Anda di halaman 1dari 13

Warning : Geologist in the Field !

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua

Entah kenapa, makhluk halus terkutuk itu seolah-olah selalu membayangi saya

dan teman-teman kemana pun kami pergi. Tidak cukup dengan menakuti satu

orang, sering kali mereka melakukan gangguan teror menyeramkan ke beberapa

orang sekaligus. Mungkin sedang kejar tayang memenuhi target kali ya, atau

mungkin di antara mereka, bagi yang paling banyak meneror manusia akan

disegani oleh setan lainnya dan dianugerahi gelar kehormatan ‘setan preman’.

Saat itu kami sedang melakukan kegiatan Kuliah Lapangan yang biasa kami

singkat dengan KL. KL ini adalah kegiatan kuliah wajib yang harus diambil

sebagai syarat mahasiswa untuk dapat melakukan Tugas Akhir dan KKN.

Bertempat di sebuah Kampus Lapangan Geologi di Bayat-Klaten, kami

menghabiskan waktu sekitar 6 hari untuk mempelajari teknik-teknik pemetaan

geologi yang baik dan benar. Setelah itu kami akan dilepas untuk menjalankan

pemetaan geologi mandiri seluas 20 km 2 di daerah yang sudah ditentukan

sebelumnya secara peorangan. Hari-hari di Kampus Lapangan Geologi bisa

dibilang hari-hari penyiksaan yang tidak kalah mengerikan bila dibandingkan

dengan Pengenalan Geologi Lapangan (beruntung kami sudah sukses di-godok

oleh PGL). Bedanya, Kuliah Lapangan bersifat lebih intelek, maksudnya lebih

menyiksa kami dari sisi keilmuan walaupun yang namanya beban fisik karena

mesti kembali naik-turun bukit setiap hari adalah konsumsi wajib. Selain deraan

fisik dan mental, ada sesuatu lain yang juga sangat kami khawatirkan; gangguan
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !

setan dan makhluk halus sebangsanya. Kampus Lapangan ini memang sedari dulu

terkenal dengan keangkerannya, terbukti dengan bejibun-nya penampakan di sini

setiap tahunnya. Tidak hanya anak-anak geologi yang mengalaminya, mahasiswa

jurusan Geofisika, Geografi, Sipil, Biologi, Arkeologi dan berbagai jurusan dari

berbagai universitas lain yang menginap di sini pun memperoleh gangguan yang

sama. Berbagai dukun dari berbagai daerah dan memiliki berbagai tingkat

kesaktian hewes-hewes pun tidak ada yang berhasil mengusir keberadaan

makhluk-makhluk ini sampai sekarang. Karena itu, sudah jamak di saat

rombongan baru mahasiswa kampus lapangan tiba, secepat kilat begitu turun dari

bis mereka akan berebutan berlari ke barak mencari tempat tidur yang berlokasi di

bawah, atau malahan berharap masih dapat tempat di pojok (karena kalo ada apa-

apa bisa putar menghadap ke tembok sambil tutup mata tutup telinga, he). Posisi-

posisi yang ‘menantang bahaya’ seperti tempat tidur di tingkat atas atau

pinggir dekat ventilasi udara ke WC belakang selalu dihindari (walaupun mau

tidak mau lokasi itu harus ditempati oleh peserta yang paling sial, yang kebagian

tempat paling akhir). Bukan apa-apa, bagi yang menempati tempat di atas, konon

menurut cerita senior, sering kali lewat potongan tangan ataupun kepala yang

melayang nyelonong begitu saja tanpa permisi. Karena banyak dibekali cerita

horor itu lah, saat kami mengerjakan tugas beramai-ramai di ruang makan tidak

akan ada seorang pun yang berani balik sendirian walau sekedar mengambil alat

tulis yang tertinggal di barak, padahal waktu masih menunjukkan pukul 8 malam

dengan barak yang hanya berjarak 30 meter saja!

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

Kurang ajarnya, makhluk-makhluk halus ini tidak pernah mengganggu di saat

tubuh dan pikiran kami masih fit. Jadi, setelah lelah mendera tubuh karena setiap

hari berjalan kaki naik-turun bukit dan malam harinya di-recokin dengan laporan

dan tugas hingga pukul satu dini hari, barulah para makhluk gentayangan itu

beraksi. Saya ingat betul bahwa bahwa malam itu adalah malam ketiga ketika

kami yang sudah mulai kelelahan fisik ini merasa heran. “Kok sampai malam

ketiga gini belum ada yang mengganggu ya?”, demikian kata teman-teman. Mulai

lah jahil-nya para mahasiswa geologi kumat. Si Ardin, mengikat sebuah selimut di

bagian ujungnya (selimut kami saat itu persis seperti selimut khas rumah sakit;

tipis, putih bergaris abu-abu) lalu dengan santainya dikenakan di kepala menutupi

seluruh tubuh dan langsung mengendap-endap ke WC belakang. Oh ya, tempat

paling seram di sini adalah WC belakang barak C dan D dimana di situ terletak

beberapa cermin yang berukuran gede. Seringkali, saat kita bercermin itulah

muncul bayangan hantu yang menyeringai. Jadi, yang namanya bercermin malam

hari adalah hal yang pantang bagi kami, kecuali jika kepepet perlu saja. Itu pun

hanya sekian detik saja kami merapikan rambut, set set set… selesai. Tidak ada

satu pun yang berani misalnya memencet jerawat atau mengatur gaya rambut

dengan pomade berlama-lama di depan cermin. Ardin lalu berjingkat-jingkat

mendekati Husen yang sedang asyik bercermin, mengendap-endap dan

bwaaa…!!!, teriakan Husen mengagetkan kami semua dari barak A hingga D.

Sadar bahwa pocong itu hanya si Ardin yang menyaru, Husen berang dan dikejar

lah pocong jejadian itu yang segera lari menyelamatkan diri. Riuh-rendah tawa

berderai mulai dari barak ujung ke ujung, dan sementara waktu lupa lah kami

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

akan ketakutan gangguan hantu di kampus ini. Eits, nanti dulu, ternyata ini adalah

awal mula datangnya gangguan beruntun dari serombongan makhluk halus ke

angkatan kami. Malam itu Husen yang menempati tempat tidur di tingkat atas,

tepat di seberang tempat tidur Ardin, terbangun. Masih terbuai akan rasa kantuk

yang mendera, dia seolah-olah melihat selimut yang dikenakan Ardin sebelumnya

sudah tergantung di dinding. Dalam posisi berdiri dengan ikatan di atas, Husen

menyangka ada yang iseng menyangkutkan selimut itu di paku dinding sehingga

dia pun melanjutkan tidurnya. Pagi harinya, Ardin terbangun dan merasa kaget

karena selimut yang dia gunakan sudah berbalik arah. Ikatan pocongan yang dia

kenakan di bagian kaki, sudah berubah posisi pindah ke bagian kepalanya.

Menyangka dia sendiri yang memindahkan posisi selimut dalam kondisi

mengantuk, Ardin pun tidak banyak bertanya-tanya.

Hari berlalu dengan cepatnya ketika sore itu kami tiba kembali di kampus

lapangan. Selesai makan malam dan sholat Isya, kami kembali disibukkan dengan

tugas-tugas laporan yang berhamburan. Denting mesin ketik pun membahana di

seluruh ruangan makan. Sebagian rekan masih berkumpul di depan barak A putra

yang bersebelahan dengan barak khusus putri. Tiba-tiba rekan kami si Ina

nyeletuk : “Eh, pada nyium bau wangi ga?”. Spontan teman-teman yang ada di

situ pun pada memonyongkan mulutnya sambil penasaran mengendus-endus bau

yang ada. Benar juga sih, saat itu memang santer tercium bau wangi mirip-mirip

pandan. Sadar bahwa bau pandan itu mungkin berasal dari dapur yang sedang

menyiapkan makan pagi buat esok hari, kami pun tidak meneruskan pembicaraan.

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

Malam berlalu dengan damai dan kami tidur begitu lelapnya sampai baru tersadar

esok paginya.

Matahari pagi bersinar lembut dengan hangatnya diiringi lantunan asyik

Sometimes-nya Britney Spears dari tivi ruangan saat kami menyadari bahwa

sarapan pagi saat itu sama sekali tidak ada yang menggunakan bumbu pandan

sebagai pewangi. Terlebih lagi, saat kami menanyakan ke ibu koki, dengan penuh

yakin si ibu berkata bahwa tidak ada satupun yang memasak malam itu karena

persiapan sarapan dan bungkus untuk makan siang selalu dimulai pukul tiga

subuh. Saat itu pula si Agung, demikian kami memanggil rekan kami satu itu,

sudah semalaman sakit dan hari itu diputuskan untuk membawanya ke Rumah

Sakit terdekat di Klaten. Tubuhnya menggigil demam, panas namun merasa

kedinginan. Dengan kondisi tubuh yang lemah, dia pun dibawa dengan mobil

jurusan untuk berobat. Kami pun lalu berangkat ke lapangan seperti biasa di pagi

itu. Sedikit merinding dengan bau wangi yang tak berasal-usul itu, kami baru

menyadari bahwa Elly yang terkenal sebagai tukang omong, saat itu total sama

sekali berubah menjadi pendiam. Oh ya, khusus untuknya, saya memanggil dia

dengan sebutan warig, istilah kata dalam bahasa Banjar yang berarti monyet.

Demikian pula panggilan dia ke saya, hanya sebagai bentuk rasa solider sesama

mahasiswa yang berasal dari tanah Kalimantan. ‘Radio rusak’, adalah julukan

teman seangkatan yang diberikan ke teman satu ini, sekedar untuk

menggambarkan betapa sangat-sangat cerewetnya dia. Tidak peduli suasana apa

pun, selalu saja mulutnya melontarkan pembicaraan yang kadang tak jelas

juntrung-nya, ataupun misuh-misuh tidak sopan. “Tumben kamu diam banget pagi
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !

ini El”, sapaku ramah. Saya tidak meneruskan pembicaraan karena dia hanya

melengos diam dan meneruskan berjalan dengan regunya. Mungkin lagi bete,

kecapekan, begitu pikir saya. Baru malam harinya saya tahu cerita di balik

diamnya Elly itu. Siang harinya saat istirahat makan siang di puncak Pendul, si

Salman, yang notabene adalah teman seregunya mencoba merayu Elly untuk

menceritakan apa sih masalahnya. Lama dirayu, berceritalah si Elly dengan nada

pelan, bahwa malam sebelumnya dia tidur dengan nyenyaknya karena kelelahan.

Tahu-tahu, dia yang tidur dengan posisi miring, terbangun dan merasa dicolek-

colek bahunya. Dia pun spontan membalikkan badannya dan jreeeennnggg…..!!,

tampak jelas wajah hantu pocong yang sedang menyeringai di pinggir tempat

tidurnya. Pemandangan itu berlangsung beberapa saat, dan tentu saja Elly tidak

bisa berkata apa-apa. Jangankan berkata-kata, mencoba untuk berteriak

membangunkan teman di sebelah juga tidak bisa karena lidah kelu tidak karuan.

Siksaan itu berakhir di saat dia kembali jatuh terlelap, entah tidur entah pingsan,

dan baru tersadarkan diri esok paginya!

Tambah seru saja suasana malam itu ketika kami mengetahui bahwa ternyata

Najef pun mengalamai hal yang serupa. Hanya bedanya, Najef yang lahir dan

besar di desa terpencil di Muntilan ini tidak begitu terpengaruh akan godaan itu.

Mungkin Najef sudah biasa menghadapi hal-hal mistis begitu di kampungnya

sehingga melihat rupa si pocong menyeringai, dia hanya melengos dan kembali

membalikkan badannya seperti semula untuk kembali terlelap meneruskan

tidurnya. Berbagai cerita seram pun bertebaran dari berbagai rekan yang lain

sehingga suasana tambah mencekam. Bahkan, di saat matahari sudah muncul pun
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !

kami masih dicekam ketakutan. Pukul 06.00 pagi hari, dan tidak ada satu pun

yang berani menunaikan sholat dhuha di musholla belakang. Gara-garanya

beberapa kali teman yang sholat sendirian di situ memperoleh makmum ghaib,

yang ikut dengan lantangnya mengamini bacaan Fatihah kita namun hanya

tampak punggungnya saat imam sujud. Salah satu cerita paling seru adalah saat

rekan kami yang cukup ‘gemulai’, Rafi, berjalan ke belakang barak D untuk

mengambil wudhu dalam rangka menunaikan sholat Isya. Saat itu sekitar pukul

satu dinihari, dan Rafi yang baru saja menyelesaikan tugas lapangan malam itu

beranjak ke WC belakang untuk mengambil wudhu. Bangunan di belakang tiap

barak berbentuk letter U, dengan kamar mandi dan WC di sekeliling dan tempat

pancuran air untuk wudhu dan mencuci di berada tengah. Rekan-rekan lain sudah

pada tertidur lelap saat Rafi melangkahkan kakinya dari sisi kiri dan sudah

terlanjur melihat seorang wanita berpakaian putih berada di dalam WC di sisi

ujung kanan. Berlagak berani dan memegang prinsip ‘beda dunia beda

kepentingan dan tidak saling mengganggu’, dia meneruskan langkah ke tempat

wudhu tanpa menoleh lagi ke arah WC itu. Saat membasuh hidung dan muka,

angin dingin serta-merta menerpa tengkuk dan dari kejauhan Rafi melihat wanita

tadi melayang rendah mendekatinya. Posisi terakhir hantu berbaju putih itu adalah

benar-benar di sisi kanannya persis, hanya berdiri tegak mematung tanpa

bersuara! Rafi hanya bisa meneruskan wudhu sambil bergidik ngeri. Memang sih

dia tidak dapat menyaksikan wajah seram empunya setan itu karena posisinya

sengaja dibuat terus membungkuk. “Tapi aku liat jari-jarinya setan itu, sudah

kurus hanya kulit berbalut tulang, warnanya hitam lagi dengan kuku yang panjang

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

dan runcing-runcing!”, ceritanya dengan penuh semangat. “Trus kamu ngapain

Fi?”, sambungku penasaran. “Aku tetap saja nerusin wudhu, sambil terus

mbungkuk biar ga liat wajahnya. Begitu selesai, aku langsung ngeloyor balik kiri

sambil ngucapin salam, beres kan?”, imbuhnya kocak.

Serangkaian acara Kuliah Lapangan angkatan kami pun akhirnya selesai dan

kembali ke kampus untuk segera bersiap-siap melakukan pemetaan mandiri ke

berbagai daerah yang sudah ditentukan lewat undian sebelumnya. Cerita seram

masih saja membayangi kami akan sangar-nya Kampus Lapangan Geologi itu.

Terlebih, saat sudah berada di kampus, si Agung yang saat itu sakit dan dilarikan

ke dokter dan divonis dehidrasi berkata : ”Dehidrasi apaan, lah aku malam itu

dibangunkan dan ditarik-tarik bahuku kayak mau dijatuhkan ke lantai dari tempat

tidur sama tangan yang sama sekali nggak kelihatan. Aku setengah mati ngelawan

supaya tidak jatuh, eh malahan jadinya demam !”. Hiiiiiii…….., ampun deh.

Usai Kuliah Lapangan, hanya selang seminggu kemudian masa pemetaan mandiri

pun tiba. Tiap anak diberi tugas untuk melakukan pemetaan mandiri dengan area

seluas kurang-lebih 20 km2. Daerahnya saat itu terhampar memanjang dari

Parangtritis hingga Wonogiri, terbagi melalui undian tentu saja. Yang

memperoleh lokasi di Parangtritis tentu saja lebih enak, karena bisa nglaju dari

Yogya. Sementara yang berlokasi di Klaten hingga lebih jauh ke timur, tentu saja

harus membuat camp sementara di rumah penduduk. Kelompok saya

beranggotakan saya sendiri, Erwin, Anugrah, Riza dan Yanu. Kami berlima,

kebetulan saja mendapat lokasi di sekitar Bayat lagi sehingga kami memutuskan

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

untuk nge-camp di rumah Pak Surat, sekretaris desa baik nan ramah yang

rumahnya berlokasi di dekat Pesarean Sunan Bayat di lereng Gunung Jabalkat

yang terkenal super mistis. Lokasi para peserta seregu memang dibuat berdekatan

oleh para dosen (walaupun kategori dekat di sini adalah jarak 4 kilometer), petak

peta yang harus dijelajahi rata-rata memiliki daerah overlap sekitar 20%-nya dari

peta teman seregu. Dari sini, strategi pemetaan mandiri efektif pun kami atur.

Biasanya, kami melakukan pemetaan geologi dengan jalan berbarengan di daerah

yang overlap tersebut untuk pemanasan dan menyamakan persepsi, setelah selesai

baru kami memisahkan diri. Ada juga yang mengambil cara lain, menyelesaikan

satu lokasi secara berbarengan dan kemudian kembali keroyokan menyelesaikan

pemetaan di lokasi teman satunya. Cara ini biasanya kami ambil jika mempunyai

rekan seregu wanita yang tentu agak riskan bila dibiarkan berjalan sendirian di

hutan. Sebagian lain, terutama cowok-cowok pemberani, memilih solo mapping

menyelesaikan sendiri daerah pemetaan sebagai kewajibannya. Tentu saja saat ke

lokasi, selalu kami sempatkan untuk melewati jalur favorit di pinggiran sungai

waktu pagi saat berangkat dan sore hari saat hendak kembali. Apa lagi tujuannya

jika bukan hendak menikmati pemandangan indah dari gadis-gadis desa yang

sedang mandi di pinggir sungai. Jaman saya dahulu itu, jika bertemu atau

berpapasan dengan gadis desa yang manis-manis, biasanya saat kita goda mereka

akan tersenyum tertunduk malu. Jika mereka berjalan berdua atau bertiga, tak

jarang mereka tertawa kecil sambil saling mencubit pinggang satu sama lain.

Pokoknya rasanya indah dan damai gimanaaa begitu, susah untuk dilukiskan

dengan kata-kata. Kalau jaman sekarang, ketemu gadis desa dan kita godain, pasti

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

mereka akan balas goda dengan gaya super genit. Atau malahan, lebih parah lagi,

kita duluan yang digoda mereka. Maklumlah, pengaruh sinetron-sinetron cengeng

tak bermutu di televisi sudah merambah hingga ke pelosok-pelosok desa.

Namanya undian sering kali memang terasa tidak adil; shit happens, mengutip

kata Rick Allen, drummer Def Leppard saat kehilangan tangan kirinya. Yang

kebagian medan pemetaannya ringan dan banyak terdapat rumah penduduk tentu

saja sangat beruntung. Apalagi dapat komposisi litologi serta struktur geologi

yang sederhana, tentu lebih bersyukur lagi. Lain ceritanya jika petak peta anda

berlokasi di medan berbukit tanpa akses jalan setapak dan hanya ada satu

kampung, itu pun di pinggir peta. Lokasi saya sendiri terbilang sedang, secara

litologi dan struktur tidak berat tapi di pojok kiri peta terdapat sebuah puncak dari

bukit Batur Agung yang memiliki tinggi 700 m di atas permukaan laut. Untuk

menyajikan peta lintasan yang baik, saya harus kembali menuju bukit itu untuk

kedua kalinya setelah sebelumnya saat kuliah Geomorfologi-KL kami

memerlukan waktu 4 jam lebih trekking lereng 650 hanya untuk mencapai

puncaknya!

Sepeda motor saat itu hanya ada dua buah, sehingga saya yang membawa motor

harus mengantar rekan lain dahulu baru selanjutnya menuju lokasi saya.

Pulangnya sesuai kesepakatan, biasanya janjian untuk menunggu di pos kamling

pinggir jalan pada jam tertentu. Bila jam yang disepakati tidak muncul berarti

dianggap pulang sendiri dengan bis atau angkudes atau ojek, dan jika sedang

beruntung bisa menumpang gratis truk sapi yang banyak hilir-mudik. Handphone

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

adalah barang mewah bagi mahasiswa saat itu dan dalam angkatan kami hanya

tiga orang saja yang memilikinya, jadi komunikasi sangatlah terbatas. Saat-saat

menegangkan bagi kami adalah bila menjelang malam salah satu rekan belum

muncul. Dipastikan yang ada di benak kami pasti lah hambatan tak terduga yang

terjadi di lapangan, mulai dari yang paling seram seperti kecelakaan jatuh di bukit,

tersasar di hutan hingga yang paling ringan seperti kehabisan angkutan sehingga

harus berjalan kaki pulang. Namun, mau alasan apa pun, tetap saja kami harus

segera pergi mencari. Yang paling membuat kami dongkol adalah saat si Riza

terlambat pulang hingga tiba di camp pukul 18.30 malam. Kami yang sudah

cemas dan akan menyusun rencana pencarian, hanya bisa memendam dendam.

Ternyata Riza ini terlambat pulang bukan karena kelamaan pemetaan di hutan,

melainkan sedari pagi sudah berada di rumah seorang nenek yang asyik

mengajaknya ngobrol hingga sore hari. Tak lupa tentu saja, dia selalu disuguhi

berbagai macam makanan dan cemilan khas desa yang unik dan lezat, membuat

Riza malas melanjutkan pemetaan hari itu. Huh, kesal sekali kami mendengar

ceritanya, sekalian saja dia nikahi cucu nenek tersebut biar tidak usah pulang

beneran.

Pagi itu adalah hari ketiga kami melakukan pemetaan, dan seperti biasa saya

mengantarkan dahulu Anugrah menuju ke jalanan terdekat di pinggir lokasinya.

Kami pun berpisah, dan saya melakukan kegiatan hari itu tanpa ada feeling apa-

apa. Saya pun kembali sore harinya mendapati Anugrah sudah duluan tiba di

rumah dengan tampang tegang. “Tumben dah nyampe Nug? Pantasan tadi nggak

nunggu di tempat biasa”, tanya saya sambil memarkir motor. “Gila deh, kapok
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !

dah gua!”, jawabnya dalam logat Betawi. “Nape emang?”, jawab saya ikut-ikutan

latah pula. Nyerocos-lah dia bahwa hari itu dia pulang cepat karena selama

perjalanan pemetaan merasa diikuti ibu-ibu tua yang aneh. “Lho, bagaimana

maksudnya sih Nug?”, tanya saya bloon. Jadi tuturnya, saat saya mengantarkan

dia pagi itu dengan sepeda motor, Anugrah melihat seorang mbok-mbok tua

berpakaian kebaya khas Jawa berjalan memanggul bakul tertutup kain di

punggungnya. Tampak sedang berjalan sambil meng-inang sirih, dia tidak

memiliki perasaan aneh apapun saat itu. Saya sendiri tidak melihat ibu itu dan

kami katanya hanya melintas cepat menyalip di jalanan saja. Saat dia saya

tinggalkan dan mulai berjalan memasuki jalanan kampung, dia bertemu si ibu tua

itu lagi. Saat itu kembali dia tidak berpikiran macam-macam karena dia pikir ibu

itu penduduk setempat yang pasti hapal jalan potong di sekitar situ. Anugrah pun

meneruskan berjalan dengan cepat menuju puncak sebuah bukit kecil yang

terhampar di hadapannya. Siang hari dia baru selesai melakukan pemetaan dan

istirahat di puncak bukit itu sambil makan siang. Sedang enak-enaknya makan,

eeh tampak ibu tua itu lewat lagi di hadapannya santai tanpa ekspresi sedikit pun.

Well, oke lah jika fisik ibu itu kuat karena terbiasa ditempa oleh medan terjal

perbukitan dari sejak kecil sehingga nafasnya tampak tetap teratur dan tenang.

Tapi, berapa sih kecepatan rata-rata seorang nenek renta saat berjalan mendaki

bukit? Rata-rata kecepatan kami berjalan di medan datar adalah 5-6 kilometer per

jam dan 3-4 kpj di medan berlereng sedang. Rasanya sulit membayangkan ibu

setua itu dengan cepatnya dapat menyusul karena jalan setapak di bukit yang

dilewati adalah jalan satu-satunya di situ.

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua


Warning : Geologist in the Field !

Matahari sudah sedikit tergelincir di atas kepala ketika perasaan Anugrah menjadi

sangat-sangat tidak enak (katanya sih begitu, padahal aslinya sih pasti takut ya).

Bungkusan makan siang tidak dia habiskan dan sesegera mungkin meluncur turun

ke bawah bukit untuk kembali karena sudah kehilangan mood pemetaan hari itu.

Mengambil arah jalanan turun yang sama, Anugrah segera menyalip ibu tua itu

secepat mungkin dan dalam tempo satu jam sudah tiba dan beristirahat di pinggir

jalan sambil menunggu Angkudes lewat. Tidak lama dia pun sudah berada di

dalam angkudes menuju camp dan sangat-sangat terkejut saat dua menit kemudian

melihat ibu tua itu sedang duduk-duduk santai sambil memperhatikan dia dengan

tajam di sebuah poskamling yang hanya setengah kilometer jauhnya dari lokasi

Anugrah menyetop Angkudes tadi!

Moral of The Story :

Menjadi seorang geologist tidak hanya butuh fisik yang kuat, namun juga mental
yang tahan banting.

Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua

Anda mungkin juga menyukai