Anda di halaman 1dari 116

KONVERGENSI DAN DIVERGENSI BAHASA DALAM INTERAKSI

BELAJAR MENGAJAR DI KELAS XI MIPA 5 SMA NEGERI 3 KOTA


TANGERANG

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
(S.Pd.)

Oleh
Pitri Puspita Dewi
1112013000072

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Pitri Puspita Dewi

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 17 Mei 1994

NIM : 1112013000072

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Alamat : Jalan Ki Hajar Dewantara Rt/Rw: 03/01 No. 45 Kelurahan


Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang,
Provinsi Banten 15146

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Konvergensi dan Divergensi Bahasa dalam Interaksi
Belajar Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang adalah benar
hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

Dosen Pembimbing : Dr. Nuryani, M. A.

NIP : 19820628 200912 2 003

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan siap menerima
segala konsekuensi apabila terbukti skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, Desember 2018


Yang menyatakan,

Pitri Puspita Dewi


1112013000072
ABSTRAK

Pitri Puspita Dewi (1112013000072). “Konvergensi dan Divergensi Bahasa


dalam Interaksi Belajar Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota
Tangerang”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk
konvergensi dan divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar di Kelas XI
Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif-deskriptif. Pengumpulan data yang digunakan yakni teknik
rekam. Data dalam penelitian ini diperoleh dari teks transkipsi dalam interaksi
belajar mengajar di Kelas XI Mipa 5 yang berfokus pada penggunaan konvergensi
dan divergensi bahasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap bahasa yang ada pada interaksi
belajar mengajar didominasi oleh konvergensi bahasa, hal itu dapat ditunjukkan
dengan sikap guru yang menyesuaikan pemakaian bahasanya ketika
menyampaikan materi kepada siswa dengan respon bahasa yang sama dari siswa
tersebut. Selain konvergensi, terdapat juga divergensi bahasa yang ditunjukkan
oleh penutur (guru) terhadap lawan tuturnya (siswa) dalam pemakaian bahasanya.
Salah satu hal yang melatarbelakangi penutur (guru) melakukan divergensi bahasa
adalah adanya perbedaan sosial dan geografis ketika berinteraksi dengan
siswanya.

Kata kunci: konvergensi, divergensi, interaksi

i
ABSTRACT

Pitri Puspita Dewi (1112013000072). “Language Convergence and


Divergence in Teaching and Learning Interactions in The Eleventh Class of
Science Five State Senior High School 3 Kota Tangerang”. Department of
Education of Indonesian Language and Literature. Faculty of Science and
Teaching of State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.

This research aims to describe how form of language convergence and


divergence in teaching and learning interactions in The Eleventh Class of Science
Five State Senior High School 3 Kota Tangerang. This study used research
qualitative-descriptive methods. The recording technique is used to collect data.
Data in this research obtained from trancription in teaching and learning
interactions in The Eleventh Class of Science Five focused of used language
covergence and divergence.

Result of the study showed that language attitudes that exist in teaching
and learning interactions are dominated by language convergence, this can be
indicated by the attitude of the teacher who adjusts the use of her language when
delivering material to students with the same language response from the student.
In addition to convergence, there is also the language divergence shown by the
speaker (teacher) to the opponent she speaks (student) in the use of her language.
One of the things behind the speaker (teacher) to do language divergence is the
existence of social and geographical differences when interacting with her
students.

Keywords: konvergence, divergence, interaction

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas ke hadirat Allah Swt., atas segala rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis, akhirnya buah dari perjuangan dengan penuh kesabaran telah
terselesaikan. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw., keluarga, para sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Penyusunan skripsi ini tidak lain guna memenuhi syarat mmenyandang
gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini bukan hanya karya penulis semata, sebab di belakangnya begitu
banyak pendukung yang turut membantu penulisan ini hingga titik di halaman
terakhir. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen penasihat akademik Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Dr. Nuryani, M. A., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar
dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi selama
penyusunan skripsi.
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah berbagi pengetahuan seluas-luasnya
selama penulis menempuh studi.
6. Bapak Safrudin Perwira Negara dan Ibu Murni Handayani, kedua orang
tua penulis. Terima kasih telah memberikan kasih sayang, motivasi, dan
doa tiada henti.

iii
7. Kakak tersayang Brigadir Ahmad Dedi Alhaddad dan Nur Aida Putri
Yani, S.Pd., terima kasih selalu mengingatkan dan memberikan
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Briptu Mohammad Agung Saputra, teman hidup di masa yang akan
datang, terima kasih untuk doa, nasihat, semangat dan dukungannya,
serta terima kasih sudah sabar dan setia menjadi tempat keluh kesah
penulis dan selalu memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Teman seperjuangan PBSI Angkatan 2012, khususnya untuk sahabat
yang selalu ada dan tidak pernah bosan untuk mengingatkan dan
memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih
Puji Ayu Lestari.
10. Terima kasih untuk sahabat saya, Evie Mailinda, S.Kom., yang selalu
menemani dan tidak pernah bosan untuk menyemangati dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Terima kasih untuk rekan-rekan pengajar tersayang, Zeus Yeni
Rahman, S.Pd., Ibu Soleha, S.Pd., dan Ibu Alfiyah, yang selalu
menyemangati dan memberikan dukungan kepada penulis.
12. Segenap dewan guru SMP Nurul Hikmah, yang selalu memberikan
dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
13. Semua pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi ini yang tidak bisa
saya sebutkan satu per satu, semoga Allah selalu membalas kebaikan
kalian dengan pahala yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang berguna
untuk perbaikan laporan. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi
penulis khususnya serta pihak yang membutuhkan umumnya.

Jakarta, 15 November 2018


Penulis,

Pitri Puspita Dewi

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... ..... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Batasan Masalah ...................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Landasan Teori ......................................................................... 8
1. Sosiolinguistik............... .................................................... 8
2. Teori Interaksi Belajar Mengajar ...................................... 22
B. Penelitian yang Relevan ........................................................... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Metode Penelitian .................................................................... 30
B. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 30
C. Teknik Penelitian ..................................................................... 31
1. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 31
2. Teknik Pengolahan Data .................................................... 31
D. Sumber Data dan Data ............................................................. 32
1. Sumber Data ..................................................................... 32
2. Data ................................................................................... 32
E. Instrumen Penelitian ................................................................. 33

v
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data .......................................................................... 34
B. Analisis Penelitian ................................................................... 40
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 56
B. Saran ......................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 58
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Klasifikasi Wujud Konvergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar


Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang
Tabel 2.1 Klasifikasi Wujud Divergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar
Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Transkipsi Interaksi Belajar Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA


Negeri 3 Kota Tangerang.
Lampiran 2 : Lembar Uji Referensi
Lampiran 3 : Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 4 : Surat Keterangan Penelitian dari Sekolah

viii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang mempunyai fungsi


sosial. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan bergaul
dengan masyarakat lingkungan, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat
pada umumnya. Ketika berkomunikasi, pastilah seseorang mempunyai
maksud tertentu, seperti mengungkapkan pikiran, perasaan, ide, atau gagasan
kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam berbicara kita harus memperhatikan
pemilihan bahasa, intonasi, tekanan, dan sebagainya agar apa yang kita
sampaikan kepada orang lain itu mudah atau dapat dipahami. Dalam
pemakaian bahasa, manusia sering tidak menyadari bahwa kemampuan
berbahasa tidak hanya sekadar mengeluarkan bunyi-bunyi, melainkan bunyi
itu sendiri harus merupakan simbol atau perlambang.

Pemakaian bahasa merupakan suatu bentuk interaksi sosial yang


digunakan antaranggota masyarakat untuk saling berkomunikasi agar dapat
saling menjalin hubungan dengan cara lembut dan beraneka ragam. Selain itu,
pemakaian bahasa juga digunakan untuk mengekspresikan diri, mengadakan
integrasi dan beradaptasi sosial dan juga sebagai alat untuk kontrol sosial agar
mencapai tujuan komunikasi dan kerja sama. Komunikasi dapat dianggap
sebagai fungsi paling umum bagi pemakai bahasa, dan merupakan sarana yang
paling terperinci dan efektif untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih kompleks untuk
mengadakan komunikasi. Namun dalam komunikasi tersebut, kadangkala ada
beberapa pemakai bahasa yang kurang memperhatikan sikap bahasa. Hal ini
sering terjadi dalam kegiatan interaksi belajar mengajar di sekolah.

11
2

Proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi antara


siswa yang belajar dengan guru sebagai pihak yang mengajar dalam satu
lingkungan. Dalam interaksi belajar mengajar, terjadi proses pengaruh
mempengaruhi. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi antara siswa dengan
guru, tetapi juga antara siswa dengan siswa lain, dan dengan media
pembelajaran. Secara singkat dapat dikatakan bahwa interaksi belajar
mengajar merupakan interaksi yang berlangsung antara guru dengan siswa
dalam rangka mencapai tujuan pengajaran.

Sekarang ini, di dalam lembaga pendidikan formal, banyak ditemukan


kasus seperti penggunaan bahasa yang tidak terpuji pada anak didik.
Terkadang mereka tidak bisa membedakan dimana dan dengan siapa mereka
berbicara. Sering terjadi anak didik menggunakan nada yang keras atau tinggi,
ketika sedang berbicara dengan pendidik. Sikap negatif ini terjadi akibat
seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya
norma bahasa yang nampak dari tindak tuturnya. Mereka cenderung tidak
merasa memerlukan penggunaan bahasa secara cermat dan tertib, dan
mengikuti kaidah yang berlaku.

Bahasa untuk memudahkan kita dalam berkomunikasi sehari-hari baik


itu secara lisan maupun secara tulis. Bahasa sebagai alat komunikasi
merupakan alat untuk merumuskan maksud kita; kita dapat menyampaikan
semua yang kita rasakan, pikirkan, dan apa yang kita ketahui kepada orang
lain. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman
kita atas suatu hal, dan menuangkan ide atau gagasan yang kita pikirkan.
Tujuan untuk berkomunikasi itu adalah agar apa yang kita sampaikan kepada
orang lain itu dapat dipahami dan diterima. Kita ingin membuat orang lain
yakin terhadap pandangan kita. Dalam kegiatan pembelajaran, tujuan
berkomunikasi antara guru dan siswa ialah agar tujuan pembelajaran itu
tercapai. Komunikasi yang dilakukan antara guru dan siswa bukan hanya
proses pertukaran dan penyampaian materi pembelajaran, melainkan ada
dimensi relasi guru dan siswa yang menjadikan proses pembelajaran menjadi
3

lebih efektif. Komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dan siswa, tetapi
juga antara siswa dengan siswa. Siswa dituntut aktif agar dapat berfungsi
sebagai sumber belajar bagi siswa lain.

Setiap individu memiliki kemampuan berbahasa yang berbeda-beda.


Seorang pendidik bisa saja memiliki kemampuan menguasai lebih dari satu
bahasa. Biasanya seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa ini suka
mencampuradukkan bahasa, seperti kasus yang sering ditemukan adalah kasus
dalam penggunaan bahasa, di dalam menggunakan bahasa Indonesia.
Misalnya terdapat seorang pendidik yang menguasai dua bahasa yaitu bahasa
Indonesia dan bahasa daerah, maka kemungkinan besar saat sedang
berkomunikasi bahkan di dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas,
pendidik tersebut secara spontan akan mengeluarkan kosakata bahasa
keduanya. Hal yang sering terjadi adalah bahwa sebagian penutur kurang
mampu dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Para pendidik ketika menyampaikan materi pelajaran terkadang


mecampuradukkan bahasa-bahasa yang mereka kuasai. Beberapa pendidik
masih menggunakan bahasa ibunya (B1) dalam interaksi belajar mengajar,
sehingga dalam penyampaian materi pelajaran, beberapa siswa tidak dapat
sepenuhnya memahami apa yang disampaikan oleh pendidik tersebut. Padahal
ketika menyampaikan materi pelajaran seorang pendidik harus menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa yang digunakan ketika
menyampaikan materi pelajaran harus sesuai dengan kemampuan peserta
didik, agar materi pelajaran yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh
peserta didik. Namun sering kita temukan seorang pendidik yang menyisipkan
bahasa-bahasa asing ataupun bahasa daerah. Pendidik tersebut cenderung
mempertahankan identitas bahasanya. Mereka berbahasa Indonesia tanpa
mempertimbangkan tepat atau tidaknya ragam bahasa yang mereka gunakan.
Mereka menganggap hal yang penting adalah sudah menyampaikan informasi
kepada orang lain. Perkara mengerti atau tidaknya apa yang telah disampaikan
tidak ingin ambil pusing. Padahal jika kita mengacu pada salah satu syarat
4

berjalannya komunikasi adalah keterpahaman mitra tutur terhadap informasi


yang kita sampaikan.

Penggunaan bahasa yang digunakan pendidik pada dua kasus di atas


dapat dikatakan sebagai proses munculnya ragam bahasa (variasi bahasa).
Variasi bahasa dapat terjadi karena perbedaan geografis penutur, perbedaan
sejarah/waktu, dan perbedaan sosial penutur (daerah, status, ragam, usia,
gender, etnis, agama, lingkungan, dan sebagainya). Terjadinya konvergensi
dan divergensi bahasa adalah adanya upaya penutur menyamakan tuturannya
atau membedakan tuturannya dengan mitra tuturnya dan berlangsung secara
terus menerus. Penutur mengakomodasikan tuturannya menjadi sama atau
mirip dengan lawan tuturnya, atau juga penutur tersebut mengakomodasikan
tuturannya berbeda dari lawan tuturnya. Jika tuturannya sama, berarti penutur
tersebut telah melakukan konvergensi bahasa, sebaliknya jika penutur tersebut
tuturannya tidak sama dengan lawan tuturnya, maka penutur tersebut telah
melakukan divergensi bahasa. Penutur yang melakukan konvergensi dan
divergensi bahasa itu dilatarbelakangi oleh perbedaan sosial dan geografis
ketika mereka sedang berinteraksi.

Berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar ditentukan oleh


beberapa faktor, salah satunya yaitu kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh
pendidik. Jika sebuah kegiatan belajar mengajar dipersiapkan dengan baik,
tentu hal yang ingin disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik dapat
diterima dengan baik pula. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemilihan
bahasa merupakan salah satu faktor penting agar kegiatan belajar mengajar
dapat berjalan dengan baik. Bahasa yang digunakan pendidik umumnya harus
jelas, komunikatif, dan terarah agar para peserta didik memahami apa yang
dikatakan oleh pendidik.

Berdasarkan kasus tersebut, dalam penelitian yang akan dilakukan,


penulis memutuskan untuk memilih judul “Konvergensi dan Divergensi
Bahasa dalam Interaksi Belajar Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di
5

Kelas XI MIPA 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang Tahun Pelajaran


2016/2017”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah-


masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Komunikasi pada proses pembelajaran tidak hanya terjadi antara guru


dan siswa, tetapi juga antara siswa dengan siswa.
2. Beberapa pendidik dan beberapa siswa masih cenderung
mempertahankan bahasa sebagai identitasnya.
3. Ada kesenjangan antara bahasa Indonesia sebagai media pembelajaran
dengan realitas penggunaan bahasa daerah di dalam kelas.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan tersebut,


agar ruang lingkup pembahasan lebih terkonsentrasi, maka penulis membatasi
masalah dengan lebih memfokuskan kepada konvergensi dan divergensi
bahasa dalam interaksi belajar mengajar bahasa dan sastra Indonesia di kelas
XI MIPA 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang semester ganjil tahun pelajaran
2016/2017.

D. Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar dalam penelitian ini
tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Masalah penelitian ini dapat
dirumuskan yaitu bagaimana proses konvergensi dan divergensi bahasa dalam
6

interaksi belajar mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas XI MIPA 5


SMA Negeri 3 Kota Tangerang semester ganjil tahun pelajaran 2016/2017?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang diteliti, maka tujuan dalam


penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konvergensi dan divergensi
bahasa dalam interaksi belajar mengajar bahasa dan sastra Indonesia di kelas
XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang tahun pelajaran 2016/2017 dalam
pembelajaran Teks Cerita Ulang dan kaitannya dengan pembelajaran bahasa
Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis manfaat yaitu manfaat teoretis
dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis adalah manfaat yang berhubungan dengan


pengembangan ilmu. Dengan adanya penelitian ini, manfaat bagi peneliti
di antaranya dapat meningkatkan kualitas ilmu pendidikan bahasa
Indonesia dan mampu mengaplikasikannya. Selain itu, peneliti dapat
memahami berbagai problematika yang terjadi dalam konvergensi dan
divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar dan dapat menemukan
solusi yang berkaitan dengan kesalahan penggunaan kosa kata, serta dapat
memberikan rekomendasi asal hasil temuan yang kiranya dapat
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah.

2. Manfaat Praktis
7

a. Bagi siswa, diharapkan mendapat pengetahuan tentang bagaimana


menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada saat
interaksi belajar mengajar.
b. Khusus guru bahasa Indonesia, sebagai tambahan pengetahuan
untuk mengarahkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar dalam menyampaikan materipelajaran di kelas.
c. Bagi peneliti lain sebagai bahan referensi untuk penelitian tentang
konvergensi dan divergensi bahasa di lingkungan pendidikan
formal.
8

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Landasan Teori
1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah studi dari bahasa sehubungan dengan


penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa
sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan
bahasa, khususnya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan
dengan faktor kemasyarakatan.1 Sosiolinguistik adalah ilmu yang
mempelajari tentang bahasa dan orang-orang yang memakai bahasa
tersebut.

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisplin antara sosiologi dan


linguistik. Sosiologi adalah kajian objektif dan ilmiah mengenai manusia
di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang
ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana
masyarakat itu bisa terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan
linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu
yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. 2 Sosiolinguistik
mengkaji unsur-unsur bahasa dalam masyarakat terkait dengan pengguna
bahasa dalam suatu tempat.

Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik mikro. Banyak pakar


yang membahas mengenai linguistik seperti Appel. Menurut pandangan
Appel, sosiolinguistik tidak terlepas dalam kehidupan masyarakat karena
sosiolinguistik merupakan bagian dari interaksi sosial masyarakat.

1
Ni Nyoman Padmadewi, dkk., Sosiolinguistik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 1.
2
Sumarsono, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,
2004), Cet. II, hlm. 2.

8
9

“Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan


komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan
kebudayaan tertentu sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian
bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi
konkret. Dengan demikian dalam lingusitik, bahasa tidak dilihat
internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi/komunikasi di dalam
masyarakat.”3
Selain Appel, ada juga pakar lain yaitu J.A. Fishman. Fishman
mendefinisikan sosilinguistik sebagai “The study of the characteristics of
their speaker as these three constantly interact, change and change one
another within a speech community.”4 Menurut Fishman, sosiolinguistik
mengkaji tentang tiga unsur yang saling berinteraksi dalam masyarakat
tutur. Ketiga unsur tersebut adalah ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi
variasi bahasa, dan pemakai bahasa. Istilah sosiolinguistik pernah direvisi
menjadi sosiologi bahasa pada tahun 1972 oleh Fishman. Fishman
menyebutkan bahwa sosiolinguistik mengkaji seluruh masalah yang
berkaitan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, sehingga dalam
implikasinya tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan
membahas pula mengenai sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa,
dan pemakai bahasa.5 Pendapat Fishman tersebut lebih menghubungkan
antara kajian sosiolinguistik dengan lingkup sosiologi ketimbang dengan
lingkup linguistik, karena dalam kajian sosiolinguistik seorang peneliti
lebih dulu memulai masalah kemasyarakatan kemudian baru dihubungkan
dengan masalah bahasa.

Hudson memberikan batasan sosiolinguistik sebagai “...the study of


language in relation to society”6, maksudnya sosiolinguistik yaitu kajian
tentang bahasa yang memiliki kaitan dengan masyarakat. Sejalan dengan
pengertian Hudson, Kridalaksana juga mendefinisikan “sosiolinguistik
3
Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik (Bandung: Refika Aditama, 2007),
hlm. 6.
4
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), Cet. II, hlm. 3.
5
Padmadewi, Op.Cit., hlm. 2
6
Basuki Suhardi, Pedoman Penelitian Sosiolinguistik (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2009), hlm. 6.
10

sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta
hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di
dalam suatu masyarakat bahasa.7

Demikianlah bahwa sosiolinguistik merupakan bagian dari


masyarakat dan tidak pernah terlepas dari masyarakat karena bagian sarana
interaksi dalam masyarakat. Nababan menyatakan, sosiolinguistik adalah
studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu
sebagai anggota masyarakat atau dapat juga dikatakan bahwa
sosiolinguistik itu mempelajari dan membahas aspek-aspek
kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang
terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor
kemasyarakatan (sosial).8 Sosiolinguistik membahas aspek bahasa yang
berkaitan dengan penuturnya seperti variasi bahasa dan dialek dalam
masyarakat.

Halliday menyebutkan bahwa “sosiolinguistik sebagai institusional


(institutional linguistics), berkaitan dengan pertautan bahasa dengan
orang-orang yang memakai bahasa itu (deals with the relation between a
language and the people who use it).”9 Hal ini berarti bahwa
sosiolinguistik tergantung pada bahasa yang digunakan orang dalam
bertutur. Selain itu, Pride dan Holmes juga merumuskan sosiolingistik
tidak hanya sebatas pada pertautan seseorang melainkan berhubungan
dengan budaya. Dengan demikian, menurut Pride dan Holmes,
sosiolinguistik sebagai “...the study of language as part of culture and
society”, yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan (language in
culture).10

7
Chaer, Op.Cit., hlm. 3.
8
P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 3.
9
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda, 2004), Cet. II, hlm. 2.
10
Ibid.,
11

R. Kunjana Rahardi dalam bukunya menyatakan bahwa


sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan
antara bahasa dan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu.
Sosiolinguistik mempertimbangkan keterikatan dua hal, yaitu lingusitik
untuk segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatan.11

Adapun beberapa definisi sosiolinguitik di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa sosiolinguistik meliputi tiga hal, yaitu bahasa,
masyarakat, serta hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik
erat kaitannya dengan masyarakat tutur yang objek penelitiannya adalah
bahasa dan faktor-faktor sosial. Dalam sosiolingustik, terdapat beberapa
teori, salah satunya adalah teori akomodasi, berikut penjelasannya.

Teori Akomodasi Giles

Teori komunikasi akomodasi adalah sebuah teori yang


menggambarkan sikap bahasa seorang individu yang meliputi sikap bahasa
positif maupun negatif yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Teori
ini lebih ditunjukkan oleh penutur terhadap lawan tutur.12

Dalam percakapan antara orang-orang dengan pengucapan yang


berbeda, mereka menyadari bahwa ada kecenderungan umum
untuk mengucapkan kedua hal tersebut bersama-sama. Proses ini
disebut akomodasi, yang menjelaskan cara penyesuaian orang yang
pindah ke lingkungan baru dengan norma yang baru pula. Karena
kita berbicara tentang perubahan probabilitas dan persentase,
perubahan tidak terlalu begitu jelas bagi penutur atau lawan tutur.
Tetapi jika kita merekam percakapan antara dua penutur varietas
yang berbeda, kita akan menemukan persentase mereka dengan
menggunakan beberapa fitur bahasa yang sering bertemu. Itu
adalah hal yang umum untuk menemukan bahasa yang digunakan

11
R. Kunjana Rahardi, Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), hlm. 16.
12
Made Iwan Hendrawan Jendra, Sociolinguistics The Study of Societies Languages
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 123
Bernard Spolsky, Sociolinguistics (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 41
12

seperti kosakata, bentuk tata bahasa, dan bahkan pengucapan yang


kita dapatkan dari percakapan tersebut.13
Jadi, teori ini menjelaskan mengenai penyesuaian yang dilakukan
seorang penutur terhadap bahasa ketika berada dalam lingkungan baru
yang lawan tuturnya berbeda dengan latar belakang penutur.

Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk


menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang
dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya
dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah
kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan
orang lain.14 Communication Accomodation Theory (CAT)
memberikan perhatian pada interaksi memahami antara orang-
orang dari kelompok yang berbeda dengan menilai bahasa,
perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu.15
Made Iwan dalam bukunya mengklasifikasikan teori akomodasi
sebagai berikut. “There are two important sociolinguistic concepts
in the theory, namely convergence and divergence. As convergence
and divergence are individual’s language attitude found in a
conversation, the concepts are the best classifield as individual
phenomena.” (Ada dua konsep penting dalam teori sosiolinguistik ,
yaitu konvergensi dan divergensi. Dapat dikatakan konvergensi
dan divergensi adalah sikap bahasa individu yang ditemukan dalam
percakapan, konsep adalah penggolongan terbaik sebagai
fenomena individual).16
Giles mengembangkan pengertian akomodasi, suatu istilah yang
biasa dipakai dalam psikologi, ke dalam perilaku linguistik. Biasanya
akomodasi itu mengambil bentuk konvergensi (menyatu atau menuju ke
satu arah), yaitu penutur akan memilih suatu bahasa atau ragam bahasa
yang sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan lawan bicara. Namun,
dalam kondisi tertentu seorang penutur bisa gagal mengonvergensikan diri
atau dia bahkan harus melakukan divergensi (mengaburkan atau
menyimpang dari arah). Dengan kata lain, seorang penutur mungkin saja

13
Bernard Spolsky, Sociolinguistics (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 42
14
Richard West dan Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and
Application 3rd ed. (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 217
15
William B Gudykunst dan Bella Mody, Handbook of International Inter Cultural
Communication 2nd Edition (Sage Publication. Thousand Oaks, 2002), hlm. 44
16
Jendra, Op Cit.
13

sama sekali tidak berusaha untuk menyesuaikan tuturnya dengan


kepentingan lawan bicaranya dan justru dengan sengaja membuat tuturnya
sama sekali tidak serupa dengan tutur lawan bicara. Hal ini akan terjadi,
kalau si penutur ingin menekanakan loyalitas atau kesetiaan terhadap
kelompoknya dan memisahkan diri dari kelompok lawan tuturnya.17

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada dua konsep


penting dalam teori sosiolinguistik, yaitu konvergensi dan divergensi.
Konvergensi dan divergensi adalah sikap bahasa individu yang ditemukan
dalam percakapan, konsep tersebut merupakan penggolongan terbaik
sebagai fenomena individual. Adapun uraian lebih lanjut mengenai
konvergensi dan divergensi adalah sebagai berikut.

a. Konvergensi

Konvergensi mengacu pada sikap positif yang ditunjukkan oleh


pembicara terhadap pendengar dengan menyesuaikan fitur bahasa
(pengucapan, aksen, kosakata, dan struktur) sehingga dipahami dan
diterima. Sebagai contoh bentuk konvergensi tersebut dapat kita temukan
ketika seorang ibu berbicara kepada anaknya. Biasanya ia berpikir bahwa
ia perlu menggunakan ekspresi lebih singkat dan sederhana, seperti warna
suara yang lebih tinggi, kecepatan petunjuk, dan melakukan pengulangan
sehingga apa yang dikatakannya dipahami dengan jelas.18 Contoh lain
dapat kita temukan di dalam kelas, yaitu ketika guru berbicara lebih
lambat, ia menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu sulit, dan
menyederhanakan struktur dari ucapan-ucapan agar apa yang dijelaskan
lebih mudah dipahami.19 Konvergensi sering terjadi dalam percakapan
bilingual-monolingual. Seperti contoh dua orang gadis bilingual yang
sedang berdialog dengan gadis monolingual maka dalam dialognya dua
orang gadis bilingual tersebut akan menggunakan bahasa yang dimengerti

17
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda), hlm. 213
18
Jendra, Op Cit.
19
Ibid., hlm. 124
14

gadis monolingual.20 Ciri-ciri konvergensi dapat dilihat dari pilihan


tuturan kosakata, bentuk tata bahasa, dan bahkan perubahan lafal terhadap
lawan bicara.21

Penutur dapat menyesuaikan perilaku kebahasaan dalam reaksi


terhadap lawan bicara dengan mengubah ujaran ke bahasa lain
(atau tidak mengubahnya), memakai kata-kata atau satuan bahasa
yang lebih besar (frase; kalimat) dari bahasa lain atau (tidak)
memilih varian-varian dalam bahasa menjadi satu alur arah atau
yang lain; dapat juga memakai strategi seperti terjemahan wacana
pendek, memodifikasi tempo ujaran, dan memaksimalkan atau
meminimalkan aksennya.22
Weinreich mendefinisikan konvergensi sebagai kesamaan yang
parsial yang selanjutnya meningkat pada adanya perbedaan. Konvergensi
dan divergensi adalah gagasan yang berhubungan, yakni mengacu pada
proses dan hasil dari proses tersebut.23 Selanjutnya, Peter Auer, Frans
Hinskens, dan Paul Kerswill menjelaskan bahwa proses perubahan bahasa
hanya menyelesaikan hal-hal yang ada di balik perubahan bahasa, baik
secara intrasistemik (misalnya, perubahan bunyi secara leksikal yang
menyebar) maupun di antara variasi bahasa yang berdekatan (misalnya,
dialek atau gaya/style).24

Mahsun dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terjadinya


konvergensi dan divergensi dalam masyarakat bahasa adalah karena
adanya kesepadanan adaptasi linguistik dengan adaptasi sosial. Adaptasi
linguistik adalah proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh
bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama,
sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, antara satu
sama lain. Adaptasi sosial adalah proses yang terjadi akibat adanya kontak
sosial yang melibatkan dua kelompok yang memiliki perbedaan budaya

20
Ibid.
21
Spolsky, Op. Cit.
22
Sumarsono, Op. Cit. hlm. 215
23
Peter Auer, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill, Dialect Change: Convergence and
Divergence in European Languages, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 2
24
Ibid., hlm. 4
15

atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain atau salah satu di
antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup
untuk mendukung terciptanya eksistensi kehidupan yang solider dan
harmoni di antara mereka. Apabila adaptasi sosial lebih tinggi (melalui
adaptasi linguistik), akan terbentuklah kondisi harmoni, tetapi sebaliknya,
apabila adaptasi sosial rendah, kondisi tidak harmonilah yang terbentuk.
Ini berkaitan dengan penyesuaian bahasa atau pilih bahasa atau
konvergensi dan divergensi bahasa.25 Konsep konvergensi dan divergensi
bahasa yang diterapkan oleh Mahsun yakni menghubungkannya dengan
situasi terciptanya keharmonisan sosial dalam masyarakat. Konvergensi
dan divergensi yang dimaksudkan di sini adalah adanya upaya masyarakat
untuk menyesuaikan tuturannya dengan lawan tuturnya sehingga
komunikasi di antaranya dapat terjalin.

Konvergensi adakalanya disukai dan mendapat apresiasi atau


sebaliknya. Orang cenderung memberikan respon positif kepada orang lain
yang berusaha mengikuti atau menirunya, tetapi orang tidak menyukai
terlalu banyak konvergensi. Khususnya jika hal itu tidak sesuai atau tidak
pantas justru akan menimbulkan masalah. Misal, ketika seseorang
berbicara lambat tetapi keras kepada seorang buta atau seorang perawat
yang berbicara dengan pasien berusia lanjut dengan meniru suara bayi
(semacam sindiran karena orangtua lanjut dianggap seperti bayi). Orang
cenderung akan menghargai konvergensi yang dilakukan secara tepat,
bermaksud baik dan sesuai dengan situasi yang ada, namun orang tidak
suka atau bahkan tersinggung jika konvergensi itu dilakukan secara
patut.26

Dengan demikian, konvergensi bukan hanya tentang cara


pengucapan bahasa akan tetapi bagaimana seseorang yang melakukan

25
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
26
Morrison dan Wardhany Andy Corry, Teori Komunikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2009), hlm. 135.
16

konvergensi itu memperhatikan apa yang diucapkan sehingga


memunculkan sikap positif yang membuat seseorang paham dan mengerti
dengan apa yang dibicarakan. Dalam hal pembelajaran, sesungguhnya
seorang pendidik atau guru dituntut untuk melakukan hal ini. Bagaimana
seorang guru bersikap di dalam kelas dengan bahasa yang santun, tidak
kaku, dan tentunya dapat dipahami oleh anak didik dalam menyampaikan
materi pembelajaran. Hal yang paling penting adalah seorang pendidik
dengan konvergensinya mampu menumbuhkan motivasi bagi anak didik
untuk mau memahami materi pembelajaran.

b. Divergensi

Di dalam Teori Komunikasi Akomodasi, divergensi adalah sebuah


konsep yang mencerminkan sikap bahasa yang mengambil arah yang
berlawanan dari konvergensi. Hal ini mengacu pada pemisahan yang
ditunjukkan oleh penutur bahasa terhadap lawan tuturnya.

Berbeda dengan konvergensi, divergensi mengarah pada sikap


bahasa yang negatif. Penutur tidak mau menyesuaikan bahasanya terhadap
lawan tuturnya. Hal ini sering terjadi untuk beberapa latar belakang sosial,
politik, dan budaya yang berbeda.27 Sebagai contoh dalam interaksi belajar
mengajar dapat ditemukan seorang guru yang masih mempertahankan
identitas bahasanya dalam menyampaikan materi pelajaran sehingga
membuat siswa sulit untuk memahami materi yang diajarkan.

Divergensi muncul karena penutur menggunakan gaya bahasanya


secara konsisten karena faktor kebanggaan akan atribut kelompok
sosialnya atau penutur tersebut memiliki rasa solidaritas kelompok
sosialnya yang ditandai dengan penggunaan pemertahanan gaya
bahasa asal dari penutur tersebut.28
Gejala divergensi itu misalnya ada pada orang Negro di AS, yang
dalam dialognya dengan orang-orang kulit putih kadang-kadang sengaja

27
Jendra, Op. Cit.
28
R. Hudson, Sociolinguistics (2nd Edition) (Cambridge University Press, 1996), hlm. 42
17

memakai bahasa Inggris nonbaku khas Negro, justru untuk menunjukkan,


dia bukan orang kulit putih (yang sering merendahkannya) melainkan
orang Negro. Sikap demikian juga ada pada orang-orang Arab yang pada
tahun 1970-an mengeluarkan komunike tentang minyak bukan dalam
bahasa Inggris melainkan dalam bahasa Arab.29

Contoh lainnya adalah, para mahasiswa dari kelas menengah-atas


di Inggris pada tahun 1970-an menerima gagasan liberalisasi dan
mendemonstrasikannya dengan menanggalkan gaya tutur dan berbusana
yang biasa diharapkan oleh kelas itu. Namun diterima atau tidak
konvergensi-menurun itu oleh kelompok bawahan sebagian bergantung
kepada status sosiolinguistik ragam bahasa kelompok bawahan. Jika
variasi itu dianggap sebagai bahasa (bukan sekadar ragam bahasa atau
dialek), kelompok bawahan mungkin menerima atau bahkan menuntut
agar kelompok dominan juga memakai bahasa itu selama proses
perubahan sosial. Hal semacam itu terjadi misalnya pada waktu
kebangkitan nasionalisme Prancis di kalangan warga keturunan Prancis di
Quebec, Kanada. Sebagai kelompok bawahan di Kanada, di bawah
kelompok dominan berbahasa Inggris, mereka ingin mempertahankan
bahasa Prancis. Kelompok dominan tidak keberatan, bahkan banyak di
antara mereka berbahasa Prancis dengan akses Inggris. Tetapi, kelompok
Prancis akhirnya menuntut agar bahasa Prancis juga diajarkan di sekolah
dan diberlakukan juga bagi anak-anak penutur asli bahasa Inggris.
Kelompok Prancis mau menerima “bahasa Prancis dengan aksen Inggris”
oleh kelompok dominan.30

Jika sistem bahasa kelompok bawah itu dipandang sebagai


ragam subbaku (nonbaku) dari bahasa kelompok dominan (seperti
ragam Inggris orang Negro di AS), konvergensi-menurun yang
dilakukan oleh kelompok dominan itu justru banyak tidak diterima.
Salah satu alasan ialah pemakaian ragam bawahan oleh kelompok
etnik lain (yang tidak memiliki ragam itu) dianggap sebagai

29
Sumarsono, Op. Cit., hlm. 213-214.
30
Ibid., hlm. 218-219.
18

ejekan; dalam masa perubahan sosial, usaha konvergensi itu


mungkin dipandang sebagai klaim (tuntutan) menjadi anggota
kelompok bawahan. Warga kelompok bawahan sulit menerima
klaim semacam itu.31
Seperti yang disampaikan Janet Holmes dalam buku Made Iwan,
mengemukakan bahwa “...minority ethnic groups who want to maintain
and display their cultural distinctiveness will often use their own linguistic
variety, even, and sometimes especially, in interaction with majority group
members”.32 (kelompok etnis minoritas yang ingin mempertahankan dan
menampilkan kekhasan budaya mereka akan sering menggunakan
berbagai bahasa mereka sendiri, bahkan, kadang-kadang terutama, dalam
interaksi dengan anggota kelompok mayoritas).

Berdasarkan pendapat Janet Holmes di atas, divergensi sering


dilakukan oleh etnis minoritas yang ingin mempertahankan kekhasan
budayanya dengan menggunakan bahasanya sendiri, sehingga orang yang
melakukan komunikasi dengan mereka cenderung sulit memahami apa
yang mereka sampaikan. Dalam hal ini divergensi adalah bagaimana
seorang individu menunjukkan kesetiaan terhadap bahasanya. Meskipun
berada di luar daerah mereka, mereka tetap menggunakan bahasa yang
mereka anggap sebagai suatu kekhasan dari etnis mereka.

Konvergensi dan divergensi tidak memerlukan satu pilihan dari


keduanya. Ada berbagai variasi pilihan yang mungkin terjadi jika seorang
penutur berinteraksi dengan orang dari luar kelompoknya.

1) Prilaku yang paling bersifat konvergensi adalah memakai bahasa


lawan bicara dan berusaha keras menampilkan ujaran yang serupa
betul dengan ujaran penutur asli sebagaimana si lawan bicara.
2) Prilaku yang kurang konvergensi terjadi dengan menggunakan bahasa
si lawan bicara tetapi aksennya mungkin “lebih berat”.

31
Ibid., hlm. 219.
32
Jendra, Op. Cit.
19

3) Penutur memakai bahasanya (melakukan divergensi) tetapi dengan


tempo yang lamban untuk menghormati lawan tutur, yang mungkin
kurang memahami bahasa yang dipakai.
4) Ujaran yang paling divergen adalah kalau penutur memakai bahasanya
dengan kecepatan normal, membiarkan lawan bicara memahami
ujarannya sebisa mungkin.33

Menurut Giles strategi konvergensi atau divergensi itu dipakai


ketika (1) apakah si penutur itu seorang anggota kelompok sosiokultural
yang dominan (seperti orang Anglo-Sakson –penutur asli bahasa Inggris,
di AS) atau “bawahan” (seperti kelompok orang Negro, Yahudi, Spanyol
di AS), dan (2) apakah penutur itu berpikir atau tidak mengenai
kemungkinan perubahan sosial (dalam arti memperbaiki posisi atau status
kelompok bawahan).34

Perilaku akomodasi kebahasaan yang diharapkan oleh kelompok


dominan atau bawahan dalam berbagai persepsi perubahan sosial
adalah jika kelompok dominan berharap tetap dominan (seperti
misalnya orang-orang Belanda pada zaman penjajahan Indonesia
dahulu), warga akan berasumsi, warga kelompok bawahan akan
melakukan penyesuaian kebahasaan. Akibatnya, mereka
(kelompok dominan) akan memakai bahasa atau dialeknya sendiri
yang berprestise dengan wujud sebagai mana adanya (secara
normal) tanpa berusaha untuk melakukan konvergensi. Dalam hal
semacam itu kelompok dominan dengan sombong menuntut hak
dominasinya. Tetapi dalam tertib sosial yang statis (tak ada
perubahan sosial), tingkat konvergensi itu mungkin “menurun”.
Sikap menghargai bahasa yang “benar” dan “baik” lebih banyak
tersebar daripada pemakaiannya. Dalam diglosia misalnya kita
melihat bahasa L yang diremehkan dan bahasa H yang dihormati,
banyak orang memahami bahasa L tetapi sedikit yang betul-betul
memakai H. Akibatnya, jika seorang penutur asli bahasa yang
“benar” atau “baik” itu hendak dengan sengaja menyerah dengan
memakai bahasa yang tidak berprestise ketika berbicara dengan
orang dari kelompok bawahan, akan ada bahaya nyata berupa

33
Partana, Op. Cit., hlm. 214.
34
Ibid., hlm. 215-216.
20

serangan dari anggota warga bawahan (misalnya dia akan


dicurigai).35
Sebaliknya, jika kelompok bawahan tidak melihat adanya
kemungkinan perubahan sosial, satu-satunya kesempatan untuk
perbaikan sosial dalam masyarakat terletak pada jalur penerimaan
oleh kelompok dominan. Penerimaan itu diperoleh dengan cara apa
saja, termasuk konvergensi linguistik. Artinya, mereka
menyesuaikan diri dengan perilaku berbahasa kelompok dominan.
Warga kelompok bawahan dapat diharapkan melakukan
konvergensi jika berhubungan dengan kelompok dominan kalau
perubahan sosial tampak tidak mungkin. Strategi konvergen itu
akan dipakai oleh warga kelompok bawahan kalau mereka
menganggap ada kemungkinan atau harapan untuk memperoleh
keuntungan sosial dalam masyarakat yang lebih luas. Warga yang
melihat tidak ada harapan seperti itu mungkin lebih baik menarik
diri ke dlam keompoknya sendiri. Mereka jarang berhubungan
dengan kelompok dominan dan sedikit sekali melakukan
konvergensi manakala hal itu diharuskan.36

Seorang sarjana dari Stanford University yaitu C.A. Ferguson


menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup
berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.37
Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi bahasa
dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (high) (disingkat
dialek T/H atau ragam T/H), dan yang kedua disebut dialek rendah (low)
(disingkat dialek R/L atau ragam R/L).38

Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan pembagian


fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi
status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau
penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks
dan konservatif, variasi lain mempunyai status “rendah” dan

35
Ibid., hlm. 216-217.
36
Ibid., hlm. 217-218.
37
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), Edisi Revisi, hlm. 92
38
Ibid., hlm. 93.
21

dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya


disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.39
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa
terdapat situasi di mana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan
dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya
pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi
informal dan santai.40

Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya


menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejekan,
cemoohan, atau tertawaan orang lain. Dalam pendidikan formal dialek T
harus digunakan sebagai bahasa pengantar, namun seringkali sarana
kebahasaan dialek T tidak mencukupi. Oleh karena itu dibantu dengan
menggunakan dialek R. Di Indonesia juga ada pembedaan ragam T dan
ragam R bahasa Indonesia, ragam T digunakan dalam situasi formal
seperti di dalam pendidikan; sedangkan ragam R digunakan dalam situasi
nonformal seperti dalam pembicaraan dengan teman karib.41

Dalam masyarakat Indonesia, ragam bahasa Indonesia baku


dianggap lebih bergengsi daripada ragam bahasa Indonesia
nonbaku. Dalam masyarakat Melayu/Indonesia beberapa puluh
tahun yang lalu juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan bahasa
Melayu R, di mana yang pertama menjadi bahasa sekolah, dan
yang kedua menjadi bahasa pasar.42
Di dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas, bahasa
Indonesia dianggap sebagai dialek T, sedangkan bahasa yang bukan
bahasa Indonesia (dialek betawi, jawa, sunda, dan lain-lain) dianggap
sebagai dialek R. Pada saat di kelas, seorang guru seharusnya

39
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm.
40
Chaer, 2010, Op. Cit., hlm. 93-94.
41
Ibid., hlm. 94
42
Ibid., hlm. 94
22

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dalam


percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R itu.

2. Teori Interaksi Belajar Mengajar

Pemakaian bahasa adalah suatu bentuk interaksi sosial yang dapat


dipakai oleh setiap warga dalam suatu masyarakat untuk dapat saling
menjalin antar hubungan dengan cara lembut dan beraneka ragam, dan
untuk mencapai tujuan komunikasi dan kerjasama. Komunikasi dapat kita
anggap sebagai fungsi paling umum bagi pemakai bahasa. Komunikasi
bukan semata-mata terjadi melalui pemakaian bahasa, tetapi bahasa
memang sarana yang paling terperinci dan efektif untuk dapat
berkomunikasi dengan orang lain.

Pemakaian bahasa di ranah pendidikan haruslah disesuaikan


dengan kebutuhan, seorang guru harus mampu memilih bahasa
mana yang pantas dipakai dalam hal pembelajaran. Kata “belajar”
sering digunakan dalam kehidupn sehari-hari, baik itu dalam ranah
pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Secara
umum, kata “belajar” sering diartikan sebagai proses dimana tidak
tahu menjadi tahu, atau pun tidak bisa menjadi bisa. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “belajar” berarti “berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu; berubah tingkah laku atau
tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.43
Hal ini senada dengan definisi Skinner seperti yang dikutip oleh
Muhibbin Syah, berpendapat bahwa “belajar adalah suatu proses
adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang bersifat progresif.44
Sedangkan menurut Muhibbin Syah di dalam bukunya mengatakan
bahwa belajar adalah “tahap perubahan seluruh tingkah laku
individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan poses kognitif.45

43
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), hlm. 17
44
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), hlm. 90
45
Ibid., hlm. 92
23

Berdasarkan dari defini tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa


belajar merupakan proses yang menghasilkan dan berlangsung menetap.

Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan


sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakannya guna
membelajarkan anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik
yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah
interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan sebagai
mediumnya.46 Dalam hal ini guru sebagai pendidik harus mampu
menciptakan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien,
bukan sekedar memberikan materi saja akan tetapi memikirkan
juga bagaimana seorang guru memberikan materi ajar dan anak
didik dapat mengerti dengan apa yang disampaikan.
Walaupun komunikasi bukanlah merupakan bahasa, tapi bahasa
dapat merupakan komunikasi. Bahasa ditinjau dari sudut
komunikasi adalah transmisi pesan, yang merupakan pemilihan
serangkaian simbol dari satu persendian kode. Jadi kita
menggunakan bahasa seolah-olah seperti memilih kata demi kata.
Setelah satu kata dipilih, pemilihan kata berikutnya ditentukan oleh
hukum kemungkinan. Misalnya ialah kata yang telah dipilih ialah
“the”, kemungkinan jenis kata berikutnya yang berupa kata
sandang atau kata kerja tentu kecil.47 Artinya bahasa yang dilihat
dari segi komunikasi yaitu berupa transmisi pesan, yang diambil
dengan memilih serangkaian simbol dari satu persendian kode.
Ketika kita menggunakan bahasa itu seperti kita memilih kata demi
kata yang akan kita gunakan. Dalam hubungannya dengan
komunikasi dan berbahasa, interaksi edukatif juga merupakan salah
satu bagian dari keduanya.
Interaksi edukatif dapat berlangsung baik di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Interaksi edukatif yang berlangsung secara
khusus dengan ketentuan-ketentuan tertentu di lingkungan sekolah lazim
disebut interaksi belajar mengajar. Interaksi belajar mengajar mengandung
arti adanya kegiatan interaksi dari guru yang melaksanakan tugas
mengajar di satu pihak, dengan warga belajar (siswa, anak didik atau
subjek belajar) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain.
Secara singkat dapat disebutkan bahwa interaksi belajar mengajar

46
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hlm. 37.
47
W. F. Mackey, Analisis Bahasa untuk Pengajaran Bahasa (Surabaya: Usaha Nasional,
1984), hlm. 41-42
24

merupakan interaksi yang berlangsung antara guru dengan siswa dalam


rangka mencapai tujuan pengajaran.48

Interaksi edukatif atau yang lazim disebut sebagai interaksi belajar


mengajar bisa dipahami sebagai kegiatan interaksi yang dilakukan
oleh guru dan siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Namun
selain di lingkungan pendidikan interaksi edukatif juga biasa
terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pengajaran berintikan interaksi antara guru dengan siswa. Dalam
interaksi ini, guru memerlukan kegiatan mengajar dan siswa
belajar. Dalam interaksi belajar mengajar terjadi proses pengaruh
mempengaruhi. Interaksi ini bukan hanya terjadi antara siswa
dengan guru, tetapi antara siswa dengan manusia sumber (yaitu
orang yang bisa memberi informasi), antara siswa dengan siswa
lain, dan dengan media pelajaran. Interaksi belajar mengajar secara
langsung terjadi di sekolah. Interaksi ini sebagian besar terjadi di
dalam kelas, tetapi juga dapat berlangsung di laboratorium, di
bengkel kerja atau keterampilan, di lapangan olah raga, di pentas
kesenian, di kebun atau kolam sekolah ataupun di ruang khusus
lainnya.49
Dari uraian tersebut bentuk interaksi, khususnya mengenai
interaksi yang disengaja, ada istilah interaksi edukatif. Interaksi edukatif
ini adalah adalah interaksi yang berlangsung dalam suatu ikatan untuk
tujuan pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu interaksi edukatif perlu
dibedakan dari bentuk interaksi yang lain. Dalam arti yang lebih spesifik
pada bidang pengajaran, dikenal adanya istilah interaksi belajar-mengajar.
Dengan kata lain apa yang dinamakan interaksi edukatif, secara khusus
adalah sebagai interaksi belajar-mengajar.

Interaksi belajar-mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan


interaksi dari tenaga pengajar yang melaksanakan tugas mengajar
disatu pihak, dengan warga belajar (siswa, anak didik atau subjek
belajar) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain.
Interaksi antara pengajar dengan warga belajar, di harapkan
merupakan proses motivasi. Maksudnya, bagaimana dalam proses
interaksi itu pihak pengajar mampu memberikan dan
48
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar untuk Fakultas Tarbiyah
Komponen MKDK (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 118.
49
R. Ibrahim dan Nana Syaodih S., Perencanaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), hlm. 31-32
25

mengembangkan motivasi serta reinforcement kepada pihak warga


belajar, agar dapat melakukan kegiatan belajar secara optimal.50
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari proses
belajar mengajar adalah adanya interaksi antara guru dan siswa. Guru
melakukan kegiatan mengajar dan siswa belajar. Interaksi belajar mengajar
dapat menimbulkan proses saling mempengaruhi. Interaksi belajar
mengajar bukan hanya melibatkan guru dan siswa saja tetapi juga
melibatkan hal yang lain seperti media pelajaran. Interaksi ini dapat
berlangsung di semua tempat di dalam sekolah, baik di dalam kelas
maupun di luar kelas.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan yang berkaitan dengan skripsi ini, yaitu:

1. Disertasi yang ditulis oleh Dwi Widayanti (2010), mahasiswa Universitas


Sumatera Utara yang berjudul “Konvergensi dan Divergensi dalam
Dialek-dialek Melayu Asahan”. Persamaan disertasi tersebut dengan
penelitian yang penulis lakukan ialah dari objeknya, yakni tentang
konvergensi dan divergensi, sedangkan perbedaan antara keduanya
adalah dari subjeknya, yaitu jika dalam disertasi tersebut meneliti
masyarakat Sumatera Utara yang menggunakan bahasa Melayu Asahan
sebagai bahasa kesehariannya, dalam penelitian yang penulis lakukan
adalah penggunaan bahasa dalam lingkungan sekolah jenjang SMA baik
anak didik maupun pendidiknya dalam kegiatan belajar mengajar.
Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Dwi Widayanti dalam
disertasinya adalah tentang sistem segmental, variasi, serta faktor-faktor
yang menyebabkan konvergensi dan divergensi dalam dialek-dialek di
Asahan. Faktor yang menyebabkan adanya variasi dalam dialek bahasa
Melayu yang dipakai oleh masyarakat Asahan itu, disebabkan karena

50
Sardiman A. M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), cet. Ketujuh, hlm. 1-2
26

banyaknya orang yang bertransmigrasi ke Sumatera Utara, sehingga


terjadi campuran antara dialek bahasa Melayu dengan bahasa yang
dibawa oleh penduduk yang bertransmigrasi tersebut.

2. Disertasi dari Eduard Karel Markus Masinambow (1976), mahasiswa S3


Ilmu Sastra Universitas Indonesia yang berjudul “Konvergensi
Etnolinguistis di Halmahera Tengah; Sebuah Analisa Pendahuluan”.
Pembahasan yang dilakukannya berkenaan dengan konvergensi urutan
konstituen sintaksis dari bahasa Tobelo dan bahasa Melayu Halmahera.
Istilah yang digunakan adalah “konvergensi ke (arah), tidak ada
konvergensi, dan konvergensi dengan”. Istilah “konvergensi ke (arah)”
hanya digunakan jika menyangkut dua bahasa yang berbeda jenis dan
salah satu tidak mengikuti urutan konstituen yang sesuai dengan
konstituen yang khas bagi jenis bahasa yang kedua. Istilah “konvergensi
dengan” digunakan menurut sudut pandang bahasa yang kedua itu, yaitu
bersama-sama dengan kasus-kasus mengenai bahasa sejenis yang
memperlihatkan urutan konstituen yang sama dan sesuai dengan jenisnya
itu. Istilah “tidak ada konvergensi” digunakan jika salah satu bahasa tidak
sesuai urutan konstituennya dibandingkan dengan urutan konstituen
kedua bahasa yang lain.

3. Disertasi dari Ni Made Dhanawaty (2002), mahasiswa S3 Ilmu-ilmu


Humaniora Universitas Gajah Mada yang berjudul “Variasi Dialektikal
Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi Lampung Tengah” yang mencoba
mengaitkan teori akomodasi dalam penelitian dialektologi. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa bahasa Bali di Lampung Tengah
secara fonologis berbeda dengan bahasa Bali di daerah asalnya di Bali.
Perbedaan ini tercermin pada variasi distribusi dan realisasi fonem.
Variasi-variasi itu sebagian besar muncul karena adanya kecenderungan
berakomodasi pada penutur bahasa Bali di Lampung Tengah.
Kecenderungan berakomodasi tertinggi di daerah itu terdapat pada
27

penutur lek Nusa Penida, kelompok usia muda, di desa Rama Dewa.
Perilaku akomodatif mereka menyebabkan terjadinya suatu perbedaan
terbesar yang terdapat di antara kelompok usia muda di desa Rama Dewa
dan lek Nusa Penida di daerah asal. Arah akomodasi antarlek paling
banyak tertuju ke lek Karangasem, sedangkan arah akomodasi atarbahasa
paling banyak tertuju kepada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada
saat akomodasi, penutur memodifikasi tuturannya secara fonologis
sehingga semakin mirip dengan lek lawan tuturnya.

4. Skripsi yang dilakukan oleh Nurlaelah (2007), mahasiswa FKIP


Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka yang berjudul “Perbedaan
Kemampuan Mengarang Argumentasi Antara Siswa Kelas X SMAN 101
Joglo Jakarta Barat dengan Siswa Kelas X SMAN 3 Ciledug Tangerang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan
mengarang argumentasi antara siswa kelas X SMAN 101 Joglo Jakarta
Barat dengan siswa kelas X SMAN 3 Ciledug Tangerang. Penelitian ini
dilakukan di sekolah SMAN 101 yang beralamat di Jl. Perumahan Joglo
Jakarta arat dan di Sekolah SMAN 3 yang beralamat di Jl. Ciledug Raya
Tangerang, pada semester genap tahun 2006/2007. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode ekspose fakto dengan teknik perbedaan.
Pengumpulan data diperoleh dengan cara menugasi siswa membuat
karangan argumentasi, kemudian hasil karangan siswa dianalisis
berdasarkan aspek isi gagasan , organisasi isi, tata bahasa, diksi, dan
ejaan. Populasi dalam penelitian ini adalah hasil karangan siswa kelas X
SMAN 3 Ciledug Tangerang. Jumlah sample yang diteliti sebanyak 60
orang siswa dengan pengambilan random sampling/ acak melalui
lintingan kertas atau dikocok. Hasil diperoleh nilai rata-rata karangan
argumentasi siswa kelas X SMAN 101 Joglo Jakarta Barat sebesar 74,
dengan simpanan buku 6,5, sedangkan hasil nilai rata-rata siswa kelas X
SMAN 3 Ciledug Tangerang diperoleh 80,3, dengan simpanan buku 8,6.
Selanjutnya peneliti memasukan data yang berupa analisis tes mengarang
28

argumentasi mereka kedalam rumus yang telah ditetukan. Jika t table


(3,2)>t hitung (2,000), maka berarti Ho ditolak Hi diterima. Bedasarkan
hasil analisis dan pembutian hipotesis ternyata siswa SMAN 3 Ciledug
Tangerang lebih unggul daripada siswa kelas SMAN 101 Joglo Jakarta
Barat dalam karangan argumentasi. Untuk lebih meyakinkan peneliti
melakukan perhitungan menggunakan uji-t yang telah ditentukan,
ternyata diperoleh harga t sebesar 3,2 dengan d.k sebesar 13,45,
selanjutnya peneliti mengkonsultasikannya dengan harga t yang terdapat
dalam table. Dalam table diketahui harga t kritik pada taraf signifikansi
0,05 ialah 2,000. Hasil konsultasi tersebut dapat diketahui t hasil (3,2) > t
table (2,000), berarti Ho ditolak Hi diterima. Jadi dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, terdapat perbedaan kemampuan mengarang
argumentasi antara siswa kelas X SMAN 101 Joglo Jakarta Barat dengan
siswa kelas X SMAN 3 Tangerang.

5. Penulisan/penelitian dosen yang dilakukan oleh Hanum Putri Permatasari


(2013), yang berjudul “Perancangan Sistem Informasi Akademik
Berbasis Web Pada SMAN 3 Tangerang”. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk merancang sistem informasi akademik berbasis web sesuai
dengan kebutuhan SMAN 3 Kota Tangerang. Perancangan sistem
informasi akademik berbasis web ini diharapkan dapat menghasilkan
sebuah sistem informasi akademik yang memudahkan akses informasi
secara online pada siswa, staf, maupun pengajar dari SMA Negeri 3 Kota
Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
pengumpulan data dan metode perancangan sistem. Metode
pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan dan
kepustakaan, dimana metode penelitian lapangan dilakukan untuk
mencari dan mendapatkan data primer yang dibutuhkan. Cara yang
digunakan adalah wawancara dengan pihak yang terkait dan observasi
pada sekolah. Metode kepustakaan dilakukan dengan membaca buku,
jurnal, dan internet. Metode perancangan sistem yang digunakan adalah
29

metode pemodelan secara visual sebagai sarana untung merancang dan


atau membuat software berorientasi objek, yakni Unified Modelling
Language (UML). Metode perancangan dilakukan dengan merancang
masukan, proses, keluaran, serta basis data.

Berdasarkan penelitian relevan yang didapat, peneliti belum


menemukan konvergensi dan divergensi dalam interaksi belajar mengajar.
Maka dari itu peneliti ingin mengetahui atau melihat bentuk-bentuk
konvergensi dan divergensi bahasa pada interaksi belajar mengajar di kelas
XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan
penelitian terkini yang berusaha memperkaya khazanah penelitian tentang
konvergensi dan divergensi bahasa. Dengan demikian hasilnya diharapkan
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia.
30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian skripsi ini hanya difokuskan pada divergensi dan


konvergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar siswa di kelas XI Mipa 5
SMA Negeri 3 Kota Tangerang serta implikasinya dalam pembelajaran bahasa
Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


deskripsi kualitatif. Moleong menyatakan,
“penelitian kualitatif pada umumnya penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode yang alamiah.”51

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk


menyelidiki keadaan, kondisi atau hal lain dan hasilnya dipaparkan dalam
bentuk laporan penelitian.52 Metode penelitian ini digunakan untuk
menyelidiki objek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka. Dalam
metode deskriptif kualitatif ini, penelitian berpusat pada penggunaan bahasa
dalam interaksi belajar mengajar siswa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang,


berlokasi di Jalan KH. Hasyim Ashari No. 06, Ciledug, Tangerang, dengan

51
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012), hlm. 6
52
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Rineka Cipta: Jakarta, 2010), hlm. 3

30
31

waktu pengambilan data pada tanggal 21 November 2016. Pengambilan data


penelitian tersebut dilakukan pada siswa kelas XI Mipa 5.

C. Teknik Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah


teknik simak dan catat, yaitu peneliti menyimak hasil rekaman interaksi
pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota
Tangerang, selanjutnya ditranskripsikan ke dalam bahasa ragam tulis. Hal
ini dilakukan agar peneliti dapat menganalisis divergensi dan konvergensi
bahasa yang terdapat pada interaksi pembelajaran tersebut.

2. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa


analisis data yang memuat interaksi belajar mengajar di kelas XI Mipa 5
SMA Negeri 3 Kota Tangerang. Berikut ini langkah-langkah pengolahan
data yang dilakukan penulis secara lebih rinci:

a. Mengidentifikasi Data
Langkah awal mengidentifikasi data yaitu mentranskripsikan data
dan memberikan ciri terhadap data yang sudah terkumpul.
b. Mengklasifikasi Data
Setelah diperoleh hasil dari proses identifikasi data, tahap
selanjutnya mengklasifikasi atau mengelompokkan data sesuai
dengan wujud konvergensi dan divergensi bahasanya.
c. Menganalisis Data
Setelah digolongkan ke dalam penggunaan bahasanya selanjutnya
dianalisis dengan Teori Akomodasi Komunikasi.
d. Menyimpulkan Data
32

Menyimpulkan data yang telah dianalisis sehingga dapat diketahui


bagaimana wujud konvergensi dan divergensi bahasa yang
digunakan dalam interaksi belajar mengajar Bahasa Indonesia di
kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang.

D. Sumber Data dan Data


1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah rekaman pembelajaran Bahasa


Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang dalam 1 kali
pertemuan (2 jam mata pelajaran Bahasa Indonesia). Waktu pengambilan
data penelitian ini dilakukan pada hari Senin tanggal 21 November 2016
dan berdurasi sekitar 90 menit. Daftar informan pada penelitian ini adalah
Ibu Intan Nurchoerani, S.Pd., dan siswa-siswa kelas XI Mipa 5 SMA
Negeri 3 Kota Tangerang. SMA Negeri 3 Tangerang atau yang lebih
dikenal SMANIC terletak lebih kurang 5 km dari batas Kota Jakarta.
Sekolah ini beralamat di Jalan KH. Hasyim Ashari Nomor 06, Kecamatan
Karang Tengah, Kota Tangerang, Provinsi Banten.

SMA Negeri 3 Kota Tangerang yang terletak di daerah Ciledug ini


dipilih sebagai lokasi penelitian karena penutur di daerah tersebut
multietnis. Di daerah ini bahasa Betawi digunakan secara berdampingan
dengan bahasa Indonesia. Kajian dialek sosial dalam penelitian ini hanya
dibatasi pada variabel keetnisan.Variabel keetnisan dipilih dengan
pertimbangan bahwa etnis lain yang menetap di daerah Ciledug akan
berusaha mengakomodasikan tuturannya dengan etnis setempat ketika
berinteraksi.

2. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil transkripsi


rekaman pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri
33

3 Kota Tangerang dalam 1 kali pertemuan (2 jam mata pelajaran Bahasa


Indonesia). Alat yang digunakan untuk merekam interaksi belajar
mengajar dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan ponsel Iphone
4. Hasil rekaman tersebut dalam bentuk 3gpp.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah dari diri penulis sendiri karena dalam
penelitian ini penulis mengerjakan penelitian dengan teknik observasi,
dokumentasi, dan studi pustaka. Adapun tabel analisis yang digunakan sebagai
berikut:

Tabel 1.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Konvergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar


Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data


1.
2.
3.-

Tabel 2.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Divergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar


Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data


1.
2.
3.-
34

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Profil SMA Negeri 3 Kota Tangerang
a. Sejarah Sekolah
SMAN 3 Kota Tangerang belum yang terbaik tetapi kami menuju
yang terbaik. SMAN 3 Kota Tangerang baru memulai, tetapi tak ada kata
akhir dalam upaya membawa SMA Negeri 3 Kota Tangerang untuk lebih
maju dan bermutu. Moto ini didukung dengan prinsip pelayanan Salam,
Senyum, Sapa, Seksama (4S) serta semboyan juang Doa, Usaha, Ikhtiar,
dan Tawakal (DUIT). SMA Negeri 3 Tangerang atau yang lebih dikenal
SMANIC terletak lebih kurang 5 km dari batas Kota Jakarta. Adapun
luas tanah dan bangunan milik SMAN 3 Tangerang adalah:
1. Luas tanah: 5700 m2
2. Luas bangunan: 3140 m2
3. Luas halaman: 1314 m2
4. Luas lapangan olah raga: 1088 m2
5. Luas kebun botani: 158 m2
Animo masyarakat untuk menempuh pendidikan formal yang
berkualitas sangat tinggi, khususnya masyarakat yang tinggal di
perbatasan ibu kota. Dalam rangka memberikan pelayanan terhadap
masyarakat di wilayah perbatasan DKI Jakarta. Pemerintah Pemda DKI
membuka sekolah filial SMAN XXVII Jakarta di Tangerang, salah
satunya cikal bakal SMAN 3 Tangerang sekarang. Pada tahun 1977
SMAN XXVII Jakarta membuka kembali SMAN Filial di Tangerang
yaitu di Ciledug dan di Ciputat, yang sebelumnya telah sukses
mendirikan SMAN Tangerang di jalan Makam Taman Pahlawan, yang
sekarang dikenal SMAN 2 Tangerang dan resmi menjadi SMAN kedua
di Tangerang pada tahun 1977.

34
35

Berbekal informasi bahwa di Ciledug pada waktu itu (Tahun 1977)


ada gedung sekolah kosong di daerah Kreo, tepatnya SD Kreo I, maka
SMAN XXVII Jakarta membuka kembali SMAN Filial yang lebih
dikenal SMAN Ciledug. Tahun pertama pendaftaran siswa baru
dilaksanakan di SMP Ciledug (SMPN I Ciledug sekarang SLTPN 3
Tangerang). Hal ini bertujuan agar siswa lulusan SMP Ciledug bisa
langsung masuk ke SMA Ciledug. Tetapi diluar dugaan, ternyata siswa-
siswa yang masuk ke SMAN Ciledug pada waktu itu, hanya siswa-siswa
yang terlambat mendaftar ke sekolah negeri di Jakarta dan Tangerang.
Namun demikian awal berdirinya SMA Ciledug tersebut berhasil
menampung 2 kelas (±70 orang siswa).
Awal Tahun Pelajaran dimulai Januari 1977, akhir tahun 1979
seharusnya sudah meluluskan, karena pada waktu itu diadakan tes
prestasi siswa, yang tujuannya untuk meningkatkan mutu siswa dan
untuk menyamakan Tahun Pelajaran Baru dengan luar negeri,
maka waktu KBM ditambah satu semester, sehingga baru bisa
meluluskan angkatan pertama, pertengahan tahun 1980. Sejak tahun 1977
sampai tahun 1979 status sekolah merupakan kelas jauh (Filial) dari
SMA XXVII Jakarta di Tangerang. Tahun 1979 semua SMA dan SMP
yang tadinya Kantor Wilayahnya DKI Jakarta, menjadi bagian dari
wilayah Jawa Barat, sehingga status SMAN Ciledug sejak itu menjadi
filial SMAN 1 Tangerang.
Pada waktu itu SMAN Ciledug dijabat oleh Bapak Drs. Sutono (Guru
SMAN 1 Tangerang), beliau bersama dengan pengurus BP3 berusaha
untuk mencari tanah agar lokasi SMAN Ciledug bisa berdiri sendiri.
Karena lokasi sebelumnya (SDN I Kreo) walaupun statusnya untuk SMA
masih tetap digunakan. Berkat perjuangan para pendiri, akhirnya tahun
1983 SMAN Ciledug yang berlokasi di SDN I Kreo setahap demi setahap
bisa pindah ke Rawa Kambing, berkat restu dan dukungan pula dari
Pemerintah setempat (Bapak Camat Ciledug). Pada tahun 1983 pula
terjadi pengangkatan Kepala Sekolah definitive yaitu Bapak Drs. Zainil
36

Abidin Pramiady, BA sehingga Bapak Drs. Sutono diangkat sebagai


Wakil Kepala Sekolah sampai tahun 1985. Bapak Drs. Sutono kembali
lagi ke induknya (SMAN I Tangerang) pada tahun 1985.
Sejalan dengan perkembangan dan pemekaran wilayah pada tahun
1993 status SMAN Ciledug berada di wilayah Kota Tangerang yang
sebelumnya termasuk di wilayah Kabupaten Tangerang. Pada tahun 1996
nama SMAN Ciledug pun berubah namanya menjadi SMAN 3
Tangerang. Sejak berdirinya (Tahun 1977) sampai sekarang (2012)
SMAN 3 Tangerang telah dipimpin oleh Kepala Sekolah sebagai berikut:
1. Awal berdiri 1977 s.d 1979 filial SMAN 27 Jakarta dijabat Bapak
Drs. Sutono (SDN 1 Kreo).
2. Tahun 1979 s.d 1983 filial SMAN 1 Tangerang dijabat Bapak
Drs. Sutono (SDN I Kreo).
3. Pertengahan tahun 1983 s.d 1990 dipimpin oleh Bapak Zainal
Abidin Pramiady, BA. Sedangkan Bapak Drs. Sutono menjadi
wakilnya sampai tahun 1985 (sejak akhir tahun 1985) Bapak Drs.
Sutono kembali ke SMAN 1 Tangerang.
4. Tahun 1990 s.d 1994 dipimpin oleh Bapak Drs. Sutono.
5. Tahun 1994 s.d 1998 dipimpin oleh Bapak Drs. Ridata
Wiradihardja (SMAN Ciledug berubah namanya menjadi SMAN
3 Tangerang) pada tahun 1996.
6. Tahun 1998 (Plh selama 3 bulan dijabat oleh Bapak Drs.
Hudaya).
7. Tahun 1999 s.d 2001 dipimpin oleh Bapak Drs. Jusdi (SMAN 3
Tangerang berubah namanya menjadi SMUN 3 Tangerang).
8. Tahun 2001 s.d 2004 dipimpin oleh Bapak Drs. M. Hidayat Arifin
(pada tahun 2003 nama sekolah berubah kembali menjadi SMAN
3 Tangerang).
9. Tahun 2004 s.d 2011 dipimpin oleh Bapak Drs. H. Tata
Suandana.
10. Tahun 2012 s.d 2016 dipimpin oleh Dra. Lilik Istifa, M.Si.
37

11. Tahun 2016 s.d sekarang dipimpin oleh Drs. Arban.53


b. Visi
Menjadi SMA yang unggul (effective), berprestasi tinggi, berbudi
pekerti luhur, berbudaya lingkungan, serta terpercaya dan dibanggakan
masyarakat.54
c. Misi
1. Melakukan kegiatan pembelajaran dengan mengutamakan
pendalaman, pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi secara
konseptual dan konstektual.
2. Memberikan pelayanan prima dalam proses pembelajaran secara
kooperatif dan demokratis dengan mengutamakan pendidik
sebagai fasilitator dan dinamisator yang memanfaatkan sumber
berbasis TIK dan disekitar sekolah.
3. Menanamkan kedisiplinan melalui budaya bersih, budaya tertib,
dan budaya kerja.
4. Menumbuhkan penghayatan seni sebagai bagian dari kearifan
lokal.
5. Menumbuhkan budaya peduli terhadap lingkungan yang
terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.
6. Mengembangkan life skill (kecakapan hidup) berbasis
kewirausahaan dan karakter masyarakat lokal dengan tidak
menghilangkan kultur masyarakat Indonesia khususnya di
Propinsi Banten.
7. Mengembangkan budaya kerjasama (kerja tim) untuk
membangun hubungan yang harmonis antar warga sekolah dan
masyarakat.
8. Menganut management Quality Assurent.55

d. Kegiatan Ekstrakurikuler
Menekuni kegiatan ekstrakurikuler selain pendidikan formal yang
mereka dapatkan dikelas merupakan hal yang penting. Kegiiatan ini

53
Anonim, Sejarah Sekolah, tersedia di www.sman3tgr.sch.id/index.php/profil/sejarah-sekolah ,
diunduh pada tanggal 08 Maret 2018 pada pukul 09:28 WIB.
54
Anonim, Visi-Misi, tersedia di www.sman3tgr.sch.id/index.php/profil/visi-misi , diunduh pada
tanggal 08 Maret 2018 pada pukul 09:34 WIB.
55
Ibid.
38

dapat membantu anak mengembangkan potensi diri. SMA Negeri 3


memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler, diantaranya:
1. Bidang olahraga/ Beladiri:
a. Futsal
b. Basket
c. Bulu Tangkis
d. Taekwondo
e. Pencak Silat
2. Bidang seni:
a. Tari Saman
b. Paduan Suara
c. Band
d. Marawis dan Hadroh
e. Sinematografi
f. Jurnalistik dan Mading
3. Lainnya:
a. Pramuka
b. Pendikar
c. Bahasa Mandarin
d. JKICC
e. English Club
f. Civic
g. KIR
h. Green House
i. 3R (Recycle, Reuse, Reduce)
j. PMR
k. Rohis
l. Rokris
m. Keputrian
n. BTQ (Baca Tulis Al-Qur’an)
39

o. Tahfizh Al-Qur’an56
e. Fasilitas
Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sangat
terkait erat dengan beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah fasilitas
sekolah. Berbagai fasilitas dimiliki SMAN 3 untuk menunjang kegiatan
belajar mengajar. Fasilitas tersebut antara lain:
1. Ruang Belajar:
a. Ruang Kelas
b. Ruang Perpustakaan
c. Laboratorium MIPA
d. Laboratorium Komputer
e. Laboratorium Bahasa
f. Ruang Seni
g. Ruang PSB (Pusat Sumber Belajar)
2. Ruang Pendukung:
a. Kantin Sekolah
b. Koperasi Sekolah
c. Lapangan Olahraga
d. Masjid
e. Toilet Siswa
f. Taman Sekolah
g. Ruang UKS57

56
Anonim, Sarana Prasarana Sekolah, tersedia di www.sman3tgr.sch.id , diunduh pada tanggal 08
Maret 2018 pada pukul 09:40 WIB.
57
Ibid.
40

B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data
Pada bagian ini, peneliti akan menguraikan konvergensi dan
divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar. Data diperoleh dari
rekaman suara yang diubah menjadi transkip data selama satu kali pertemuan
di dalam kelas. Dalam interaksi belajar mengajar ini, penulis mengkhususkan
penelitian pada konvergensi dan divergensi bahasa di kelas XI Mipa 5 SMA
Negeri 3 Kota Tangerang.
Pengambilan data pada pertemuan ini, pembelajaran dilakukan di
ruang perpustakaan dan pada waktu pagi hari. Di dalam ruang perpustakaan
terdapat AC, sehingga siswa tidak terlalu berisik. Tujuan dalam kegiatan ini
ialah demi tercapainya pembelajaran bahasa Indonesia, terutama pada materi
teks cerita ulang. Materi ini diubah bentuk menjadi sebuah `drama, guna
untuk memudahkan semua siswa dalam memahami teks cerita ulang yang
telah mereka buat. Guru menyampaikan dari awal sampai akhir pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran ceramah. Pertemuan ini hanyalah
mempresentasikan tugas akhir dari materi teks cerita ulang, karena materi
teks cerita ulang tersebut sudah diajarkan dan dibahas sebelumnya.

2. Analisis Data
Pada awal mulai pembelajaran guru dan para siswa memasuki ruang
perpustakaan. Proses pembelajaran tidak diawali dengan salam pembuka.
Guru juga tidak mengabsen para siswa sebelum melakukan kegiatan inti.
Begitu masuk ke dalam ruang perpustakaan, guru langsung menanyakan
kepada para siswa tersebut mengenai teks drama yang dibuat per kelompok.
Guru tersebut menggunakan suara yang lantang dan sedikit meninggi, karena
beberapa kelompok siswa masih asik mengobrol dan tidak memperhatikan.
Selain itu, ada satu kelompok yang tidak membawa teks dramanya karena
terbawa oleh teman mereka yang sakit dan tidak masuk sekolah pada saat itu.
Guru tersebut tidak mau tahu tentang kelompok yang tidak membawa teks
dan harus tetap maju jika dipanggil. Guru tersebut tetap menyuruh mereka
41

untuk segera membuat ulang teksnya sebelum jam mata pelajaran tersebut
berakhir.
Penggunaan bahasa dalam interaksi belajar mengajar di Kelas XI
Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang lebih didominasi oleh penggunaan
bahasa konvergensi, seperti yang dapat dilihat dalam temuan data berikut.

TD 01

Guru: Anak-anak ambil posisi!


Anak-anak: (mengambil posisi tempat duduk dengan suara berisik)
Guru: Halo anak-anakan yang sudah ngisi data, duduk! Nah yang
pertama sini naskahnya! Mana teksnya? Nah, yang pertama dulu.
Siswa: Iya Bu sebentar.

Pada TD 01, tuturan “Halo anak-anakan yang sudah ngisi data,


duduk!” merupakan sikap bahasa konvergensi, hal tersebut dapat dilihat
dari kosakata yang digunakan sang Guru menggunakan kata “anak-
anakan”. Hal ini dilakukan sang Guru selaku penutur dalam berinteraksi,
untuk menyamakan tuturannya dengan siswa-siswanya selaku mitra
tuturnya. Wujud konvergensinya bahwa sang Guru menggunakan variasi
bahasa. Istilah variasi bahasa yang dimaksudkan di sini adalah variasi
dialek. Dalam hal ini pemakaian dialek yang digunakan adalah dialek
sosial berdasarkan perbedaan usia. Hal tersebut dapat dilihat dari sang
Guru yang berinteraksi dengan memperhatikan “kepada siapa ia
berbicara”.

TD 02

Siswa: Tapi tetep maju Bu?


Guru: Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal naskahnya?
Guru: Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya
Siswa: Apalnya dikit doang Bu.
Guru: Emangnya kalian enggak pada latian?
Siswa: Latian Bu, tapi lupa.

Pada TD 02, tuturan “Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal
naskahnya?”, “Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya”, “Emangnya
42

kalian enggak pada latian?” merupakan sikap bahasa konvergensi. Hal


tersebut dilakukan karena adanya interferensi dari latar belakang bahasa
dan dari strategi budaya dalam komunikasi antar kelompok. Di sini, Guru
berinteraksi dengan memperhatikan “kepada siapa ia berbicara” yaitu
dengan menggunakan dialek sosial. Penutur (Guru) berusaha
mengakomodasikan tuturannya dengan lawan tuturnya dengan cara
penyederhanaan tuturan, contohnya dengan menggunakan kata “apal”
yang seharusnya “hafal”, kata “ngapa” yang seharusnya “mengapa”, dan
“latian” yang seharusnya “latihan”, sehingga bahasanya menjadi lebih
serupa, mirip, atau sama antara satu sama lain (penutur dan lawan
tuturnya).

TD 03

Siswa: Oh iya bu maaf. Kami dari kelompok... Ehmmm.. Kami dari


kelompok satu.. akan menampilkan sebuah drama.. Bener enggak bu?
Guru: Iya bener sayangku, terusin.

Pada TD 03, percakapan di atas dapat dilihat bahwa siswa dan guru
tersebut menggunakan bahasa sehari-hari dengan menggunakan kata
“enggak” yang seharusnya “tidak” dan pada kata “terusin” yang
seharusnya “teruskan”. Percakapan tersebut termasuk ke dalam
konvergensi karena adanya penyesuaian bahasa oleh si penutur dan
lawan tuturnya (dalam konteks TD 03, penutur adalah siswa, lawan
tuturnya adalah guru).

TD 04

Guru: Itu wadon yang di belakang jangan ngobrol aja.


Siswa: Tau nih si pencot berisik banget.
Siswa: Iya bu enggak.
Guru: Enggak boleh ngata-ngatain temen kamu begitu tong. Ayo
terusin dramanya.
43

Pada TD 04 terdapat munculnya variasi bahasa. Variasi bahasa yang


dimaksudkan di sini adalah variasi dialek yang muncul karena peristiwa
konvergensi dalam berinteraksi antarpenutur dengan latar belakang etnis
yang sama. Hal tersebut bisa kita lihat dari penggunaan kata “wadon”,
“pencot”, “ngata-ngatain”, dan “tong”. Dalam percakapan tersebut dapat
dilihat bahwa guru selaku penutur menggunakan bahasa sehari-hari
dengan dialek Betawi dan siswanya pun merespon dengan menggunakan
bahasa yang sama. Percakapan tersebut termasuk ke dalam konvergensi
karena adanya penyesuaian penggunaan bahasa oleh guru (penutur) dan
siswanya (lawan tutur).

TD 05

Guru: Anak-anakan.
Siswa: Iya ibu-ibu.
Guru: Sekarang buka buku tulis semuanya! Udah dibuka belom
bukunya?
Siswa: Udah ibu-ibu.
Guru: Nah kalo udah dibuka, saya tanya dulu sekarang ya.
Siswa: Jadi dulu apa sekarang bu?
Guru: Hmmm.. Saya mau tanya nih, kalian inget ga kelompok yang
barusan maju itu nyeritain tentang siapa hayo?

Pada TD 05, ketika guru memanggil siswanya dengan sebutan “anak-


anakan” dengan menambahkan imbuhan akhiran –an pada kata anak-anak,
lalu dijawab oleh para siswanya dengan kata “ibu-ibu” (kata “ibu-ibu”
menunjukkan lebih dari satu orang) padahal hanya ada satu guru yang ada
pada saat proses belajar mengajar tersebut. Ditambah dengan ucapan sang
guru yang bertanya lagi dengan kalimat, “Nah kalo udah dibuka, saya
tanya dulu sekarang ya.” lalu dijawab oleh siswanya “Jadi dulu apa
sekarang bu?”. Dari TD 05 di atas, interaksi belajar mengajar yang terjadi
ialah penggunaan bahasa konvergensi, yaitu dengan bahasa yang mudah
dipahami oleh siswa, agar proses belajar mengajar berlangsung
komunikatif.
44

Konvergensi tersebut karena adanya adaptasi linguistik dan adaptasi


sosial. Adaptasi linguistik adalah proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa
tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal
yang sama, sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama,
antara satu sama lain. Adaptasi sosial adalah proses yang terjadi akibat
adanya kontak sosial yang melibatkan dua kelompok yang memiliki
perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain atau
salah satu di antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya
yang cukup untuk mendukung terciptanya eksistensi kehidupan yang
solider dan harmoni di antara mereka.58

TD 06

Guru: Nah sekarang kan kalian udah pada tau nih, siapa yang
diceritain sama kelompok barusan, sekarang coba kalian tulis apa aja
sih, yang hal-hal yang disampaikan lewat drama yang barusan
ditampilkan. Biar saya tau, kalo ternyata kalian itu nyimak atau
enggak.
Siswa: Maksudnya gimana sih bu?
Guru: Misalnya si Datun itu masa kecilnya gimana, dia sukanya
ngapain, terus dari kesukaannya itu apa dia menghasilkan sesuatu
atau gimana? Nah tulis semuanya yang udah kalian simak tadi.
Nah untuk ngeringanin tugasnya, ini didiskusikan sama teman
kelompok kalian ya, bukan sendiri-sendiri. Jadi, kalo misalnya ada
yang lupa, teman kalian kan bisa ngingetin satu sama lain,
sehingga jawabannya jadi lengkap. Paham enggak?
Siswa-siswa: Iya bu.
Guru: Iya bu apa?
Siswa-siswa: Iya bu paham.

Pada TD 06, ketika si guru tersebut menjelaskan tentang hal yang


harus dikerjakan oleh siswa-siswanya setelah penampilan kelompok yang
pertama, tapi ada siswa yang tidak mengerti tentang maksud guru tersebut,
dengan bertanya, “Maksudnya gimana sih bu?” dan si guru tersebut
menjelaskan kembali tentang hal yang harus dikerjakan oleh siswa-

5858
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005),
45

siswanya, dan menanyakan lagi kepada para siswa tersebut apakah paham
atau tidak tentang apa yang dia jelaskan, seperti pada kalimat “Paham
enggak?”. Hal tersebut termasuk ke dalam konvergensi bahasa, karena si
guru tersebut berbicara lebih lambat dan menjelaskan kembali apa yang
dia maksud terhadap para siswanya dengan menghindari penggunaan kata-
kata yang sulit dipahami, dan menyederhanakan struktur dari ucapan-
ucapannya agar apa yang ia jelaskan lebih mudah dipahami oleh para
siswanya.

TD 07
Siswa: Yah lokan cepet banget bu.
Guru: Udah segitu mah saya rasa cukup. Udah kerjain. Kan
kelompok. Apa mau sendiri-sendiri aje?
Siswa: Jangan bu, jangan. Ya udeh kelompok aje Bu.
Guru: Ngerjainnya pake tangan, jangan pake mulut, berisik.

Pada TD 07, Saat salah satu siswa berbicara dengan menggunakan


dialek Betawi dengan menggunakan kata “lokan” dan “cepet”, guru
tersebut menjawab dengan menggunakan dialek Betawi juga, dengan
menggunakan kata “aje” pada kalimat yang diucapkannya. Ditambah
dengan pemakaian kata “udeh” dan kata “aje” yang diucapkan si siswa
untuk menjawab pertanyaan si guru, dan dijawab lagi oleh guru tersebut
dengan menggunakan kata “pake” pada kalimatnya. Hal tersebut termasuk
ke dalam konvergensi bahasa. Karena guru tersebut mengacu pada sikap
positif yang ia tunjukkan kepada lawan tuturnya dengan menyesuaikan
fitur bahasanya (pengucapan, aksen, kosakata, dan struktur) sehingga
dapat dipahami dan diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari pilihan tuturan
kosakata yang diucapkan oleh si guru tersebut terhadap lawan tuturnya.

TD 08

Guru : Itu dia jadi apa? Biografinya Anita itu sebagai apa?
Siswa : Yang anak SD itu Bu. Yang... Hmmm... yang baru masuk SD itu
Bu.
46

Guru : Anita itu tadi ceritanya kan kayak sinetron gitu ya.
Maksudnya adalah.. Hmmm... perjalanan setelah beberapa tahun,
kemudian Anita berprofesi seperti apa.
Siswa : Iya Bu, itu kan salah satu perjalanan hidupnya dia Bu.
Guru : Iya, tapi.. Maksud Ibu kalian itu ngambilnya itu dia akhirnya
berprofesi seperti jadinya, kan ini ngambilnya Biografi penulisnya.
Siswa : Oh gitu Bu. Jadi itu Bu, akhirnya, si Anitanya itu masuk
SMP Bu, terus masuk SMA, terus kuliah, terus jadi pegawai pajak.

Pada TD 08, guru tersebut menjelaskan tentang penampilan kelompok


keempat yang seharusnya mengambil biografi salah satu tokoh dan
membuat drama mengenai satu perjalanan hidup tokoh tersebut. Awalnya
siswa-siswa tersebut tidak paham dengan apa yang dijelaskan oleh guru
tersebut, tetapi setelah guru tersebut menjelaskan kembali, akhirnya siswa-
siswa tersebut paham. Hal ini seperti pada dialog “Iya, tapi.. Maksud Ibu
kalian itu ngambilnya itu dia akhirnya berprofesi seperti jadinya, kan ini
ngambilnya Biografi penulisnya.”. Hal tersebut termasuk ke dalam
konvergensi bahasa, karena si guru tersebut berbicara lebih lambat dan
menjelaskan kembali apa yang dia maksud terhadap para siswanya dengan
menghindari penggunaan kata-kata yang sulit dipahami, dan
menyederhanakan struktur dari ucapan-ucapannya agar apa yang ia
jelaskan lebih mudah dipahami oleh para siswanya. Hal ini dapat dilihat
dari jawaban dialod siswa tersebut “Oh gitu Bu. Jadi itu Bu, akhirnya, si
Anitanya itu masuk SMP Bu, terus masuk SMA, terus kuliah, terus jadi
pegawai pajak.”

TD 09

Guru : Oh, ada ya. Yaudah. Ini kelompoknya enggak ada wadonnya
ya?
Siswa : Iya Bu laki semuanya.

Pada TD 09, guru berbicara dengan menggunakan dialek Betawi


dengan menggunakan kata “wadon” untuk menanyakan kelompok
keempat yang anggota kelompoknya hanya terdiri dari laki-laki saja,
47

seperti pada dialog, “Oh, ada ya. Yaudah. Ini kelompoknya enggak ada
wadonnya ya”, pada dialog yang diucapkan guru tersebut, salah satu siswa
dalam kelompok tersebut juga menjawab, “Iya Bu laki semuanya.”. Kata
“laki” bukan “laki-laki” yang dijawab oleh siswa tersebut juga
menggunakan dialek Betawi. Hal tersebut termasuk ke dalam konvergensi
bahasa. Karena guru tersebut mengacu pada sikap positif yang ia
tunjukkan kepada lawan tuturnya dengan menyesuaikan fitur bahasanya
(pengucapan, aksen, kosakata, dan struktur) sehingga dapat dipahami dan
diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari pilihan tuturan kosakata yang
diucapkan oleh si guru tersebut terhadap lawan tuturnya.

TD 10

Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun itu jadi
seorang guru gitu. Ini masih banyak yang belum paham ya
sebenernya disuruh ngapain?
Siswa-siswa : (terdiam)
Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja dalam hidupnya,
tapi itu harus ada “endingnya”. Maksudnya itu endingnya itu
akhirnya yang kalian ambil tokohnya itu, ambil biografinya itu dia
jadinya berprofesi apa? Nah kalo ini kan, dari kelompok 2 itu sampe
kelompok terakhir itu kan kayak sinetron gitu. Maksud saya itu
kayak kelompok yang pertama, kan nyeritain tentang Siti
Syahadatun, dia dari kecilnya itu sukanya menjahit, sampe akhirnya
dia sukses jadi apa? jadi sering ngirim rancangannya atau hasil
jahitnya itu ke... ke mana tadi? Iya ngirim rancangannya itu untuk Ida
Leman Collection. Nah itu kan jelas, dari awal cerita sampe “ending”.
Jadi kan ketauan. Nah kalo ini dari tadi itu kayak sinetron-sinetron
anak ABG ya. Tidak jelas akhir ceritanya itu, apalah si tokoh hidup
misalnya berprofesi sebagai apa? Itu kan kalo saya enggak nanyain
satu-satu, jadi enggak tau. karena enggak ditulis sama kalian. Nah ini,
udah enggak ada remedial ya, kan juga dikit lagi mau UAS, yaudah
biarin aja. Jadi nilainya itu ya udah sesuai yang udah kalian tampilkan
gitu. Ini kan saya memberi masukan-masukan, supaya ke depannya itu
kalian bisa lebih baik lagi. Oke, ada yang mau bertanya enggak
mengenai materi ini. mengenai teks cerita ulang? Yang mau nanya,
silahkan ya, jangan malu-malu.

Pada TD 10, pada bagian penutup ini guru menanyakan kepada siswa-
siswanya apakah siswa-siswa tersebut sebenarnya paham atau tidak
48

mengenai tugas yang diberikan guru tersebut, “Ini masih banyak yang
belum paham ya sebenernya disuruh ngapain.?”, karena dari kelompok
pertama hingga kelompok yang terakhir hanya satu kelompok saja yang
mampu menampilkan drama dari teks cerita ulang tersebut dengan benar.
Akhirnya, guru tersebut menjelaskan kembali mengenai tugas yang dia
berikan tersebut agar dapat dipahami oleh siswa-siswanya yang belum
mengerti. Hal ini seperti pada dialog, “Maksudnya itu endingnya itu
akhirnya yang kalian ambil tokohnya itu, ambil biografinya itu dia
jadinya berprofesi apa? Nah kalo ini kan, dari kelompok 2 itu sampe
kelompok terakhir itu kan kayak sinetron gitu. Maksud saya itu kayak
kelompok yang pertama, kan nyeritain tentang Siti Syahadatun, dia dari
kecilnya itu sukanya menjahit, sampe akhirnya dia sukses jadi apa? jadi
sering ngirim rancangannya atau hasil jahitnya itu ke... ke mana tadi? Iya
ngirim rancangannya itu untuk Ida Leman Collection. Nah itu kan jelas,
dari awal cerita sampe “ending”. Jadi kan ketauan.”. Hal tersebut
termasuk ke dalam konvergensi bahasa, karena si guru tersebut berbicara
lebih lambat dan menjelaskan kembali apa yang dia maksud terhadap para
siswanya dengan menghindari penggunaan kata-kata yang sulit dipahami,
dan menyederhanakan struktur dari ucapan-ucapannya agar apa yang ia
jelaskan lebih mudah dipahami oleh para siswanya

Secara umum interaksi antara guru selaku penutur dengan siswa


selaku lawan tutur yang terjadi di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota
Tangerang cenderung menggunakan konvergensi bahasa, namun dalam
kondisi tertentu interaksi belajar mengajar tersebut juga menggunakan
divergensi bahasa. Beberapa temuan data yang termasuk ke dalam divergensi
bahasa adalah sebagai berikut.
TD 11
Guru: Kami dari kelompok berapa... akan menampilkan sebuah
drama yang berjudul titik titik titik.
Siswa: Hobi Berujung Kebahagiaan.
Guru: Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya gimana tadi?
49

Pada tuturan, “Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya


gimana tadi?”, ini merupakan wujud dari divergensi. Kata “si boto” ini
merupakan kosakata yang berasal dari bahasa Betawi -yang berarti elok
(bagus, cantik) rupa dan bentuknya- yang merupakan bahasa pertama (B1)
dari sang Guru. Sedangkan siswa-siswa tersebut tidak semuanya mengerti
dengan bahasa Betawi dan berasal dari etnis Betawi. Hal ini diperkuat
dengan tuturan dari salah satu siswa yang tidak mengerti dengan kata
“boto” tersebut.

TD 12

Guru: Eh tong, saya kasih tau ya. Orang biar dikata mukanya biasa
aja tapi kalo orangnya rapih itu jadi keliatan boto. Sama, kalo
orangnya boto, kalo kaga rapih, ya jadinya kagak boto. Paham anak-
anak?
Siswa: (beberapa terdiam)
Siswa: Seh parah, masa lu dikatain botol dah.
Guru: Bukannya botol sayang, tapi boto. Hadeeuuh.
Siswa: Emang boto apaan si bu?
Guru: Masa engga tau boto kamu?
Siswa: Engga tau bu, saya aja baru denger.
Guru: Yaudah buat pr ya sekalian kalo kamu enggak paham boto.

Pada saat salah salah satu siswa yang bertanya, apa yang dimaksud
dengan kata “boto” sang guru tidak menjelaskannya. Sang guru tersebut
malah menyuruh siswanya untuk mencari tau sendiri apa yang dimaksud
dengan kata “boto”. Di sini, dikatakan bahwa akomodasi yang dilakukan
oleh sang guru tersebut sebagai proses yang mencoba tidak menyesuaikan
bahasanya dengan lawan tuturnya. Divergensi yang dilakukan oleh sang
Guru berlandaskan pada konsep dasar bahwa masyarakat yang berbeda
latar belakang geografi, etnis, dan sejarah yang cenderung memodifikasi
tururannya menjadi berbeda dengan gaya tutur si lawan tuturnya.
TD 13
Guru: Hayo siapa? Masa barusan aja kalian udah lupa. Gimana saya
suruh tulis lagi, kalo segitu aja udah lupa.
50

Guru: Hayo masa enggak ada yang bisa jawab dari segini banyaknya
siswa?

Pada TD 13 tersebut, guru menanyakan kepada siswa-siswanya


mengenai kelompok pertama yang maju. Kalimat yang digunakan dengan
menggunakan kata “barusan”, yang seharusnya adalah “Masa tadi saja
kalian sudah lupa”, ini merupakan sikap bahasa divergensi. Karena ketika
guru tersebut bertanya, beberapa siswa hanya terdiam, tapi setelah salah
satu dari teman mereka yang mengerti apa yang diucapkan si guru dengan
menjawab pertanyaannya, barulah siswa-siswa yang lain ikut menjawab.
Hal ini bisa saja dikarenakan beberapa siswa yang terdiam tidak mengerti
apa yang diucapkan sang guru tersebut, sehingga beberapa di antara
mereka memilih diam daripada harus menjawab pertanyaan si guru
tersebut. Ini sama dengan Teori Akomodasi Giles bahwa kita akan
menemukan beberapa fitur bahasa yang terjadi pada interaksi antara
penutur varietas yang berbeda. Hal yang diucapkan si guru tersebut
merupakan hal umum yang ditemukan pada pengguna bahasa seperti kosa
kata dan bentuk tata bahasanya yang ia gunakan.
TD 14
Siswa-siswa: Bu beluman Bu.
Guru: Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi keteteran
kamu nanti berabe dah urusannya. Tuman banget sih kamu kalo
engga diomelin engga pada ngerjain.
Guru: Itu kamu yang belonjor, kalo angob tutup mulutnya, nanti yang
laen ikut-ikutan angob juga.

Pada TD 14, si guru tersebut menanyakan kepada para siswanya


apakah mereka sudah menyelesaikan tugas yang guru tersebut berikan,
karena sudah waktunya untuk kelompok berikutnya yang akan tampil di
depan. Tapi karena belum menyelesaikan tugas yang diberikan dengan
waktu yang sudah ditentukan, guru tersebut sedikit kesal kepada para
siswanya, karena beberapa di antara mereka saat waktu untuk diskusi yang
diberikan ada beberapa siswa yang malah mengobrol dengan temannya.
Tuturan guru tersebut dalam memarahi siswanya dengan menggunakan
51

dialek Betawi seperti, “Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi
keteteran kamu nanti berabe dah urusannya. Tuman banget sih kamu
kalo engga diomelin engga pada ngerjain.”, yang artinya “Makanya kalau
bekerja (melakukan sesuatu), jangan mengobrol melulu, jadi nanti jadi
terdesak, jadi ribet urusannya, kebiasaan banget jika tidak dimarahi tidak
mengerjakan.” Dalam menggunakan dialek Betawi tersebut menggunakan
kata “begawe”, “kongko”, “keteteran”, “berabe”, “tuman”, dan
“diomelin”. Kosakata tersebut bisa saja tidak dipahami oleh seluruh siswa,
apalagi guru tersebut tidak menjelaskan satu-satu kosakata yang dia
ucapkan. Hal ini termasuk ke dalam divergensi bahasa. Penutur (guru)
dalam konteks ini mengarah kepada sikap bahasa yang negatif, karena
penutur (guru) tersebut tidak menyesuaikan bahasanya terhadap lawan
tuturnya. Hal ini terjadi karena latar belakang sosial dan budaya yang
berbeda.
Pada kondisi TD 14 tersebut, menurut Ferguson muncullah istilah
diglosia, yaitu untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana
terdapat dua variasi dari bahasa yang hidup berdampingan dan masing-
masing mempunyai peranan tertentu.59 Menurut Ferguson dalam
masyarakat diglosis terdapat dua variasi bahasa dari satu bahasa: variasi
pertama disebut dialek tinggi (high) (disingkat dialek T/H atau ragam
T/H), yang kedua disebut dialek rendah (low) (disingkat dialek R/L atau
ragam R/L).60 Di dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas bahasa
Indonesia dianggap sebagai dialek T, sedangkan bahasa yang bukan
bahasa Indonesia (dialek betawi, jawa, sunda, dan lain-lain) dianggap
sebagai dialek R. Pada saat di kelas, seorang guru seharusnya
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dalam
percakapan sehari-hari itu mereka menggunakan dialek R itu. Hal ini
terjadi juga pada TD berikut.

59
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010, Edisi Revisi, hlm. 92.
60
Ibid., hlm. 93.
52

TD 15
Siswa : Bu, ini ada yang sakit bu.
Guru : Sakit apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran itu?
Siswa : Palanya pusing bu, anget bu jidatnya. Bu, izin ke UKS ya bu.
Guru : Yaudah, itu kamu yang ngintilin yang sakit banyak amat. Satu
orang aja. Nanti yang sakit biar dia rebahan dulu di UKS. Kamu abis
nganterin dia balik lagi ke sini.
Siswa : Iya Bu.
Siswa : (Kepada penjaga perpustakaan) Pak, ini pintunya susah
dibuka.
Guru : Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu ngintilin yang sakit
malah jadi ikut-ikutan lemes.
Siswa : Iya bu, ini udah bisa.
Guru : Iya sono, kamu yang sakit jalannya bae-bae biar enggak jatoh
ya.
Siswa : Iya Bu. Makasih.

Pada TD 15, ketika jam pelajaran berlangsung ada satu siswa yang
sakit, dan salah satu temannya mewakilinya untuk laporan kepada si guru
dan meminta izin untuk istirahat di UKS. Guru tersebut tidak begitu saja
percaya dengan ucapan si siswa, sehingga dia menanyakan lagi apakah
siswa yang sakit tersebut benar-benar sakit atau hanya berpura-pura, “Sakit
apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran itu?”. Pada tuturan kalimat
tersebut, si guru menggunakan kata “belaga” yang berarti berpura-pura.
Setelah guru tersebut mengizinkan si siswa yang sakit untuk beristirahat di
ruang UKS, ternyata teman-temannya juga turut serta mengikuti si siswa
yang sakit, sehingga si guru tersebut berkata, “Yaudah, itu kamu yang
ngintilin yang sakit banyak amat. Satu orang aja. Nanti yang sakit biar
dia rebahan dulu di UKS. Kamu abis nganterin dia balik lagi ke sini.”.
Pada kalimat yang diucapkan si guru terdapat penggunaan kosakata
“ngintilin” dan “rebahan”, sebagaimana kita tahu bahwa kosakata tersebut
berasal dari dialek Betawi yang berarti ikutan dan tidur-tiduran/istirahat.
Tidak hanya itu saja, ketika siswa tersebut ingin membuka pintu
perpustakaan, si siswa langsung berkata kepada penjaga perpustakaan
bahwa pintu tersebut sulit untuk dibuka, sehingga si guru menjawabnya
dengan menggunakan kalimat, “Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu
53

ngintilin yang sakit malah jadi ikut-ikutan lemes.”. Pada kalimat yang
diucapkan si guru terdapat penggunaan kosakata “betot” yang berarti tarik,
dan “lemes” yang berarti lemas/tidak mempunyai tenaga, dan penggunaan
kata “bae-bae” dan “jatoh” pada kalimat “Iya sono, kamu yang sakit
jalannya bae-bae biar enggak jatoh ya.”, saat guru tersebut memberikan
nasihat kepada siswanya yang sedang sakit untuk berhati-hati supaya tidak
jatuh saat berjalan menuju ruang UKS. Pada TD 15, kalimat-kalimat yang
diucapkan penutur (guru) terhadap lawan tuturnya (siswanya) kebanyakan
menggunakan dialek Betawi.
Hal yang terjadi pada TD 15 dapat dikatakan bahwa penutur (guru)
gagal mengonvergensikan diri atau dia bahkan harus melakukan
divergensi tersebut (mengaburkan atau menyimpang dari arah). Dengan
kata lain, bahwa si guru tersebut mungkin saja sama sekali tidak berusaha
untuk menyesuaikan tuturannya dengan kepentingan lawan tuturnya dan
justru dengan sengaja membuat tuturannya sama sekali tidak serupa
dengan lawan tuturnya. Hal ini bisa terjadi, kalau si guru tersebut ingin
menekankan loyalitas atau kesetiaan terhadap kelompoknya dan
memisahkan diri dari kelompok lawan tuturnya.

TD 16
Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun itu jadi
seorang guru gitu. Ini masih banyak yang belum paham ya
sebenernya disuruh ngapain?
Siswa-siswa : (terdiam)
Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja dalam hidupnya,
tapi itu harus ada endingnya.

Pada TD 16, pada bagian penutup pelajaran tersebut, guru


menjelaskan kembali mengenai tugas yang dia berikan tersebut agar dapat
dipahami oleh siswa-siswanya yang belum mengerti. Namun, dalam
penjelasaannya guru tersebut menggunakan bahasa asing, yaitu kosakata
bahasa Inggris dengan menggunakan “ending” pada dialog yang ia
sampaikan. Hal ini dapat dilihat pada kalimat, “Emang saya bilang ambil
satu kejadian aja dalam hidupnya, tapi itu harus ada endingnya.”. Dalam
54

hal tersebut, ini bisa dikatakan sebagai divergensi bahasa, karena bisa saja
dalam kalimat yang diucapkan guru tersebut tidak sepenuhnya dipahami
oleh beberapa siswa yang lain, Hal ini akan menimbulkan terhambatnya
tujuan komunikasi dan kerja sama antara si penutur (guru) dan lawan
tuturnya (siswa). Pemakaian bahasa di ranah pendidikan haruslah
disesuaikan dengan kebutuhan, dalam hal ini interaksi edukatif yang
terjadi adalah selama pelajaran bahasa Indonesia, semestinya guru tersebut
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan menggunakan
kosakata “akhir” bukan “ending” pada kalimat yang diucapkannya.
Interaksi edukatif atau yang lazim disebut sebagai interaksi belajar
mengajar bisa dipahami sebagai kegiatan interaksi yang dilakukan oleh
guru dan siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Dalam interaksi belajar
mengajar terjadi proses pengaruh mempengaruhi. Jika banyaknya temuan
data yang termasuk ke dalam divergensi bahasa, hal ini akan sulit untuk
mencapai tujuan pengajaran di kelas.

Pola komunikasi dalam pembelajaran ini adalah bahasa kolokial.


Kolokial adalah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat penutur
bahasa di daerah tertentu, kolokial dikenal juga sebagai bahasa sehari-hari
atau bahasa percakapan. Kolokial terjadi pada ragam bahasa lisan yang
cenderung bersifat praktis dan bersifat melanggar aturan kaidah tatabahasa.
Bahasa kolokial khas bagi situasi bertutur tertentu, yakni situasi santai.
Kosakatanya berupa kata-kata yang telah mengalami penurunan sesuai
situasi. Hal ini bisa kita lihat dari percakapan antara penutur (guru) dan lawan
tuturnya (siswa) pada kosakata yang digunakan, seperti “latian”, “apal”,
“ngapa”, “udah”, yang seharusnya adalah “latihan”, “hapal”, “kenapa”, dan
“sudah”.
Keuntungan dari komunikasi tersebut adalah bagi penutur (guru)
terhadap lawan tuturnya ketika berinteraksi adalah (1) meningkatkan
efektivitas komunikasi, (2) mengurangi jarak sosial di antara peserta lawan
tuturnya, (3) menghapus stigma atau ciri negatif yang menempel pada pribadi
55

seseorang karena pengaruh lingkungannya, (4) meningkatkan prestise, (5)


mengurangi formalitas tutur, dan (7) meningkatkan kesantunan tutur. Dalam
hal ini terjadi adaptasi linguistik. Adaptasi linguistik adalah proses adopsi
ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya
saling melakukan hal yang sama baik itu penutur maupun lawan tuturnya,
sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, antara satu sama
lain. Selain adaptasi linguistik, pola komunikasi yang dilakukan oleh guru
sebagai penutur terhadap siswanya selaku lawan tutur juga menghasilkan
adaptasi sosial, yaitu proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial yang
melibatkan dua kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras
melakukan penyesuaian satu sama lain atau salah satu di antaranya, sehingga
memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup untuk mendukung
terciptanya eksistensi kehidupan yang solider dan harmoni di antara mereka.
Berbeda dengan penutur (guru), keuntungan dari pola komunikasi
yang dilakukan siswa terhadap gurunya ataupun terhadap sesama siswa yang
lain, yaitu yang menggunakan bahasa Indonesia pada saat interaksi adalah,
Siswa tersebut bisa saja mendapatkan nilai yang lebih baik jika menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar pada saat kelas bahasa dibandingkan
dengan teman-temannya yang tidak menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Sedangkan, bagi siswa yang melakukan konvergensi dengan
menyesuaikan terhadap penyamaan tuturan gurunya dengan menggunakan
dialek Betawi juga mendapatkan keuntungan, yaitu mereka bisa lebih dekat
dengan guru tersebut dalam berkomunikasi atau interaksi yang terjadi di
kelas.
56

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai konvergensi
dan divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar Bahasa dan Sastra
Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang, diperoleh
simpulan sebagai berikut:
1. Sikap bahasa yang ada pada interaksi belajar mengajar didominasi
oleh konvergensi bahasa, hal itu dapat ditunjukkan dengan sikap
guru yang menyesuaikan pemakaian bahasanya ketika
menyampaikan materi kepada siswa dengan respon bahasa yang
sama dari siswa tersebut. Salah satu hal yang melatarbelakangi guru
(penutur) melakukan konvergensi bahasa adalah dengan latar
belakang budaya yang sama. Guru tersebut ketika berinteraksi
dengan lawan tuturnya (siswa) memperhatikan; yaitu siapa yang
berbicara, kepada siapa ia berbicara, dimana, kapan, untuk apa,
bagaimana, dan tentang topik apa. Sikap positif yang ditunjukkan
oleh guru (penutur) dengan siswanya (lawan tutur) dengan
menyesuaikan fitur bahasanya (pengucapan, aksen, kosakata, dan
struktur), dalam hal ini dengan menggunakan dialek Betawi sehingga
dapat dipahami dan diterima. Selain itu, guru tersebut juga
mengakomodasikan tuturannya menjadi sama atau mirip dengan
siswanya.
2. Selain konvergensi, terdapat juga divergensi bahasa yang
ditunjukkan oleh penutur (guru) terhadap lawan tuturnya (siswa)
dalam pemakaian bahasanya. Namun divergensi bahasa tersebut
ditemukan pada kondisi tertentu saja. Divergensi bahasa yang terjadi
karena adanya upaya si penutur (guru) tersebut untuk membedakan
tuturannya dengan lawan tuturnya (siswa) tetapi tidak berlangsung

56
57

secara terus menerus. Salah satu hal yang melatarbelakangi penutur


(guru) melakukan divergensi bahasa adalah adanya perbedaan sosial
dan geografis ketika berinteraksi dengan siswanya. Penutur
mengakomodasikan tuturannya menjadi berbeda dengan lawan
tuturnya (siswa). Hal ini terjadi karena karena latar belakang budaya
yang berbeda. Selain itu juga, mungkin saja si penutur ini sengaja
melakukan divergensi bahasa untuk menunjukkan kesetiaannya
terhadap bahasa pertamanya (B1) atau ingin mempertahankan
kekhasan budayanya, karena siswa-siswa tersebut (lawan tuturnya)
tidak semuanya menggunakan bahasa yang sama.

B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti akan
memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi guru bahasa Indonesia hendaknya pemakaian bahasa yang
dilakukan pada saat proses belajar mengajar adalah adalah
menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar Bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang menjadi alat pemersatu bahasa ini
menjadi sangat efektif sehingga dalam proses penyampaian materi di
kelas dapat dipahami dan dimengerti oleh siswa-siswanya.
2. Bagi siswa, penerapan untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang
baik dan benar juga perlu ditingkatkan karena sebagai sarana penalaran
yang akan memudahkan mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya.
3. Bagi peneliti yang akan mengkaji mengenai konvergensi dan
divergensi bahasa, diharapkan dapat mengkaji dengan teori-teori sikap
bahasa yang lain yang lebih baik, agar dapat melengkapi penelitian
yang sudah dilakukan sebelumnya.
58

DAFTAR PUSTAKA

A. M., Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. Cet. Ketujuh, 2000.

Ahmadi, Abu dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar untuk Fakultas
Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung: Pustaka Setia. 2005.

Aslinda dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika


Aditama, 2007.

Auer, Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill. Dialect Change: Convergence
and Divergence in European Languages. Cambridge: Cambridge
University Press, 2005.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:


Rineka Cipta, 2004.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:


Rineka Cipta. Edisi Revisi, 2010.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka, 2007.

Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineka Cipta, 2010.

Gudykunst, William B. dan Bella Mody. Handbook of International Inter


Cultural Communication 2nd Edition. Sage Publication. Thousand Oaks,
2002.

58
59

Hudson, R. Sociolinguistics (2nd Edition). Cambridge University Press, 1996.

Ibrahim, R. dan Nana Syaodih S. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka


Cipta, 2010.

Jendra, Made Iwan Hendrawan. Sociolinguistics The Study of Societies


Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2008.

Mackey, W. F. Analisis Bahasa untuk Pengajaran Bahasa. Surabaya: Usaha


Nasional, 1984.

Mahsun. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Morrison dan Wardhany Andy Corry. Teori Komunikasi. Jakarta: Ghalia


Indonesia, 2009.

Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Padmadewi, Ni Nyoman, dkk. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Rahardi, R. Kunjana. Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.

Spolsky, Bernard. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press, 1998.


60

Suhardi, Basuki. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Bahasa


Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Sumarsono dan Paina Partana. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Cet. II, 2004.

Sumarsono. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda bekerjasama dengan Pustaka


Pelajar, 2004.

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2010.

West, Richard dan Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis


and Application 3rd ed. Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Tabel 1.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Konvergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar


Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data


1. Pembukaan TD 01

Guru: Anak-anak ambil posisi!


Anak-anak: (mengambil posisi tempat duduk dengan
suara berisik)
Guru: Halo anak-anakan yang sudah ngisi data, duduk!
Nah yang pertama sini naskahnya! Mana teksnya? Nah,
yang pertama dulu.
Siswa: Iya Bu sebentar.
2. Kegiatan Inti TD 02

Siswa: Tapi tetep maju Bu?


Guru: Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal
naskahnya?
Guru: Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya
Siswa: Apalnya dikit doang Bu.
Guru: Emangnya kalian enggak pada latian?
Siswa: Latian Bu, tapi lupa.

3. Kegiatan Inti TD 03
Siswa: Oh iya bu maaf. Kami dari kelompok... Ehmmm..
Kami dari kelompok satu.. akan menampilkan sebuah
drama.. Bener enggak bu?
Guru: Iya bener sayangku, terusin.

4. Kegiatan Inti TD 04

Guru: Itu wadon yang di belakang jangan ngobrol aja.


Siswa: Tau nih si pencot berisik banget.
Siswa: Iya bu enggak.
Guru: Enggak boleh ngata-ngatain temen kamu begitu
tong. Ayo terusin dramanya.

5. Kegiatan Inti TD 05
Guru: Anak-anakan.
Siswa: Iya ibu-ibu.
Guru: Sekarang buka buku tulis semuanya! Udah dibuka
belom bukunya?
Siswa: Udah ibu-ibu.
Guru: Nah kalo udah dibuka, saya tanya dulu sekarang
ya.
Siswa: Jadi dulu apa sekarang bu?
Guru: Hmmm.. Saya mau tanya nih, kalian inget ga
kelompok yang barusan maju itu nyeritain tentang siapa
hayo?

6. Kegiatan Inti TD 06
Guru: Nah sekarang kan kalian udah pada tau nih, siapa
yang diceritain sama kelompok barusan, sekarang coba
kalian tulis apa aja sih, yang hal-hal yang disampaikan
lewat drama yang barusan ditampilkan. Biar saya tau,
kalo ternyata kalian itu nyimak atau enggak.
Siswa: Maksudnya gimana sih bu?
Guru: Misalnya si Datun itu masa kecilnya gimana, dia
sukanya ngapain, terus dari kesukaannya itu apa dia
menghasilkan sesuatu atau gimana? Nah tulis
semuanya yang udah kalian simak tadi. Nah untuk
ngeringanin tugasnya, ini didiskusikan sama teman
kelompok kalian ya, bukan sendiri-sendiri. Jadi, kalo
misalnya ada yang lupa, teman kalian kan bisa
ngingetin satu sama lain, sehingga jawabannya jadi
lengkap. Paham enggak?
Siswa-siswa: Iya bu.
Guru: Iya bu apa?
Siswa-siswa: Iya bu paham.
7. Kegiatan Inti TD 07
Siswa: Yah lokan cepet banget bu.
Guru: Udah segitu mah saya rasa cukup. Udah kerjain.
Kan kelompok. Apa mau sendiri-sendiri aje?
Siswa: Jangan bu, jangan. Ya udeh kelompok aje Bu.
Guru: Ngerjainnya pake tangan, jangan pake mulut,
berisik.
8. Kegiatan Inti TD 08
Guru : Itu dia jadi apa? Biografinya Anita itu sebagai
apa?
Siswa : Yang anak SD itu Bu. Yang... Hmmm... yang
baru masuk SD itu Bu.
Guru : Anita itu tadi ceritanya kan kayak sinetron gitu
ya. Maksudnya adalah.. Hmmm... perjalanan setelah
beberapa tahun, kemudian Anita berprofesi seperti
apa.
Siswa : Iya Bu, itu kan salah satu perjalanan hidupnya
dia Bu.
Guru : Iya, tapi.. Maksud Ibu kalian itu ngambilnya
itu dia akhirnya berprofesi seperti jadinya, kan ini
ngambilnya Biografi penulisnya.
Siswa : Oh gitu Bu. Jadi itu Bu, akhirnya, si Anitanya
itu masuk SMP Bu, terus masuk SMA, terus kuliah,
terus jadi pegawai pajak.

9. Kegiatan Inti TD 09

Guru : Oh, ada ya. Yaudah. Ini kelompoknya enggak ada


wadonnya ya?
Siswa : Iya Bu laki semuanya.

10. Penutup TD 10

Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun


itu jadi seorang guru gitu. Ini masih banyak yang
belum paham ya sebenernya disuruh ngapain?
Siswa-siswa : (terdiam)
Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja
dalam hidupnya, tapi itu harus ada “endingnya”.
Maksudnya itu endingnya itu akhirnya yang kalian
ambil tokohnya itu, ambil biografinya itu dia jadinya
berprofesi apa? Nah kalo ini kan, dari kelompok 2 itu
sampe kelompok terakhir itu kan kayak sinetron gitu.
Maksud saya itu kayak kelompok yang pertama, kan
nyeritain tentang Siti Syahadatun, dia dari kecilnya itu
sukanya menjahit, sampe akhirnya dia sukses jadi apa?
jadi sering ngirim rancangannya atau hasil jahitnya itu
ke... ke mana tadi? Iya ngirim rancangannya itu untuk
Ida Leman Collection. Nah itu kan jelas, dari awal
cerita sampe “ending”. Jadi kan ketauan. Nah kalo ini
dari tadi itu kayak sinetron-sinetron anak ABG ya. Tidak
jelas akhir ceritanya itu, apalah si tokoh hidup misalnya
berprofesi sebagai apa? Itu kan kalo saya enggak
nanyain satu-satu, jadi enggak tau. karena enggak
ditulis sama kalian. Nah ini, udah enggak ada remedial
ya, kan juga dikit lagi mau UAS, yaudah biarin aja. Jadi
nilainya itu ya udah sesuai yang udah kalian tampilkan
gitu. Ini kan saya memberi masukan-masukan, supaya ke
depannya itu kalian bisa lebih baik lagi. Oke, ada yang
mau bertanya enggak mengenai materi ini. mengenai
teks cerita ulang? Yang mau nanya, silahkan ya, jangan
malu-malu.
Tabel 2.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Divergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar


Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data


1. Kegiatan Inti TD 11
Guru: Kami dari kelompok berapa... akan menampilkan
sebuah drama yang berjudul titik titik titik.
Siswa: Hobi Berujung Kebahagiaan.
Guru: Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya
gimana tadi?
2. Kegiatan Inti TD 12
Guru: Eh tong, saya kasih tau ya. Orang biar dikata
mukanya biasa aja tapi kalo orangnya rapih itu jadi
keliatan boto. Sama, kalo orangnya boto, kalo kaga
rapih, ya jadinya kagak boto. Paham anak-anak?
Siswa: (beberapa terdiam)
Siswa: Seh parah, masa lu dikatain botol dah.
Guru: Bukannya botol sayang, tapi boto. Hadeeuuh.
Siswa: Emang boto apaan si bu?
Guru: Masa engga tau boto kamu?
Siswa: Engga tau bu, saya aja baru denger.
Guru: Yaudah buat pr ya sekalian kalo kamu enggak
paham boto.

3. Kegiatan Inti TD 13
Guru: Hayo siapa? Masa barusan aja kalian udah lupa.
Gimana saya suruh tulis lagi, kalo segitu aja udah lupa.
Guru: Hayo masa enggak ada yang bisa jawab dari
segini banyaknya siswa?

4. Kegiatan Inti TD 14
Siswa-siswa: Bu beluman Bu.
Guru: Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi
keteteran kamu nanti berabe dah urusannya. Tuman
banget sih kamu kalo engga diomelin engga pada
ngerjain.
Guru: Itu kamu yang belonjor, kalo angob tutup
mulutnya, nanti yang laen ikut-ikutan angob juga.
5. Kegiatan Inti TD 15
Siswa : Bu, ini ada yang sakit bu.
Guru : Sakit apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran
itu?
Siswa : Palanya pusing bu, anget bu jidatnya. Bu, izin ke
UKS ya bu.
Guru : Yaudah, itu kamu yang ngintilin yang sakit
banyak amat. Satu orang aja. Nanti yang sakit biar dia
rebahan dulu di UKS. Kamu abis nganterin dia balik
lagi ke sini.
Siswa : Iya Bu.
Siswa : (Kepada penjaga perpustakaan) Pak, ini
pintunya susah dibuka.
Guru : Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu
ngintilin yang sakit malah jadi ikut-ikutan lemes.
Siswa : Iya bu, ini udah bisa.
Guru : Iya sono, kamu yang sakit jalannya bae-bae biar
enggak jatoh ya.
Siswa : Iya Bu. Makasih.

6. Penutup TD 16

Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun


itu jadi seorang guru gitu. Ini masih banyak yang belum
paham ya sebenernya disuruh ngapain?
Siswa-siswa : (terdiam)
Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja
dalam hidupnya, tapi itu harus ada endingnya.
TRANSKRIPSI DATA

Guru: Anak-anak ambil posisi. Halo anak-anakan yang sudah ngisi data, duduk.
Nah yang pertama sini naskahnya. Mana teksnya? Nah, yang pertama
dulu.

Siswa : Iya, Bu bentar.

Guru: Yang pertama, dua, tiga, empat, lima, teksnya???

Siswa : Bu bentar ya, Bu.

Guru: Ini apek amat sih jadinya ruangan, kamu pada ganti kaos kaki enggak nih?

Siswa : Ganti si Buuu..

Siswa : Dimas. Kita pertama?

Siswa : Enggak tau dah, gue lupa.

Siswa: Bu, teks kelompokkan kita dibawa sama yang sakit Bu, orangnya enggak
masuk sekarang, gimana Bu?

Guru: Ibu enggak mau tau, kelompok kalian bikin ulang teksnya.

Siswa: Tapi tetep maju Bu?

Guru: Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal naskahnya?

Guru: Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya?

Siswa: Apalnya dikit doang Bu.

Guru: Emangnya kalian enggak pada latian?

Siswa: Latian Bu, tapi lupa.

Guru: Udah cepetan, jangan kebanyakan diskusi. Teksnya pokoknya dikumpulin.

Siswa: Eh, kelompokkan kita tau yang pertama.


Siswa: Bu, kita yang pertama bu.

Guru : Ya, silahkan. Teks yang pertama? Ya sama aja, teks yang pertama, kedua,
kelima, keempat juga kan maju. Ini yang pertama, ini yang kedua, yang
ketiga? yang ketiga? teksnya! Ketiga, keempat, kelima! Sini yang ketiga,
keempat!

Siswa : Nih bu.

Guru : Yang mau didialogkan yang mana? Kelompok empat?

Siswa : Bu, kalo kurang orang gimana bu? Harus dua peran apa gimana?

Guru : Iya, harus dua peran.

Siswa : Kelompok saya kurang orang bu.

Guru : Ya, berarti harus dua peran.

Siswa : Tapi dialognya dari yang awal terus sama yang akhirnya bu.

Guru : Iya boleh.

Siswa : Eh, boleh boleh.

Guru : Ini keempat. Kelima. Ya, ayo silahkan.

Siswa : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Siswa-siswa : Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Siswa : Kami dari kelompok satu, eh.. gimana bu tadi ngomong pertamanya?

Guru: Kami dari kelompok berapa... akan menampilkan sebuah drama yang
berjudul titik titik titik.

Siswa: Hobi Berujung Kebahagiaan.

Guru: Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya gimana tadi?


Siswa: Oh iya bu maaf. Kami dari kelompok... Ehmmm.. Kami dari kelompok
satu.. akan menampilkan sebuah drama.. Bener enggak bu?

Guru: Iya bener sayangku, terusin.

Siswa: Akan menampilkan sebuah drama yang berjudul “Hobi Berujung


Kebahagiaan”. Perkenalan dulu, saya sebagai Pak Lurah.

Siswa : Eh nama!

Siswa : Saya Jaya Permana sebagai Pak Lurah.

Siswa : Saya Imas Fajriani sebagai Datun.

Siswa : Saya Nurfitriani sebagai Ibu Kalimah.

Siswa : Dan saya Arly Zahra sebagai Bibi Hana.

Siswa : Makan siangku telah habis kulahap. Sekarang ada banyak waktu yang aku
punya sampai aku pergi ke kamar untuk tidur siang. Tapi aku tidak tau harus
melakukan apa. Aku pun menghampiri ibu yang sedang menjahit.

Siswa : Ibu lagi ngapain?

Siswa : Ini, ibu lagi jaitin celana kamu nak. Kok kamu gak main di luar sama
teman-teman kamu?

Siswa : Aku pengen ngeliatin aktivitas ibu.

Siswa : Aduh pinter banget sih anak ibu. Ibu mau.. Datun mau ibu ajarin jait
enggak?

Siswa : Mau bu mau.

Siswa : Oh boleh boleh sini sini. Nah pertama tuh Datun harus masukin dulu
jarum ke benangnya, eh... benang ke jarumnya. Coba Datun coba dulu.
Aduh mata ibu udah enggak awas nih. Datun bisa bantuin ibu enggak?

Siswa : Bisa bu. Ini bu udah.


Siswa : Terus, kalo udah Datun simpul bawahnya, biar benangnya enggak
gampang lepas Datun. Nah kalo udah begitu, Datun jait seperti ini. Nah kayak
gini. Nah coba Datun sekarang.

Guru: Itu wadon yang di belakang jangan ngobrol aja.

Siswa: Tau nih si pencot berisik banget.

Siswa: Iya bu enggak.

Guru: Enggak boleh ngata-ngatain temen kamu begitu tong. Ayo terusin
dramanya.

Siswa : Beberapa saat kemudian,

Siswa : Ini bu, jaitannya udah e... bisa ibu periksa engga?

Siswa : Wah... ini bagus banget. Ini berarti kamu udah bisa pinter banget emang
anak ibu.

Siswa : Alhamdulillah. Datun boleh gak minjem peralatan jahit ibu?

Siswa : Boleh nak, tapi kalau Datun mau menjahit harus bilang ibu dulu ya. Nanti
ibu awasin kamu.

Siswa : Iya bu.

Siswa : Sejak saat itu, Datun selalu meluangkan waktunya untuk belajar menjahit
bersama ibunya. Dimulai dari belajar menjahit, belajar membuat boneka tangan,
sampai belajar membuat rok untuk Datun. Hari itu setelah makan siang...

Siswa : Ibu mana ya? Kan katanya mau ngajarin aku jait setiap abis makan siang.

Siswa : Bibi Hana pun lewat ruang keluarga tempat Datun duduk. Bibi Hana
menghampiri Datun.

Siswa : Kamu kenapa? Kok mukanya bete gitu?


Siswa : Iya ini nih Bi, ibu udah janji mau ngajarin jait aku, tapi gak tau ibunya
kemana.

Siswa : Yaudah, belajarnya kan bisa besok. Ibu kan sekarang ke pasar, beli
keperluan mendadak yang harus dibeli.

Siswa : Nah, sekarang kan bibi mau pergi, Datun besok aja ya belajarnya?

Siswa : Yaaaah.. Datun maunya sekarang bi.

Siswa : Kalo Bibi pergi, nanti kamu engga ada yang ngawasin.

Siswa : Huffft, yaudah deh.

Siswa : Yaudah, Bibi pergi dulu ya.

Siswa : Iya bi.

Siswa : Pokoknya kamu jangan jait, sebelum ibu kamu pulang.

Siswa : Datun pun sendirian di rumah. Lima belas menit berlalu tapi ibunya belum
juga pulang dari pasar.

Siswa : Ibu kemana ya, apa aku jait sendiri aja? Yaudah deh aku jait sendiri aja.
Tapi setengah aja deh, takut dimarahin ibu.

Siswa : Pada akhirnya Datun menjahit sendiri. Setelah menjahit setengah baju...

Siswa : Waah asik banget, aku selesaiin deh bikin bajunya. Dikit lagi selesai.

Siswa : Tapi tiba-tiba...

Siswa : Aduh, sakit! Ah... udah deh obatin aja

Siswa : Hari mulai sore. Ibu Kalimah pun pulang dan terkejut melihat Datun.

Siswa : Datun ngapain? Kan ibu udah bilang jangan main alat jait. Terus tangan
kamu kena, nanti bahaya. Tuh kan, tangan kamu kenapa?
Siswa : Hmmm, itu tadi ketusuk jarum bu. Tapi tadi udah ibu.. eh udah Datun
obatin kok.

Siswa : Datun engga dengerin ibu kan? Ibu kan udah bilang berkali-kali, kalo
Datun jangan pernah main-main benang jait ataupun jarum-jarum jait. Sekarang
liat akibatnya.

Siswa : Maaf bu, Datun tungguin ibu pulang, tapi ibu gak pulang-pulang.

Siswa : Tadi tuh di pasar rame banget Datun. Ini kan hari Minggu. Jadi Ibu mesti
antri dulu. Udah gitu, tadi angkotnya bannya bocor.

Siswa : Ibu, mafin Datun ya.

Siswa : Yaudah, lain kali jangan kayak gitu ya?

Siswa : Iya bu.

Siswa : Yaudah, kamu lanjutin coba sini ibu liat.

Siswa : Baju dan rok pun dihasilkan lewat jahitan Datun. Orang-orang sudah tau
keterampilan menjahit Datun. Hingga suatu hari...

Siswa : Assalamualaikum.

Siswa : Waalaikum salam. Eh, Pak Lurah.. Silahkan duduk pak.

Siswa : Makasih ya bu.

Siswa : Waduh, ada keperluan apa nih Pak Lurah kok tiba-tiba ke sini?

Siswa : Begini Bu, saya kan dengar-dengar di sini bisa jait baju. Mumpung baju
saya sudah kekecilan, saya mau mesen baju di sini, bisa engga bu?

Siswa : Oh gitu, bentar ya pak. Datun Datun sayang sini.

Siswa : Ada apa bu?


Siswa : Jadi gini, Pak Lurah tuh bajunya udah kekecilan katanya, dia mau Datun
jaitin bajunya Pak Lurah. Gimana, Datun bisa engga?

Siswa : Waaah.. Boleh banget bu. Sekalian Datun mau ngasah hobi jait Datun.

Siswa : Oh bagus dong. Pak Lurah maaf, bawa.. bawa.. mau diukur atau boleh
saya tau ukuran bajunya?

Siswa : Ini saya udah siapkan ukurannya. Ini Datun.

Siswa : Makasih ya pak, insya Allah Datun ngerjain maksimal jaitannya.

Siswa : Iya sama-sama, udah gitu aja. Yasudah saya permisi dulu.

Siswa : Makasih ya pak.

Siswa : Saya pamit ya.

Siswa : Iya pak.

Siswa : Assalamualaikum.

Siswa : Waalaikum salam.

Siswa : Ini kerja Datun pertama. Datun bekerja keras untuk ini. Dia juga tidak
ingin meminta bantuan sang ibu. Dia ingin ini menjadi pengalaman bekerja
pertama untuknya. Seminggu kemudian...

Siswa : Hah.. Akhirnya selesai juga bu. Ibu, Datun boleh minta cekin hasil
jahitannya gak ?

Siswa : Boleh boleh, coba sini.

Siswa : Wah ini bagus banget Datun, rapi banget. Kamu.. kamu hebat banget,
anak ibu emang hebat, bagus banget bajunya. Rapi banget jaitannya.

Siswa : Pak Lurah pun datang ke rumah.

Siswa : Assalamualaikum.
Siswa : Waalaikum salam pak.

Siswa : Gimana bu, jaitannya udah bisa saya ambil sekarang?

Siswa : Oh udah udah, bentar ya pak. Datun sini nak. Sekalian bawa bajunya Pak
Lurah ya nak.

Siswa : Iya bu.

Siswa : Saya coba liat dulu ya.

Siswa : Silahkan coba dulu pak, misalkan ada yang kurang di bagian mananya,
nanti bisa bilang ke Datun atau ke saya juga bisa.

Siswa : Oh iya.

Siswa : Gimana pak?

Siswa : Bagus sih ini, cocok sama saya, ukurannya juga pas, jaitannya juga bagus.
Datun saya puas sama kerjaan kamu.

Siswa : Makasih pak.

Siswa : Oh iya ini ada upahnya, diterima ya.

Siswa : Makasih pak.

Siswa : Makasih ya pak.

Siswa : Saya balik ya, assalamualaikum.

Siswa : Hati-hati ya pak. Ibu bangga deh sama kamu. Pak Lurah sampe puas sama
hasil kerja keras kamu.

Siswa : Makasih bu. Ini bu uangnya.

Siswa : Engga usah, ini kan hasil kerja Datun, Datun simpen buat tabungan.
Semua yang udah Datun kerjain kan, punya Datun. Jadi, Datun yang simpen
bukan ibu lagi. Ini buat jajan Datun doang.
Siswa : Makasih ya bu.

Siswa : Iya sama-sama, ibu bener-bener bangga banget sama Datun. Datun tuh
masih kecil, tapi udah bisa ngasilin uang, udah bisa ngasilin hobi yang
bermanfaat, sedangkan anak-anak lain, anak-anak kecil lain cuma bisa main,
sedangkan Datun bisa ngebanggain keluarga.

Siswa : Ini juga semua berkat ibu. Makasih ya bu.

Siswa : Iya nak.

Siswa : Sejak itu, Datun tidak meninggalkan hobinya, yaitu menjahit. Dan
sekarang Siti Syahadatun sering mengirim rancangannya untuk Ida Leman
Collection. Berawal dari hobi menjahit, berujung dari kebahagiaan Datun dan
keluarganya.

Siswa : Terima kasih, sekian dari kelompok kami, mohon maaf apabila ada
kekurangan, semoga terhibur. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Guru dan siswa : Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Guru: Anak-anakan.

Siswa: Iya ibu-ibu.

Guru: Sekarang buka buku tulis semuanya! Udah dibuka belom bukunya?

Siswa: Udah ibu-ibu.

Guru: Nah kalo udah dibuka, saya tanya dulu sekarang ya.

Siswa: Jadi dulu apa sekarang bu?

Guru: Hmmm.. Saya mau tanya nih, kalian inget ga kelompok yang barusan maju
itu nyeritain tentang siapa hayo?

Siswa: (terdiam)
Guru: Hayo siapa? Masa barusan aja kalian udah lupa. Gimana saya suruh tulis
lagi, kalo segitu aja udah lupa.

Guru: Hayo masa ga ada yang bisa jawab dari segini banyaknya siswa?

Siswa: (menunjuk tangan)

Guru: Iya kamu. Siapa yang diceritain sama kelompok yang barusan?

Siswa: Kalo ga salah Datun ya bu?

Guru: Datun siapa? Masa Datun doang? Nama lengkapnya Datun siapa?

Siswa: Lupa bu nama panjangnya.

Guru: Yang lain masa ga ada yang inget nama lengkapnya.

Siswa: Bu, Siti Syahadatun bukan?

Guru: Nah iya, siapa tadi?

Siswa-siswa: Siti Syahadatun buuuuuu.

Guru: Nah sekarang kan kalian udah pada tau nih, siapa yang diceritain sama
kelompok barusan, sekarang coba kalian tulis apa aja sih, yang hal-hal yang
disampaikan lewat drama yang barusan ditampilkan. Biar saya tau, kalo ternyata
kalian itu nyimak atau engga.

Siswa: Maksudnya gimana sih bu?

Guru: Misalnya si Datun itu masa kecilnya gimana, dia sukanya ngapain, terus
dari kesukaannya itu apa dia menghasilkan sesuatu atau gimana? Nah tulis
semuanya yang udah kalian simak tadi. Nah untuk ngeringanin tugasnya, ini
didiskusikan sama teman kelompok kalian ya, bukan sendiri-sendiri. Jadi, kalo
misalnya ada yang lupa, teman kalian kan bisa ngingetin satu sama lain, sehingga
jawabannya jadi lengkap. Paham engga?

Siswa-siswa: Iya bu.


Guru: Iya bu apa?

Siswa-siswa: Iya bu paham.

Guru: Apa yang barusan saya bilang?

Siswa: Jadi kayak nyeritain ulang gitu ya bu, tentang drama yang tadi udah
ditampilin gitu bu?

Guru: Nah iya, itu paham ya. Apa lagi?

Siswa: Ngerjainnya per kelompok.

Guru: Nah iya, yaudah saya kasih waktu buat ngerjainnya ya, lima menit cukup?

Siswa: Engga bu, dua puluh menit ya bu.

Guru: Itu mah kelamaan. sepuluh menit ya.

Siswa: Yah lokan cepet banget bu.

Guru: Udah segitu mah saya rasa cukup. Udah kerjain. Kan kelompok. Apa mau
sendiri-sendiri aje?

Siswa: Jangan bu, jangan. Ya udeh kelompok aje Bu.

Guru: Ngerjainnya pake tangan, jangan pake mulut, berisik.

Guru: Ya kalo udahan, ulasan penampilan kelompok yang tadi disimpen dulu,
nanti diterusin lagi buat kelompok selanjutnya yang maju lagi. Sekarang, siap-siap
maju kelompok selanjutnya.

Siswa: Bu beluman bu.

Guru: Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi keteteran kamu nanti
berabe dah urusannya. Tuman banget sih kamu kalo engga diomelin engga pada
ngerjain.
Guru: Itu kamu yang belonjor, kalo angob tutup mulutnya, nanti yang laen ikut-
ikutan angob juga.

Guru : Berikutnya, kelompok Dea Agustianti. Ayo maju.

Guru: Ini kenapa kamu bajunya dikeluarin begitu? Biar dikata ape?

Siswa: Biar dikata widih kali bu diaaaa.

Guru: Eh tong, saya kasih tau ya. Orang biar dikata mukanya biasa aja tapi kalo
orangnya rapih itu jadi keliatan boto. Sama, kalo orangnya boto, kalo kaga rapih,
ya jadinya kaga boto. Paham anak-anak?

Siswa: (beberapa terdiam)

Siswa: Seh parah, masa lu dikatain botol dah.

Guru: Bukannya botol sayang, tapi boto. Hadeeuuh.

Siswa: Emang boto apaan si bu?

Guru: Masa engga tau boto kamu?

Siswa: Engga tau bu, saya aja baru denger.

Guru: Yaudah buat pr ya sekalian kalo kamu enggak paham boto. Hayo mau
kelompok selanjutnya.

Siswa : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Siswa : Saya berperan sebagai Dinda dan Kak Zio.

Siswa : Saya berperan sebagai Yanti.

Siswa : Saya berperan sebagai Bu Guru dan Ayu.

Siswa : Saya berperan sebagai Esti.

Siswa : Pada suatu hari di SMAN 54 Jakarta, ada seorang gadis culun dan
berkacamata besar yang bernama Riyanti. Riyanti berangkat sekolah dengan jalan
kaki, karena ia tidak mempunyai banyak uang untuk naik angkutan umum dan ia
pun terburu-buru untuk masuk ke dalam sekolah.

Siswa : Kenapa sih buru-buru?

Siswa : Iya maaf, kirain aku udah telat. Jadi, aku terburu-buru.

Siswa : Baju lu juga kenapa kotor? Emang lu gak mandi?

Siswa : Bajuku emang ini aja.

Siswa : Dasar anak culun! Hahaa..

Siswa : Saat di kelas, ada sekumpulan anak-anak yang sering disebut Geng Imut
yaitu Dinda, Ayu, dan Esti yang sedang membicarakan Yanti.

Siswa : Eh, lu tau ga? Tadi si Yanti masuk sekolah kumel banget ih!

Siswa : Emang iya, emang dia ga punya baju lagi ya?

Siswa : Dia kan bajunya emang jelek! Kotor lagi!

Siswa : Betul tuh! Tadi pagi aja udah buru-buru, baju kotor, bau lagi!

Siswa : Bel masuk pun berbunyi, Kring.. kring.. kring.. Suara gaduh pun
terdengar.

Siswa : Assalamualaikum anak-anak.

Siswa : Waalaikum salam Bu.

Siswa : Gimana kabar kalian hari ini?

Siswa : Alhamdulillah baik Bu.

Siswa : Oke, sekarang buku paket halaman seratus tujuh.

Siswa : Baik bu.


Siswa : Ketika ibu guru sedang menerangkan, Geng Imut terdengar ribut sekali.
Mendengar hal itu, akhirnya ibu guru pun menegur Geng Imut.

Siswa : Eh kalian, ada apa ribut ribut?

Siswa : Engga bu.

Siswa : Kenapa kalian engga merhatiin pelajaran saya?

Siswa : Maaf bu.

Siswa : Coba kalian kerjain soal di depan!


Siswa : Lu sih berisik!

Siswa : Lu juga!

Siswa : Lu yang berisik, gue yang disalahin!

Siswa : Karena tidak bisa mengerjakan, akhirnya Geng Imut dihukum oleh bu
guru, dan bu guru menunjuk Yanti untuk mengerjakan soal di papan tulis.

Siswa : Yanti!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Coba kamu kerjakan soal yang ada di papan tulis.

Siswa : Akhirnya Yanti bisa mengerjakan soal di depan dengan benar.

Siswa : Yanti kamu bagus, kamu bisa mengerjakan soal dari saya.

Siswa : Iya bu.

Siswa : Karena Yanti bisa mengerjakan soal di depan kelas dan ibu guru pun
memujinya, Geng Imut pun akhirnya kesal dengan Yanti.

Siswa : Eh lo, anak culun! Jangan sok-sokan deh!

Siswa : Tau lo! Sok banget sih jadi anak!


Siswa : Jangan cari perhatian deh lu di depan anak-anak!

Siswa : Maaf ya, aku bukan mau sok-sokan cari perhatian kok.

Siswa : Alaaah jangan boong deh!

Siswa : Buktinya tadi lo senang kan kita dihukum?

Siswa : Enggak kok.

Siswa : Udah yuk, kita tinggalin aja! Dasar anak culun!

Siswa : Keesokan harinya Geng Imut dan Yanti bertemu di jalan.

Siswa : Eh ada anak culun!

Siswa : Oh iya, ada anak culun. Mau ngapain tuh dia?

Siswa : Dasar bau! Dekil! Jelek! Iihhh!

Siswa : Yanti pun terburu-buru untuk masuk ke dalam kelas dan mengikuti
pelajaran dengan baik. Akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Kriing.. kriing.. Yanti
pun bergegas untuk ke kantin karena perutnya sudah lapar. Dengan uang yang
hanya seberapa, Yanti pun membeli makanan berupa nasi uduk dan lauknya hanya
bakwan. Sesudah Yanti memakan makanan yang sudah dibeli, Geng Imut pun
datang mengejek Yanti.

Siswa : Dasar anak kampung! Makanannya cuma nasi uduk sama bakwan!
Hahaa..

Siswa : Kasihan deh lo!

Siswa : Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghampirinya.

Siswa : Eh Yanti, kamu kenapa kok nangis begini?

Siswa : Enggak apa-apa kak.


Siswa : Eh kalian bertiga! Kalian bertiga ngapain Riyanti sampe Riyanti nangis
gini?

Siswa : Enggak diapa-apain kak.

Siswa : Jangan boong!

Siswa : Bener kok.

Siswa : Melihat Yanti yang masih menangis dan merasakan sakit hati, akhirnya
Kak Zio membawa keluar dari kantin.

Siswa : Iihhh.. Gue kesel banget deh! Kenapa sih Kak Zio selalu belain Yanti?

Siswa : Tau tuh! Anak kampung aja masih dibelain!

Siswa : Iihhh keselll! Keselll.. keselll!

Siswa : Akhirnya mereka bertiga keluar dari Kantin dan bertemu dengan Kak Zio
dan Yanti yang sedang duduk sebelahan di bangku taman. Dengan kesal Esti pun
hanya bisa ngedumel saja.

Siswa : Iiihh.. Maunya apa sih dia? Deket-deketin cowo gue mulu!

Siswa : Cowo lu? Ga salah? Hahaa..

Siswa : Kok lu ngomong gitu sih ke gue!

Siswa : Yailah cuma becanda kali.

Siswa : Lihat tuh, masih aja nangis di depan Kak Zio. Cari perhatian aja sih tuh
orang!

Siswa : Sabar Esti!

Siswa : Gimana mau sabar, gue sama Yanti juga masih cantikan gue! Kenapa Kak
Zio malah deket ke Yanti?

Siswa : Ya mungkin aja emang cantikan Yanti daripada lo! Hahaa..


Siswa : Kurang ajar! Liat aja lo!

Siswa : Saat sedang asyik main kejar-kejaran, bel masuk pun berbunyi. Kriing..
Kriing.. Kriing.

Siswa : Assalamualaikum anak-anak.

Siswa : Waalaikum salam bu.

Siswa : Baiklah, sekarang buka buku paket halaman seratus sepuluh.

Siswa : Baik bu.

Siswa : Bel sekolah pun berbunyi, kriing.. kriing.. kriing. Setelah pulang sekolah,
akhirnya anak-anak pun keluar dari sekolah dan kembali pulang ke rumah
masing-masing. Di tengah perjalanan, Yanti pun sedang berjalan sendirian di
pinggir jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang sengaja mencipratkan air yang
tergenang di jalanan.

Siswa : Aduh!

Siswa : Hahahaaa..

Siswa : Kasihan deh! Hahaa..

Siswa : Udah baju udah kotor, ditambah kotor, emang enak! Hahaa..

Siswa : Tiba-tiba seorang anak laki-laki datang menghampiri Yanti yang sedang
menangis di pinggir jalan.

Siswa : Kamu gak papa kan Riyanti?

Siswa : Gak apa-apa kak.

Siswa : Beneran gak papa?

Siswa : Iya kak.

Siswa : Yaudah, kamu pulang bareng aku aja ya.


Siswa : Enggak usah ka, aku pulang sendiri aja.

Siswa : Udah gak papa, daripada kamu pulang jalan kaki, mending sama aku aja.
Gimana?

Siswa : Yaudah ka.

Siswa : Melihat Kak Zio dan Yanti berboncengan naik sepeda motor, dan Kak Zio
mengantar Yanti pulang, Geng Imut pun kesal.

Siswa : Iihhh kesel banget gue! Maunya apa sih tuh Yanti?

Siswa : Tau nih! Gue juga kesel!

Siswa : Kenapa harus ditolongin sih?

Siswa : Gagal deh rencana kita!

Siswa : Keesokan harinya, Yanti bergegas untuk berangkat ke sekolah.


Sesampainya di sekolah, bel masuk pun sudah terdengar dan anak-anak pun buru-
buru untuk masuk ke dalam kelas.

Siswa : Assalamualaikum anak-anak.

Siswa : Waalaikum salam bu.

Siswa : Oke hari ini Ibu akan memberikan nilai ulangan kalian.

Siswa : Duh! Nilai gue berapa ini?

Siswa : Gue juga berapa ya ini?

Siswa : Riyanti!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Alhamdulillah nilai kamu bagus.

Siswa : Alhamdulillah.
Siswa : Esti Rahmawati!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Nilai kamu di bawah KKM, kamu harus belajar sama Yanti ya!

Siswa : Saya enggak salah denger bu?

Siswa : Ya enggaklah, kamu enggak salah denger.

Siswa : Saya gak mau bu!

Siswa : Kamu ini mau gak mau, kamu harus belajar bareng sama Yanti!

Siswa : Dengan terpaksa dan ingin mendapatkan nilai yang bagus, akhirnya Yanti
dan Esti belajar bareng. Sampai saatnya, hari Senin adalah ulangan matematika.
Ulangan telah berlalu, dan pembagian nilai pun akan segera dibacakan.

Siswa : Riyanti!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Nilai kamu.. nilai ulangan matematika kamu bagus.

Siswa : Iya bu, alhamdulillah.

Siswa : Esti Rahmawati!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Nilai kamu juga bagus.

Siswa : Alhamdulillah.

Siswa : Berkat kamu belajar dengan Riyanti, nilai kamu jadi naik.

Siswa : Akhirnya Esti menjadi baik ke Yanti, karena sudah mau mengajarinya
sampai mendapatkan nilai yang bagus.

Siswa : Yanti, makasih ya, berkat kamu nilai aku bagus.


Siswa : Iya sama-sama Esti.

Siswa : Maaf ya, kalo selama ini aku suka jahat sama kamu.

Siswa : Iya gak apa-apa kok, udah aku maafin.

Siswa : Makasih banyak Yanti.

Siswa : Iya, sama-sama.

Siswa : Sejak hari itu, kami bersahabat, melalui semuanya bersama-sama tanpa
dendam dan permusuhan. Melewati masa SMA dengan sangat indah dengan
persahabatan.

Siswa : Sekian yang dapat kita tampilkan, kurang lebihnya kami mohon maaf.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Guru dan siswa : Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Guru : Sini-sini, tunggu bentar ya. Ibu mau tanya ya, ini kok kelompok kamu
kayak sinetron banget ya.

Siswa : Bukan saya yang bikin bu.

Guru : Ini tuh bukan kayak drama ya anak-anak, kalo tadi tuh kayak kelompok
satu gitu kan nampilin Siti Syahadatun ya, biografinya kan, mulai karier jahitnya
gitu kan? Nah ini, biografinya siapa?

Siswa : Ini bu, biografinya Riyanti.

Guru : Iya, tapi ini kok kayak sinetron. Ini tuh bagian kehidupan dia yang
mananya?

Siswa : Ini tuh dari lingkungan sosialnya dia bu.

Guru : Tapi ini endingnya harus jelas, melihat Riyanti ini tuh siapa gitu, ya kan?
Pembaca tuh harus dibawa ya.. dibawa untuk jadi kisahnya seperti apa gitu. Tadi
kan Bu Siti Syahadatun ya, mulai dia dari hobi jait, sampe akhirnya terkenal, ada
endingnya bahwa itu biografi bu Siti Syahadatun. Nah ini, kamu mah ini
kebanyakan nonton sinetron ini. Kayak sinetron banget. Nanti endingnya ibu liat
aja gimana. Ya, emang pernah ibu ambil, ambil satu kisah di hidupnya dia di
lingkungannya, boleh. Ini udah bagus, tapi ini endingnya dia seolah-olah tidak
selesai. Ambil biografinya dia, mengerti ya? Ya ini, jadi kayak sinetron, sinetron
anak-anak ABG. Bisa sih kayak ini, cuma harus diselesaiin endingnya. Nah kalo
ini, kalian lebih banyak menguraikan permusuhannya dia, jadi lebih banyak
menguraikan konfliknya, jadi kayak sinetron. Mengerti ya?

Siswa : Iya bu.

Guru : Yang ketiga, tadi mana teksnya? Iya, mana yang ketiga?

Siswa : Bisa bantuin yang engga masuk gak bu?

Guru : Iya bisa, tapi engga ada hubungannya sama nilai ya. Teksnya sini.

Siswa : Bu, ini ada yang sakit bu.

Guru : Sakit apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran itu?

Siswa : Palanya pusing bu, anget bu jidatnya. Bu, izin ke UKS ya bu.

Guru : Yaudah, itu kamu yang ngintilin yang sakit banyak amat. Satu orang aja.
Nanti yang sakit biar dia rebahan dulu di UKS. Kamu abis nganterin dia balik lagi
ke sini.

Siswa : Iya Bu.

Siswa : (Kepada penjaga perpustakaan) Pak, ini pintunya susah dibuka.

Guru : Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu ngintilin yang sakit malah jadi
ikut-ikutan lemes.

Siswa : Iya bu, ini udah bisa.

Guru : Iya sono, kamu yang sakit jalannya bae-bae biar engga jatoh ya.
Siswa : Iya Bu. Makasih.

Guru : Ayo kelompok selanjutnya.

Siswa : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kami di sini


memerankan teks dialog yang telah kami buat. Saya di sini sebagai Anita.

Siswa : Saya sebagai Anisa.

Siswa : Saya sebagai Agus.

Siswa : Saya sebagai Mama Anita dan Pak Burhan.

Siswa : Pagi ini adalah hari pertama bagi Anita untuk memasuki dunia barunya.
Dunia untuk menuntut ilmu, yaitu lingkungan pendidikan awal atau sekolah dasar.
Sambil menggandeng tangan mamahnya, Marta. Ia berjalan menuju sekolah SDN
Tunas Harapan 2 Bandung, yang berjarak tak jauh dari rumahnya.

Siswa : Nak, kamu nanti di sekolah baik-baik ya, jangan nakal.

Siswa : Iya Mah. Mah, nanti aku gimana Mah? Kan biasanya aku sama Mamah,
terus nanti kalo aku sendiri gimana Mah? Aku takut.

Siswa : Enggak usah takut. Kamu nanti di sekolah ketemu kok sama guru-guru
yang baik, sama teman-teman kamu yang sayang sama kamu.

Siswa : Beneran Mah?

Siswa : Iya bener, Mamah kan selalu berdoa kepada Tuhan agar supaya anak
Mamah, Anita, diberikan kebaikan.

Siswa : Amin! Bener ya Mah.

Siswa : Iya.

Siswa : Tak terasa ternyata mereka berdua telah sampai di depan gerbang SDN
Tunas Harapan 2 Bandung, dan nampak banyak orang tua serta anak-anaknya
memasuki lingkungan sekolah.
Siswa : Udah sampai nih. Masuk dulu gih, masuk kelas.

Siswa : Jadi Mamah ninggalin Nita sendirian gitu di sini?

Siswa : Engga kok, Mamah nungguin di sini. Nanti kalo kamu pulang, kamu
temuin Mamah di sini.

Siswa : Oh gitu, oke deh. Anita masuk ya Mah. Nita sayang sama Mamah.

Siswa : Mamah juga sayang sama Anita.

Siswa : Segera Nita berlari dan memasuki ruangan kelas yang ditunjuk oleh
ibunya. Sesampai di sana, ia langsung duduk di kursi kosong dekat pintu.

Siswa : Aku duduk di mana ya? Ah, aku di sini aja ah.

Siswa : Tanpa sadar, Anita tidak mengetahui bahwa di sebelahnya ada seseorang
yang telah duduk dari tadi.

Siswa : Hei, selamat pagi.

Siswa : Eh selamat pagi juga.

Siswa : Nama kamu siapa?

Siswa : Oh nama aku Anita. Nama aku Anita Agustina, panggil aja Nita. Kalo
kamu siapa?

Siswa : Nama aku Agus, Agustinus Hariadi, panggil aja Agus.

Siswa : Oh gitu. Kita temenan ya.

Siswa : Iya oke.

Siswa : Tiba-tiba di tengah pembicaraan mereka berdua ada dua anak perempuan
menghampiri mereka berdua.

Siswa : Woi Agus! Cieee.. Berduaan aja, hihii..

Siswa : Hei Nisa, jangan gangguin mereka berdua. Hei Agus. Hei juga kamu.
Siswa : Ngomong-ngomong kalian berdua siapa sih? Kok tiba-tiba nyambung aja.

Siswa : Oh iya kenalin, gua Anisa Syarifadila, dan ini nih dia, panggil aja
Mbakyem, kalo engga si Mpok.

Siswa : Enak aja lu! Gak kok nama gua bukan itu. Nama gua Aisyah Teresia
Abdullah, panggil aja Aisyah.

Siswa : Oh gitu, oh ternyata kalian berdua itu Anisa sama Aisyah ya.

Siswa : Eh ngomong-ngomong, kita berempat temenan ya.

Siswa : Iya.

Siswa : Oh yaudah, oke.

Siswa : Oke.

Siswa : Anita, Anisa, Aisyah, serentak berkata “oke”, lalu mereka tertawa
terbahak-bahak. Di saat mereka sedang bercakap-cakap, ternyata bel masuk
berbunyi dan seorang guru pun memasuki kelas mereka.

Siswa : Selamat pagi anak-anak.

Siswa : Selamat pagi pak guru.

Siswa : Perkenalkan nama saya Pak Burhan. Nama saya Pak Burhanudin, dan
panggil Pak Burhan. Saya di sini wali kelas kalian ya, saya juga di sini mengajar
Matematika, jadi, jangan bosen ya sama saya. Hehehee...

Siswa : Iya pak.

Siswa : Kalian semua kayaknya murid-murid yang baik deh.

Siswa : Terima kasih Pak.

Siswa : Untuk permulaan.. untuk permulaan, sebaiknya kita perkenalan dulu,


dimulai dari kamu nih.
Siswa : Lalu setelah itu per anak saling berkenalan di depan kelas, hari itu mereka
saling bercakap-cakap menambah keakraban. Tiba-tiba bel pulang pun berbunyi.

Siswa : Yey udah pulang, ayo kita pulang.

Siswa : Ayo.

Siswa : Mamah.

Siswa : Eh anak Mamah Anita udah pulang, gimana tadi di kelas?

Siswa : Bener kata Mamah, ternyata temen-temen Nita sama guru-guru Nita pada
baik sama Nita. Jadi Mamah enggak boong. Makasih ya Mah.

Siswa : Tuh bener kan, yaudah kamu emang anak yang pinter.

Siswa : Kita pulang Mah.

Siswa : Setelah itu, mereka pulang sambil bercakap dan menceritakan


pengalamannya tadi.
Alkisah bermula dari Uun Khaerunisa yang semasa kecilnya memiliki
pengalaman yang tak terlupakan. Bersekolah di SD Poris Gaga satu, sekitar tahun
seribu sembilan ratus sembilan puluh, ketika ia masih kelas empat SD.

Latar di kantin sekolah.

Aduh, cape kali ya hari ini. Apalagi habis ulang Mtk.

Eh Un, kamu lagi apa di situ?

Oh, ini aku lagi istirahat nih, sambil melepas penat.

Oh, kamu enak ya bisa makan jajanan.

Fadli emang kenapa? Kok lemas gitu?

Iya, soalnya ini uangku hilang, jadi ya gak bisa jajan deh.

Ya udah gapapa. Ini aku pinjemin uang. Dah kamu jajan biar semangat lagi.

Ya gak usah Un, lagi pula ini kan musibah buat ku. Takutnya malah jadi
ngerepotin.

Udah gapapa, terima aja. Ini, aku ikhlas kok.

Ya udah, makasih ya.

Keesokan harinya Uun dan Fadli pun mengerjakan tugas di rumah Fadli.

Eh Un, silahkan masuk ini aku udah siap.

Iya, makasih Fadli.

Ayo kita mulai sja sekarang tugas yang diberikan guru.

Iya, baiklah.
Saat mereka sedang pulang dari sekolah tiba-tiba mereka dihadang oleh dua orang
preman.

Woi, gue minta uang lu sekarang.

Maaf bang, buat apa ya?

Pake nanya segala lagi, ya buat kita berdua lah.

Bang, kalo abang mau dapat uang tuh, kerja bang.

Emang kenapa kalo kerjaan gue bigini?

Tapi bang, ini kan duit kami.

Iya bang.

Ah bodo amat! Selama lu melintas di wilayah gue, lu harus bayar setoran ke kita
berdua! Oke?

Ya, janganlah bang.

Plis.

Oke! Lo pilih bayar sekarang apa lo gue abisin?

Iya bang, ini duitnya.

Lisa dan Stefi melihat peristiwa yang terjadi tentang pemalakan di jalan.

Stef, liat dah di situ, itu kan Fadli sama Uun.

Oh iya, itu mereka ya?

Emm.. Kira-kira mereka kenapa ya dihadang begitu sama preman?

Hah? Astaga Fadli dibentak.

Kayanya nih gak bisa dibiarin nih. Kita harus lapor ke polisi nih, supaya
pemalakan tidak terjadi lagi.
Oke. Yaudah ayo kita lapor.

Sampai di kantor polisi.

Pak permisi, kami mau lapor di sana ada peristiwa premanisme yang melibatkan
teman kami.

Ya, apa bisa beritahu dimana TKPnya?

Bisa pak.

Oke, kita segera ke sana.

Sesampainya di TKP.

Pak itu pak mereka di sana.

Woi, kayanya ada yang ngelapor kita deh di sana.

Wah, iya tuh. Mending kita cabut ya.

Hey, kalian angkat tangan!

Waduh, kita sial nih!

Wooooo... Rasain tuh! Makanya jangan melakukan kejahatan!

Akhirnya mereka pun kembali ke rumah mereka masing-masing tanpa ada rasa
takut, tanpa rasa was-was.
Kenakalan siswa SMP

Waktu menunjukkn pukul tujuh pagi, bel berdering menandakan bahwa semua
murid harus segera memasuki kelas masing-masing, karena jam pelajaran sudah
akan dimulai. Terkecuali Panca dan kawan-kawan yang terkenal sering bolos di
kelasnya. Bahkan, ada sebagian guru yang menyebutnya dengan tukang bolos.
Mereka beranggotakan satu orang laki-laki yaitu Panca, dan dua orang
perempuan, yaitu Alin dan Sisil. Panca adalah anggota dari Geng Tukang Bolos
yang paling nakal, karena Alin dan Sisil hanya berani bolos jam pelajaran saja.
Sedangkan Panca, segala hal yang membahayakan sekali pun dapat ia lakukan.

Udah bel aja dah, padahal gua baru sampe satu menit yang lalu.

Udah gitu gua capek banget lagi, disuruh lari sama Pak Hanafi.

Memang hari bala!

Eh, engga usah ikut pelajaran yuk. Kita ke kantin aja. Males banget pagi-pagi
udah harus ngitung.
Masa kantin? Guru-guru sering banget lewat situ, kan kantin sebelah-belahan
sama kantor guru.

Lah iya, tumben lu bener Sil.

Hmmm.. Dimana ya?

Gimana kalo di taman belakang sekolah, yang deket perpus itu? Perpus juga
engga ada yang jagain, jadi engga ada guru lewat.

Sumpah lu Sil, kalo soal bolos pelajaran emang lu paling jago dah.

Iya lah, namanya juga Sisil.

Udah yuk cepetan! Keburu ketemu Pak Hanafi lagi.

Eh, harusnya tadi ke kantin dulu beli jajanan buat dibawa ke sini.

Duh, gua mah udah engga kepikiran itu dah, cuma was-was ada Pak Hanafi.

Lu mah kan lebay Lin.

Sial! Kalo ketemu dia juga lu pasti kabur kan?

Heheheee...

Udah elah! Ribut mulu kerjaan lu berdua, dehidrasi nih gua.

Pinter dah lu, dehidrasi ya tinggal minum!

Yaudah sonoh! Hati-hati sama Pak Hanafi, ya kan Lin?

Betul sekali.

Beberapa menit kemudian.

Berhasil kan tuh gua beli minum? Pak Hanafi lagi tidur. Lu pada kalo mau ke
kantin buruan.

Ogah ah, entar aja. Gua mau baca novel.


Gua selalu pengen bolos, tapi gua bingung kalo bolos harus ngapain?

Otak lu kan emang miring Sil.

Jahat dah lu.

Tak terasa, bel yang menandakan waktu istirahat pun telah berdering. Geng
Tukang Bolos langsung jalan menuju kantin seperti tidak mempunyai dosa.

Sumpah, padahal gua baca novel dalam hati, tapi haus.

Terbukti kan, sekarang siapa yang otaknya miring?

Udah ah, gua mau makan dulu, laper.

Gua juga.

Yuk!

Lima belas menit kemudian.

Gua udah kelar makan, duluan ya, jangan kangen!

Dih amit-amit!

Menjijikan tau engga sih lu!

Kalo nyariin, gua di kelas ya.

Yaudah sonoh!

Sesampainya di kelas.

Mana dah si Panca? Katanya di kelas.

Kayak engga tau dia aja sih lu? Dia kan tukang boong!

Iya ya, orang tuanya aja sering dibohongi, apalagi kita.

Nah, itu lu tau.


Iya lah, gua kan cerdas.

Oh iya cerdas, di kelas aja peringkat kedua, tapi dari bawah. Hahaa..

Terus aja Lin, bahas terus. Sebel banget gua!

Yaelah maap. Udah yuk, cari si Panca dulu.

Gua tau nih, pasti dia di taman belakang sekolah.

Yaudah ayok cari!

Di taman belakang.

Ini gua salah liat atau engga sih? Itu Panca ngapain bawa-bawa buku?

Lah iya, banyak banget bukunya. Biasanya megang satu buku aja dia ogah.

Panca!

Ih berisik banget nih si Alin!

Ngapain lu bawa-bawa buku sebanyak itu?

Gua lagi butuh uang, mau gua jual-jualin.

Parah dah lu! Masa nyolong buku perpus? Kan ada CCTV.

Udah gua matiin, sebelum gua pasang lagi nanti pasudah selesai.

Gila! Sumpah lu!

Udah ah, engga usah berisik!

Udah biarin aja Sil! Pergi aja yuk! Gua engga mau ikut-ikutan ah kalo gini.

Bel tanda usainya istirahat pun berbunyi.

Teman-teman perhatiannya sebentar ya. Hari ini Bu Sri tidak bisa mengajar,
karena sedang menangani salah satu anak yang bermasalah. Kita tidak diberikan
tugas, tapi teman-teman semua diharapkan tertib. Jangan sampai kelas lain
terganggu. Terima kasih.

Nyesel nih si Panca engga masuk kelas, padahal guru yang dia sebel engga
masuk.

Biarin aja Lin. Lagian ngapain si dia nekat sampe nyolong barang milik sekolah
kayak gitu?

Eh, tapi gua penasaran dah, anak nakal mana lagi yang ditangani sama Bu Sri?

Engga usah penasaran, mending kita ke ruang BK sekarang, kan bisa ngintip.

Di depan ruang BK.

Asstaghfirullah! Ternyata si Panca yang lagi ditangani. Pasti dia ketahuan


mengambil buku milik sekolah.

Biarin aja dah. Anak kayak gitu emang sekali-kali harus diberi peringatan!

Iya juga sih. Balik ke kelas aja yuk!

Satu jam pertama telah usai.

Eh Sil, nengok dah ke jendela, ada Panca lagi nyender.

Ayok samperin!

Yuk!

Eh Panca, ngapain lu di situ?

Sumpah gua kaget! Gua mau ngambil tas nih, mau bersantai-santai di rumah. Gua
kena skorsing satu minggu.

Enak dong engga sekolah?

Otak lu emang selalu miring Sil!

Issh! Eh Panca, mau gua ambilin engga nih tas lu?


Buruan ya! Gua mau langsung cabut.

Pulang langsung bilang orang tua lu, kalo lu dapet skorsing?

Urusan gampang itu mah.

Nih tas lu!

Oke, makasih Sil. Gua cabut dulu, sampai ketemu satu minggu lagi.

Akhirnya Panca pulang karena mendapat skorsing setelah perbuatannya diketahui.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Pitri Puspita Dewi lahir di Tangerang pada 17 Mei 1994.


Anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Safrudin
Perwira Negara dan Murni Handayani ini memulai
pendidikannya di SD Muhammadiyah 1 Gondrong
Tangerang pada tahun 2000-2006. Selanjutnya
meneruskan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama
pada tahun 2006-2009 di SMP Negeri 10 Kota Tangerang, berlanjut pada Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 3 Kota Tangerang pada tahun 2009-2012. Penulis
masuk Universitas Islam Negeri Jakarta melalui tes Mandiri di tahun 2012 pada
program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti pernah mengikuti
program PPKT di MA Annajah Jakarta sebagai guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Sampai saat ini peneliti aktif sebagai pengajar di SMP Nurul Hikmah
Kota Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai