Oleh :
NAMA : IKKE NAVISAH
NIM : 2019.04.033
Mengetahui:
Mahasiswa
(IKKE NAVISAH)
2019.04.033
Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan
( ) ( )
Kepala Ruangan
( )
A. KONSEP PENYAKIT
1. Anatomi Fisiologi
2. Definisi
Penyakit gagal ginjal kronik biasanya disertai berbagai komplikasi seperti
penyakit kardiovaskular, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan
di tulang dan otot serta anemia (Rindiastuti, 2017), pada penyakit GGK salah satu
penyebabnya adalah Polikistik Kidney Disease atau sering disebut polikistik
ginjal/kista ginjal.
Penyakit polikistik ginjal merupakan kelainan genetik yang ditandai dengan
adanya banyak kista pada ginjal. Ginjal merupakan suatu organ yang memiliki
fungsi salah satunya menyaring darah terhadap zat-zat yang tidak dibutuhkan
dalam tubuh yang kemudian menjadi suatu produk yang disebut urin. Pada saat
kista mulai berkembang dan membesar pada ginjal maka akan terjadi penggantian
struktur normal ginjal yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal dan pada
akhirnya akan menyebabkan gagal ginjal. Polikistik ginjal dapat juga
menyebabkan kista pada organ-organ lain seperti hati dan pangkreas serta masalah
pada pembuluh darah otak dan jantung. (Price dan Wilson,2015).
Polikistik ginjal merupakan bentuk lain dari kista ginjal. Penyakit kista pada ginjal
merupakan sekelompok heterogen penyakit yang terdiri atas penyakit herediter,
berkembanga tetapi tidak herediter dan didapat (Robins,2010).
3. Klasifikasi
Polikistik memiliki dua bentuk yaitu bentuk dewasa yang bersifat autosomal
dominan dan bentuk anak-anak yang bersifat autosomal resesif. Namun pada
buku lain menyebutkan polikistik ginjal dibagi menjadi dua bentuk yaitu penyakit
ginjal polikistik resesif autosomal (Autosomal Resesif Polycystic Kidney /
ARPKD) dan bentuk penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (Autosomal
Dominant Polycytstic Kidney / ADPKD)
Ginjal Polikistik Resesif Autosomal (Autosomal Resesif Polycystic Kidney /
ARPKD)
1) Anomali perkembangan yang jarang ini secara gentis berbeda dengan dengan
penyakit ginjal polikistik dewasa karena memiliki pewarisan yang resesif
autosomal, terdapat subkategori perinatal, neonatal, infantile dan juvenil.
2) Terdiri atas setidaknya dua bentuk, PKD1 dan PKD2, dengan PKD1 memiliki
lokus gen pada 16p dan PKD2 kemungkinan pada kromosom 2. PKD2
menghasilkan perjalanan penyakit yang secara klinis lebih ringan, dengan
ekspresi di kehidupan lebih lanjut.
Ginjal Polikistik dominan autosomal (Autosomal Dominant Polycytstic
Kidney/ADPKD)
1) Merupakan penyakit multisistemik dan progresif yang dikarakteristikkan
dengan formasi dan pembesaran kista renal di ginjal dan organ lainnya
(seperti : liver, pancreas, limfa)
2) Kelainan ini dapat didiagnosis melalui biopsi ginjal, yang sering menunjukkan
predominasi kista glomerulus yang disebut sebagai penyakit ginjal
glomerulokistik, serta dengan anamnesis keluarga.
3) Terdapat tiga bentuk Penyakit Ginjal Polikistik Dominan Autosomal
ADPKD – 1 merupakan 90 % kasus, dan gen yang bermutasi terlentak
pada lengan pendek kromosom 16.
ADPKF – 2 terletak pada lengan pendek kromosom 4 dan
perkembangannya menjadi ESRD terjadi lebih lambat daripada ADPKD
Bentuk ketiga ADPKD telah berhasil di identifikasi, namun gen yang
bertanggung jawab belum diketahui letaknya.
4. Etiologi
1) Kelainan genetik yang menyebabkan panyakit ini bisa bersifat dominan
maupun resesif. Artinya penderita bisa memiliki 1 gen dominan dari salah satu
orangtuanya atau 2 gen resesif dari kedua orangtuanya.
2) Penderita yang memiliki gen dominan biasanya baru menunjukkan gejala pada
masa dewasa; penderita yang memiliki gen resesif biasanya menunjukkan
penyakit yang berat pada masa kanak-kanak.
3) Etiologi berdasarkan klasifikasi
a) Ginjal Polikistik Resesif Autosomal (Autosomal Resesif Polycystic
Kidney/ARPKD)
Disebabkan oleh mutasi suatu gen yang belum teridentifikasi pada
kromosom 6p. Manifestasi serius biasanya sudah ada sejak lahir, dan bayi
cepat meninggal akibat gagal ginjal. Ginjal memperlihat banyak kista kecil
dikorteks dan medulla sehingga ginjal tampak seperti spons
b) Ginjal Polikistik dominan autosomal (Autosomal Dominant Polycytstic
Kidney/ADPKD)
Diperkirakan karena kegagalan fusi antara glomerulus dan tubulus
sehingga terjadi pengumpulan cairan pada saluran buntu tersebut. Kista
yang semakin besar akan menekan parenkim ginjal sehingga terjadi
iskemia dan secara perlahan fungsi ginjal akan menurun. Hipertensi dapat
terjadi karena iskemia jaringan ginjal yang menyebabkan peningkatan
rennin angiotensin.
5. Patofisiologi
Kedua ginjal membesar dan secara makroskopis menampakkan banyak sekali
kista di seluruh korteks dan medula. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan
bahwa “kista-kista” merupakan dilatasi duktus kolektivus. Interstitium dan sisa
tubutus mungkin normal pada saat lahir, tetapi perkembangan fibrosis inierstisial
dan atrofi tubulus dapat mengakibatkan gagal ginjal
Sebagian besar penderita juga mempunyai kista di dalam hati. Pada kasus-kasus
yang berat, kista dalam hati dapat dihubungkan dengan sirosis, hipertensi porta,
dan kematian karena varises esofagus. Apabila keparahan manifestasi butt
melebihi keparahan manifestasi keterlibatan ginjal, gangguannya disebut fibrosis
hati kongenital. Apakah penyakit polikistik infantil dan fibrosis ban kongenital
merupakan ujung spektrum dari sebuah gangguan tunggal yang berlawanan atau
gangguan autosom resesif tersendiri dengan manifestasi yang serupa, masih harus
tetap ditentukan.
6. Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal polikistik pada dewasa atau penyakit ginjal polikistik dominan
autosomal tidak menimbulkan gejala hingga dekade keempat, saat dimana ginjal
telah cukup membesar. Gejala yang ditimbulkan adalah (Grantham,2011) :
1) Nyeri
Nyeri yang dirasakan tumpul di daerah lumbar namun kadang-kadang juga
dirasakan nyeri yang sangat hebat, ini merupakan tanda terjadinya iritasi di
daerah peritoneal yang diakibatkan oleh kista yang ruptur. Jika nyeri yang
dirasakan terjadi secara konstan maka itu adalah tanda dari perbesaran satu
atau lebih kista.
2) Hematuria
Hematuria adalah gejala selanjtnya yang terjadi pada polikistik. Gross
Hematuria terjadi ketika kista yang rupture masuk kedalam pelvis ginjal.
Hematuria mikroskopi lebih sering terjadi dibanding gross hematuria dan
merupakan peringatan terhadap kemungkinan adanya masalah ginjal yang
tidak terdapat tanda dan gejala.
3) Infeksi saluran kemih
4) Hipertensi
Hipertensi ditemukan dengan derajat yang berbeda pada 75% pasien.
Hipertensi merupakan penyulit karena efek buruknya terhadap ginjal yang
sudah kritis.
5) Pembesaran ginjal
6) Pembesaran pada pasien ADPKD ginjal ini murapakan hasil dari penyebaran
kista pada ginjal yang akan disertai dengan penurunan fungsi ginjal, semakin
cepat terjadinya pembesaran ginjal makan semakin cepat terjadinya gagal
ginjal.
7) Aneurisma pembulu darah otak
Pada penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) terdapat kista
pada organ-organ lain seperti : hati dan pangkreas.
Gejala lainnya :
1) Pada anak-anak, penyakit ginjal polikista menyebabkan ginjal menjadi sangat
besar dan perutnya membuncit.
2) Bayi baru lahir yang menderita penyakit berat bisa meninggal segera setelah
dilahirkan, karena gagal ginjal pada janin menyebabkan terganggunya
perkembangan paru-paru.
3) Gejalanya berupa nyeri punggung
4) Darah dalam air kemih (hematuria)
5) Infeksi dan nyeri kram hebat akibat batu ginjal (kolik renalis)
6) Pada penderita lain yang memiliki lebih sedikit jaringan ginjal yang berfungsi
bisa kelelahan, mual, berkurangnya pembentukan air kemih dan gejala lainnya
akibat gagal ginjal.
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Ultrasonografi ginjal
Ultrasonografi ginjal merupakan suatu teknik pemeriksaannoninvasive yang
memiliki tujuan untuk mengetahui ukuran dari ginjal dankista. Selain itu juga
dapat terlihat gambaran dari cairan yang terdapat dalamcavitas karena
pantulan yang ditimbulkan oleh cairan yang mengisi kista akanmemberi
tampilan berupa struktur yang padat seperti pada lampiran 3.2.Ultrasonografi
ginjal dapat juga digunakan untuk melakukan screeningterhadap keturuan dan
anggota keluarga yang lebih mudah untuk memastikanapakah ada atau
tidaknya kista ginjal yang gejalanya tidak terlihat(asymptomatic) (Gearhart
dan Baker,2010).
2) MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitif dan dapat
mengidentifikasikistik ginjal yang memiliki ukuran diameter 3 mm
(Grantham,2008) seperti pada lampiran 3.3. MRI dilakukan untuk melakukan
screening pada pasien polikistik ginjal autosomal dominan (ADPKD) yang
anggota keluarganyamemiliki riwayat aneurisma atau stroke (Grantham,2008).
3) Computed tomography (CT)
Sensitifitasnya sama dengan MRI tetapi CT menggunakan media kontras
(Grantham,2008)
4) Biopsi
Biopsi ginjal ini tidak dilakukan seecara rutin dan dilakukan jika
diagnosistidak dapat ditegagkan dengan pencitraan yang telah dilakukan
(Gearhart dan Baker,2010).
8. Penatalaksanaan
Karena kista soliter sangat jarang memberikan gangguan pada ginjal,
penetalaksanaan kasus ini ialah konservatif, dengan evaluasi rutin menggunakan
USG.Apabila kista sedemikian besar, sehingga menimbulkan rasa nyeri atau
muncul obstruksi, dapat dilakukan tindakan bedah . Sementara ada kepustakaan
yang menyatakan bahwa meskipun kista ginjal asimptomatik, apabila ditemukan
kista ginjal yang besar merupakan indikasi operasi, karena beberapa kista yang
demikian cenderung mengandung keganasan.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada kista adalah (6,8) :
1) Aspirasi percutan
2) Bedah terbuka
a) Eksisi
b) Eksisi dengan cauterisasi segmen yang menempel ke parenkim
c) Drainase dengan eksisi seluruh segmen eksternal kista
d) Heminefrektomi
3) Laparoskopik
Pada tindakan aspirasi percutan harus diingat bahwa kista merupakan suatu
kantung tertutup dan avaskuler, sehingga teknik aspirasi harus betul-betul
steril, dan perlu pemberian antibiotik profilaksis. Karena apabila ada kuman
yang masuk dapat menimbulkan abses. Seringkali kista muncul lagi setelah
dilakukan aspirasi, meskipun ukurannya tidak sebesar awalnya.
Pemberian injeksi sclerosing agent, dapat menekan kemungkinan kambuhnya
kista. Tetapi preparat ini sering menimbulkan inflamasi, dan sering pasien
mengeluh nyeri setelah pemberian injeksi.
Yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi komplikasi. Jika terjadi infeksi
kista, perlu dilakuka drainase cairan kista dan pemberian antibiotik. Pada
komplikasi hidronefrosis akibat obstruksi oleh kista, dapat dilakukan eksisi
kista untuk membebaskan obstruksi.
Pemberian antibiotik pada pyelonefritis akibat stasis urin karena obstruksi oleh
kista akan lebih efektif apabila dilakukan pengangkan kista, yang akan
memperbaiki drainase urin. Perawatan pascaoperasi harus baik. Drainase harus
lancar. Setelah reseksi kista yang cukup besar, cairan drainase sering banyak
sekali, hingga beberapa ratus mililiter per hari. Hal ini dapat berlangsung
sampai beberapa hari. Sebaiknya draininase dipertahankan sampai sekitar 1
minggu pascaoperasi.
9. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi, meskipun sangat jarang, atau
kadang-kadang terjadi perdarahan ke dalam kista. Hal ini akan dirasakan sebagai
nyeri pada daerah pinggang yang cukup berat. Apabila kista menekan atau
menjepit ureter. dapat terjadi hidronefrosis, dan dapat berlanjut menjadi
pyelonefritis akibat stasis urin.
10. Pathway
Terjadinya infeksi
dan iritasi
Terganggunya
Tekanan VU
perkembangan paru
DEFISIT
PENGETAHUAN
Ekpansi paru
menurun
Menyebabkan luka Kontraksi otot UV
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencederaan fisiologi
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru menurun
3) Retensi urin berhubungan dengan gangguan eliminasi urin
4) Deficit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
3. Intervensi Keperawatan
a. DX 1 : Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencederaan fisiologi
E:
8. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu nyeri
9. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
10. Anjurkan monitor nyeri
secara mandiri
11. Ajarkan teknik
nonfarmakologi
K:
12. Kolaborasi pemberian
analgesic, jika perlu
Wim de, Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Alih bahasa R. Sjamsuhidayat Penerbit Kedokteran,
EGC, Jakarta, 1997
Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Bandung, Yayasan IAPK pajajaran,
1996
M. Tucker, Martin, Standart Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi, Edisi V, Volume 3, Jakarta, EGC,1998
Susanne, C Smelzer, Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) , Edisi VIII, Volume
2, Jakarta, EGC, 2002
Basuki B. purnomo, Dasar-Dasar Urologi, Malang, Fakultas kedokteran Brawijaya, 200
Doenges E. Marilynn, Rencana Asuhan keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta. EGC. 2000
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi
1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,