatment of uncomplicated enteric
fever. J Postgrad Med. 2012;58(2):112-8.

Farmakologi dan Terapi, 2007, edisi 5, Departemen Farmakologi Terapeutik,


Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Frenck, R dkk, 2004, Short-Course Azithromycin for the Treatment of


Uncomplicated Typhoid Fever in Children and Adolescents, Clinical Infectious Diseases,
New York.

MIMS Indonesia Edisi 15 Tahun 2014.

Panduan Praktis Klinis Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam, 2015,


Interna Publishing, Jakarta

Nelwan, RHH, 2012 Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, Vol 39; No 4, Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai