Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN GGK DENGAN KISTA GINJAL

DI RUANG HD RSUD GENTENG - BANYUWANGI


TAHUN 2020

Oleh :
NAMA : IKKE NAVISAH
NIM : 2019.04.033

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan keperawatan dengan judul GGK DENGAN KISTA GINJAL
di ruang HD RSUD GENTENG - BANYUWANGI
Tahun 2020

Mengetahui:
Mahasiswa

(IKKE NAVISAH)
2019.04.033
Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
A. KONSEP PENYAKIT
1. Anatomi Fisiologi

Ginjal adalah organ ekskresi yang berperan penting dalam mempertahankan


keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan
tubuh/ekstraselular. Ginjal merupakan dua buah organ berbentuk seperti kacang
polong, berwarna merah kebiruan. Ginjal terletak pada dinding posterior
abdomen, terutama di daerah lumbal disebelah kanan dan kiri tulang belakang,
dibungkus oleh lapisan lemak yang tebal di belakang peritoneum atau di luar
rongga peritoneum.
Ketinggian ginjal dapat diperkirakan dari belakang di mulai dari ketinggian
vertebra torakalis sampai vertebra lumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri karena letak hati yang menduduki ruang lebih banyak di
sebelah kanan. Masing-masing ginjal memiliki panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm
dan tebal 2,5 cm. Berat ginjal pada pria dewasa 150-170 gram dan wanita dewasa
115-155 gram.
Ginjal ditutupi oleh kapsul tunikafibrosa yang kuat, apabila kapsul di buka terlihat
permukaan ginjal yang licin dengan warna merah tua. Ginjal terdiri dari bagian
dalam, medula, dan bagian luar, korteks. Bagian dalam (interna) medula.
Substansia medularis terdiri dari pyramid renalis yang jumlahnya antara 8-16 buah
yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya menghadap ke sinus
renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansahenle, vasa rekta dan
duktuskoli gensterminal. Bagianluar (eksternal) korteks. Subtansia kortekalis
berwarna coklat merah, konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat
dibawah tunika fibrosa, melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan
dengan sinus renalis, dan bagian dalam di antara pyramid dinamakan
kolumnarenalis. Mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang
berkelok-kelok dan duktus koligens. Struktur halus ginjal terdiri atas banyak
nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal. Kedua ginjal bersama-sama
mengandung kira-kira 2.400.000 nefron. Setiap nefron biasa membentuk urin
sendiri. Karena itu fungsi dari satu nefron dapat menerangkan fungsi dari ginjal.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama eletrolit) dalam
tubuh terutama dengan menyaring darah, kemudian mereabsorbsi cairan dan
molekul yang masih diperlukan tubuh, molekul dan sisa cairan akan dibuang.
Reabsorbsi dan pembuangan dilakukan mengguanakan mekanisme pertukaran
lawan arus dan kontransport, hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut
urine.
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula
(badan malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran – saluran (tubulus). Setiap
korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang
berada dalam kapsula bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari
arteri aferen, dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori – pori untuk filtrasi
(penyaringan). Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori
dari glomerulus dan kapsula bowman karena adanya tekanan dari darah yang
mendorong plasma darah, filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalam tubulus
ginjal, darah telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri aferen.
Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula bowman. Bagian yang
mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula bowman disebut tubulus konvulasi
proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung henle yang bermuara pada tubulus
konvulsi distal. Lengkung henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan
arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak
mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transport
aktif untuk menyerap kembali glukosa, asa, amino, dan berbagai ion mineral.
Sebagian besar air (97,7%) dalam filtrat masuk kedalam tubulus konvulsi dan
tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal
ke dalam sistem pengumpul terdiri dari : tubulus penghubung, tubulus kolektivus
kortikal, dan tubulus kolektivus medularis.
Tempat legkung henle bersingguan dengan arteri aferen disebut aparatus
juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular.
Juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan
menjadi makin kental disepanjang tubulus dan membentuk urin, yang kemudian
dibawa ke kandung kemih melewati ureter.

2. Definisi
Penyakit gagal ginjal kronik biasanya disertai berbagai komplikasi seperti
penyakit kardiovaskular, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan
di tulang dan otot serta anemia (Rindiastuti, 2017), pada penyakit GGK salah satu
penyebabnya adalah Polikistik Kidney Disease atau sering disebut polikistik
ginjal/kista ginjal.
Penyakit polikistik ginjal merupakan kelainan genetik yang ditandai dengan
adanya banyak kista pada ginjal. Ginjal merupakan suatu organ yang memiliki
fungsi salah satunya menyaring darah terhadap zat-zat yang tidak dibutuhkan
dalam tubuh yang kemudian menjadi suatu produk yang disebut urin. Pada saat
kista mulai berkembang dan membesar pada ginjal maka akan terjadi penggantian
struktur normal ginjal yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal dan pada
akhirnya akan menyebabkan gagal ginjal. Polikistik ginjal dapat juga
menyebabkan kista pada organ-organ lain seperti hati dan pangkreas serta masalah
pada pembuluh darah otak dan jantung. (Price dan Wilson,2015).
Polikistik ginjal merupakan bentuk lain dari kista ginjal. Penyakit kista pada ginjal
merupakan sekelompok heterogen penyakit yang terdiri atas penyakit herediter,
berkembanga tetapi tidak herediter dan didapat (Robins,2010).

3. Klasifikasi
Polikistik memiliki dua bentuk yaitu bentuk dewasa yang bersifat autosomal
dominan dan bentuk anak-anak yang bersifat autosomal resesif. Namun pada
buku lain menyebutkan polikistik ginjal dibagi menjadi dua bentuk yaitu penyakit
ginjal polikistik resesif autosomal (Autosomal Resesif Polycystic Kidney /
ARPKD) dan bentuk penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (Autosomal
Dominant Polycytstic Kidney / ADPKD)
Ginjal Polikistik Resesif Autosomal (Autosomal Resesif Polycystic Kidney /
ARPKD)
1) Anomali perkembangan yang jarang ini secara gentis berbeda dengan dengan
penyakit ginjal polikistik dewasa karena memiliki pewarisan yang resesif
autosomal, terdapat subkategori perinatal, neonatal, infantile dan juvenil.
2) Terdiri atas setidaknya dua bentuk, PKD1 dan PKD2, dengan PKD1 memiliki
lokus gen pada 16p dan PKD2 kemungkinan pada kromosom 2. PKD2
menghasilkan perjalanan penyakit yang secara klinis lebih ringan, dengan
ekspresi di kehidupan lebih lanjut.
Ginjal Polikistik dominan autosomal (Autosomal Dominant Polycytstic
Kidney/ADPKD)
1) Merupakan penyakit multisistemik dan progresif yang dikarakteristikkan
dengan formasi dan pembesaran kista renal di ginjal dan organ lainnya
(seperti : liver, pancreas, limfa)
2) Kelainan ini dapat didiagnosis melalui biopsi ginjal, yang sering menunjukkan
predominasi kista glomerulus yang disebut sebagai penyakit ginjal
glomerulokistik, serta dengan anamnesis keluarga.
3) Terdapat tiga bentuk Penyakit Ginjal Polikistik Dominan Autosomal
 ADPKD – 1 merupakan 90 % kasus, dan gen yang bermutasi terlentak
pada lengan pendek kromosom 16.
 ADPKF – 2 terletak pada lengan pendek kromosom 4 dan
perkembangannya menjadi ESRD terjadi lebih lambat daripada ADPKD
 Bentuk ketiga ADPKD telah berhasil di identifikasi, namun gen yang
bertanggung jawab belum diketahui letaknya.

4. Etiologi
1) Kelainan genetik yang menyebabkan panyakit ini bisa bersifat dominan
maupun resesif. Artinya penderita bisa memiliki 1 gen dominan dari salah satu
orangtuanya atau 2 gen resesif dari kedua orangtuanya.
2) Penderita yang memiliki gen dominan biasanya baru menunjukkan gejala pada
masa dewasa; penderita yang memiliki gen resesif biasanya menunjukkan
penyakit yang berat pada masa kanak-kanak.
3) Etiologi berdasarkan klasifikasi
a) Ginjal Polikistik Resesif Autosomal (Autosomal Resesif Polycystic
Kidney/ARPKD)
Disebabkan oleh mutasi suatu gen yang belum teridentifikasi pada
kromosom 6p. Manifestasi serius biasanya sudah ada sejak lahir, dan bayi
cepat meninggal akibat gagal ginjal. Ginjal memperlihat banyak kista kecil
dikorteks dan medulla sehingga ginjal tampak seperti spons
b) Ginjal Polikistik dominan autosomal (Autosomal Dominant Polycytstic
Kidney/ADPKD)
Diperkirakan karena kegagalan fusi antara glomerulus dan tubulus
sehingga terjadi pengumpulan cairan pada saluran buntu tersebut. Kista
yang semakin besar akan menekan parenkim ginjal sehingga terjadi
iskemia dan secara perlahan fungsi ginjal akan menurun. Hipertensi dapat
terjadi karena iskemia jaringan ginjal yang menyebabkan peningkatan
rennin angiotensin.

5. Patofisiologi
Kedua ginjal membesar dan secara makroskopis menampakkan banyak sekali
kista di seluruh korteks dan medula. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan
bahwa “kista-kista” merupakan dilatasi duktus kolektivus. Interstitium dan sisa
tubutus mungkin normal pada saat lahir, tetapi perkembangan fibrosis inierstisial
dan atrofi tubulus dapat mengakibatkan gagal ginjal
Sebagian besar penderita juga mempunyai kista di dalam hati. Pada kasus-kasus
yang berat, kista dalam hati dapat dihubungkan dengan sirosis, hipertensi porta,
dan kematian karena varises esofagus. Apabila keparahan manifestasi butt
melebihi keparahan manifestasi keterlibatan ginjal, gangguannya disebut fibrosis
hati kongenital. Apakah penyakit polikistik infantil dan fibrosis ban kongenital
merupakan ujung spektrum dari sebuah gangguan tunggal yang berlawanan atau
gangguan autosom resesif tersendiri dengan manifestasi yang serupa, masih harus
tetap ditentukan.
6. Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal polikistik pada dewasa atau penyakit ginjal polikistik dominan
autosomal tidak menimbulkan gejala hingga dekade keempat, saat dimana ginjal
telah cukup membesar. Gejala yang ditimbulkan adalah (Grantham,2011) :
1) Nyeri
Nyeri yang dirasakan tumpul di daerah lumbar namun kadang-kadang juga
dirasakan nyeri yang sangat hebat, ini merupakan tanda terjadinya iritasi di
daerah peritoneal yang diakibatkan oleh kista yang ruptur. Jika nyeri yang
dirasakan terjadi secara konstan maka itu adalah tanda dari perbesaran satu
atau lebih kista.
2) Hematuria
Hematuria adalah gejala selanjtnya yang terjadi pada polikistik. Gross
Hematuria terjadi ketika kista yang rupture masuk kedalam pelvis ginjal.
Hematuria mikroskopi lebih sering terjadi dibanding gross hematuria dan
merupakan peringatan terhadap kemungkinan adanya masalah ginjal yang
tidak terdapat tanda dan gejala.
3) Infeksi saluran kemih
4) Hipertensi
Hipertensi ditemukan dengan derajat yang berbeda pada 75% pasien.
Hipertensi merupakan penyulit karena efek buruknya terhadap ginjal yang
sudah kritis.
5) Pembesaran ginjal
6) Pembesaran pada pasien ADPKD ginjal ini murapakan hasil dari penyebaran
kista pada ginjal yang akan disertai dengan penurunan fungsi ginjal, semakin
cepat terjadinya pembesaran ginjal makan semakin cepat terjadinya gagal
ginjal.
7) Aneurisma pembulu darah otak
Pada penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) terdapat kista
pada organ-organ lain seperti : hati dan pangkreas.
Gejala lainnya :
1) Pada anak-anak, penyakit ginjal polikista menyebabkan ginjal menjadi sangat
besar dan perutnya membuncit.
2) Bayi baru lahir yang menderita penyakit berat bisa meninggal segera setelah
dilahirkan, karena gagal ginjal pada janin menyebabkan terganggunya
perkembangan paru-paru.
3) Gejalanya berupa nyeri punggung
4) Darah dalam air kemih (hematuria)
5) Infeksi dan nyeri kram hebat akibat batu ginjal (kolik renalis)
6) Pada penderita lain yang memiliki lebih sedikit jaringan ginjal yang berfungsi
bisa kelelahan, mual, berkurangnya pembentukan air kemih dan gejala lainnya
akibat gagal ginjal.

7. Pemeriksaan Penunjang
1) Ultrasonografi ginjal
Ultrasonografi ginjal merupakan suatu teknik pemeriksaannoninvasive yang
memiliki tujuan untuk mengetahui ukuran dari ginjal dankista. Selain itu juga
dapat terlihat gambaran dari cairan yang terdapat dalamcavitas karena
pantulan yang ditimbulkan oleh cairan yang mengisi kista akanmemberi
tampilan berupa struktur yang padat seperti pada lampiran 3.2.Ultrasonografi
ginjal dapat juga digunakan untuk melakukan screeningterhadap keturuan dan
anggota keluarga yang lebih mudah untuk memastikanapakah ada atau
tidaknya kista ginjal yang gejalanya tidak terlihat(asymptomatic) (Gearhart
dan Baker,2010).
2) MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitif dan dapat
mengidentifikasikistik ginjal yang memiliki ukuran diameter 3 mm
(Grantham,2008) seperti pada lampiran 3.3. MRI dilakukan untuk melakukan
screening pada pasien polikistik ginjal autosomal dominan (ADPKD) yang
anggota keluarganyamemiliki riwayat aneurisma atau stroke (Grantham,2008).
3) Computed tomography (CT)
Sensitifitasnya sama dengan MRI tetapi CT menggunakan media kontras
(Grantham,2008)
4) Biopsi
Biopsi ginjal ini tidak dilakukan seecara rutin dan dilakukan jika
diagnosistidak dapat ditegagkan dengan pencitraan yang telah dilakukan
(Gearhart dan Baker,2010).
8. Penatalaksanaan
Karena kista soliter sangat jarang memberikan gangguan pada ginjal,
penetalaksanaan kasus ini ialah konservatif, dengan evaluasi rutin menggunakan
USG.Apabila kista sedemikian besar, sehingga menimbulkan rasa nyeri atau
muncul obstruksi, dapat dilakukan tindakan bedah . Sementara ada kepustakaan
yang menyatakan bahwa meskipun kista ginjal asimptomatik, apabila ditemukan
kista ginjal yang besar merupakan indikasi operasi, karena beberapa kista yang
demikian cenderung mengandung keganasan.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada kista adalah (6,8) :
1) Aspirasi percutan
2) Bedah terbuka
a) Eksisi
b) Eksisi dengan cauterisasi segmen yang menempel ke parenkim
c) Drainase dengan eksisi seluruh segmen eksternal kista
d) Heminefrektomi
3) Laparoskopik
Pada tindakan aspirasi percutan harus diingat bahwa kista merupakan suatu
kantung tertutup dan avaskuler, sehingga teknik aspirasi harus betul-betul
steril, dan perlu pemberian antibiotik profilaksis. Karena apabila ada kuman
yang masuk dapat menimbulkan abses. Seringkali kista muncul lagi setelah
dilakukan aspirasi, meskipun ukurannya tidak sebesar awalnya.
Pemberian injeksi sclerosing agent, dapat menekan kemungkinan kambuhnya
kista. Tetapi preparat ini sering menimbulkan inflamasi, dan sering pasien
mengeluh nyeri setelah pemberian injeksi.
Yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi komplikasi. Jika terjadi infeksi
kista, perlu dilakuka drainase cairan kista dan pemberian antibiotik. Pada
komplikasi hidronefrosis akibat obstruksi oleh kista, dapat dilakukan eksisi
kista untuk membebaskan obstruksi.
Pemberian antibiotik pada pyelonefritis akibat stasis urin karena obstruksi oleh
kista akan lebih efektif apabila dilakukan pengangkan kista, yang akan
memperbaiki drainase urin. Perawatan pascaoperasi harus baik. Drainase harus
lancar. Setelah reseksi kista yang cukup besar, cairan drainase sering banyak
sekali, hingga beberapa ratus mililiter per hari. Hal ini dapat berlangsung
sampai beberapa hari. Sebaiknya draininase dipertahankan sampai sekitar 1
minggu pascaoperasi.

9. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi, meskipun sangat jarang, atau
kadang-kadang terjadi perdarahan ke dalam kista. Hal ini akan dirasakan sebagai
nyeri pada daerah pinggang yang cukup berat. Apabila kista menekan atau
menjepit ureter. dapat terjadi hidronefrosis, dan dapat berlanjut menjadi
pyelonefritis akibat stasis urin.
10. Pathway

Kongenital, kelainan genetik

Kedua Ginjal ditemukan


banyak kista

Terjadinya infeksi
dan iritasi

GAGAL GINJAL KRONIK


DENGAN KISTA GINJAL

Perut membuncit Obstruksi saluran Kurangnya pengetahuan


kemih tentang penyakit

Terganggunya
Tekanan VU
perkembangan paru
DEFISIT
PENGETAHUAN
Ekpansi paru
menurun
Menyebabkan luka Kontraksi otot UV

POLA NAFAS Kematian sel Kesulitan berkemih


TIDAK EFEKTIF

Mediator kimia Gangguan eliminasi


urin

NYERI KRONIS RETENSI URIN


B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
Terdiri dari nama, no rek medis, umur (lebih banyak terjadi pada usia 30-60
tahun), agama, jenis kelamin (pria lebih beresiko daripada wanita), pekerjaan,
status perkawinan, alamat, tanggal masuk, vara masuk RS, dan diagnosa medis
dan nama identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, hub dengan
pasien, pekerjaan dan alamat keluhan utama kencing sedikit, tidak dapat
kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
b. Riwayat penyakit
 Sekarang: Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis,
renjatan kardiogenik.
 Dahulu: Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi.
 Keluarga: Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
c. Tanda vital: Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
d. Body Systems :
 Pernafasan (B 1 : Breathing)
 Gejala : nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak,
 Tanda ; takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif
dengan / tanpa sputum.
 Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
 Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau
angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
 Tanda : Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada
kaki, telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan,
kuning.kecendrungan perdarahan.
 Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran : Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
 Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan
pekat, tidak dapat kencing.
 Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
 Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
 Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva
dan Diare
 Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
 Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk
saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
 Tanda : Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis
pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan
lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
e. Pola aktivitas sehari-hari
 Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.
 Pola nutrisi dan metabolisme : Anoreksi, mual, muntah dan rasa pahit pada
rongga mulut, intake minum yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
 Gejala ; Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat
badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia) penggunaan diuretik.
 Tanda : Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis, kuku rapuh.
 Pola Eliminasi
Eliminasi uri :
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan
pekat, tidak dapat kencing.
 Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
 Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
Eliminasi alvi : Diare.
 Pola tidur dan Istirahat : Gelisah, cemas, gangguan tidur.
 Pola Aktivitas dan latihan : Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas
menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari
secara maksimal.
 Gejala : kelelahan ektremitas, kelemahan, malaise,.
 Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
 Pola hubungan dan peran.
 Gejala : kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran).
 Pola sensori dan kognitif.
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati
rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu
melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/
tidak.
 Pola persepsi dan konsep diri.
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
 Pola seksual dan reproduksi.
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta
orgasme.
 Gejala : Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
 Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping.
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa
marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan
klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif /
adaptif.
 Gejala : faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan,
 Tanda : menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah
maupun mempengaruhi pola ibadah klien.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencederaan fisiologi
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru menurun
3) Retensi urin berhubungan dengan gangguan eliminasi urin
4) Deficit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

3. Intervensi Keperawatan
a. DX 1 : Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencederaan fisiologi

Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


Setelah 1. Keluhan nyeri cukup Manajemen Nyeri :
dilakukan menurun – menurun (4- O:
tindakan 5) 1. Identifikasi lokasi,
keperawatan 2. Meringis cukup kerakteristik, durasi,
selama menurun – menurun (4- frekuensi, kualitas,
4X24 jam 5) intensitas nyeri
diharapanka 3. Gelisah cukup menurun 2. Identifikasi skala nyeri
n nyeri – menurun (4-5) 3. Identifikasi respon nyeri
berkurang 4. TTV cukup membaik – non verbal
membaik (4-5) 4. Identifikasi factor yang
5. Nafsu makan cukup memperberat dan
membaik – membaik memperingan nyeri
(4-5)
T:
6. Pola tidur cukup
5. Berikan teknik
membaik – membaik
nonfarmakologi untuk
(4-5)
mengurangi rasa nyeri
6. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
7. Fasilitasi istirahat dan
tidur

E:
8. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu nyeri
9. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
10. Anjurkan monitor nyeri
secara mandiri
11. Ajarkan teknik
nonfarmakologi

K:
12. Kolaborasi pemberian
analgesic, jika perlu

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru menurun

Tujuan KriteriaHasil Intervensi


Setelah 1. Kapasitas vital cukup Manajemen Jalan Nafas :
dilakukan meningkat – O:
tindakan meningkat (4-5) 1. Monitor pola nafas
keperawatan 2. Diameter thorak (frekuensi, kedalaman,
selama 2X24 anterior-posterior usaha nafas)
jam cukup meningkat – 2. Monitor bunyi nafas
diharapkan meningkat (4-5) tambahan
pola nafas 3. Pernafasan cuping 3. Monitor sputum
efektif hidung cukup T:
menurun – menurun 4. Pertahankan kepatenan
(4-5) jalan nafas dengan head-
4. Frekuensi nafas cukup tilt dan chin-lift
membaik – membaik 5. Posisikan semi fowler _
(4-5) fowler
5. Kedalaman bernafas 6. Berikan minum hangat
cukup membaik (4-5) 7. Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
8. Lakukan suction kurang
dari 15 detik
9. Berikan O2, jika perlu
E:
10. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari
11. Ajarkan teknik batuk
efektif
K:
12. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Wim de, Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Alih bahasa R. Sjamsuhidayat Penerbit Kedokteran,
EGC, Jakarta, 1997
Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Bandung, Yayasan IAPK pajajaran,
1996
M. Tucker, Martin, Standart Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi, Edisi V, Volume 3, Jakarta, EGC,1998
Susanne, C Smelzer, Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) , Edisi VIII, Volume
2, Jakarta, EGC, 2002
Basuki B. purnomo, Dasar-Dasar Urologi, Malang, Fakultas kedokteran Brawijaya, 200
Doenges E. Marilynn, Rencana Asuhan keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta. EGC. 2000
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi
1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,

Anda mungkin juga menyukai