Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MATA KULIAH EKONOMI MANAJERIAL

“PRICING DAN DISKRIMINASI HARGA”

MAKALAH

Disusun Oleh :
ESTER WILDA SARAGIH (170304133)
DEBORA JUVITA SIAHAAN (170304135)

Ditugaskan Oleh :
Dr. Ir. Salmiah, MS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya,

penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini

merupakan salah satu syarat untuk dapat memenuhi komponen penilaian mata kuliah

Ekonomi Manajerial, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS. selaku dosen mata kuliah Ekonomi Manajerial, Program

Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna maka dari

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak pembaca.

Medan, Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................2

BAB II ISI
2.1 Acuan .........................................................................................................3
2.2 Aturan Baku Menentukan Harga ................................................................5
2.3 Markup Pricing ...........................................................................................7
2.4 Price Discrimination .................................................................................. 8
2.5 First Defree Price Discrimination ...............................................................9
2.6 Third Degree Price Discrimination ...........................................................10
2.7 Second Degree Price Discrimination .......................................................11

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ...............................................................................................14
3.2 Saran ........................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Harga adalah sinyal kelangkaan suatu barang. Harga barang yang tinggi
mengindikasikan bahwa barang tersebut langka, sedangkan barang yang rendah
mengindikasikan bahwa barang yang tersedia tersebut berlebih. Harga yang dibentuk
oleh pasar bersaing sempurna adalah harga yang mampu menghasilkan
kesehjahteraan tertinggi bagi pelaku ekonomi. Dalam hal ini, kesehjahteraan diukur
dengan surplus total yaitu surplus konsumen ditambah surplus produsen. Dengan kata
lain, harga pasar bersaing sempurna berhasil mengalokasikan sumberdaya secara
efisien (optimal). Alokasi yang efisien dalam arti efisiensi Pareto. Harga yang benar
(dari pasar bersaing sempurna) akan mengalokasikan sumber daya secara optimal.
Jika harga tidak benar, yang kita amati adalah perilaku boros dari pelaku ekonomi.
Orang Indonesia diindikasikan boros dalam mengkonsumsi air dan kertas, mengkin
setelah harga air dan kertas naik setelah krisis mereka akan menggunakan air dan
kertas secara lebih efisien.
Melalui makalah ini, akan dijelaskan tentang harga dan diskriminasi harga
serta dampaknya kepada produsen dan konsumen. Akhir kata, penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak pembaca.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana aturan baku dalam menentukan Harga?
 Bagaimana dampak harga terhadap produsen dan konsumen?
 Bagaimana dampak diskriminasi harga terhadap tingkat kesehjahteraan
konsumen dan produsen?
1.3 Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui aturan baku dalam menentukan Harga!
 Untuk mengetahui dampak harga terhadap produsen dan konsumen!
 Untuk mengetahui dampak diskriminasi harga terhadap tingkat kesehjahteraan
konsumen dan produsen
BAB II
ISI

2.1 Acuan
Untuk membahas suatu permasalahan, ekonom biasanya berangkat dari
kondisi ideal yaitu pasar bersaing sempurna sebagai benchmark. Ekonom bisa
melihat suatu fenomena sebagai sebuah transaksi. Dalam kasus buku di atas, adalah
bagaimana produsen menentukan harga optimal untuk produknya bagi kelompok
konsumen yang berbeda. Pada kasus pasar bersaing sempurna, sebuah produk dijual
kepada semua kelompok konsumen dengan harga sama.
Harga pada kondisi yang ideal adalah harga yang mampu mengalokasikan
sumber daya yang tersedia secara optimal. Harga tersebut akan memberikan
kesejahteraan tertinggi bagi produsen dan konsumen (surplus total). Keuntungan
produsen diukur dengan surplus produsen dan keuntungan konsumen diukur dengan
surplus konsumen. Hanya ada stu harga yang mempunyai karakteristik demikian,
yaitu harga yang terbentuk dalam struktur pasar bersaing sempurna. Hukum
kesejahteraan pertama mengatakan bahwa: pasar bersaing sempurna akan
menghasilkan alokasi yang optimal. Harga tersebut tidak terlalu mahal bagi
konsumen dan tidak terlalu murah bagi produsen, harga pbs adalah harga yang “pas”.
Bagaimana caranya sebuah perusahaan dalam struktur pasar bersaing
sempurna menentukan harga produknya? Dalam struktur pasar bersaing sempurna,
perusahaan tidak menentukan harga produknya. Pasar bekerja dan menentukan harga
untuk semua produsen. Produsen mengambil harga yang disediakan oleh pasar,
masing-masing produsen bertindak sebagai price taker, produsen tidak mempunyai
kekuatan pasar (market power). Dengan harga jual produk yang tersedia (p), masing-
masing produsen menentukan jumlah produksi optimalnya. Masing-masing produsen
akan mendapatkan keuntungan yang optimal jika produsen memproduksi
hinggaongkos untuk memproduksi produk yang terakhir sama dengan harga yang
disediakan pasar (MC = p). Dalam pasar bersaing sempurna, produsen
tidak menentukan harga produknya.
Produsen yang mampu mengendalikan harga (untuk derajat tertentu) disebut
proce taker. Perusahaan yang demikian disebut mempunyai kekuatan pasar. Karena
pada dasarnya willingness to pay konsumen bervariasi, maka perusahaan yang
mempunyai kekuatan pasar akan meningkatkan keuntungan dengan
mendisriminasikan harga berdasarkan masing-masing willingness to pay mereka.
Willingness to pay konsumen terhhadap suatu barang secara spesifik bisa
ditampilkan dengan fungsi permintaan barang tersebut. Fungsi permintaan suatu
barang mengandung informasi elastisitas harga yang menggambarkan dengan tepat
respons penjualan terhadap harga. Statistik ini merupakan informasi yang padat untuk
merealisasikan strategi diskriminasi harga. Tentu saja perusahaan yang menjual
barang yang elastis seperti baju merek Arrow tidak akan menentukan harga tinggi.
jika produsen menjual Arrow dengan harga tinggi, maka konsumen akan
mensubstitusi Arrow dengan Choya, Kenzo, Nino Ceruti dan lain-lainnya. Namun,
untuk produk seperti beras atau ekstasi yang relatif tidak mempunyai substitusi,
penjual bisa menaikkan harga tanpa kehilangan penjualan secara signifikan. Produk-
produk seperti beras dan ekstasi relatif tidak elastis (inelastis).
Jadi, perusahaan memerlukan informasi elastisitas produk untuk menentukan
harga produknya. Elastisitas harga merupakan karakteristik atau pola reaksi dari
konsumen terhadap perubahan harga. Harga terbentuk dari interaksi antara penawaran
dan permintaan. Untuk menentukan harga, produsen tentu saja memerlukan informasi
fungsi ongkosnya, terutama fungsi ongkos marjinalnya. Permasalahannya adalah
mungkinkah produsen mendapatkan kedua informasi tersebut? Jika tidak bagaimana
alternatifnya? Dalam realita, kedua informasi tersebut sangat mahal untuk diketahui
dengan presisi tinggi.
Produsen biasanya menetapkan harga dengan melakukan markup dari biaya
rata-ratanya. Ongkos untuk mendapatkan informasi biaya rata-rata suatu produk
relatif lebih murah dibanding dengan mendapatkan informasi ongkos produk
marjinalnya. Jika demikian, optimalkah markup pricing? Jika markup pricing bisa
optimal, bagaimana memilih markup -nya?
2.2 Aturan Baku Menentukan Harga
Produsen yang mempunyai market power dalam menentukan biaya produknya
tetap mmperhitungkan kendala permintaan pasar (konsumen). Produsen mementukan
harga, yaitu dengan menentukan tingkat output optimal yang membuat
keuntungannya juga optimal (maksimum). Optimal berarti maksimum dengan
kendala yang ada. Keuntungan didefenisikan sebagai revenues (R) dikurangi cost (C).
Perusahaan akan mencapai keuntungan optimal, jika syarat berikut ini dipenuhi.
Maks π = R – C

 - =0

MR = MC (1)
Jadi aturan baku untuk menentukan harga adalah MR = MC. Artinya,
perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang optimal jika perusahaan tersebut
memproduksi hingga ongkos produk yang diproduksi terakhir sama dengan
pendapatan dari penjualan produk terakhirnya. Argumen ini bisa dibuktikan secra
intuisi sebagai berikut: Jika MR > MC, maka dengan menambah penjualan akan
meningkatkan keuntungan; sedangkan jika MC > MR, kerugian bisa ditekan dengan
engurangi produksi, karena dengan mengurangi produksi, MC akan turun; jadi
kondisi yang optimal adalah MC = MR. Untuk kasus pbs, MR = p, dan p ditentukan
oleh pasar. Dalam struktur pbs, harga adalah faktor given bagi produsen. Oleh karena
itu, masing-masing produsen pada struktur pbs akan memproduksi hingga MC-nya
menyentuh harga pasar. Berapa pun jumlah produksi yang dihasilkan seorang
produsen dalam pbs akan habis terjual pada tingkat harga p. Namun, produsen tidak
akan mampu memproduksi produk dalam jumlah “semaunya” karena kendala law pf
diminishing returns yang dalam proses produksi yang muncul dalam bentuk
increasing marginal cost.
Dalam kasus pbs, masing-masing produsen menghadapi sebuah fungsi
permintaan yang khas, yaitu bahwa produsen akan selalu mampu menjual produknya
pada harga pasae p. Jika produsen menaikkan harga sedikit saja, maka produknya
tidak akan laku sama sekali. Karakteristik ini dikuantitatifkan dengan elastisitas
produk tersebut adalah tak terhingga.
Jika elastisitas suatu produk adalah tak terhingga (sangat elastis) dan jika
produsen menaikkan harga jual produknya, maka revenues-nya akan merosot
signifikan. Oleh karena itu, produsen yang menjual produk yang elastis cenderung
tidak akan menaikkan harga produknya. Argumen ini sangat berguna dalam
menentukan harga suatu produk. Secara umum, bentuk matematis dari argumen
tersebut adalah sebagai berikut:

MR = =P+Q =P( )= P( )

Harga yang optimal akan terbentuk jika memenuhi syarat MC = MR

MC = ME = P ( )

P = MC ( ) (2)

Ekspresi ini adalah syarat pricing yang harus dipenuhi sehingga keuntungan
produsen optimal. Jika nilai elastisitas suatu produk adalah tak tehingga maka rumus
tersebut akan menjadi rumus pricing pada pasar bersaing sempurna, yaitu p = MC.
Jadi rumus ini adalah rumus umum untuk menentukan harga produk jika nilai
elastisitas produk tersebut diketahui. Rumus ini bisa disebut dengan aturan inverse-
elasticity. Dalam hal ini, optimal pricing berimplikasi bahwa penjual akan
memberikan harga yang lebih tinggi untuk produk yang mempunyai elastisitas
rendah. Sebaliknya, penjual akan memberikan harga yang rendah untuk produk
dengan elastisitas tinggi.
Untuk menentukan harga optimal suatu produk, rumus optimal pricing di
persamaan (2) mensyaratkan nilai MC dan elastisitas produk yang bersangkutan.
Produk dengan elastisitas -2, harga optimalnya adalah 2 MC. Sedangkan jika
elastisitasnya -4, harga produknya adalah 1,33 MC. Semakin elastis suatu barang,
harga yang optimal semakin rendah. Jadi, meskipun produsen mempunyai market
power untuk menentukan harga, produsen harus memperhatikan permintaan
konsumen. Jika produsen menaikkan harga jual produk, mereka akan kehilangan
penjualan, akibatnya pendapatan produsen turun dan rugi. Kerugian ini akan semakin
besar jika elastisitas produknya semakin besar.

2.3 Markup Pricing


Rumus “canggih” MC = MR yang nampaknya sederhana, ternyata sulit
diterapkan dengan presisi tinggi, karena untuk mendapatkan angka MC dan MR
diperlukan informasi yang sangat rinci. Dalam praktik, produsen menetapkan harga
jual produknya dengan cara melakukan markup terhadap biaya rata-ratanya. Metode
markup ditentukan sebagai berikut: produsen menetapkan keuntungan sebesar
persentase tertentu dari ongkos produksi rata-ratanya. Dengan demikian, harga jual
produk bisa diformulasikan sebagai berikut:
Price = AC (1 + markup )
Markup =

P = harga produk
AC = ongkos rata-rata (average total cost)
Pertanyaannya adalah apakah menentukan harga dengan metode markup ini
optimal? Jika ya, bagaimana menentukan markup yang optimal tersebut?
Kondisi optimal perusahaan yang mengoptimalkan keuntungannya adalah:

MC = MR = P ( )

P = MC( ) = MC ( ( ) ) (3)

MC (1 + markup )
Jadi, jika yang digunakan adalah MC bukan AC, atau asumsikan bahwa MC = AC,
maka markup optimalnya adalah:

( )

Misalnya untuk elastisitas harga sama dengan -50 (nilai elastisitas adalah
negatif), maka markup untuk produk tersebut adalah:

–1= -1 = = 0,02 = 2%
Hubungan antara markup yang optimal dan elastisitas harga
Elastisitas harga Markup optimal dari MC (%)
-1,2 500
-1,4 250
-1,8 125
-2,5 67
-5 25
-10 11
-20 5
-50 2

Untuk mengoptimalkan keuntungan, produk yang mempunyai elastisitas


rendah perlu di-markup tinggi. Sedangkan untuk produk yang tidak elastis tidak
perlu di-markup tinggi. markup diatas akan optimal pada saat MC konvergen ke AC.
Rumus ini benar untuk semua produk, baik sate, McDonald, maupun produk-produk
perbankan.

2.4 Price Discrimination


Meskipun produsen mempunyai market power, dalam menentukan harga
produknya, produsen perlu memperhitungkan sisi permintaan produk tersebut.
Menurut markup pricing, aturan bakunya adalah: produk yang elastis, harga
optimalnya cenderung relatif rendah; sedangkan untuk produk yang tidak elastis,
harga optimalnya cenderung relatif tinggi. Dalam menentukan harga suatu produk,
angka elastisitas mempunyai pengaruh yang signifikan. Produsen komputer merek
tertentu tentu saja tidak akan menaikkan harga produknya terlalu tinggi, karena
konsumen akan beralih ke produk-produk substitusinya. Sebaliknya, Telkom relatif
mudah menaikkan tarif pulsanya.
Elastisitas harga suatu produk bervariasi bergantung antara lain pada:
karakteristik kelompok konsumen, jangka waktu pengukuran elastisitas, porsi alokasi
anggaran, jumlah substitusi, tingkat harga produk, dan tingkat akumulasi konsumsi.
Kelompok konsumen dengan pendapatan tinggi akan bersedia membeli pisang
goreng seharga Rp. 5000. Konsumen memerlukan waktu untuk mengambil keputusan
dalam merealisasikan membeli suatu produk. Oleh karena itu, elastisitas suatu poduk
baru relatif kecil dalam jangka pendek. Meskipun mobil “kuda” diturunkan harganya,
kemungkinan besar konsumen masih belum memutuskan untuk membeli. Jika
konsumen telah mengkonsumsi sebuah komputer, diskon 10 persen untuk pembelian
berikutnya, kemungkinan besar tidak akan berarti. Oleh karen itu, dalam menentukan
harga suatu produk, produsen perlu memperhitungkan faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai elastisitas tersebut. Selain itu, orang akan lebih responsif
terhadap perubahan harga produk yang relatif banyak dibeli. Dalam kondisi normal,
obral beras akan mendapat sambutan yang lebih meriah dibanding dengan obral kipas
angin.

2.5 First Defree Price Discrimination


Produsen bisa memberikan harga yang berbeda kepada masing-masing
konsumen yang berbeda untuk produk yang sama. Hal ini bisa dilakukan jika
produsen mengetahui willingness to pay atau elastisitas harga produk dari masing-
masing konsumen. First degree price discrimination adalah memberikan harga yang
berbeda untuk suatu produk yang sama untuk konsumen individual yang berlainan.
Oleh karena itu, diskriminasi harga jenis ini dilakukan pada transaksi personil, seperti
seorang dokter yang menjual jasanya kepada konsumennya di klinik praktik
privatnya. Konsumen yang berpenampilan “parlente” memberikan signal bahwa
willingness to pay mereka adalah tinggi untuk jasa dokter. Konsumen tersebut tetap
akan mengkonsumsi jasa dokter meskipun dokter membrikan harga jasa yang tinggi.
Hal yang sama terjadi untuk kasus jasa pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut
mengukur willingness to pay masing-masing konsumen dengan tampilannya,
pekerjaannya, alamatnya, atau baunya. Pada dasarnya, dalam menentukan harga
personal untuk produknya, penjual akan berusaha mendapatkan signal willingness to
pay masing-masing konsumen dengan ongkos yang minimal. Menanyakan alamat
pasien adalah salah satu upaya menentukan willingness to pay pasien adalah jasanya.
Dalam hal ini, alamat merupakan variabel instrumen untuk willingness to pay seorang
konsumen. Variabel instrumen adalah variabel yang berkorelasi erat dengan variabel
yang sulit diukur.
2.6 Third Degree Price Discrimination
Produsen bisa memberikan harga yang berbeda kepada kelompok konsumen
yang berbeda untuk produk yang sama. produsen buku teks ekonomi manajerial
mengerti bahwa permintaan buku tersebut untuk kelompok konsumen Developed
countries (DCs). Artinya, jika produsen menaikkan harga buku tersebut di pasar
LDCs, maka volume penjualannya akan turun secara signifikan. Hal tersebut tidak
terjadi untuk pasar buku yang sama di DCs. Konsumen DCs akan tetap membeli buku
tersebut meskipun harganya naik. Dalam kondisi seperti itu, produsen bisa
mengoptimalkan keuntungannya terhadap suatu produk. Oleh karena itu, untuk
sebuah buku yang sama, harga di LDCs biasanya lebih rendah dibanding harga buku
tersebut di DCs. Diskriminasi harga berdasarkan variasi kelompok konsumen ini
disebut third price discrimination.
Third degree price discrimination berbeda dengan first degree price
discriminstion dalam hal derajat pengelompokan konsumen. Dalam third degree price
discrimination penjual mengidentifikasi konsumen dengan elastisitas yang relatif
sama dalam suatu kelompok konsumen tertentu. Dalam first degree price
discrimination, penjual mengidentifikasi elastisitas masing-masing konsumen.
Untuk konsumen (kelompok mauoun individual) yang sama, elastisitas harga
suatu produk bisa bervariasi secara intertemporal. Jasa jalan tol pada pagi hari lebih
tidak elastis dibanding pada siang hari. Oleh karena itu, produsen jalan tol bisa
mengoptimalkan keuntungannya dengan menaikkan tarif jasa jalan tol pada pagi hari
dan menurunkannya pada siang hari. Hal yang sama juga berlaku untuk jasa bioskop.
Harga karcis pertunjukan pada siang hari biasanya lebih murah dibandingkan dengan
yang malam hari. Intertemporal price discrimination ini sering kali disebut peak-load
pricing yang pada dasarnya adalah sama dengan third degree price discrimination.
Elastisitas jasa jalan tol menjadi lebih elastis pada siang hari dibanding pada pagi
hari. Untuk seseorang yang memesan tiket pesawat jauh-jauh hari sebelum
keberangkatannya, biasanya penjual akan menawarkan harga yang kompetitif
(rendah). Namun, jika penjual melihat konsumen yang tergesa-gesa akan berangkat,
penjual cenderung memberikan harga yang relatif tinggi. perilaku tergesa-gesa
mengindikasikan bahwa permintaan orang tersebut terhadap jasa penerbangan adalah
inelastis.

2.7 Second Degree Price Discrimination


Elastisitas suatu produk dari seorang konsumen bervariasi menurut jumlah
akumulasi konsumsi produk tersebut. Produsen bisa memberikan harga yang berberda
kepada kelompok konsumen berdasarkan tingkat akumulasi konsumsi sebuah produk.
Semakin tinggi tingkat akumulasi konsumsi, semakin elastis permintaan konsumen
terhadap suatu produk. Willingness to pay seseorang untuk sepotong pizza kedua
akan lebih rendah dibanding sepotong pertama, karena marginall utilitynya menurun
pada konsumsi pizza yang kedua. Argumen ini adalah aplikasi dari law of
diminishing return untuk utility. Oleh karena itu, penjual pizza bisa meningkatkan
keuntungannya dengan memberikan harga pizza pembelian kedua lebih rendah
dibanding dengan yang pertama. Dalam hal ini tentu saja diasumsikan bahwa ongkos
marjinal produk terakhirnya masih lebih rendah dibanding dengan harganya. Secara
umum, sistem harga seperti ini biasanya disebut diskon berdasarkan kuantitas atau
second degree price discrimination.

Apakah Diskriminasi Harga Bisa Meningkatkan Kesejahteraan?


Kesejahteraan pelaku ekonomi dikuantifikasikan dengan masing-masing
surplusnya. Kesejahteraan konsumen akan meningkat, jika surplus konsumen
meningkat. Kesejahteraan produsen terus meningkat, jika surplus produsen
meningkat. Apakah diskriminasi harga bisa meningkatkan kesejahteraan? Bagi
konsumen tentu saja yaa! Bagaimana dengan konsumen? Untuk itu, kita lihat kasus
sebuah perusahaan yang mempunyai market power berikut ini.
Gambar 1
Ada dua pilihan pricing bagi perusahaan tersebut, yaitu dengan menjual
produknya dengan harga tunggal (p1) untuk semua konsumen atau dengan first degree
proce discrimination. (Ingat kurva permintaan menunjukkan wllingness to oay
konsumen.) Dengan harga tunggal p1, konsumen mempunyai surplus (surplus
konsumen) sebesar p1BA dan produsen mempunyai suplus (surplus produsen) sebesar
EFBp1. Jika monopoli memproduksi output sejumlah qm dan berhasil melakukan first
price discrimination, maka surplus konsumen yang semula p1BA akan menjadi nol
karena “diambil” oleh produsen. Disamping itu, produsen dapat menambah
keuntungannya dengan memproduksi output sebesar q* dan melakukan first degree
price discrimination. Tambahan keuntungan ini berasal dari surplus konsumen.
Kelompok konsumen yang mempunyai willingness to pay dari p1 hingga A
akan kehilangan surplusnya. Namun di lain pihak, ada sejumlah konsumen yang
diuntungkan, mereka adalah yang mempunyai willingness to pay diantara p1 dan p2.
Sebelum perusahaan menambah produksinya sebesar qmq*, kelompok tersebut tidak
mampu mengkonsumsi produk tersebut. Setelah penjual melakukan diskriminasi
harga, sebagian konsumen yang mempunyai willingness to pay di bawah p1, dapat
merealisasikan permintaanya. Dalam kasus buku terbitan PHIE, sebgaian konsumen
Indonesia dengan willingness to pay yang relatif rendah bisa menikmati buku teks
asli. Dan, keuntungan produsen meningkat tanpa mengurangi surplus konsumen dari
DCs. Hal ini dimungkinkan jika tidak terjadi arbitrase dari pasar LDCs ke pasar DCs.
Untuk itu, PHIE melakukan segmentasi pasar dengan mencantumkan larangan “This
book cannot be re-exported from country to which it is consigned by The McGraw-
Hill Companies, Inc. The International Edition is not available ini North Amerika.”
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Produsen bisa mengoptimalkan keuntungannya dengan menggunakan
informasi elastisitas produknya untuk segmen pasar tertentu. Untuk itu, pasar perlu
disegmentasi berdasarkan masing-masing elastisitasnya. Konsumen dengan elastisitas
harga rendah akan tetap membeli produk meskipun harga produk tersebut dinaikkan.
Sebaliknya, untuk konsumen dengan elastisitas tinggi, produsen menaikkan harga
akan kehilangan pelanggan. pada dasarnya elastisitas bervariasi secara intertemporal
dan situasional (kondisional). Praktik pricing ini akan mungkin jika produsen
mempunyai market power dan produsen juga mampu mengukur reaksi konsumen jika
produsen mengubah harga produknya. Dengan melakukan diskriminasi harga
berdasarkan masing-masing kelompok elastisitas konsumen, produsen mampu
mengoptimalkan keuntungannya. Dalam hal ini permainannya tidak sepenuhnya zero-
sum game. Jika ongkos marjinal suatu produk relatif konstan dan rendah,
diskriminasi harga dengan perbedaan harga yang signifikan masih mungkin untuk
produsen. Dan, diskriminasi harga tersebut membuat konsumen dengan willingness to
pay rendah bisa mengkonsumsi produk tersebut.

3.2 Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan sumber yang
penulis peroleh. Sehingga isi dari makalah ini masih bersifat umum. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan agar pembaca lebih banyak mencari sumber yang berkaitan
dengan topik makalah ini, untuk membandingkan isi dari makalah ini. Bila terjadi
kesalahan penyusunan, dengan tangan terbuka penulis menerima saran dan masukan
yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih
DAFTAR PUSTAKA

Noor, Hendry. 2007. Ekonomi Manajerial. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Salvatore, Dominick. Managerial Economics. PT. PENERBIT ERLANGGA. Jakarta

Sadono,S. 2008. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Sunaryo, T. Ekonoomi Manajerial Aplikasi Teori Mikro. PT. PENERBIT


ERLANGGA. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai