DiajukanKepada:
Disusunoleh:
1610221102
RSUD AMBARAWA
Disusun oleh :
1610221102
Pembimbing
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul
“Efektiviitas antibiotik seftriakson dan azitromisin dalam pengobatan demam
typhoid” dengan baik. Referat inimerupakan salah satu syarat dalam mengikuti
ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF IlmuPenyakit Dalam
RSUD Ambarawa.
Ambarawa,Juli 2017
Penulis
BAB I
Demam Typhoid
1.1 Definisi
Typhoid atau typhus berasal dari yunani yaitu typhos yang artinya penderita
demam dengan gangguan kesadaran. Demam tifoid adalah penyakit infeksi
bakteri saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi atau
salmonella paratyphi.
1.2 Epidemiologi
1.4 Patogenesis
1.5 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Masa inkubasi terjadi sekitar 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul dapat
ringan-berat. Gejala-gejala tersebut diantaranya:
a. Minggu pertama, muncul gejala infeksi akut seperti demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak nyaman di perut, batuk dan epistaksis. Demam yang terjadi berpola
seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari 38,8 -
40,5ᵒC, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi pada sore hari. Demam
dapat berlanjut hingga 4 minggu apabila tidak diobati.
b. Minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas. Gejala berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan 1C tidak disertai dengan peningkatan
denyut 8x/menit), lidah khas tifoid (coated tongue/ lidah kotor ditengah,
tepi dan ujung berwarna merah disertai tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran dan yang lebih jarang
berupa roseolae.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Perifer
Pada penderita demam tifoid sering ditemukan leukopenia, dapat juga
leukosit normal, leukositosis walaupun tanpa infeksi sekunder, anemia
ringan, trombositopenia, peningkatan LED, peningkatan SGOT/SGPT.
b. Uji Widal
Dengan deteksi titer antibody terhadap S.typhi, S.paratyphi yakni
aglutinin O (dari tubuh kuman) dan agglutinin H (flagella kuman). Uji
widal memiliki sensitifitas 70% tetapi spesifitas yang kecil. Pembentukkan
aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, dan puncak
pada minggu ke empat serta tetap tinggi pada beberapa minggu dengan
peningkatan aglutini O terlebih dahulu baru diikuti oleh agglutinin H.
aglutinin O menetap hingga 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap 9-
12 bulan. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada
dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil
pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat. Titer
antibody >1:320 atau antobodi H >1 : 640 menguatkan diagnosis pada
gambaran klinis yang khas.
c. Uji TUBEX
Uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antobodi anti S.typhi O9.
Hasil positif menunjukkan infeksi Salmonellae serogroup D dan tidak
spesifik S.typhi. Infeksi S.paratyphi menunjukkan hasil negative.
Sensitivitas 75-80% dan spesifotas 75-90%. Pemeriksaan uji tubex
dilakukan 4-5 hari infeksi primer an 2-3 untuk infeksi sekunder.
d. Uji Typhidot
Deteksi IgM dan IgG pada protein membrane luar S.typhi. hasil positif
diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM
dan IgG terhadap S.typhi. Sensitivitas 98% dan spesifitas 76,6%.
Pemeriksaam yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya
digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.
Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai
gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya
e. Uji ELISA
Telah banyak digunakan saat ini dalam mendiagnosis demam tifoid
melalui sampel urin dan serum. Sensitifitas dan spesitifitas lebih tinggi
dibandingkan uji widal. Hasil penelitian menyimpulkan uji ini mampu
mendiagnosis demam tifoid paling efisien pada minggu ke 2 dan ke 3
demam.
f. Kultur
Kultur merupakan standar baku dalam menegakan diagnosis. Kultur
daah biasanya positif pada awal 2 minggu pertama, kultur feses
biasanya positif selama minggui ke-3 hingga ke-5, kultur urin minggu
ke-4. Hasil positif memastikan demam tifoid namun hasil negative
tidak menyingkirkan diagnosis.
a. Demam dengue
b. Malaria
c. Enteritis bakterial
1.7 Tata Laksana
Tata laksana demam tifoid dapat berupa terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi. Terapi non farmakologis yaitu:
1.8 Pencegahan
a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama
3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan efi kasi perlindungan sebesar 70-80%.\
b. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang
masing-masing diselang2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan
sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan
efikasi perlindungan 67-82%.
c. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan
efi kasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi
vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi perlindungan sebesar
89%.
Komplikasi
a. Perforasi usus
b. Ileus paralitik
c. Pancreatitis
Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis
b. Komplikasi darah :anemia hemolitik, trombositopenia, KID,
trombosis
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
d. Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinerfitis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis,
arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik : delirium,
meningismus, meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain
Barre, psikosis, sindrom katatonia
1.9 Prognosis
Jika tidak diobati, angka mortalitas pada demam tifoid adalah 10-20%,
sedangkan pada kasus yang diobati, angka mortalitasnya sekitar 2%. Kebanyakan
kasus kematian berhubungan dengan malnutrisi, balita, dan lansia. Pada pasien
lanjut usia prognosisnya lebih buruk
BAB II
2.1 Azitromisin
Deskripsi
Farmakokinetik
a. Absorpsi
Absorbsi obat berlangsung cepat tetapi penyerapannya terganggu apabila
bersama dengan makanan,. Konsentrasi puncak dalam plasma yaitu, tablet
2-3 jam, IV 1-2 jam.
b. Distribusi
Kadar azitromisin yang tercapai didalam serum setelah pemberian secara
oral relatif rendah tetapi didalam jaringan dan sel fagosit sangat tinggi.
c. Metabolisme
Metabolisme di hati melalui demethylation
d. Eksresi
Via empedu, urin (6% dosis oral). Waktu paruh eliminasi termnal 68 jam
Dosis
b. Anak-anak : untuk pasien anak 3-17 tahun 1x 20mg/kgBB / hari (max
1 gram) selama 5-7 hari atau 10mg/kgBB (max 500 mg)
Reaksi obat
Merupakan kategori B
Kontraindikasi
2.2 Seftriakson
Deskripsi
Farmakokinetik
Dosis obat
Kategori B
Kontraindikasi:
Efek samping
Trivedi NA, Shah PC. A meta-analysis comparing the safety and efficacy of
azithromycin over the alternate drugs used for treatment of uncomplicated enteric
fever. J Postgrad Med. 2012;58(2):112-8.
Nelwan, RHH, 2012 Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, Vol 39; No 4, Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta.