DOSEN PEMBIMBING:
Ns.EFA TRISNA.,S.Kep.,M.Kes
DISUSUN OLEH :
REGULER 2
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya
jualah akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PEMERIKSAAN FISIK
PERSYARAFAN” tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih atas bimbingan, arahan, saran, serta bantuan yang telah diberikan untuk menjadikan
makalah ini lebih baik. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan hidayah-Nya
atas segala amal perbuatan yang diberikan. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Penulis juga berusaha semaksimal mungkin dalam penyelesaiannya.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat menyempurnakan
penulisan makalah ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga penyusunan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
2
DAFTAR ISI
JUDUL ……………………………………………………………………………….1
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….....3
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………4
A.LATAR BELAKANG……………………………………………………………..4
B.RUMUSAN MASALAH………………………………………………………......4
C.TUJUAN…………………………………………………………………………...4
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………..5
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...28
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Sistem saraf merupakan jaringan yang sangat penting dan berpengaruh terhadap organ
lainnya. Secara spesifik sistem saraf merupakan suatu sistem protektif dari rangsangan yang
membahayakan, dapat menghantarkan sinyal dari satu sel saraf ke sel saraf lainnya untuk
menghasilkan respon tubuh dan sebagai sistem komunikasi untuk mengirimkan informasi ke
otak. Pemeriksaan neurologik merupakan suatu proses yang dibutuhkan bagi tenaga kesehatan
untuk mendiagnosa kondisi kesehatan neurologis pasien. Pemeriksaan ini membutuhkan
ketelitian dan pengalaman, yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan yang spesifik.
Pemeriksaan neurologis dapat dilakukan dengan teliti dengan melihat riwayat penyakit pasien
dan kondisi fisiknya. Otak dan medula spinalis tidak dapat dilihat, diiperkusi, dipalpasi ataupun
diauskultasi seperti sistem lainnya dalam tubuh. Agar pemeriksaan neurologis dapat memberikan
informasi yang akurat, maka perlu di usahakan kerja sama yang baik antara pemeriksa dan
pasien dan pasien diminta untuk kooperatif (Brunner, 2001).
1.2 Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A.ANAMNESIS
Keluhan Utama
Hal-hal yang dapat di kaji yaitu nyeri, vertigo,masalah pengelihatan, penciuman, menelan, sulit
berbicara,gagguan eliminasi pernapasan, sirkulasi, suhu tubuh, seksualitas, dan emosi.
Pengumpulan data-data tersebut dapat menggunakan pola PQRST.
Dalam mengumpulkan data tentang riwayat penyakit dahulu, perawat dapat menanyakan apakah
pasien pernah mengalami cedera kepala, stroke, pembedahan, dan lain sebagainya.
Obat-obatan
Perawat dapat menanyakan mengenai penggunaan obat-obatan yang dapat mengganggu sistem
syaraf
Perawat dapat menanyakan mengenai adanya anggota yang menderita penyakit terkait sistem
persyarafan, hipertensi, atau stroke.
Perawat dapat mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari pasien, pola
rekreasi, gizi, pola pemecahan masalah.
5
Konsep diri
Perawat dapat mengkaji mengenai kemampuan pasien dalam merawat diri, mewujudkan peranan
yang diharapkan, memenuhi kebutuhan seksualnya.
Pertimbangan perkembangan
Aspek ini ditujukan terutama pada usia Lansia dan anak-anak. Pada pasien anak atau bayi dapat
ditanyakan kepada orang tua pasien mengenai adakah faktor risiko yang dialami selama
kehamilan, adakah keluarga yang memiliki gangguan persyarafan, bagaimana perkembangan
motorik dan kognitif anak, dan lain sebagainya.
Pemeriksaan fisik neuro terdiri dari beberapa tahapan yang dilakukan berdasarkan dari
pemeriksaan imobilitas sampai pemeriksaan mobilitas,, antara lain.
Pemeriksaan GCS
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari
lingkungan. Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk
perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena
berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem
aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian). Penurunan tingkat
kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat menurun ketika otak
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia), kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok),
penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis), dehidrasi, asidosis, alkalosis,
pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan, hipertermia, hipotermia, peningkatan tekanan
intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak), infeksi (encephalitis), epilepsi.
6
Compos Mentis (conscious) yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh
tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun
(tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil subjektif mungkin adalah
menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera
kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran
dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang
menunjukan adanya penurunan kesadaran.
7
Disorientasi waktu : 4
Hanya menegrang : 2
Sesuai perintah : 6
Lokalisir nyeri : 5
Menghindari nyeri : 4
Fleksi abnormal : 3
Ekstensi abnormal : 2
Inspeksi
Pemeriksaan secara inspeksi dilakukan dengan menggunakan system penglihatan pengamat yang
memprioritaskan posisi tubuh bayi dan anak. Posisi telungkup menjadi posisi yang digunakan
saat menentukan normal dan abnormal tubuh bayi. Posisi normal pada bayi yaitu saat posisi
telungkup, kepala dapat menyentuh meja, serta tangan bayi menggenggam dengan posisi tungkai
pada keadaan fleksi.
8
Beberapa pemeriksaan fisik secara inspeksi dapat diketahui posisi abnormal pada bayi, yaitu :
Frog Posture
Keadaan posisi tubuh bayi saat tangan bayi tampak lemas disamping tubuhnya dengan posisi
terbuka (tidak menggenggam).
Hemiplegi
Suatu keadaan dimana salah satu sisi tubuh bayi fleksi dan yang lainnya tampak ekstensi lemah.
Hipototoni
Suatu keadaan dimana posisi bayi tertelungkup dengan posisi tangan dan tungkai terletak
lurus diatas meja. Kadangkala hal tersebut menunjukkan bahwa bayi kemungkinan mengalami
gangguan SSP (system saraf pusat).
Salah satu pemeriksaan yang perlu diperhatikan pada saat pasien berbicara dan
menangkap inti pembicaraan sebab hal ini menjadi fungsi hemisfer dominan. Hemisfer kiri
adalah bagian yang dominan untuk berbicara yang pada umumnya terjadi pada pengguna tangan
kanan dominan, sebagian juga pada orang kidal.
Beberapa gangguan bicara dapat menandakan adanya gangguan pada system neuronya. Ada 3
jenis gangguan yang dapat dikategorikan gangguan bicara, yaitu:
Disartria adalah suatu gangguan yang menyerang system otot bicara sehingga terjadi penurunan
kemampuan artikulasi, enumerasi, dan irama bicara. Misalnya saat pasien diminta untuk
menirukan kata “endokarditis” maka dapat diperkirakan pasien tidak dapat menirukan kata
tersebut. Penurunan fungsi otot bicara tersebut dapat disebabkan oleh sklerosis amiotropik
lateral, paralisis pseudobulbar, atau miastenia gravis.
Disfonia adalah suatu gangguan pada suara, atatu vokalisasi. Berbeda dengan disartia yang
terdeteksi disebabkan oleh gangguan neuro, pada disfonia juga dapat disebabkan non-neurologis
tetapi penyebab neurologisnya yaitu cedera saraf rekuren laringeus dan tumor otak. Karakteristik
9
penderita disfonia adalah pasien diminta untuk mengucapkan kata “E” maka suara pasien
terdengar parau dan kasar.
Afasia merupakan suatu istilah yang menyebutkan adanya hilangnya kemampuan untuk
memahami, mengeluarkan dan menyatakan konsep bicara. Afasia dibagi menjadi 2 yaitu afasia
motorik yang merupakan istilah hilangnya suatu konsep pemikiran seseorang yag tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata atau tulisan serta afasia sensorik merupakan hilangnya
kemampuan untuk memahami suatu percakapan. Karakteristik penyebab afasia adalah adanya
gangguan serebrovaskular yang mengenai arteria serebri media.
Pada pemeriksaan ini lebih menunjukkan fungsi neuro bagian korteks yang lebih tinggi
termasuk memberikan suatu alas an pada setiap kasus yang dialami, menggunakan abstraksi,
membuat perencanaan, dan memberi penilaian.
Pemeriksaan status dan fungsi mental memiliki hubungan dengan pemeriksaan bahasa sebab
pemeriksaan bahasa merupakan modal fungsi korteks. Perubahan perilaku seseorang berkaitan
dengan disfungsi otak organic, maka dari itu perawat perlu memeriksa riwayat keluarga pasien
untuk menentukan penyebab perilaku yang berhubungan dengan status mental pasien.
Pemeriksaan mental pasien dapat dievaluasi dengan cara memeinta pasien menyebutkan 6 digit
nomor yang sebelumnya telah ditentukan oleh pemeriksa serta pasien dapat diminta
menyebutkan 6 macam Negara yang berbeda. Hal tersebut dapat menentukan status dan fungsi
mental pasien.
Pemeriksaan motorik
Evaluasi sistem motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal dan biasnya
cukup pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan otot hanya
dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa dan kooperatif.
Pada bayi dan anak yang tidak dapat kooperatif hanya dapat dinilai kesan keseluruhannya saja.
Respon traksi
10
Pada seorang bayi atau anak yang normal, sebelum duduk maka dia terlebih dulu harus
mempunyai kontrol terhadap fungsi otot-otot lehernya. Sejak lahir sampai usia 2 bulan, kepala
anak akan tertinggal apabila kita mengangkat anak tersebut pada kedua tangannya dari posisi
tidur ke posisi duduk. Keadaan ini disebut dengan head leg. Salah satu tes untuk mengetahui
kontrol terhadap otot-otot leher dan kepala adalah respon traksi.
Caranya:
Bayi ditidurkan pada posisi supinasi, kemudian pemeriksa memegang kedua tangan bayi pada
pergelangan tangan, secara perlahan-lahan anak ditarik sampai pada posisi duduk. Kemudian
dievaluasi kemampuan bayi dalam mengontrol posisi leher dan kepalanya. Apabila kepala masih
tertinggal di belakang pada saat bayi posisi duduk maka head leg-nya positif (masih ada), tapi
apabila bayi mampu mengangkat kepalanya pada saat posisi duduk maka head leg-nya negatif
(menghilang). Head leg harus sudah menghilang setelah bayi berusia 3 bualn. Apabiala setelah 3
bulan masih didapat head leg yang positif, maka harus dicurigai adanya kemungkinan hipotoni,
kelainan SSP atau prematurasi.
Suspensi ventral
Tes suspensi ventral dapat mengetahui kontrol kepala, curvatura thoraks, kontrol tangan dan kaki
terhadap gravitasi.
Caranya:
Bayi ditidurkan pada posisi pronasi, kemudian telapak tangan pemeriksa menyanggah badan bayi
pada daerah dada. Pada bayi aterm dan normal, posisi kepala akan jatuh ke bawah ± membentuk
sudut 45° atau kurang dari posisi horizontal, punggung lurus atau sedikit fleksi, tangan fleksi
pada siku dan sedikit ekstensi pada sendi bahu dan sedikit fleksi pada sendi lutut. Dengan
bertambahnya usia, posisi kepala terhadap badan bayi akan semakin lurus (horizontal). Pada bayi
hipotoni, leher dan kepala bayi sangat lemas sehingga pada tes suspensi ventral akan berbentuk
seperti huruf “U” terbalik. Sedangkan pada bayi palsi serebral, tes suspensi ventral akan
menunjukkan posisi hiperekstensi.
Tonus otot yaitu retensi yang terdeteksi oleh pemeriksa saat menggerakkan sendi secara pasif,
tonus otot sering kali terganggu jika terdapad gangguan sistem saraf. Otot dapat diamati untuk
11
melihat adanya tanda-tanda kelemahan, fasikulasi, atau kontraktur. Kekuatan otot dapat diperiksa
dengan membandingkan otot satu sisi dengan otot sisi lainnya.
Gangguan
otot
Tanda klinis Gangguan neurologis
Distonia Posisi bagian-bagian tubuh Gangguan
bertahan dengan keadaan ekstrapiramidal,
abnormal dengan sedikit tahanan penyakit
sewaktu delakukan gerakan pasif wilson,neuropati
venotiazin, infeksi virus
pada otak
Paratonia Tahanan terhadap gerakan pasif Penyakit lobus frontalis
pada seluruh gerakan
Kekakuan Ektensi dan pronasi lengan dan Cedera otak berat di
deserebrasi pronasi dari tungkai atas spons
Hipotonia Peningkatan macam gerak sendi Gangguan sereberal
Hemibalismus Gerakan unilateral, mengenal Penyempitan pembuluh
bagian yang berlawanan dengan darah otak mengenai
lesi, gerakan sendi proksimal yang nukleus subtalamikus
kasar dan mengayun
Tremor Rimik involunter Lesi pada jaras
sereberal
Pemeriksaan Tanda Meningeal
Kaku duduk
Posisikan tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan
diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak
dapat mencapai dada. Normalnya dagu pasien akan menempel di dada dan tidak ada tahanan.
12
Brudzinsky I
Letakkan satu tangan perawat di bawah kepala pasien dan tangan lain di dada pasien untuk
mencegah badan tidak terangkat kemudian kepala pasien di fleksikan ke dada secara pasif.
Brudzinsky akan positif bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut
Brudzinsky II
Tanda Brudzinsky II positif bila fleksi klien pada sendi panggul secra pasif akan diikuti oleh
fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
Tanda Kerniq
Pasien diposisikan telentang, kemudian fleksikan tungkai atas agak lurus lalu luruskan tungkai
bawah pada sendi lutut. Normalnya dapat membentuk sudut 135 terhadap tungkai bawah.
Pemeriksaan Refleks
Reflek superfisial, dengan cara menggores kulit abdomen dengan empat goresan yang
membentuk segi empat dibawah xifoid.
Refleks tendon dalam dengan mengetuk menggunakan hammer pada tendon biseps, trisep, patela
dan achiles dengan penilaian pada bisep (terjadi fleksi sendi siku), trisep (terjadi ekstensi sendi
siku), patela (terjadi ekstensi sendi lutut )dan pada achiles (terjadi fleksi plantar kaki) apabila
hiperfleks apabila hiporefleks apabila terjadi kelainan pada lower motor neuron.
Refleks patologis dapat menilai adanya refleks babinski dengan cara menggores permukaan
plantar kaki dengan alat yang sedikit runcing, hasilnya positif apabila terjadi reaksi ekstensi ibu
jari.
13
lengan bawah. Ketuk tendon
triseps di atas siku.
Letakkan lengan dan tangan
anak pada posisi relaks
dengan telapak tangan di ;engan bawah flesi dan
bawah. Ketuk radius 2,5 cm telapak tangan
brakioradialis diatas pergelangan tangan. mengangkat keatas.
Dudukan anak di atas meja
atau pangkuan orang tua
dengan tungkai fleksi dan
tergantung. Ketuk tendon
patela tepat di bawah
Patella tempurung lutut. Tungkai bawah ekstensi
Dudukan anak di atas meja
atau pangkuan orang tua
dengan tungkai fleksi dan
topang kaki dengan pelan Plantar fleksi kaki
Achiles ketuk tendon achiles (menunjuk ke bawah)
Refleks superfisial
Gores kulit ke arah
umbilikus. Kaji refleks di
empat kuadran. Refleks
abdominal mungkin tidak
dijumpai pada 6 bulan Umbilikus bergerak ke
Abdomen pertama. arah stimulus
Gores paha bagian dalam Testis tertarik ke dalam
kremasterik atas kanalis inguinalis
Rangsang kulit di area Terjadi kontraksi
Anus perianal sfingter anus yang kuat.
14
a. Gangguan menelan berhubungan dengan penurunan fungsi nerfus vagus atau hilangnya refluks
muntah
DEFINDEFINISI
Melakukan pemeriksaan fisik pada sistem persarafan yang meliputi : Fungsi Cerebral, Fungsi
Cerebellum, Fungsi Nervus Cranialis, Fungsi Sensorik, Fungsi Motorik, Fungsi Refleks, Fungsi
Kortikal dan Rangsang Selaput Meningeal.
TUJUAN
1. Mendapatkan data lengkap untuk menegakan diagnosa keperawatan yang akurat
2. Membantu individu mengatasi perubahan kehidupan sehari-hari secara efektif dan perawatan
diri baik potensial maupun aktual yang disebabkan oleh adanya masalah kesehatan atau penyakit
DILAKUKAN PADA/INDIKASI
Pasien yang mengalami gangguan sistem persarafan
PERSIAPAN ALAT
1. Refleks Hammer
2. Peniti dan jarum pentul
15
3. Garpu Tala
4. Snellen Chart
5. Senter/penligth
6. Zat pengetes : kopi, teh, kina, gula, garam, jeruk dalam botol khusus
7. Otoskop dan optalmoskop
8. Pilinan Kapas
9. Spatel Lidah
10. Air panas dan dingin dalam tube atau botol
11. Uang logam, kunci, gelas, pinsil, sisir,sendok
12. Sarung tangan jika diperlukan
ISI
Melakukan pemeriksaan fisik pada sistem persarafan yang meliputi : Fungsi Cerebral, Fungsi
Cerebellum, Fungsi Nervus Cranialis, Fungsi Sensorik, Fungsi Motorik, Fungsi Refleks, Fungsi
Kortikal dan Rangsang Selaput Meningeal.
TUJUAN
1. Mendapatkan data lengkap untuk menegakan diagnosa keperawatan yang akurat
2. Membantu individu mengatasi perubahan kehidupan sehari-hari secara efektif dan perawatan
diri baik potensial maupun aktual yang disebabkan oleh adanya masalah kesehatan atau penyakit
DILAKUKAN PADA/INDIKASI
Pasien yang mengalami gangguan sistem persarafan
PERSIAPAN ALAT
1. Refleks Hammer
2. Peniti dan jarum pentul
3. Garpu Tala
4. Snellen Chart
5. Senter/penligth
6. Zat pengetes : kopi, teh, kina, gula, garam, jeruk dalam botol khusus
7. Otoskop dan optalmoskop
16
8. Pilinan Kapas
9. Spatel Lidah
10. Air panas dan dingin dalam tube atau botol
11. Uang logam, kunci, gelas, pinsil, sisir,sendok
12. Sarung tangan jika diperlukan
Evaluasi (√ )
No. Kriteria Evaluasi
Ya Tidak
TAHAP PREINTERAKSI
1. Cek catatan perawat/medis tentang kondisi klien
2. Persiapan perawat dan lingkungan
3. Siapkan alat-alat
TAHAP ORIENTASI
4. Berikan salam, identifikasi klien (berkenalan), panggil nama kesukaan dan sapa
keluarga klien
5. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan tujuannya
6. Beri kesempatan keluarga untuk bertanya
TAHAP KERJA
Pemeriksaan GCS
7 Mencuci Tangan
Membuka Mata (E)
8 Spontan (4)
Terhadap bicara (3)
Dengan rangsang nyeri (2)
Tidak ada reaksi (1)
Respon Verbal (V)
9 Baik tidak ada disorientasi (5)
Kacau (bicara dlm kalimat tapi disorientasi waktu dan tempat) (4)
Tidak tepat (mengucapkan kata tapi bukan kalimat dan tidak tepat) (3)
Mengerang (2)
Tidak ada jawaban (1)
17
Respon Motorik (M)
10 Menurut perintah (6
Mengetahui lokasi nyeri (5)
Reaksi menghindar (4)
Reaksi fleksi (3)
Reaksi ekstensi (2)
Tidak ada reaksi (1)
11. Jumlahkan GCS-nya
Pemeriksaan Nervus I – XII
12. Nervus I (Olfaktorius)
Periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau tidak
Zat pengetes yang digunakan adalah zat yang sudah dikenal pasien : kopi, teh,
tembakau atau jeruk
Lakukan pemeriksaan terhadap hidung satu persatu
Klien tutup mata, minta klien atau pemeriksa menutup salah satu lubang hidung
kemudian klien disuruh mencium salah satu zat pengetes dan ditanya apakah klien
mencium sesuatu dan apa yang diciumnya
Ulangi untuk lubang hidung yang lainnya
Penilaian : normosmi jika bisa mencium semua zat yang dites, hiposmi jika
penciuman berkurang, anosmi jika tidak dapat mencium sama sekali
13. Nervus II (Optikus)
Ketajaman penglihatan :
Inspeksi dahulu kedua mata klien terhadap kelainan-kelainan (katarak, rabun,
dll)
Untuk ketajaman penglihatan jauh gunakan Snellen Chart (jarak 5 atau 6 meter)
Klien duduk menghadap tabel dengan jarak 5 atau 6 meter
Mata kanan dan kiri diperiksa bergantian dengan menutup sebelah mata dengan
tangan klien tanpa menekan bola mata
Klien disuruh membaca huruf yang ditunjuk pemeriksa pada tabel Snellen dari
atas ke bawah
Jika klien dapat membaca baris paling bawah, maka visusnya normal (6/6), jika
tidak misalnya 6/20 artinya huruf tersebut harusnya dibaca pada jarak 20 meter
tapi pasien membacanya pada jarak 6 meter
18
Jika agak buruk gunakan cara menghitung jari, jika klien menghitung betul pada
jarak 3 meter maka dinyatakan dengan 3/60 (60 jarak normal menhitung jari
dengan benar)
Jika lebih buruk lahi, pakai cara gerakan tangan, missal 3/300, artinya klien
dapat melihat gerakan tangan pada jarak 3 meter, yang harusnya gerakan tangan
bias dilihat pada jarak 300 meter.
Bila hanya bisa membedakan terang dan gelap dengan senter maka visusnya
dinyatakan dengan 1/tak-terhingga
Dan bila pasien tidak bisa membedakan terang dan gelap makan dinyatakan
dengan nol artinya buta
Lapang pandang
Klien duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa pada jarak kira-kira 1
meter
Jika mata kanan yang akan diperiksa, maka mata kiri klien harus ditutup, missal
dengan tangan atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
Kemudian klien disuruh melihat terus (memfiksasi matanya) pada mata kiri
pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat kemata kanan klien
Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa
dengan klien. Gerakan dilakukan dari arah luar kedalam,
Jika klien melihat gerakan jari tangan klien akan memberitahu ke pemeriksa dan
akan dibandingkan apakah pemeriksa melihat juga, jika ada gangguan pada klien,
pemeriksa akan melihat terlebih dahulu gerakan tersebut
Lakukan pada mata yang lain dengan menggerakan jari tangan kesemua jurusan.
19
(anisokor),
Adakah miosis (diameter pupil <2 mm) atau midriasis ( N : 4-5 mm)
Inspeksi besar pupil kiri dan kanan (bundar, rata tepinya/N, atau tidak)
Inspeksi kedudukan bola mata (exoftalmus atau enoftalmus)
Inspeksi posisi bola mata dalam keadaan istirahat (adakah strabismus)
Reflex pupil cahaya langsung normal mengecil
Refleks cahaya tidak langsung ikut mengecil juga
Refleks akomodasi : klien disuruh melihat jauh, letakan jari pemeriksa atau
benda dekat mata klien, kemudian klien disuruh melihat dekat, reflex positif jika
pupil mengecil
Pemeriksaan Gerakan Bola Mata
Posisi klien duduk atau berdiri
Klien disuruh mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakan kearah lateral,
medial atas, medial bawah, dan kearah yang miring yaitu atas lateral, bawah
medial, atas medial, dan bawah lateral
Inspeksi apakah mata klien dapat mengikutinya, apakah gerakan lancer dan
mulus atau kaku,
Inspeksi juga jika ada diplopia,tanyakan kepada klien pada posisi mata (mata)
yang timbul diplopia
Instruksikan klien untuk menutup sebelah mata, serta tanyakan posisi mana
bayangan yang hilang.
15. Nervus V (Trigeminus)
Fungsi motoric
Suruh klien merapatkan giginya sekuat mungkin
Palpasi m.masseter, dan temporalis
Inspeksi besar tonus serta kontur
Suruh klien buka mulut, inspeksi adakah deviasi rahang bawah (insisivus atas
dan bawah saat tutup mulut sejajar)
Ukut kekuatan otot dengan cara klien disuruh gigit spatel lidah atau benda keras
lainnya, kemudian tarik berapa kuat gigitannya
Nilai m. pterigoid lateralis : suruh klien gerakkan rahang bawah kesamping kiri
atau kanan, atau suruh klien pertahankan rahang bawahnya ke kiri dan pemeriksa
20
member tekanan untuk mengembalikan posisi rahang bawah ke posisi tengah.
Fungsi sensorik
Anjurkan klien menutup kedua matanya
Gunakan pilinan kapas dan sentuhkan diarea wajah yang dipersarafinya, apakah
terasa ada sentuhan atau tidak
16. Nervus VII (Fasialis)
Fungsi Motorik
Inspeksi wajah klien saat diam, tertawa, meringis, bersiul dan menutup mata,
catat apakah simetris atau asimetris
Klien diminta untuk mengerutkan dahi, kemudian menutup mata kuat-kuat dan
jari pemeriksa menahan kedua kelopak mata agar tetap terbuka, catat apakah
normal atau adakah parese
Minta klien kembungkan pipi seperti meniup balon, palpasi pipi kiri dan kanan
untuk menentukan apakah ada udara yang lolos lewat salah satu sudut mulut
Fungsi Sensorik (pengecap)
Siapkan gula, garam dan kina
Klien diminta untuk julurkan lidahnya dengan 2 mata tertutup
Beri sedikit gula, garam, kina, secara bergantian pada 2/3 lidah bagian depan
(dgn tetap menjulurkan lidahnya)
Tanyakan rasa apa yang tadi diberikan apakah manis, asin, atau pahit
Catat hasil pemeriksaan
17. Nervus VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Ketajaman pendengaran
Telinga klien diuji berganti-ganti dengan mendengar detik arloji diruangan yang
sunyi
Bandingkan dengan pemeriksa (dianggap normal)
Nilai : jika pemeriksa mendengar detik arloji pada jarak 1 meter dan pasien
hanya 0,5 meter, maka dinyatakan dengan 50/100 (dalam sentimeter)
Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 128, 256 dan 512 Hz
21
Getarkan garpu penala
Tekankan pangkal garpu tala pada tulang mastoid klien
Suruh klien mendengar bunyinya sampai tidak terdengar
Jika klien tidak mendengar lagi, segera pindahkan penala di depan liang telinga
klien
Jika klien masih mendegar bunyi, maka Rinne Positif
Tes Schwabach
Garpu tala digetarkan
Letakan didekat telinga klien, jika klien tidak mendengar lagi, tempatkan di
telinga pemeriksa jika pemeriksa mendengar maka dikatakan schwabach lebih
pendek (konduksi udara)
Getarkan garpu tala kembali dan letakan di mastoid klien, jika klien tidak
mendengar lagi, segera tempatkan garpu tala di tulang mastoid pemeriksa dan jika
pemeriksa masih mendengar maka dinyatakan schwabach lebih pendek (konduksi
tulang)
Tes Weber
Getarkan garpu tala
Letakan di puncak kepala atau dahi tepat dipertegahan
Suruh klien dengarkan bunyinya serta tentukan telinga mana bunyi lebih keras
terdengar
Normal : kerasnya bunyi terdengar sama pada kedua telinga
Jika bunyi lebih keras pada telinga yang sehat maka disebut tuli saraf
Jika bunyi lebih keras pada telinga yang sakit maka disebut tuli konduktif
Tes Keseimbangan dengan tes Romberg
Klien disuruh berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang lainnya, lengan
dilipat pada dada dan mata ditutup
Lakukan selama 30 detik
Normal : mampu berdiri dengan sikap tersebut selama 30 detik
Tes Keseimbangan dengan Stepping Test
Beritahu klien untuk tetap pertahankan posisi ditempat selama tes
Suruh klien untuk berjalan di tempat dengan mata tertutup selama 50 langkah
22
dengan kecepatan seperti berjalan biasa
Abnormal jika posisi akhir klien beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula
atau badan terputar lebih dari 30 derajat
18. Nervus IX dan X (Glossofaringeus dan Vagus)
Fungsi motoric
Observasi kualitas suara pasien apakah normal (disfonia dan afonia)
Suruh klien menyebutkan “aaaaaaa”, normal uvula akan terangkat lurus-lurus
dan tetap dimedian
Klien disuruh menelan air dan memakan makanan padat, lunak perhatikan
adakah disfagia
Refleks Faring
Suruh klien buka mulut
Rangsang (tekan-tekan dinding faring atau pangakal lidah dengan spatel
Bila faring terangkat dan lidah ditarik dikatakan Refleks Faring Positif
Refleks Wahing
Mukosa hidung klien dirangsang dengan sentuhan kapas, hal ini mengakibatkan
timbulnya wahing
19. Nervus XI (Assesorius)
Otot sternokleidomastoideus
Inspeksi ototnya dalam keadaan istirahat (kontur) dan bergerak
Palpasi otot : apakah nyeri dan adanya atoni
Ukur kekuatan otot : suruh klien menoleh, missal kekanan, kemudian gerakan
ini ditahan oleh tangan pemeriksa dan bandingkan yang lain (kekuatan ototnya)
Otot Trapezius
Inspeksi ototnya dalam keadaan istirahat (kontur) dan bergerak (apakah ada
atrofi, kontur otot)
Inspeksi posisi bahu (simetris atau tidak)
Palpasi otot untuk mengetahui konsistensi, nyeri serta adanya hipotoni
Ukur kekuatan otot dengan cara : tempatkan tangan pemeriksa diatas bahu klien,
suruh klien mengangkat bahu dan pemeriksa menahannya, bandingkan kekuatan
otot kiri dan kanan (bahu)
23
20. Nervus XII (Hipoglosus)
Inspeksi lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak
Istirahat : perhatikan besar lidah, kesamaan kiri dan kanan, atrofi, apakah lidah
berkerut, apakah sikap lidah tidak simetris, saat dijulurkan perhatikan simetris
atau tidak
Ukur kekuatan lidah dengan cara : suruh klien menjulurkan lidahnya lurus-lurus
kemudian menarik dan menjulurkan kembali dengan cepat dan perhatikan
kekuatan geraknya
Palpasi : suruh klien gerakkan lidah kekiri dan kekanan dengan cepat, kemudian
tekankan pada pipi kiri dan kanan, pemeriksa merasakan kekuatan lidah tadi
21. Pemeriksaan Kekuatan Otot
Paralisis total (0)
Tidak ada gerakan, teraba/terlihat adanya kontraksi otot sedikit (1)
Gerakan otot penuh menentang gravitasi dengan sokongan (2)
ROM lengkap/normal menentang gravitasi (3)
Gerakan normal penuh, menentang gravitasi dengan sedikit tahanan (4)
Gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan tahanan penuh (5)
22. Pemeriksaan Refleks fisiologis
Refleks Biseps : Ketukan hamer diatas biseps, Normal bila fleksi siku dan
kontraksi otot biseps
Refleks Triseps : Ketukan hamer pada triseps, Normal bila ekstensi siku dan
kontraksi otot triseps
Refleks Patela : Klien duduk, kaki rileks dan ketukan hamer pada m.kuadriseps
femoris, Normal bila ekstensi tungkai dan kontraksi otot kuadriseps femoris
Refleks Achiles : ketukan hamer diatas tenson achiles, Normal terjadi gerak
plantar fleksi pada kaki dan kontraksi otot.
24
Chaddock (goresan lateral maleolus, babinski positif)
Gordon (cubit/tekan otot betis, babinski timbul)
Oppenheim (urut kuat tibia dan otot tibialis anterior dgn arah kebawah, babinski
akan timbul)
Gonda (tekan satu jari kaki dan lepaskan sekonyong-konyong, babinski akan
timbul)
Schaefer (tekan/cubit tendon achiles,akan timbul babinski)
24. Mencuci tangan
TAHAP TERMINASI
25. Evaluasi hasil yang dicapai dan jelaskan temuannya
26. Beri reinforcement pada pasien dan keluarga
27. Kontrak pertemuan berikut
28. Mengakhiri pertemuan dengan baik (salam dan terima kasih)
29. Dokumentasi
25
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN :
1. Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan-jalinan saraf yang kompleks, sangat khusus dan
saling berhubungan satu dengan yang lain
2. Syaraf (neuron)terdiri dari :
Sel syaraf dan processusnya (dendrit) yang berfungsi untuk metabolisme, penghasil energi guna
transmisi impuls, juga merendam adanya aliran impuls yang menuju ke dendrit.
Serabut syaraf (axon), berfungsi untuk transmisi atau konduksi impuls.
Ujung syaraf (telodendron) tempat produksi transmiter (acetylcholin, norepinephrin).
3. Proses terjadinya konduksi impuls syaraf ada dua teori :
a. Teori Membran
b. Teori Penyaluran Sirkuit Lokal
4. Sistem syaraf dibagi atas beberapa bagian antara lain :
a. Sistem syaraf pusat terdiri dari :
Otak
Medulla spinalis (sumsum tulang belakang)
b. Sistem syaraf tepi (perifer), yang dibentuk oleh beberapa syaraf yang berhubungan dengan
syaraf pusat secara langsung maupun tidak langsung.
Syaraf cranial
Syaraf otonom :
syaraf simpatis
26
syaraf parasimpatetis
5. Gangguan pada system syaraf :
Gangguan pada serebrum
Ganglion Basalis
Batang otak, pons dan medula oblongata
Kerusakan pada sumsum tulang belakang
Spastisitas dan kekakuan
Terputusnya serabut saraf campuran
DAFTAR PUSTAKA
Pearce, Evelyn C. 1985. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Rosyidi, Alvi. 1996. Anatomi – Fisiologi dan Gizi Manusia. Surakarta: UNS
27