Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tubuh manusia terdiri dari satuan dasar hidup yang disebut sel. Sel merupakan unit
fungsional terkecil dalam suatu organisme. Sel-sel yang memiliki asal embrionik atau fungsi
yang sama akan membentuk suatu organisme yang memiliki fungsional lebih besar yaitu
jaringan. Jaringan ini akan bergabung untuk membentuk struktur tubuh dan organ-organ.
Meskipun sel-sel di setiap jaringan dan organ memiliki variasi struktur dan fungsi yang
berbeda, ada beberapa karakteristik umum yang dimiliki semua sel. Sel memiliki kemampuan
untuk mempertahankan hidupnya dan untuk kelangsungan hidupnya dengan cara mendapatkan
energi dan nutrien organik disekitarnya, mensintesis berbagai molekul dan
bereplikasi(Mattson, 2006).

Salah satu kemampuan sel adalah beradaptasi dengan lingkungannya.


Kemampuan sel untuk beradaptasi sangat penting karena setiap hari bahkan setiap
detik, sel-sel tubuh terpapar oleh berbagai kondisi, selain itu adaptasi juga dibutuhkan
oleh sel untuk menghadapi suatu kondisi fisiologis tubuh itu sendiri. Terkadang
gangguan proses adaptasi ini bisa menjadi awalan dari suatu mekanisme awal
terjadinya suatu penyakit. Dengan demikian penyakit apapun yang diderita oleh
pasien pada dasarnya yang diserang adalah sel. Peristiwa gangguan pada sel
menyebabkan sel melakukan adaptasi (menyesuaikan diri) agar tetap bertahan hidup.
Bila sel mendapat gangguan, maka sel tersebut rusak dan mati, disisi lain sel-sel yang
masih hidup akan membelah diri terus-menerus sampai jumlahnya mencukupi
kembali.
Sel beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan internal, seperti total
organisme beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan eksternal. Sel dapat
beradaptasi dengan melakukan perubahan ukuran, jumlah, dan jenis. Perubahan ini,
yang terjadi secara tunggal atau dalam kombinasi, dapat menyebabkan atrofi,
hipertrofi, hiperplasia, metaplasia dan displasia. Oleh karena itu sangat penting untuk
kita mempelajaro adaptasi sel agar pembelajaran mengenai mekanisme terjadinya
suatu penyakit lebih mudah dipahami(Mattson, 2006).

1
B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian adaptasi sel?
2) Apa saja macam-macam adaptasi sel?
3) Bagaimana mekanisme adaptasi sel?

C. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui pengertian adaptasi sel
2) Untuk mengetahui macam-macam adaptasi sel
3) Untuk mengetahui mekanisme adaptasi sel

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Adaptasi Sel


Sel beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan internal, seperti total
organisme beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan eksternal. Sel dapat
beradaptasi dengan melakukan perubahan ukuran, jumlah, dan jenis. Perubahan ini, yang terjadi
secara tunggal atau dalam kombinasi, dapat menyebabkan atrofi, hipertrofi, hiperplasia,
metaplasia, dan displasia (Mattson, 2006).

Dalam kondisi normal, sel harus secara konstan beradaptasi terhadap perubahan
lingkungannya. Adaptasi fisiologis biasanya mewakili respon sel terhadap perangsangaan normal
oleh hormon atau mediator kimiawi endogen (misalnya, pembesaran payudara dan induksi
laktasi oleh kehamilan). Adaptasi patologik sering berbagi mekanisme dasar yang sama tetapi
memungkinkan sel untuk mengatur lingkungannya, dan idealnya melepaskan diri dari cedera.
Jadi, jadi adaptasi selular merupakan keadaan yang berada di antara kondisi normal, sel yang
tidak stres dan sel cedera yang stres berlebihan (Robbins, 2007).

3
Adaptasi selular dapat didahului oleh sejumlah mekanisme. Beberapa respons adaptif
melibatkan up regulation atau down regulation reseptor selular spesifik; misalnya reseptor
permukaan sel yang terlibat pada pengambilan LDL (low denisty lipoproein) normalnya dow-
regulated saat sel kelebihan kolesterol. Respon adaptif lainnya berhubungan dengan induksi
sintesis protein baru oleh sel target. Protein ini, misalnya protein syok panas, dapat melindungi
sel dari bentuk cedera tertentu. Masih adaptasi lain, melibatkan pertukaran dari menghasilkan
satu jenis protein menjadi yang lain, atau produksi berlebih protein yang tertentu; contoh kasus
adalah pada sel yang menyintesis berbagai kolagen dan matriks protein ekstrasel pada inflamasi
kronik dan fibrosis. Jadi, respon adaptif selular dapat terjadi di setiap tahap, termasuk ikatan
reseptor; tranduksi sinyal; atau transkripsi, translasi atau ekspor, protein (Robbins, 2007).

B. Macam – Macam Adaptasi Sel


1. Atrofi
Pengerutan ukuran sel dengnn hilangnya substansi sel disebut atrofi. Apabila mengenai
sel dalam jumlah yang cukup banyak, seluruh jaringan atau organ berkurang massanya,
menjadi atrofi. Harus ditegaskan bahwa walaupun dapat menurun fungsinya, sel atrofi
tidak mati. Pada kondisi yang berlawanan, kematian sel terprogram (apoptotik) bisa juga
diinduksi oleh sinyal yang sama yang menyebabkan atrofi sehingga dapat menyebabkan
hilangnya sel pada "atrofi" seluruh organ (Robbins, 2007).
Penyebab atrofi, antara lain berkurangnya beban kerja (misal, imobilisasi
anggota gerak yang memungkinkan proses penyembuhan fraktur), hilangnya persarafan,
berkurangnya suplai darah, nutrisi yang tidak adekuat, hilangnya rangsangan endokrin, dan
penuaan. Walaupun beberapa rangsang ini bersifat fisiologis (misal, hilangnya rangsangan
hormon pada menopause) dan patologi lain (misal, denervasi), perubahan selular yang
mendasar bersifat identik. Perubahan itu menggambarkan kemunduran sel menjadi
berukuran lebih kecil dan masih memungkinkan bertahan hidup; suatu keseimbangan baru
dicapai antara ukuran sel dan berkurangnya suplai darah, nutrisi, atau stimulasi trofik
(Robbins, 2007).

4
2. Hipertrofi
Hipertrofi adalah bertambahnya ukuran suatu sel atau jaringan. Hipertrofi
adalah suatu respon adaptif yang terjadi apabila terdapat peningkatan beban kerja suatu sel.
Kebutuhan sel akan oksigen dan zat gizi meningkat, menyebabkan pertumbuhan sebagian
sebagian besar struktur intrasel, termasuk mitokondria, retikulum endoplasma, vesikel
intrasel dan protein kontraktil. Kondisi ini membuat sintesis protein meningkat (Crowin,
2009).
Hipertrofi terutama dijumpai pada sel-sel yang tidak dapat beradaptasi terhadap
peningkatan beban kerja dengan cara meningkatkan jumlah mereka (Hiperplasia) melalui
mitosis. Contoh sel yang tidak dapat mengalami mitosis, tetapi mengalami hipertrofi
adalah sel otot rangka dan sel otot jantung. Otot polos dapat mengalami hipertrofi maupun
hiperplasia (Crowin, 2009).
Terdapat tiga jenis utama hipertrofi (Crowin, 2009):
a. Hipertrofi fisiologis
Terjadi sebagai akibat dari peningkatan beban kerja suatu sel secara sehat (peningkatan
masa/ukuran otot setelah berolahraga).
b. Hipertrofi patologis
Terjadi sebagai respon suatu keadaan sakit, misalnya hipertrofi ventrikel kiri sebagai
respon terhadap hipertensi kronik dan peningkatan beban kerja jantung.

5
c. Hipertrofi kompensasi
Terjadi sewaktu sel tumbuh untuk mengambil alih peran sel lain yang telah mati.
Contoh, hilangnya satu ginjal menyebabkan sel-sel di ginjal yang masih ada mengalami
hipertrofi sehingga peningkatan ukuran ginjal secara bermakna.
Bila aktivitas yang dilakukan sel tersebut meningkat, atau stimulus yang diterimanya
meningkat, maka untuk mencapai keseimbangan dalam merespon hal tersebut, sel akan
mengalami hipertropi (McKenna, 1994). Sebaliknya bila stimulus berkurang atau terjadi
penurunan aktivitas sel, maka sel tersebut akan mengalami atropi (Robbins, 2007).

3. Hiperplasia
Hiperplasia merupakan peningkatan jumlah sel dalam organ atau jaringan. Hipertrofi
dan hiperplasia terkait erat dan sering kali terjadi bersamaan dalam jaringan sehingga
keduanya berperan terhadap penambahan ukuran organ secara menyeluruh (misal, uterus
yang hamil/uterus gravid). Namun demikian, pada kondisi tertentu, bahkan sel secara
potensial sedang membelah, seperti sel epitel ginjal, mengalami hipertrofi tetapi tidak
hiperplasia. Hiperplasia dapat fisiologik atau patologik (Robbins, 2007)
Hiperplasia fisiologik dibagi menjadi (Robbins, 2007):
a. Hiperplasia hormonal, ditunjukkan dengan proliferasi epitel kelenjar payudara
perempuan saat masa pubertas dan selama kehamilan; dan

6
b. Hiperplasia kompensatoris, yaitu hiperplasia yang terjadi saat sebagian jaringan
dibuang atau sakit. Misalnya, saat hati (hepar) direseksi sebagian, aktivitas mitotic
pada sel yang tersisa berlangsung paling cepat 12 jam berikutnya, tetapi akhirnya
terjadi perbaikan hati ke berat normal. Rangsang untuk hiperplasia pada kondisi ini
adalah faktor pertumbuhan polipeptida, yang dihasilkan oleh sisa-sisa hepatosit (sel
hepar) serta sel non parenkimal yang ditemukan dihati. Setelah perbaikan massa
hati, proliferasi sel “dihentikan” oleh berbagai inhibitor pertumbuhan.
Hiperplasia juga merupakan respons kritis sel jaringan ikat pada penyembuhan luka;
pada keadaan tersebut fibroblas yang distimulasi faktor pertumbuhan dan pembuluh darah
berproliferasi untuk mempermudah perbaikan (Robbins, 2007). Sebagian besar bentuk
hiperplasia patologi adalah contoh stimulasi faktor pertumbuhan atau hormonal yang
berlebih. Misalnya, setelah periode menstruasi normal, terjadi ledakan aktivitas
endometrium proliferatif yang secara esensial merupakan hiperplasia fisiologik. Proliferasi
ini secara normal sangat diatur oleh rangsangan melalui hormon hipofisis dan estrogen
ovarium dan oleh inhibisi melalui progesteron. Namun demikian, jika terjadi gangguan
keseimbangan antara estrogen dan progesteron, terjadi hiperplasia endometrial, penyebab
lazim perdarahan menstruasi abnormal. Peningkatan sensitivitas terhadap kadar normal
faktor pertumbuhan juga dapat mendasari terjadinya hiperplasia patologik. Jadi,kutil yang
sering terjadi dikulit disebabkan oleh peningkatan ekspresi berbagai factor transkripsi oleh
papillomavirus penginfeksi; setiap stimulasi tropik minor pada sel oleh faktor
pertumbuhan, menghasilkan aktifitas mitotik. Penting dicatat bahwa pada kedua situasi
tersebut, proses hiperplastik tetap dikontrol; jika rangsangan factor hormonal atau faktor
pertumbuhan hilang, hiperplasia menghilang. Hal tersebut yang membedakannya dengan
kanker; sel akan terus tumbuh walaupun tidak ada rangsangan faktor hormonal. Namun,
hiperplasia patologik merupakan tanah yang subur, yang akhirnya dapat muncul proliferasi
kanker. Oleh karena itu, pasien dengan hyperplasia endometrium beresiko lebih besar
mengalami kanker endometrium dan infeksi papilomavirus tertentu menjadi predisposisi
kanker serviks (Robbins, 2007).

7
4. Metaplasia
Metaplasia adalah perubahan reversible; pada perubahan tersebut satu jenis sel dewasa
(epitheal atau mesenkimal) digantikan oleh jenis sel dewasa lain. Metaplasia merupakan
adaptasi selular, yang selnya sensitif terhadap stress tertentu, digantikan oleh jenis sel lain
yang lebih mampu bertahan pada lingkungan kebalikan. Metaplasia diperkirakan berasal
dari “pemrograman kembali” genetik sel stem epithelial atau sel mesenkimal jaringan ikat
yang tidak berdiferensiasi (Robbins, 2007).
Metaplasia epithelial ditunjukkan dengan perubahan epitel gepeng yang terjadi pada
epitel saluran napas perokok kretek (kebiasaan). Sel epitel silindris bersilia normal pada
trakea dan bronkus, secara fokal atau luas, diganti dengan sel epitel gepeng bertingkat.
Defisiensi vitamin A j uga dapat menginduksi metaplasia silindris pada epitel respirasi
(Robbins, 2007).
Walaupun epitel metaplastik adaptif mungkin mempunyai keuntungan dalam daya
tahan hidup. Mekanisme perlindungan yang penting hilang, seperti sekresi mucus dan
pembersihan silia material berukuran partikel. Oleh karena itu, metaplasia epitel
merupakan pedang bermata dua; selain itu, pengaruh yang menginduksi transformasi
metaplastik, jika menetap, dapat menginduksi transformasi kanker pada epitel yang
metaplastik. Jadi, pada bentuk umum kanker paru, metaplasia skuamosa epitel pernafasan
sering kali muncul bersamaan dengan penyusun kanker sel skuamosa maligna. Walaupun

8
tidak terbukti diduga bahwa merokok awalnya menyebabkan metaplasia skuamosa, dan
kanker terjadi kemudian ada beberapa fokus yang berubah itu. Metaplasia tidak selalu
menjadi pada epitel selapis menjadi gepeng; pada refluks lambung kronik, epitel skuamos
bertingkat normal pada esophagus bawah dapat mengalami transformasi metaplastik
menjadi epitel silindris tipe usus halus atau lambung (Robbins, 2007).
Metaplasia juga dapat terjadi pada sel mesenkimal, tetapi kurang jelas seperti suatu
respon adaptif. Oleh karena itu, tulang atau kartilago dapat terbentuk dalam jaringan, yang
dalam keadaan normal, tidak dapat. Misalnya, tulang kadang-kadang terbentuk dalam
jaringan lunak, terutama (tetapi tidak selalu) di tempat terjadinya jejas (Robbins, 2007).

5.

Displasia
Dysplasia adalah kerusakan pertumbuhan sel yang menyebabkan lahirnya sel yang
berbeda ukuran, bentuk, dan penampakan dibandingkan sel asalnya. Terjadi pada sel yang
terpajan iritasi dan peradangan kronik. Walaupun perubahan sel ini tidak bersifat kanker,
dysplasia adalah indikasi adanya suatu situasi berbahaya dan terdapat kemungkinan
timbulnya kanker. Tempat tersering terjadi dysplasia : saluran pernafasan dan serviks
wanita.
Displasia merupakan hilangnya keberagaman sel secara individu dan juga hilangnya
orientasi susunan sel-sel tersebut
a. Perubahan sifat sel sehingga bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan susunannya.
b. Mempunyai inti sel berwarna gelap, ukurannya lebih besar dan abnormal
c. Mitosis lebih banyak dijumpai pada tempat abnormal diantara sel-sel epitel
d. Berhubungan erat dengan iritasi / radang kronik yang berkepanjangan

9
e. Proses yang reversible
f. Permulan dari timbulnya keganasan (pendahulu kanker)

Dysplasia dapat dijumpai pada :


a. Seviks
b. Saluran pernafasan
c. Rongga mulut
d. Kantung empedu

10
C. Mekanisme adaptasi sel
1. Mekanisme Atrofi
Atrofi menggambarkan pengurangan komponen struktural sel; mekanisme biokimiawi
yang mendasari proses tersebut bervariasi, tetapi akhirnya memengaruhi keseimbangan
antara sintesis dan degradasi. Sintesis yang berkurang, peningkatan katabolisme, atau
keduanya, akan menyebabkan atrofi. Pada sel normal, sintesis dan degradasi isi sel
dipengaruhi sejumlah hormon, termasuk insulin, TSH (hormone perangsang tiroid), dan
glukokortikoid.
Pengaturan degradasi protein tampaknya mempunyai peran kunci pada atrofi. Sel
mamalia mengandung dua sistem proteolitik yang menjalankan fungsi degradasi berbeda
yaitu:
a. Lisosom mengandung protease dan enzim lain pendegradasi molekul yang diendositosis
dari lingkungan ekstrasel,serta mengatabolisme komponen subselular, seperti organela
yang menunjukkan proses penuaan (senescent).

11
b. Jalur ubiquitin-proteasome bertanggung jawab untuk degradasi banyak protein sitosolik
dan inti. Protein yang di degradasi melalui proses ini, secara khas menjadi sasaran oleh
konjugasi ubiquitin,peptida 76-asam amino sitosolik. Protein ini kemudian didegradasi
dalam proteasome, kompleks proteolitik sitoplasmik besar. Jalur ini menyebabkan
percepatan proteolisis pada keadaan hiperkatabolik (termasuk kakeksia kanker) dan
pengaturan berbagai molekul aktivasi intrasel.
Pada banyak situasi, atrofi disertai peningkatan bermakna sejumlah vakuola autofagik,
fusi lisosom dengan organela dan sitosol intrasel mernungkinkan katabolisme dan
pembongkaran komponen selnya sendiri pada sel yang atrofi. Beberapa debris sel di dalam
vakuola autofagositik dapat menahan digesti dan menetap sebagai badan residu yang
terikat membran (misal, lipofuscin).
Secara umum, seluruh perubahan dasar seluler (dalam hal ini merupakan perubahan ke
arah atrofi) memiliki proses yang sama, yaitu menunjukkan proses kemunduran ukuran sel
menjadi lebih kecil. Namun, sel tersebut masih memungkinkan untuk tetap bertahan hidup.
Walupun sel yang atropi mengalami kemunduran fungsi, sel tersebut tidak mati.
Atrofi menunjukkan pengurangan komponen-komponen stutural sel. Sel yang
mengalami atrofi hanya memiliki mitokondria dengan jumlah yang sedikit, begitu pula
dengan komponen yang lain seperti miofilamen dan reticulum endoplasma. Akan tetapi
ada peningkatan jumlah vakuola autofagi yang dapat memakan/merusak sel itu sendiri.
Atrofi juga dipengaruhi oleh proses autofagi yang terdapat dalam sel. Pada proses ini
organela intraselular dan sebagian sitosol terasing dari sitoplasma dalam vakuola autofagik
yang terbentuk dari regio bebas ribosom RER. Kemudian, berdifusi dengan lisosom primer
yang sebelumnya telah ada, membentuk autofagolisosom. Autofagi merupakan fenomena
umum yang terlibat dalam penyingkiran organela rusak atau mati, dan pada perbaikan
kembali (remodelling) sel yang disertai diferensiasi sel. Autofagi terutama terjadi pada sel
yang mengalami atrofi, yang diinduksi oleh kekurangan zat nutrisi atau hormon.
Enzim dalam lisosom dapat mengkatabolisme lengkap sebagian besar protein dan
karbohidrat, walaupun beberapa lipid masih tidak dapat dicerna. Lisosom dengan debris
yang tidak dicerna, bisa menetap dalam sel sabagai bahan-bahan residual atau bisa dipaksa
keluar. Granul pigmen lipofuscin menunjukkan material yang tidak dapat dicerna, yang
dihasilkan dari perooksidasi lipid intrasel, dan pigmen tertentu yang tidak dapat dicerna

12
seperti partikel karbon yang diinhalasi dari atmosfer atau pigmen yang
diinokulasi pada tato, dapat menetap dalam fagolisosom suatu makrofag selama beberapa
dekade.
2. Mekanisme Hipertrofi
Sel otot lurik, baik pada otot jantung maupun rangka, dapat mengalami
hipertrofi saja akibat respons terhadap peningkatan kebutuhan sel karena pada orang
dewasa, sel itu tidak dapat membelah membentuk sel yang lebi banyak untuk membagi
beban kerjanya. Akibatnya, sintesis protein dan miofilamen yang lebih banyak di tiap sel,
diduga mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan kapasitas fungsional sel; hal ini
memungkinkan peningkatan beban kerja dengan tingkat aktivitas metabolik per unit
volume sel yang tidak berbeda dari yang dikeluarkan oleh sel normal. Namun demikian,
perubahan adaptatif tersebut tidak semuanya bersifat jinak; perubahan tersebut dapat juga
menyebabkan perubahan dramatis pada fenotip selular. Jadi, pada kelebihan beban volume
jantung kronik, beragam gen yang secara normal nanya ditunukkan pada jantung neonates
diaktifkan kembali, dan protein kontraktil berubah menjadi isoform fetal, yang
berkontraksi lebih lambat. Nuklei pada sel hipertrofik tersebut juga memiliki kandungan
DNA yang lebih tinggi dibandingkan sel miokardial normal, kemungkinan karena sel itu
berhenti pada siklus sel tanpa mengalami mitosis sel.
Mekanisme yang mengatur hipertrofi jantung melibatkan paling sedikit dua macam
sinyal: pemicu mekanis, seperti regangan; dan pemicu trofik, seperti aktivasi reseptor α-
adrenergik. Selain itu hipertrofi juga didukung dengan berbagai aktivasi growth factor
(TGF-β, insulin-like growth factor-1, fibroblast growth factor) serta agen vasoaktif(agonis
α-adrenergik, endothelin-1, angiotensin-II).
Hipertrofi memiliki dua jenis, yaitu hipertrofi fisiologis yang melalui jalur
Phosphoinositide 3-kinase/Akt, dan hipertrofi patologis yang melalui jalur mekanisme
signaling downstream of G protein-coupled receptors.
Apa pun mekanisme yang menyebabkan hipertrofi, akan tercapai suatu batas yang
pembesaran massa ototnya tidak lagi dapat melakukan kompensasi untuk peningkatan
beban; pada kasus jantung, dapat terjadi gagal jantung. Pada stadium ini, terjadi sejumlah
perubahan “degeneratif” pada serabut miokardial, yang terpenting di antarnya adalah
fragmentasi dan hilangnya elemen kontraktil miofibrilar. Faktor yang membatasi

13
berlanjutnya hipertofi dan menyebabkan perubahan regresif belum sepenuhnya dipahami.
Mungkin terdapat vaskularisasi dalam jumlah yang terbatas untuk menyuplai secara
adekuat serabut yang mengalami pembesaran, untuk menyupai ATP, atau fungsi
biosintesis untuk menunjukkan protein kontraktil atau unsure sitoskeleton lain.
3. Mekanisme Hiperplasia
Rangsangan yang menginduksi hiperplasia bisa fisiologis atau patologis. Hiperplasia
fisiologis dapat terjadi sebagai hasil stimulasi hormonal, peningkatan kebutuhan
fungsional, atau sebagai mekanisme kompensasi. Pembesaran payudara dan uterus selama
kehamilan adalah contoh dari hiperplasia fisiologis yang distimulasi estrogen. Contoh lain
adalah kebutuhan hormon paratiroid yang meningkat, seperti pada kasus gagal ginjal
kronis, akan menyebabkan hiperplasia kelenjar paratiroid. Selain itu proses regenerasi dari
hati yang terjadi setelah hepatektomi parsial (pengambilan parsial hati) adalah contoh dari
hiperplasia kompensasi. Dalam penyembuhan luka, hyperplasia jaringan ikat juga
mekanisme yang sangat penting untuk berkontribusi dalam proses penyembuhan.
Meskipun hipertrofi dan hiperplasia adalah dua proses yang berbeda, mereka mungkin
terjadi bersamaan dan sering dipicu oleh satu pemicu yang sama. Contohnya adalah pada
uterus ibu saat proses kehamilan akan mengalami baik hipertrofi dan hiperplasia akibat
stimulasi estrogen.
4. Mekanisme Metaplasia
Sebagian besar bentuk hiperplasia patologis disebabkan karena stimulasi hormon atau
efek dari faktor pertumbuhan yang berlebihan. Produksi hormon estrogen yang berlebihan
dapat menyebabkan endometrium dan perdarahan haid yang tidak normal. Benign prostatic
hyperplasia, yang merupakan gangguan umum pria berusia lebih tua dari 50 tahun, diduga
terkait dengan tindakan sinergis estrogen dan androgen. Kutil pada kulit adalah contoh lain
hiperplasia disebabkan oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh human papilloma
virus.
5. Mekanisme Displasia
Secara patologis keadaan displasia bukan merupakan proses adaptif ataupun suatu
neoplastik dan disebabkan oleh iritasi atau peradangan menahun. Ciri khas displasia adalah
hilangnya orientasi sel, sel berubah bentuk dan ukuranya, ukuran dan bentuk inti berubah,
hiperkromatik dan gambaran mitosis lebih banyak daripada normal. Contoh displasia epitel

14
skuamosa berlapis pada serviks uteri adalah sel epitel skuamosa berlapis pada serviks
menebal, disorientasi epitel skuamosa , dan gambaran mitosis yang abnormal. Keadaan
displasia sel juga dijumpai sel epitel traktus respiratorius yang mengalami metaplasia
skuamosa. Sel displasia secara hispatologis nampak disorganisasi sel, mitosis abnormal,
nucleus hiperkromasi dan sel pleomorfisme dimana tingkatan dysplasia terdiri dari ringan,
sedang, berat dan carcinoma in situ. Displasia tidak selalu berubah menjadi tumor ganas
karena jika penyebab displasia disingkirkan, sel epitel akan(reversibel).Sel dalam proses
metaplasia berkepanjangan tanpa mereda dapat mengalami ganguan polarisasi
pertumbuhan sel reserve, sehingga timbul keadaan yg disebut displasia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
15
1. Terdapat dua sistem proteolitik yang menjalankan degradasi sel yang akhirnya berujung
pada atrofi sel, yaitu diperankan oleh lisosom dan adanya jalur ubiquitin-proteasom.
2. Mekanisme hipertrofi disebabkan oleh induksi berupa sensor mekanis,  growth factors,
dan beberapa gen vasoaktif. Terdapat dua jalur pada mekanisme hipertrofi, yaitu
Phosphoinositide 3-kinase/Akt dan signaling downstream of G protein-coupled receptors.
3. Mekanisme hiperplasia disebabkan oleh peningkatan aktifitas growth factor dan aktivasi
lintasan signal intraseluler yang menyebabkan peningkatan produksi faktor transkripsi
sehingga memicu aktivasi gen-gen seluler dan kemudian berproliferasi sel matur.
4. Mekanisme metaplasia dimulai dari pemrograman ulang stem cells yang sudah ada signal
stimuli sitokin, GF, komponen matriks ekstraseluler, diferensiasi stem cell dan melibatkan
gen-2 pengatur diferensiasi.

B. Saran
Tubuh manusia terdiri dari satuan dasar hidup yang disebut sel. Sel merupakan unit
fungsional terkecil dalam suatu organisme. Sel-sel yang memiliki asal embrionik atau fungsi
yang sama akan membentuk suatu organisme yang memiliki fungsional lebih besar yaitu
jaringan. Jaringan ini akan bergabung untuk membentuk struktur tubuh dan organ-organ.
Meskipun sel-sel di setiap jaringan dan organ memiliki variasi struktur dan fungsi yang
berbeda, ada beberapa karakteristik umum yang dimiliki semua sel.
Semoga makalah ini dapat menjadi salah satu referensinya, baik sebagai acuan dalam
pembelajaran, ataupun sebagai pedoman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Crowin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: ECG.

16
2. D’amico AV, McKenna WG. Apoptosis and re-investigation of the biologic basis of cancer
theraphy, radiotherapy and ancology, 1994; 33: 3-10
3. Kumar V, Cotran R.Z, Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi7. Jakarta: ECG.
4. Porth, C, Mattson.2006. Essential Concepts of Disiase Processes and Altered Health States.
Publisher:Lippincott Williams & Wilkins: 2 edition
5. Saleh, S. 1973. Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Oral Medicine Departement, Faculty of Dentistry, Universitas Airlangga, Surabaya,
Indonesia Correspondence, Rina Kartika Sari, Oral Medicine Departement, Faculty of
Dentistry, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Indonesia, Jln Kaligawe Raya KM 4,
Genuk, Semarang, Indonesia 50112. Email: rina.kartika@unissula.ac.id

17

Anda mungkin juga menyukai