Anda di halaman 1dari 3

PEMERINTAH telah menetapkan pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian negara,

dengan target wisatawan mancanegara (wisman) 20 juta orang di tahun 2019. Besarnya target
wisman, menuntut kesiapan banyak hal mulai dari infrastruktur, tempat tujuan wisata, jaminan
keamanan, hingga sumber daya manusia. Seiring dengan meningkatnya industri pariwisata,
keamanan pangan menjadi bagian yang kian menuntut perhatian serius. Jumlah wisman yang
datang berkunjung ke Indonesia tumbuh lebih dari 30 persen dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan data BPS, jumlah wisman yang tercatat masuk ke Indonesia mencapai lebih dari 9
juta orang (2014), mayoritas berasal dari Asia. Terbanyak adalah wisatawan dari Singapura,
Malaysia, dan Australia. Bila dilihat asal negara, wisman dari RRC pertumbuhannya paling
tinggi (97,45 persen) dibanding dari negara-negara lain. Rata-rata lama tinggal wisman adalah
7,66 hari (2014). Pengeluaran rata-rata wisman per kunjungan di Indonesia (2014) sebesar
1.183,43 dollar AS, sebagian besar untuk akomodasi dan makanan-minuman (64,15 persen).
Semakin lama tinggal dan semakin banyak wisatawan membelanjakan uangnya, semakin
bergerak perekonomian di daerah yang dikunjungi. Faktor keamanan merupakan hal sangat
penting dalam kepariwisataan, bukan hanya keamanan dalam kaitannya dengan konflik politik,
tetapi juga bencana alam dan keamanan pangan. Makanan-minuman merupakan kebutuhan
pokok dan menjadi pos pengeluaran terbesar kedua setelah akomodasi. Dengan demikian,
perkembangan kepariwisataan akan berpengaruh terhadap perkembangan usaha makanan-
minuman.
Perkembangan usaha makanan-minuman Seiring dengan perkembangan pariwisata, usaha di
bidang makanan-minuman juga berkembang pesat. Pada Triwulan II -2016 misalnya,
dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya pertumbuhan industri makanan dan
minuman mencapai 8,22 persen. Pada periode yang sama, kontribusi industri makanan-minuman
terhadap PDB sektor industri manufaktur non-migas juga tumbuh 33,27 persen. Pada tahun 2013
terdapat 2.269 usaha restoran/rumah makan di Indonesia berskala menengah-besar, 27,91 persen
di antaranya tidak berbadan hukum, dan 72,88 persen dari jumlah tersebut merupakan restoran
non-waralaba. Rata-rata pendapatan per tahun restoran menengah-besar itu mencapai lebih dari 4
miliar rupiah, umumnya (72,74 persen) berpendapatan antara 1 sampai kurang 5 miliar rupiah
per tahun. Data tersebut belum termasuk usaha katering, yang saat ini tidak hanya terdapat di
kota besar tetapi juga di desa. Di luar itu, terbanyak adalah usaha makanan-minuman skala
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM selama ini bahkan menyumbang sekitar 60
persen PDB. Keamanan makanan Pengolahan bahan pangan menjadi makanan siap konsumsi
memiliki mata rantai yang cukup panjang, mulai dari produksi bahan baku hingga
pendistribusian makanan siap konsumsi. Setiap tahap berpotensi mencemarkan bahan pangan
dan makanan-minuman yang dihasilkan. Penyediaan makanan-minuman yang berbahaya bagi
kesehatan akan berpengaruh buruk terhadap kepariwisataan. Kasus keracunan makanan masih
banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, karena masih rendahnya mutu pengawasan
produksi olahan pangan.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), selama periode 2010-2014 angka
keracunan makanan di Indonesia mencapai 1.218 kasus. Catatan berdasarkan laporan masyarakat
dan pemberitaan, kasus keracunan berawal dari konsumsi terhadap makanan rumah tangga,
makanan katering, jajanan pasar dan sekolah. Dari Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI)
pada 2014, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) menemukan fakta
bahwa setiap tahun ada sekitar 200 laporan kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di
Indonesia. Pada awal tahun 2016 di Sukabumi terjadi 4 kasus keracunan makanan dengan jumlah
korban lebih dari seratus orang, seorang di antaranya meninggal dunia. Pada tahun sebelumnya
(2015) keracunan makanan di daerah tersebut mencapai 16 kasus, dan menempatkan Kabupaten
Sukabumi sebagai yang tertinggi di Indonesia dalam jumlah kasus keracunan makanan. Hingga
Juni 2016 di Indonesia tercatat 60 kasus keracunan makanan dengan jumlah korban 4.282 orang,
32 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah korban keracunan setengah tahun ini hampir
menyamai jumlah korban keracunan tahun 2015 (5761 korban, 31 orang di antaranya
meninggal). Oktober 2016, artis Sissy Priscillia berbagi cerita lewat akun instagramnya, bahwa
ia keracunan setelah menyantap masakan di sebuah restoran di Jakarta. Marc Marquez, pembalap
motor asal Spanyol, pernah diberitakan mengalami gastroenteritis setelah menyantap makanan
tertentu di Indonesia. Gastroenteritis adalah kondisi medis yang ditandai dengan peradangan
pada saluran pencernaan (lambung dan usus halus), sehingga mengakibatkan kombinasi diare,
muntah, sakit dan kejang perut. Awal Juli 2016 bek andalan Manchester United, Chris Smalling,
keracunan makanan saat berlibur di Bali. Ia sempat pingsan dan dirawat di rumah sakit.
Menurut hasil pemetaan kasus keracunan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Bali masuk lima besar kasus keracunan yang terjadi di Indonesia selama
2010-2015. Padahal Bali merupakan daya tarik utama bagi wisman yang berkunjung ke
Indonesia. Kenyataan tersebut merefleksikan sistem keamanan pangan di Indonesia belum
sepenuhnya terjaga. Untuk menjamin keamanan makanan, pemerintah perlu lebih gencar dan
ketat mengawasi setiap tahap pengadaannya, sekaligus melakukan pembelajaran tentang
keamanan pangan. Wisata Kuliner Dalam kepariwisataan sendiri berkembang konsep wisata
kuliner dengan salah satu tawarannya adalah makanan tradisional (khas daerah). Makanan-
minuman yang sehat, sesuai selera, tampilan dan kemasan menarik/unik, bisa menjadi suvenir
alternatif bagi turis. Misalnya gudeg kendil, kopi dalam kotak batik atau berukir motif lokal,
manisan atau dodol dalam anyaman pandan. Masalahnya, penyediaan makanan khas daerah
melibatkan produsen lokal tingkat industri rumah tangga yang belum semuanya mempunyai
standar produksi. Sebuah survei yang dilakukan tahun 2009 terhadap 1.504 industri rumah
tangga pangan (IRTP) di 18 provinsi menunjukkan bahwa hanya 24,14 persen IRTP yang
mampu menerapkan cara produksi pangan dengan baik. Sementara itu, 51,06 persen masih
memerlukan pendampingan. Pada umumnya, kesan seseorang terhadap suatu hal berawal dari
kontak mata, telinga, penciuman, indera perasa. Untuk makanan-minuman, perlu diperhatikan
juga akibatnya terhadap tubuh. Kenangan buruk tentang suatu hal dapat membuat orang kapok,
tidak ingin mengulang. Sebagaimana terjadi pada sebuah restoran di Jepang pada Juni 2016.
Keracunan dialami oleh 14 orang setelah menyantap masakan di restoran berbintang Michelin,
Tokyo.

Padahal, restoran tersebut telah mengadopsi standar internasional untuk menjaga kualitas
produknya. Restoran tersebut terpaksa ditutup beberapa hari setelah peristiwa keracunan itu.
Selain akomodasi, restoran dan sejenisnya merupakan sektor usaha yang berkaitan langsung
dengan kepariwisataan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi para wisatawan, melibatkan
banyak pihak dan pelaku usaha. Mengingat pentingnya peran penyedia pangan dalam
kepariwisataan dan sifat sensitif dari kepariwisataan terhadap isu negatif, maka pengawasan
terhadap penyediaan atau produksi makanan-minuman perlu lebih intensif dilakukan.
(LITBANG KOMPAS/F ISTIYATMININGSIH)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Keamanan Pangan dalam Industri
Pariwisata",
https://travel.kompas.com/read/2016/12/09/204839027/keamanan.pangan.dalam.industri.pariwis
ata.

Anda mungkin juga menyukai