Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh:
FAKULTAS FARMASI
2020
I. Judul
Absorpsi Obat per Oral secara In Situ
II. Tujuan
Dapat menentukan tetapanan nilai Papp (tetapan permeabilitas semu) pada CUB dan
CLB yang dipengaruhi PH terhadap absorbsi obat di saluran pencernaan, yang diabsorbsi
melalui difusi pasif dan percobaan dilakukan secara in situ.
III. Prinsip
Pengujian absorpsi obat Paracetamol secara in situ melalui usus halus didasarkan atas
penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat dengan kadar
tertentu dilewatkan melalui lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu.
VI. Prosedur
a. Petunjuk Umum
Percobaan dilakukan dalam 2 (dua) kondisi pH cairan mukosal yang berbeda yaitu
menggunakan cairan lambung buatan (CLB) pH 1,2 dan cairan usus buatan (CUB)
yang mempunyai pH 7,4.
Cairan Usus Buatan (CUB) dan Cairan Lambung Buatan (CLB) dibuat sebanyak 1
liter tanpa enzim
Pembuatan CUB
Dilarutkan 6,8 gram kalium fosfat monobasa P dalam 250 ml air, kemudian dicampur dan tambahkan
190 ml natrium hidroksida 0,2 N dan 400 ml air.
Sebanyak 2,0 gram natrium klorida P dan 3,2 Pepsin P dilarutkan dalam 7,0 ml
asam klorida P dan air secukupnya hingga 1000 ml.
3. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB dan CLB sebagai konsentrasi awal
(C0)
Digunakan dua tikus putih jantan. Tikus pertama dan kedua masing-masing
digunakan untuk percobaan CUB dan CLB
Perut tikus dibedah disepanjang linea mediana sampai jelas terlihat bagian
ususnya dan dicari bagian lambung
Dari tempat itu, dengan hati-hati, usus dilubangi dengan menggunakan selang
infus yang terhubung dengan labu infus yang berisi CUB atau CLB kea rah anal
dan ikat dengan menggunakan benang
Kran infus dibuka dan dibiarkan CUB atau CLB mengalir melalui usus dan keluar
sampai ke gelas kimia, sampai cairan yang keluar jernih
Labu infus diganti dengan CUB atau CLB yang mengandung parasetamol. Usus
dialiri selama 30 menit
Volume CUB dan CLB yang tertampung dalam gelas kimia dicatat dan ditentukan
kecepatan alirnya (Q) = volume terukur/30 menit
Usus tikus dipotong diantara kedua ujung dan panjangnya diukur menggunakan
penggaris. Data yang terukur sebagai I
Ujung usus diikat dan dimasukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus
menggelembung
Diameter usus diukur dengan jangka sorong dan ditentukan jari-jarinya (r)
5. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB atau CLB yang tertampung sebagai
konsentrasi akhir (C1)
Dipipet sebanyak 1,0 ml CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia
7. Perhitungan Papp
Papp (CUB) dan Papp (CLB) dihitung dengan menggunakan data yang telah
didapat dengan memasukkan pada persamaan
4) Perhitungan Papp
C (1) −2 x r x I
In = x Papp
C(0) Q
−2 x 0,29 x 22 cm
1023,8800 x Papp
In µg /ml = ml
1402,9800 1,6667
menit
In 0,7298 = - 7,6559 x Papp
-0,3150 = - 7,6559 x Papp
Papp = -0,3150/-7,6559
Papp = 0,0411 cm/menit
CLB
1. Persamaan kurva kalibrasi : Y = 0,0613x-0,0665
2. Panjang usu tikus = 22 cm
3. Jari- jari tikus = 0,35 cm
4. Absorban C0 = 0,409 (pengenceran 200x)
5. Absorban C1 = 0,515 (pengenceran 200x)
6. Volume CUB yg terukur/tertampung selama 30 menit = 50 mL
Jawab :
Perhitungan
1) Perhitungan C0
Perhitungan C0’
Absorban C0 = 0,409
Y = 0,0613x-0,0665
0,409 = 0,0613x-0,0665
0,409+0,0665
X = = 7,7569 µg/ml
0,0613
Perhitungan C0 sebenarnya
C0 sebenarnya = C0’ x Fp
= 7,7569 x 200 = 1551,3800 µg/ml
2) Perhitungan C1
Perhitungan C1’
Absorban C1 = 0,515
Y = 0,0613x-0,0665
0,515 = 0,0613x-0,0665
0 ,515+ 0,0 665
X = = 9,4861 µg/ml
0,0 613
Perhitungan C1 sebenarnya
C1 sebenarnya = C1’ x Fp
= 9,4861 x 200 = 1897,2200 µg/ml
3) Perhitungan Q
Volume CUB yang terukur tertampung selama 30 menit = 50 ml
Q = 50ml/30menit = 1,6667 ml/menit
4) Perhitungan Papp
C (1) −2 x r x I
In = x Papp
C(0) Q
−2 x 0 , 35 x 22 cm
1897,2200 x Papp
In µg /ml = ml
1551,3800 1,6667
menit
In 1,2230 = - 9,2398 x Papp
0,2013 = - 9,2398 x Papp
Papp = 0,2013/-9,2398
Papp = -0,0218 cm/menit
VIII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan absorbsi paracetamol peroral.
Percobaan dilakukan dalam dua kondisi uji yaitu pada kondisi asam menggunakan cairan
lambung buatan (CLB) tanpa enzim pH 1,2 dan pada kondisi basa menggunakan cairan usus
buatan (CUB) tanpa enzim pH 7,4. Kadar paracetamol diukur menggunakan metode
spektrofotometri.
Percobaan ini dilakukan untuk mengamati pengaruh pH terhadap absorbsi
parasetamol melalui difusi pasif dan percobaan dilakukan secara in situ. Metode in situ
merupakan suatu metode uji yang dilakukan dalam organ target tertentu yang masih berada
dalam sistem organisme hidup. Bedanya dengan uji in vivo, ialah karena pada uji in situ
organ target diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain sehingga profil obat yang diamati
hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ tersebut tanpa dipengaruhi oleh
proses yang terjadi pada organ lain. Sedangkan bedanya dengan uji in vitro ialah organ pada
uji in situ masih menyatu dengan sistem organisme hidup, masih mendapat suplai darah dan
suplai oksigen.
Metode in-situ memiliki kelebihan dibandingkan metode in-vitro. Walaupun hewan
percobaan sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris,
neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang terdapat
pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini lebih realistik
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro).
Metode absorbsi in situ sering disebut teknik perfusi karena usus dilubangi satu untuk
memasukkan sampel dan dilubangi satu lagi untuk keluarnya sampel. Cara ini didasarkan
asumsi bahwa hilangnya obat dari lumen usus dikarenakan proses absorbsi, obat dianggap
stabil dan tidak mengalami metabolisme di usus. Metode in situ digunakan untuk
mempelajari faktor yang mempengaruhi permeabilitas usus, untuk mengoptimalkan
kecepatan absorbsi pada sediaan prodrug dan pada obat yang sangat sulit atau praktis tidak
dapat terabsorbsi. Pada percobaan kali ini absorbsi obat melalui difusi pasif, artinya absorbsi
tidak menggunakan energi, terjadi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dan tidak
melawan gradien konsentrasi.
Paracetamol mengalami mekanisme absorpsi secara difusi pasif berdasarkan sifat
asam lemah. Difusi pasif adalah proses perpindahan obat atau senyawa dari kompartemen
yang berkonsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, yang merupakan mekanisme transpor
sebagian besar obat.
Difusi pasif terjadi dari kondisi dengan konsentrasi tinggi menuju ke konsentrasi rendah.
Absorpsi obat secara difusi pasif tergantung dari derajat ionisasinya. Untuk dapat terabsorpsi,
obat harus bereaksi dalam bentuk tak terionkan karena cenderung bersifat non polar sehingga
lebih mudah menembus membrane biologis yang dimana tersusun atas lapisan lipid (lemak).
Pada percobaan ini organ yang digunakan adalah usus tikus, digunakan usus halus karena
usus merupkan tempat absorbsi obat dalam tubuh. Kotoran pada usus dibersihkan
menggunakan spuit karena dapat mempengaruhi absorbsi, namun juga dapat mempengaruhi
data karena perbedaan kecepatan alir dan gravitasi. PAPP menunjukkan tingkat permeabel
dan membran, semakin tinggi maka waktu obat dalam membran lama, sebaliknya jika rendah
maka obat akan cepat keluar dan efek yang diinginkan tidak tercapai. Praktikum ini dilakukan
untuk mengetahui absorbsi obat per oral secara in situ. Pada praktikum ini, melakukan
percobaan absorbsi parasetamol menggunakan dua kondisi saja, yaitu pada kondisi asam
menggunakan CLB tanpa enzim dengan pH 1,2 atau kondisi normal-basa menggunakan CUB
tanpa enzim pH 7,4. Proses yang dilakukan pada paktikum ini umumnya sama, yang
membedakan hanyalah kondisi uji yang digunakan dengan menyesuaikan kondisi saluran
cerna asli tempat dimana obat diabsorbsi. Kondisi uji berupa cairan lambung buatan (CLB)
tanpa enzim pH 1,2 dancairan usus buatan (CUB) tanpa enzim pH 7,4. Cairan lambung
buatan (CLB) tanpa enzim pH 1,2 dibuat dengan mencampurkan 2 gram natrium klorida
dengan 7 ml asam klorida pekat, kemudian ditambahkan aquadest ad 1 liter. Sedangkan untuk
cairan usus buatan (CUB) tanpa enzim pH 7,4 dibuat dengan cara mencampurkan 6,8 ml
Kalium Hidrogen Fosfat dengan 250 ml air suling kemudian menambahkan 190 ml NaOH
0,2 N yang diencerkan hingga 400 ml. Selanjutnya pH campuran diatur hingga mendekati 7,4
dengan penambahan NaOH 0,2 N. Setelah itu menambahkan air suling hingga 1 liter.
Selanjutnya membuat kurva baku parasetamol dalam CUB dan CLB tanpa enzim
dengan kadar yang telah ditentukan. Sebelum mencari panjang gelombang maksimum
parasetamol dalam CUB dan CLB tanpa enzim, yaitu 435 nm. Karena pada Panjang
gelombang tersebut merupakan panjang gelombang visible serta adanya tambahan perekasi
warna agar terdeteksi meskipun kadar sedikit. Kemudian dilakukan perhitungan dari kurva
baku sehingga didapatkan persamaan regresi sebagi berikut :
Tikus yang digunakan adalah satu ekor tikus jantan, dimana tikus dipuasakan dulu selama 24
jam dan hanya boleh diberiminum. Langkah pertama yang dilakukan adalah menimbang
berat tikus untuk menentukan dosis pemberian anastesi. Kemudian menunggu hingga injeksi
anastesi bekerja sehingga tikus menjadi tidak sadar. Apabila efek anastesi terlalu lama, maka
tikus diberi anastesi menggunakan kapas yang sudah diberi eter. Setelah tikus teranastesi,
maka membedah perut tikus sepanjang linea medina perut sampai jelas terlihat bagian
ususnya. Mencari bagian lambung, mengukur 15 cm dari lambung ke arah anal menggunakan
benang, dengan hati-hati dibuat lubang dan selang dimasukkan dan ditali dengan benang.
Pemasangan selang sedemikian rupa sehingga ujungnya mengarah ke bagian anal. Digunakan
15 cm dari lambung untuk menghindari pengaruh dari lambung. Selang akan menuju labu
infuse berisi CUB. Dari ujung selang ini usus diukur lagi dengan menggunakan benang ke
arah anal sepanjang 20 cm, dan disitu dibuat lubang kedua. Selanjutnya dipasang pula selang
kedua yang mengarah ke bagian oral dan mengikatnya dengan benang. Selang tersebut
menuju ke beaker glass.
Membuka kran infuse dan membiarkan CUB atau CLB mengalir melalui usus dan
keluar menuju beaker glass sampai cairan yang keluar jernih. Menghentikan pengaliran
apabila salah satu larutan CUB yang keluar telah jernih. Melarutkan 500 mg parasetamol
dengan 50 ml CUB di dalam beaker glass. Setelah itu memasukkan larutan tersebut ke dalam
infus yang berisi CUB dan menambahkan CUB sampai batas tanda 500 ml. Mengaliri usus
selama 30 menit dengan kecepatan infuse satu tetes per detik. Mencatat volume CUB yang
tertampung pada beaker glass dan mementukan kecepatan alirnya (Q) yaitu volume terukur /
30 menit. Kemudian itu memotong usus tikus antara ke dua ujung selang dan mengukur
panjangnya menggunakan penggaris. Data yang terukur sebagai l. Selanjutnya mengikat
ujung usus dan memasukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus menggelembung
maksimal dan mengukur keliling dari usus tersebut. Kemudian melakukan perhitungan untuk
mendapatkan jari-jari usus.
Melakukan penetapan kadar parasetamol dalam CUB serta CLB sebagai konsentrasi
awal (C0) dengan memasukkan nilai absorbansi C0 pada persamaan regresi. Nilai absorbansi
C0 adalah 0,458 (CUB) C0 0,409 (CLB). Kemudian melakukan penetapan kadar parasetamol
dalam CUB dan CLB yang telah dialirkan melalui usus tikus dan tertampung di beaker glass
sebagai konsentrasi akhir (C1). Pengenceran yang dilakukan adalah 200 kali pada masing-
masing CUB atau CLB dengan cara mengambil 1,0 ml larutan yang tertampung dan
menambahkan 100 ml C0 sehingga didapatkan nilai absorbansi C1 0,331 (CUB) C1 0,515
(CLB). Untuk selanjutnya digunakan menghitung kadar parasetamol pada C0 dan C1
menggunakan persamaan kurva kalibrasi. Yang terakhir adalah melakukan perhitungan Papp
(CUB) menggunakan data yang telah didapat dengan memasukkan pada persamaan Papp.
Absorpsi obat tergantung dari sifat fisika dan kimia obat yang berbeda-beda tiap
senyawa, dan tempat absorpsi obat yang menentukan pH lingkungan absorpsi seperti
lambung memiliki pH rendah (asam), usus pH tinggi (basa). Selain itu ada pengaruh bentuk
obat, yang berbentuk partikel kecil sangat mudah/cepat absorpsinya. Begitu juga dengan
bentuk obat yang tersedia di lokasi absorpsi, apakah bentuk ion atau molekul. Hanya obat
dalam bentuk molekul yang akan mengalami absorpsi karena bentuk molekul yang larut
dalam lipid akan mudah menembus membran tubuh tempat absorpsi obat (membran tubuh
bersifat lipid bilayer).
Oleh karena itu, tempat absorpsi obat dapat diperkirakan berdasarkan pH obat. Obat
bersifat asam seperti akan mengalami absorpsi di lambung. Karena dalam lambung yang
bersuasana asam obat-obat asam akan mengalami bentuk molekul yang lebih banyak
dibandingkan bentuk ionnya (bentuk ion larut air mudah diekskresikan, bukan diabsorpsi).
Selama proses absorpsi, obat mengalami penurunan jumlah karena tak semua obat diabsorpsi.
Selain itu selama proses absorpsi, jika obat diberikan secara oral maka akan mengalami siklus
enterohepatik (perjalanan dari pembuluh darah di usus ke portal hepar di mana terdapat
enzim beta-glikosidase yang mengolah sebagian obat sebelum sampai di reseptornya).
Kecepatan absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh keofisien partisi. Hal ini disebabkan
oleh komponen dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida. Dengan demikian obat-
obat yang mudah larut dalam lipida akan dengan mudah melaluinya. Sebaliknya obat-obat
yang sukar larut dalam lipida akan sukar diabsorpsi. Obat-obat yang larut dalam lipida
tersebut dengan sendirinya memiliki koefisien partisi lipida-air yang besar, sebaliknya obat-
obat yang sukar larut dalam lipid akan memiliki koefisien partisi yang sangat kecil.Pada
umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basah lemah. Jika obat tersebut dilarutkan
dalam air, sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang terionkan tergantung pH
larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan (unionized) lebih mudah larut dalam lipida,
sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis tidak larut, dengan
demikian pengaruh pH terhadap kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa
lemah sangat besar.
Koefisien partisi minyak – air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari
molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makromolekul
pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol / air dari
obat (Martin, dkk, 1990). Papp (app = apparent) merupakan tetapan permeabilitas yang
nilainya bervariasi terhadap pH. Jika suatu senyawa, asam atau basa mengalami ionisasi
sebesar 50% (pH=pKa) maka koefisisen partisinya setengah dari koefisien partisi obat yang
tidak mengalami ionisasi (Gandjar, dkk, 2007).
c (1) −2. rl
ln c (0)
= Q x Papp
Dimana :
r = jari-jari usus
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa semakin besar nilai jari-jari dan panjang usus maka
nilai Papp yang diperoleh kecil (berbanding terbalik). Semakin rendah nilai Papp maka
permeabilitasnya rendah maka obat akan cepat keluar dan efek yang diinginkan tidak dicapai
sebaliknya jika nilai Papp semakin tinggi maka waktu obat didalam membran untuk
diabsorbsi semakin lama sehingga efek yang diinginkan dicapai.
Berdasarkan hasil percobaan didapat nilai Papp untuk CUB sebesar 0,0411 cm/menit
sedangkan untuk CLB sebesar -0,0218 cm/menit. Dari hasil tersebut ketika usus tikus dialiri
dengan CUB memiliki permeabilitas lebih tinggi dibanding dengan CLB, hal tersebut
menunjukkan bahwa absorbsi terbesar tejadi pada usus yang dialiri oleh CUB. Usus yang
memiliki pH basa lemah yang di aliri dengan CUB yang bersifat basa pula menyebabkan obat
masih dalam bentuk molekul sehingga mudah untuk diabsorbsi, sedangan ketika usus yang
memiliki pH basa yang dialiri CLB yang cenderung asam obat kan mengalami ionisasi
sehingga tidak dapat di absorbsi oleh usus. Dilihat dari hasil. Perbedaan nilai + dan – tersebut
dipengaruhi oleh perbedaan rumus perhitungan Papp yang digunakan. Hasil Papp CLB dan
CUB tersebut sesuai dengan teoritis karena paracetamol dalam CUB berbentuk tak terion
sehingga kemampuan obat untuk bertahan pada permukaan membran untuk diabsorbsi juga
besar dibandingkan dalam CLB. Hal ini juga berarti karena nilai Papp (tetapan permeabilitas
semu) CUB lebih besar yakni 0,0411 cm/menit daripada CLB -0,0218 cm/menit.
Menunjukan bahwa waktu obat paling lama bertahan dalam membrane untuk diabsorpsi
adalah pada CUB sebaliknya obat yang paling cepat keluar adalah pada CLB.
IX. Kesimpulan
Metode in-situ memiliki kelebihan dibandingkan metode in-vitro yaitu laju dari
metode ini lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro.
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan dalam dua kondisi uji yaitu pada kondisi asam
menggunakan cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim pH 1,2 dan pada kondisi basa
menggunakan cairan usus buatan (CUB) tanpa enzim pH 7,4 untuk mengamati pengaruh pH
terhadap absorbsi parasetamol melalui difusi pasif. Secara teoritis parasetamol memiliki pH
antara 5,5 – 6,5 yang berarti bahwa parasetamol bersifat asam lemah dan hampir mendekati
netral/ basa sehingga absorbsi parasetamol lebih cepat dalam pH basa usus dibandingkan
dengan pH asam pada lambung. Papp (app = apparent) merupakan tetapan permeabilitas yang
nilainya menunjukkan suatu kemampuan obat untuk berada pada membran, semakin tinggi
nilai Papp yang diperoleh maka semakin baik obat untuk terabsorbsi pada membran. Nilai
Papp bervariasi terhadap pH. Pada praktikum kali ini didapatkan nilai Papp pada CLB
-0,0218 cm/menit adalah, sedangkan CUB adalah 0,0411 cm/menit. Perbedaan nilai + dan –
tersebut dipengaruhi oleh perbedaan rumus perhitungan Papp yang digunakan. Hasil Papp
CLB dan CUB tersebut sesuai dengan teoritis karena paracetamol dalam CUB berbentuk tak
terion sehingga kemampuan obat untuk bertahan pada permukaan membran untuk diabsorbsi
juga besar dibandingkan dalam CLB.
X. Daftar Pustaka
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh
Farida Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608,
700, Jakarta, UI Press.
Gandjar, Ibnu Gholib, Abdul Rohman, 2007, Kimia Farmasi Anaisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Husniati, dkk, 2008, Studi Bioaktivitas Dari Pengaruh Lipofilitas Senyawa Anti
Kanker Analog UK-3A Secara In-Vitro dan In-Silico, Teknologi Indonesia,
Vol (I), No 31, Hal. 57.
Martin, Alfred, dkk, 1990, Farmasi Fisik. Dasar-dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu
Farmasetik, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Shargel, Leon dan A.B.C. Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Surabaya : Airlangga University Press.