Anda di halaman 1dari 12

81

STRATEGI PENYELENGGARAAN
PENYULUHAN PERTANIAN

Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan dipengaruhi


secara berturut-turut dari yang paling penting atau dominan dari faktor yang
mempengaruhi kinerja penyuluh yaitu; (1) kompetensi penyuluh pada aspek
pelaksanaan program penyuluhan, (2) intensitas pemanfaatan media-media
penyuluhan, (3) persepsi posistif penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, (4) intensitas
pelatihan penyuluhan, dan (5) partisipasi aktif masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan
penyuluhan.

Tabel 19 Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal, eksternal, dan


kompetensi penyuluh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian

Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian


Sub Peubah
Koefisien Regresi Probability (p-value)
Pelaksanaan Program (X3.2) 0.563** 0.000
Pemanfaatan Media (X1.7) 0.470** 0.000
Persepsi terhadap Pekerjaan
0.359** 0.001
(X1.6)
Pelatihan (X1.4) 0.328** 0.002
Partisipasi Aktif Masyarakat
0.306* 0.022
(X2.7)
Keterangan: **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05

Kompetensi Pelaksanaan Program Penyuluhan

Pelaksanaan program penyuluhan berdasarkan indikator Kementrian Pertanian


adalah sejauh mana penyuluh mampu menyediakan materi-materi penyuluhan yang
sesuai dengan kebutuhan petani, menerapkan berbagai metode penyuluhan sesuai
keadaan petani, meningkatkan kelas kemampuan kelompok tani, membangun
kemitraan usaha dengan stakeholder terkait, dan menumbuhkan swadaya petani
secara mandiri. Kompetensi penyuluh dalam pelaksanaan program penyuluhan sesuai
data penelitian tergolong kurang kompeten (Lihat kembali Tabel 12).
Kondisi sebagaimana telah digambarkan tersebut, tidak hanya dipengaruhi
oleh terbatasnya kompetensi penyuluh, tetapi secara eksternal dipengaruhi juga oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah. Fakta menunjukkan selama ini penyuluh dijadikan
alat pemerintah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang bersifat top down dan
terkesan menutupi ruang gerak penyuluh dalam melaksanakan tugas dilapangan.
Sumardjo (1999), menyatakan selama ini kompetensi yang dimiliki penyuluh lebih
82

banyak diperuntukan untuk mengawal program-program pemerintah, dengan


demikian kompetensi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaimana yang telah
direncanakan kurang dimanfaatkan.
Penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan
kesejahteraan sasaran, dan tidak mengutamakan target-target fisik yang sering kali
tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya. Dalam pengertian
lain penyuluh harus di beri kewenangan seluas luasnya dalam melaksanakan tugas,
sebagaimana pendapat Sumardjo (1999) penyuluh harus mampu mengembangkan
suasana bebas, untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam hal berfikir dan
berdiskusi untuk menyelesaikan masalahnya.

Pemanfaatan Media Penyuluhan


Intensitas penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang
tersedia merupakan bagian terpenting dari suatu upaya untuk meningkatkan
kompetensi dan kinerja penyuluh. Data penelitian menunjukkan intensitas penyuluh
memanfaatkan media hanya sebesar 22 persen, sebaliknya sekitar 78 persen tergolong
jarang memanfaatkan media tersebut. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan fakta di
lapangan yang menunjukkan media-media tersebut hanya menjadi pajangan di lemari-
lemari perpustakaan.
Rendahnya frekuensi pelatihan termasuk salah satu penyebab secara ektsernal
lain yang ikut mempengaruhi minat penyuluh memanfaatkan media cetak/elektronik
sebagai upaya memotivasi diri untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi
penyuluh. Secara kognitif intensitas pelatihan kompetensi dapat meningkatkan
motivasi sesorang penyuluh dalam mencari informasi. Penyuluh yang mampu
memanfaatkan media baik cetak/ elektronik dengan baik, sama halnya dengan
berupaya memperbaiki kualitas kerjanya (kinerja).
Hasil analisis (Lihat kembali Tabel 17) yang menunjukkan pengaruh nyata
aspek pemanfaatan media terhadap kinerja penyuluh. Artinya, rendahnya penyuluh
memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia, menyebabkan menurunnya
kinerja penyuluh pertanian. Tersedianya sarana perpustakaan yang memadai
merupakan salah satu kekuatan yang harus dimaksimalkan, sehingga penyuluh lebih
tertarik untuk memanfaatkannya.
Agar kondisi tersebut dapat tercipta, maka penyuluh harus diarahkan pada
pembuatan materi-materi penyuluhan yang berkaitan dengan potensi-potensi
83

sumberdaya alam yang menjadi unggulan di wilayah kerja. Dengan demikian


penyuluh akan selalu tergerak minatnya untuk membaca dan selalu memanfaatkan
media-media yang telah disediakan. Langkah tersebut perlu ditempuh karena data
penelitian (Lihat kembali Tabel 9) menunjukkan rata-rata penyuluh jarang
memanfaatkan media-media penyuluhan (Tabloid Sinar Tani) sebagai sumber
informasi dan teknologi yang dibutuhkan petani.

Persepsi Penyuluh terhadap Tugas/Pekerjaan


Hasil penelitian menunjukkan 82 persen persepsi penyuluh terhadap tugas/
pekerjaan tergolong tinggi (Lihat kembali Tabel 9). Artinya, secara psikologi
sebagian besar penyuluh menyatakan bangga menjadi seorang penyuluh yang oleh
banyak pihak diapresiasikan sebagai ujung tombak pembangunan pertanian. Secara
sosial ada perasaan nyaman dan aman dalam membangun hubungan sosial, dimana
penyuluh merasa memiliki relasi sosial dengan kelompok tani maupun dengan tokoh-
tokoh masyarakat.
Fakta di lapangan menunjukkan tingginya persepsi penyuluh tersebut, ternyata
tidak berbanding lurus dengan kinerja yang dihasilkan. Fakta tersebut
menggambarkan bahwa persepsi positif penyuluh tidak diimbangi dengan kompetensi
yang dimiliki, terutama kompetensi-kompetensi fungsional dibidang penyuluhan.
Penyuluh perlu dibekali dengan nilai-nilai dasar filosofi penyuluhan yaitu;
penyuluhan sebagai proses pendidikan, demokrasi, dan kontinyu (Sumardjo, 2010).
Penyuluh yang telah memahami filosofi penyuluhan sebagai proses pendidikan,
demokrasi, dan kontinyu (Sumardjo, 2010) akan mampu meningkatkan motivasi
seorang penyuluh dalam melaksanakan tugas. Penyuluhan sebagai proses pendidikan
bertujuan meningkatkan kemampuan petani secara kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.

Intensitas Pelatihan
Data penelitian menunjukkan sebagian besar (71 persen) penyuluh mengakui
jarang dipanggil mengikuti pelatihan, baik yang dilaksanakan oleh kantor BP4K
maupun oleh lembaga-lembaga diklat lain. Minimnya anggaran yang dikelola institusi
penyuluhan berdampak pada kuantitas dan kualitas pelatihan. Dalam satu tahun
anggaran yang tersedia di institusi penyuluhan hanya melaksanakan satu kali kegiatan
kegiatan pelatihan, selebihnya merupakan kegiatan forum-forum penyuluhan biasa
yang bersifat koordinasi antar instansi teknis lingkup pertanian.
84

Fakta di lapangan menunjukkan selama ini pelatihan cenderung kurang


mampu menyediakan kurikulum yang sungguh-sungguh berisikan kompetensi yang
dibutuhkan penyuluh maupun petani. Penyelenggaraan pelatihan selama ini hanya
sebagai kegiatan rutin tahunan bagi penyuluh, sehingga ketika penyuluh kembali ke
lapangan pengetahuan yang pelajari saat pelatihan hilang kembali dan penyuluh
terpaksa mencari sumber informasi lain untuk memecahkan masalah yang mereka
hadapi. Pelaksanaan pendidikan dan latihan hanya dikemas dalam suatu paradigma
kewajiban bagi penyuluh agar memperoleh angka kredit untuk proses kenaikan
pangkat dan belum menjadikannya sebagai paradigma kebutuhan.
Pemerintah daerah cenderung membatasi kegiatan pelatihan penyuluhan
dengan alasan kekurangan dana. Akibatnya, kegiatan pelatihan yang dilaksanakan
oleh institusi penyuluhan terkesan asal-asalan dan belum menjadikan pelatihan
sebagai suatu paradigma kebutuhan. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan pelatihan
tidak dasarkan atas kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan penyuluh maupun
petani. Setiap kali dilakukan pelatihan semua penyuluh dipanggil sebagai peserta,
padahal belum tentu antara penyuluh yang satu dan lainnya membutuhkan kompetensi
yang sama dalam waktu yang bersamaan. Tidak adanya pemisahan kelas belajar
sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, menyebabkan hasil pelatihan tidak
memberikan dampak terhadap peserta pelatihan.

Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat


Data penelitian (Lihat kembali Tabel 10), menunjukkan aspek partisipasi
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan persen tergolong tinggi. Hasil
penelitian memberikan gambaran bahwa aspek tersebut memberikan pengaruh secara
langsung terhadap tingkat kinerja penyuluh. Fakta penelitian tersebut sejalan dengan
hasil analisis yang menunjukkan aspek ini masih rendah sehingga mempengaruhi
kinerja penyuluh. Nilai koefisien aspek partisipasi aktif masyarakat sebesar 0.306.
Artinya, besarnya pengaruh aspek tersebut terhadap kinerja penyuluh sebesar 30.6
persen Kondisi tersebut masih perlu ditingkatkan, karena keberhasilan suatu program
pembangunan sangat bergantung pada seberapa besar sikap proaktif masyarakat
terhadap kegiatan tersebut.
Sumardjo (2010) mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan
bukanlah dalam bentuk pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru lebih
penting adalah tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-
85

kesemapatan memperbaiki kualitas kehidupan diri. Upaya membangun kesadaran


masyarakat tersebut, maka kegiatan penyuluhan harus sesuai dengan prinsip-prinsip
penyuluhan dalam arti yang sebenarnya, yang partisipatif, dialogis, konvergen dan
demokratis, sehingga memberdayakan dan bukannya praktek-praktek penyuluhan
yang bersifat top down, linier dan bertentangan dengan filosofi pembangunan kapital
manusia (Sumardjo, 1999)
Margono Slamet (2001), bahwa pentingnya kebijakan desentralisasi
penyuluhan pertanian adalah untuk menggantikan sistem penyuluhan yang bersifat
regulatif sentralistis ke arah sistem penyuluhan yang fasilitatif partisipatif.
Menurutnya penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, yang
antara lain memerlukan reorientasi : (1) dari pendekatan instansi ke pengembangan
kualitas kinerja individu penyuluh; (2) dari pendekatan top down ke bottom up; (3)
dari hierarkhi kerja vertikal ke horizontal; (4) dari pendekatan instruktif ke partisipatif
dan dialogis; dan (5) dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan.
Untuk lebih memaksimalkan aspek partisipasi masyarakat yang sudah
tergolong baik tersebut, maka upaya-upaya ke arah proses penyadaran masyarakat
dari seorang penyuluh perlu terus dilakukan. Masyarakat yang semakin sadar akan
potensi yang dimilikinya lebih cenderung dalam melakukan kegiatan-kegiatan positif
ke arah perbaikan kualitas hidupnya yang lebih baik.

Strategi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian

Penetapan strategi penyuluhan pertanian yang dijalankan selama ini terlihat


adanya kelemahan, karena penetapan strategi hanya memusatkan pada kegiatannya
untuk menyuluh pelaku utama yaitu petani dan keluarganya. Padahal, keberhasilan
penyuluhan seringkali ditentukan oleh kualitas penyuluh, dukungan banyak pihak dan
komitmen politik pemerintah pusat, serta dukungan penuh pemerintah daerah selaku
penguasa tunggal sebagai administrator pemerintahan dan pembangunan. Leagens dan
Loomis, 1980 (Sumardjo, 1999) mengatakan bahwa strategi penyuluhan yang
digunakan selama ini lebih bersifat interpersonal, namun orientasinya untuk mencapai
target yang ditetapkan secara top down.
Berdasarkan fakta-fakta penelitian dan hasil analisis serta hasil pengamatan di
lapangan yang menunjukkan kinerja penyuluh pertanian tergolong rendah, maka
diperlukan perhatian lebih serius dari pemerintah daerah (BP4K), untuk memperbaiki
86

kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan, melalui rumusan strategi


penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat.
Seiring dengan terus bergulirnya era reformasi dan otonomi daerah, maka
penyelenggaraan penyuluhan pertanian pun terus mengalami banyak perubahan yang
cukup signifikan. Pelaksanaan penyuluhan yang mengacu pada teknologi anjuran
secara nasional maupun regional berangsur-angsur ditinggalkan dan diganti dengan
teknologi anjuran yang spesifik lokasi.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang mengacu kepada pemerintah
pusat telah diserahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah, sehingga praktis
seluruh perangkat keras dan lunak dalam mendukung penyelenggaraan penyuluhan
pertanian seperti; penyusunan programa penyuluhan pertanian, penyiapan anggaran,
penyediaan sarana dan prasarana pendukung penyuluhan, pembinaan kelompok tani,
dan beberapa kewenangan lainnya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah
daerah.
Fakta menunjukkan sampai saat ini kewenangan yang diberikan pemerintah
pusat belum berjalan secara baik, bahkan beberapa diantaranya tidak berjalan.
Akibatnya, dijumpai banyak penyuluh yang meninggalkan wilayah kerja, karena
tugas-tugas penyuluh lebih banyak berkaitan dengan tugas-tugas kantor, bahkan
pemanfaatan tenaga penyuluh lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan diluar tugas pokoknya sebagai penyuluh. Oleh karena itu, diperlukan
strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian ke depan agar menjadi lebih baik.
Penyelenggaraan penyuluhan harus melibatkan seluruh stakeholder terkait seperti;
lembaga penelitian (BPTP), perguruan tinggi, swasta maupun pihak-pihak lain yang
peduli dengan penyelenggaraan penyuluhan.
Penyelenggaraan penyuluhan ke depan harus menyesuaikan dengan
permintaan dan kebutuhan sasaran penyuluhan. Dengan demikian sasaran akan
melakukan reorientasi masalah yang bersifat teknis ke masalah yang bersifat ekonomi
produktif, reorientasi dari usaha untuk memenuhi kubutuhan bahan pangan ke usaha
komiditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan mempunyai peluang pasar.
Kondisi tersebut mencerminkan bahwa, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak
dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus melibatkan semua aspek yang
berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan penyuluhan pertanian.
Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan,
maka diperlukan strategi-strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat
87

melalui upaya peningkatan terhadap tiga aspek penting yaitu; (1) peningkatan peran
organisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian; (2) jenjang karier dan
kesejahteraan penyuluh pertanian, dan (3) peningkatan peran lembaga pendukung
penyuluhan pertanian. Gambaran tentang kondisi ketiga aspek tersebut dapat dibaca
pada bab kinerja penyuluh dan faktor yang mempengaruhi.

Peningkatan Peran Organisasi Penyuluhan Pertanian


Peningkatan peran organisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi penyuluh dalam melaksanakan program
penyuluhan dan perbaikan menajemen pelatihan. Upaya tersebut mencakup perbaikan
visi dan misi organisasi penyuluhan pertanian, pemberdayaan kelembagaan
penyuluhan pertanian, pemberdayaan personil penyuluh, pemberdayaan kelompok
tani, serta peningkatan kerjasama antara sistem penyuluhan pertanian dan agribisnis.
Selama ini visi dan misi organisasi penyuluhan pertanian cenderung mengikuti
kebijakan pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi
pangan nasional (swasembada pangan nasional). Hal tersebut berdampak pada
kegiatan penyuluhan yang lebih berorientasi pada kebijakan top down yang
menekankan pada pencapaian target-target fisik keproyekan (Sumardjo, 2010), tetapi
kurang mengembangkan penyuluhan kearah kemandirian petani dalam mengelola
usahataninya, sehingga perilaku petani dalam menerapkan inovasi cenderung
tergantung pada anjuran, arahan dan dorongan aparat pertanian.
Visi dan misi organisasi penyuluhan pertanian seperti ini tentunya
menyimpang dari falsafah dasar penyuluhan pertanian, yakni menolong orang-orang
untuk menolong dirinya sendiri, melalui suatu upaya pendidikan untuk memperbaiki
tingkat hidup mereka (to help people them selves through educational means to
improve their level of living), sehingga visi penyuluhan pertanian perlu diperbaharui
dan dipertegas ke arah pengembangan kemandirian petani dengan pendekatan dari
bawah (bottom-up) dan desentralisasi penyuluhan (Margono Slamet 2001).
Visi dan misi penyuluhan harus diarahkan pada upaya pemberdayaan petani
dalam konteks meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup petani melalui
proses yang lebih humanis. Visi dan misi harus mengacu pada konsep penyuluhan
yang sebenarnya yakni, penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan non formal di
bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat.
Dengan mengacu pada definisi penyuluhan tersebut maka dalam penyelenggaraan
88

penyuluhan diperlukan adanya kesetaraan gender (gender mainstreaming). Hal ini


perlu dilakukan karena pembangunan pertanian berkelanjutan mengisyaratkan adanya
kesetaraan jender baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota
Tidore Kepulauan berhubungan erat dengan tingkat kompetensi yang dimiliki
penyuluh. Aspek-aspek kompetensi penyuluh yang diteliti dalam penelitian ini,
seluruhnya masih tergolong sedang atau kurang kompeten. Peran organisasi dalam
merancang strategi untuk meningkatkan kompetensi penyuluh ke depan adalah
melalui kegiatan pelatihan. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses
pelatihan berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi (Padmowihardjo, 2010).
Rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan juga
disebabkan oleh faktor umur dan masa kerja. Hasil penenlitian yang menunjukkan 45
persen penyuluh berusia muda, sehingga dari segi pengalaman kerja sebagai penyuluh
tersebut masih minim. Hal ini terutama dialami oleh penyuluh-penyuluh baru yang
berpendidikan sarjana pertanian umum, sehingga kompetensi mereka dalam bidang
penyuluhan pun sangat terbatas. Sedangkan pada penyuluh yang berusia tua dan
berpendidikan rendah sudah merasa jenuh dan cenderung pasrah dengan kompetensi
yang dimiliki saat ini. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
meningkatkan kompetensi fungsional penyuluh-penyuluh tersebut melalui kegiatan-
kegiatan pelatihan, terutama terhadap penyuluh-penyuluh baru yang masih produktif.
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan selama ini kurang didasarkan pada
pemenuhan kebutuhan penyuluh pertanian. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
anggaran pelatihan dan kompetensi serta kemampuan instruktur pelatihan. Kondisi
tersebut membutuhkan peran organisasi secara maksimal untuk penyelenggaraan
pelatihan, yakni dengan mengembangkan sistem menajemen dan jenjang pelatihan
bagi penyuluh pertanian yang lebih selaras dengan kebutuhan kerja penyuluh dan
kebutuhan petani di lapangan.
Peningkatan intensitas kurikulum pelatihan dapat dikembangkan melalui
upaya berikut: (1) meningkatkan wawasan dan keterampilan instruktur pelatihan dan
penyuluh melalui pola kemitraan partisipatif dengan berbagai lembaga/ instansi
terkait di lingkup pemerintahan, perguruan tinggi, LSM, dan tokoh masyarakat petani
(KTNA), (2) materi pelatihan selain mencakup aspek komoditas dan teknologi, perlu
disenergikan juga dengan materi pelatihan tentang metode penelitian dan metode
penyusunan programa secara partisipatif dan berperspektif jender.
89

Hasil penenlitian juga menunjukkan bahwa rendahnya kinerja penyuluh juga


ada hubungannya dengan aspek internal seperti dukungan penghargaan dan supervisi
monitoring. Kedua aspek tersebut sesuai pengakuan penyuluh masih tergolong
kurang, sehingga diperlukan perhatian serius dari organisasi. Peran organisasi
terhadap kedua aspek tersebut dapat dilakukan melalui (1) meningkatkan koordinasi
dengan Badan Kepegawaian Daerah terkait dalam rangka pemberian penghargaan
kepada penyuluh yang berkinerja baik dan pemberian sanksi bagi penyuluh yang lalai
atau tidak disiplin menjalankan tugas. Penghargaan yang diberikan dapat
dilakukanbertepatan dengan peringatan hari-hari besar nasional maupun pada agenda-
agenda penting lainnya di daerah seperti pada peringatan HUT Kota Tidore
Kepulauan.

Peningkatan Jenjang Karier dan Kesejahteraan Penyuluh


Strategi peningkatan jenjang karier dan kesejahteraan penyuluh diperlukan
untuk meningkatkan kinerja penyuluh melalui peningkatan intensitas penyuluh dalam
memanfaatkan media penyuluhan sebagai sumber informasi dan teknologi dan
peningkatan persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan. Fakta di lapangan
menunjukkan selama ini kemampuan teknis dan independensi (kebebasan bertindak)
penyuluh pertanian semakin terbatas, sehingga kurang sesuai lagi dengan kebutuhan
petani dan pengembangan penyuluhan interaktif yang menekankan pada upaya
pemberdayaan masyarakat tani.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan penyuluh kurang mampu
menjalankan tugasnya secara rutin karena faktor luas cakupan wilayah binaan
penyuluh, keterbatasan honor (insentif), dan rendahnya dana operasional penyuluh
(BOP). Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut ditempuh melalui penambahan
biaya operasional dari APBD, atau upaya memperoleh insentif dari bank pemberi
kredit sebagai reward atas keberhasilannya dalam pendampingan terhadap kelompok
tani yang mengelola program dana bergulir.
Mengingat jenjang karir dan insentif bagi penyuluh pertanian masih belum
mampu menjadi faktor pendorong yang dapat memotivasi bagi tercapainya kinerja
penyuluh pertanian yang baik, tercermin antara lain oleh adanya penyuluh pertanian
yang bekerja di luar lingkup penyuluhan seperti berbisnis, menjadi aparat desa atau
guru. Upaya untuk mengatasi pendapatan penyuluh yang memang belum memadai
tersebut, dapat dilakukan dengan cara mengembangkan sistem karier penyuluh
90

pertanian agar dapat lebih menjanjikan, misalnya dengan kegiatan sertifikasi profesi
penyuluh.
Peningkatan jenjang karier penyuluh secara teratur dan tepat waktu akan
berdampak pada peningkatan kesejahteraan penyuluh. Kenyataan yang selama
dialami oleh penyuluh adalah masalah Inpassing bagi penyuluh-penyuluh baru dan
keterlambatan SK kenaikan pangkat regular dengan penyesuaian tunjangan jabatan
fungsional. Kondisi tersebut secara tindak langsung sangat mengganggu aktivitas
penyuluh di lapangan. Di satu sisi pemerintah daerah menginginkan kinerja penyuluh
meningkat, tetapi disisi yang lain kesejahteraan penyuluh tidak diperhatikan.
Sertifikasi profesi penyuluh pertanian menjadi suatu keharusan karena di
dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (SP3K) disebutkan bahwa penyuluh pertanian adalah suatu
profesi. Secara umum sertifikasi penyuluh pertanian bertujuan untuk meningkatkan
mutu dan proses penyuluhan pertanian serta meningkatkan profesionalisme penyuluh
pertanian.
Sertifikasi penyuluh pertanian sangat penting karena mempunyai manfaat
dalam melindungi profesi penyuluh pertanian dari praktek-praktek yang tidak
kompeten yang dapat merusak citra penyuluh pertanian dan melindungi masyarakat
dari praktek-praktek penyuluhan pertanian yang tidak bertanggungjawab serta
menjamin mutu penyelenggaraaan penyuluhan pertanian. Sebagai sebuah profesi
maka penyuluh pertanian harus mempunyai suatu standard kompetensi sebagaimana
dengan profesi lainya.
Jumlah penyuluh PNS di Kota Tidore Kepulauan saat ini berjumlah 67 orang
yang tersebar di 72 wilayah binaan (desa/kelurahan). Dari jumlah tersebut baru 3
orang penyuluh (4 persen) yang memiliki kinerja tinggi berdasarkan standar
kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI). Terhadap ketiganya Kementrian
Pertanian melalui lembaga sertifikasi telah diikutkan pada kegiatan pelatihan seleksi
sertifikasi profesi penyuluh pertanian.

Peningkatan Peran Kelembagaan Pendukung Penyuluhan


Peningkatan peran kelembagaan pendukung penyuluh yang bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan. Hakekat
dasar penyuluhan pertanian adalah peningkatan kualitas sumberdaya petani dan
91

nelayan dengan cara mengembangkan situasi belajar yang kondusif dalam


pengembangan kemandirian petani dalam berusahatani.
Seperti daerah lainnya di Indonesia, kegiatan penyuluhan pertanian di Kota
Tidore kepulauan juga masih menempatkan petani sebagai objek pelaksanaan
program-program pemerintah yang ditetapkan dari atas (top down). Sehubungan
dengan itu, strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian ke depan harus
dikembangkan untuk memandirikan petani melalui : (1) keberpihakan terhadap
kepentingan petani sebagai isu sentral dan komitmen keseluruhan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian dengan menempatkan petani sebagai subyek sasaran dengan
orientasi pada humanisasi petani dan keluarganya yang berfokus pada
penumbuhkembangan kemandirian petani dalam berusahatani dan berbisnis;
(2)kebijakan sektoral program penyuluhan pertanian diarahkan pada farmer
participation dengan dukungan kelembagaan desa yang dapat menumbuhkembangkan
kemandirian petani; (3) mekanisme komunikasi penyuluhan yang bersifat linear
(searah) dan top-down ke komunikasi interaktif dan dialogis, sehingga terjadi
konvergensi antara petani dan pemerintah yang sekaligus dapat mewujudkan aliran
informasi yang simultan dan sinergis.
Penyelenggaran penyuluhan pertanian yang lebih banyak menekankan aspek
produksi dan kurang menyentuh sub sistem agribisnis lainnya sehingga tidak dapat
memunculkan keterpaduan pengembangan inovasi yang akhirnya berdampak pada
stagnasi inovasi. Dalam hal kelembagaan kelompok tani, kuatnya intervensi pihak
luar dalam pembentukan kelompok tani menyebabkan kelompok tani kurang dinamis
dan tidak mengakar pada masyarakat tani.
Oleh karena itu, strategi penyelenggaraan penyuluhan yang tepat dalam
pengembangan kelompok tani sebaiknya diarahkan untuk membentuk wadah bersama
bagi petani melalui upaya-upaya antara lain : (1) pembentukan kelompok tani yang
dikembangkan dan ditumbuhkan berdasarkan minat petani dan memperhatikan
kategori usia dan jender; (2) pembinaan kelompok tani ditekankan pada
pengembangan kemampuan individu anggota kelompok tani di dalam mengelola
usahatani yang berorientasi bisnis dan pengembangan kemampuan dalam membina
kehidupan berorganisasi dan berkelompok.
Hasil penelitian menunjukkan rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota
Tidore Kepulauan berhubungan erat dengan aspek partisipasi masyarakat terhadap
kegiatan-kegiatan penyuluhan. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat sangat
92

menentukan kinerja penyuluh. Secara sosial budaya/ kultur, sikap ramah masyarakat
dalam menerima kehadiran seorang penyuluh mungkin masih baik, akan tetapi jika
kehadirannya hanya untuk mengeksploitasi hak-hak masyarakat yang berkaitan
dengan pengamanan-pengamanan program pemerintah yang ditetapkan secara top
down, justru membuat masyarakat semakin jauh dari penyuluh.
Strategi ke depan yang harus dilakukan seorang penyuluh dalam
meningkatkan peran masyarakat (kelompok tani) adalah pemerintah harus
memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk berusaha. Untuk mewujudkan hal
tersebut, maka masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan program
pembangunan pertanian. Minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan
menyebabkan kegiatan penyusunan programa penyuluhan selama ini hanya bisa
dilakukan di tingkat Kota. Seharusnya kegiatan tersebut harus dilakukan secara
bertahap dan dimulai dari tingkat wilayah kerja penyuluh, sehingga keterlibatan
masyarakat (kelompok tani) bisa lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai