Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LATAR BELAKANG
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Retensio Plasenta
2.1.1 Pengertian Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta yang tidak terpisah dan menimbulkan
perdarahan yang tidak tampak, dan juga didasari pada lamanya waktu yang
berlalu antara kelahiran bayi dan keluarnya plasenta yang diharapkan
(Varney’s, 2007).
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi
waktu setengah jam setelah janin lahir. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan
yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga
memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio plasenta
tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi
plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta.
(Manuaba (2006:176).
Retensio Plasenta adalah terhambatnya kelahiran plasenta selama
setengah jam setelah kelahiran bayi. Pada beberapa kasus dapat terjadi retensio
plasenta (habitual retensio plasenta). Plasenta harus dikeluarkan karena dapat
menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat
terjadi plasenta inkarserata, dapat menjadi polip plasenta dan terjadi degenerasi
ganas korio karsinoma. Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebi lobus)
tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini
dapat menimbulkan pedarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah
perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
(Prawirohardjo, 2005).
Plasenta tertahan jika tidak dilahirkan dalam 30 menit setelah janin
lahir. Plasenta mungkin terlepas tetapi terperangkap oleh serviks, terlepas
sebagian, secara patologis melekat (plasenta akreta, inkreta, dan perkreta)
(David, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retensio
plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir,
keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian
plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual
dengan segera.
Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah
lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung
luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui
periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah
lepas atau belum dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan
plasenta manual.
Pada beberapa kasus dapat terjadi retensi plasenta berulang (habitual
retensio plasenta). Plasenta harus di keluarkan karena dapat menimbulkan
bahaya perdarahan, infeksi karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan,
infeksi karena sebagai benda mati, plasenta inkarserata, polip plasenta, dan
terjadi degenerasi ganas korio karsinoma.
2.1.2 Fisiologi Pelepasan Plasenta
Selama kehamilan pertumbuhan uterus lebih cepat daripada
pertumbuhan plasenta. Sampai usia kehamilan 20 minggu plasenta menempati
sekitar 0,25 luas permukaan myometrium dan ketebalan tidak lebih dari 2-3 cm,
menjelang kehamilan aterm plasenta menempati sekitar 0,125 luas permukaan
myometrium, dan ketebalannya dapat mencapai 4-5 cm.
Pada saat persalinan pemisahan plasenta ditimbulkan dari kontraksi dan
retraksi myometrium sehingga mempertebal dinding uterus dan mengurangi
ukuran area plasenta. Area plasenta menjadi lebih kecil, sehingga plasenta
mulai memisahkan diri dari dinding uterus dan tidak dapat berkontraksi pada
area pemisahan bekuan darah retroplasenta terbentuk. Berat bekuan darah ini
menambah pemisahan kontraksi uterus berikutnya akan melepaskan
keseluruhan plasenta dari uterus dan mendorongnya keluar vagina disertai
dengan pengeluaran selaput ketuban dan bekuan darah retroplasenta (WHO,
2001).
2.1.3 Jenis Retensio Plasenta
Penilaian retensio plasenta harus dilakukan dengan benar karena ini untuk
menentukan sikap pada saat bidan akan mengambil keputusan untuk melalukan
plasenta manual. Berikut ini merupakan jenis plasenta yang menyebabkan
retensio plasenta:
a. Plasenta adhesive : implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme
separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan myometrium. Plasenta akreta ada
yang kompleta, yaitu jika seluruh permukannya
melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta
akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa
bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan
dengan dinding rahim dari biasa.
c. Plasenta inkreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/
memasuki miometrium.
d. Plasenta perkreta : implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding
uterus
e. Plasenta inkarserata : tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri. Plasenta
telah lepas tetapi tertinggal dalam uterus karena
terjadi kontraksi di bagian bawah uterus atau uteri
sehingga plasenta tertahan di dalam uterus.
(Manuaba (2006:176).
2.1.4 Etiologi
Penyebab Retentio Plasentamenurut Sastrawinata (2006:174) adalah:
a. Fungsional:
1) His kurang kuat (penyebab terpenting)
2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba);
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya
(plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di
atas disebut plasenta adhesive.
b. Patologi – anatomi:
1) Plasenta akreta
2) Plasenta inkreta
3) Plasenta perkreta
Menurut Sarwono P (2007) retensio plasenta disebabkan :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan, namun jika
lepas sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
a. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (Plasenta
adhesiva).
b. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis
menembus desidua sampai miometrium sampai di bawah peritoneum
(plasenta akreta-perkreta).
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum keluar disebabkan oleh atonia uteri
atau karena salah penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada
bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (Plasenta
Inkarserata). Sehingga diperlukan tindakan manual plasenta.
2.1.5 Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan.
Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih
pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu,
miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga
ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya
daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak
dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang
ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar
memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah
yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling
bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan
retraksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan
berhenti. Bila serabut ketuban belum terlepas, plasenta belum terlepas
seluruhnya bisa menghalangi proses retraksi yang normal dan menyebabkan
banyak darah hilang.
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus
di antisipasi dengan segera melakukan plasenta manual, meskipun kala uri
belum lewat stengah jam. (Prawiroharjo, 2008).
2.1.6 Tanda dan Gejala Retensio Plasenta
Tanda yang selalu ada yaitu plasenta belum lahir setelah 30 menit,
perdarahan segera, dan kontraksi uterus baik. Sedangkan gejala yang kadang-
kadang timbul yaitu tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inverse uteri akibat
tarikan, dan perdarahan lanjut.
Berikut ini gejala klinis dari Retensio Plasenta:
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai riwayat perdarahan postpartum sebelumnya, paritas,
serta riwayat multipel fetus. Serta riwayat pospartum sekarang dimana
plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah
bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta
Tanda Separasi/ akreta parsial Plasenta inkarserata Plasenta akreta
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk fundus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka

Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya


plasenta
Syok Sering Jarang Jarang sekali

2.1.7 Komplikasi
Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya:
a. Perdarahan
Terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta yang terdapat sedikit pelepasan
hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat
luka tidak menutup.
b. Infeksi
Karena sebagai benda mati yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan
pertumbuhan bakteri dibantu dengan port d’entre dari tempat perlekatan
plasenta.
c. Terjadi polip plasenta sebagai massa proliferative yang mengalami infeksi
sekunder dan nekrosis.
d. Terjadi degenerasi (keganasan) koriokarsinoma
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat
berubah menjadi patologik (displastik-diskariotik) dan akhirnya menjadi
karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses
keganasan akan berjalan terus. Sel ini tampak abnormal tetapi tidak ganas.
Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan abnormal pada sel-sel ini
merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat,
yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan kanker. Karena itu
beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan prekanker, yang bisa
berubah menjadi kanker.
e. Syok haemoragik
Syok haemoragik yaitu syok yang disebabkan karena perdarahan.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit.
Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung Protrombin Time
(PT) dan Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang
sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting
untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
2.1.9 Terapi
Bila tidak terjadi perdarahan : perbaiki keadaan umum penderita bila
perlu misal: infus, pemberian antibiotika, pemberian antipiretika. Kemudian
dibantu dengan mengosongkan kandung kemih. Lanjutkan memeriksa apakah
telah terjadi pemisahan plasenta dengan cara Klein atau Strassman.
a. Pengeluaran plasenta secara manual (dengan narkose)
Melahirkan plasenta dengan cara memasukkan tangan penolong kedalam
cavum uteri, melepaskan plasenta dari insertio dan mengeluarkanya.
b. Bila ostium uteri sudah demikian sempitnya, sehingga dengan narkose yang
dalam pun tangan tak dapat masuk, maka dapat dilakukan histerektomi
untuk melahirkan plasentanya.
2.1.10 Penatalaksanaan Retensio Plasenta
Sebelum melakukan penanganan sebaiknya mengetahui beberapa hal
dari tindakan Retensio Plasenta yaitu retensio plasenta dengan perdarahan,
dapat ditangani dengan langsung melakukan plasenta manual dan retensio
plasenta tanpa perdarahan.
a. Di tempat Bidan
Setelah dapat memastikan keadaan umum klien segera memasang infuse
dan memberikan cairan, merujuk penderita ke pusat dengan fasilitas cukup
untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik, memberikan transfuse,
proteksi dengan antibiotic, dan mempersiapkan plasenta manual dengan
legeartis dalam pengaruh narkosa.
b. Tingkat Polindes
Penanganan Retensio Plasenta dari tingkatan desa sebelumnya persiapan
donor darah yang tersedia dari warga setempat yang telah dipilih dan
dicocokkan dengan donor darah klien. Setelah diagnosis yang lakukan
stabilisasi dan kemudian melakukan plasenta manual, serta memberikan
uterotonika dan antibiotika serta rujuk untuk kasus berat.
c. Tingkat Puskesmas
Setelah diagnosis lakukan stabilisasi kemudian lakukan plasenta manual
untuk kasus resiko rendah, serta rujuk untuk kasus berat dan berikan
uterotonika dan antibiotika.
d. Tingkat Rumah Sakit
Setelah diagnosis, lakukan stabilisasi, kemudian dilakukan tindakan
plasenta manual, bila kasus berat dilakukan histerekromi, transfuse
uterotonika, antibiotika, kedaruratan komplikasi.
Dalam melakukan penatalaksanaan pada retensio plasenta sebaiknya
bidan harus mengambil beberapa sikap dalam menghadapi kejadian retensio
Plasenta yaitu:
a. Sikap umum Bidan
Melakukan pengkajian data secara subyektif dan obyektif antara lain:
1) Memperhatikan keadaan umum penderita
• Apakah anemis
▪ Bagaimana jumlah perdarahannya
▪ TTV : TD, nadi dan suhu
▪ Keadaan fundus uteri : kontraksi dan fundus uteri
2) Mengetahui keadaan plasenta
• Apakah plasenta inkarserata
• Melakukan tes pelepasan plasenta : metode klein, metode strassman,
metode manuaba
• Memasang infus dan memberikan cairan pengganti
b. Sikap khusus bidan
1) Retensio plasenta dengan perdarahan
Langsung melakukan plasenta manual
2) Retensio plasenta tanpa perdarahan
• Setelah dapat memastikan kedaaan umum penderita, segera
memasang infus dan memberikan cairan.
• Merujuk penderita ke tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas
cukup untuk mendapatkan penanganan lebih baik.
• Memberikan tranfusi darah.
• Proteksi dengan antibiotika.
• Mempersiapkan plasenta manual dengan legeartis dalam keadaan
pengaruh narkosa.
3) Upaya preventif retensio plasenta oleh bidan
• Meningkatkan penerimaan keluarga berencana sehingga,
memperkecil terjadi retensio plasenta.
• Meningkatkan penerimaan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang terlatih.
• Pada waktu melakukan pertolongan persalinan kala III tidak
diperkenankan untuk melakukan massase dengan tujuan
mempercepat proses persalinan plasenta. Massase yang tidak tepat
waktu dapat mengacaukan kontraksi otot rahim dan mengganggu
pelepasan plasenta.
2.1.11 Plasenta Manual
Plasenta manual adalah tindakan untuk melepas plasenta secara manual
(menggunakan tangan) dari tempat implantasinya dan kemudian
melahirkannya keluar dari kavum uteri. Plasenta manual merupakan tindakan
operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi manual
plasenta tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapannya agar
tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Berikut ini merupakan indikasi dilakukannya Plasenta manual, yaitu:
• Perdarahan pada kala III persalinan kurang lebih 400 cc
• Retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir
• Setelah persalinan yang sulit seperti forceps, vakum, perforasi dilakukan
eksplorasi jalan lahir.
• Tali pusat putus
Dalam melakukan tindakan Plasenta Manual diperlukan teknik yang tepat,
antara lain:
1. Sebaiknya dengan narkosa, untuk mengurangi sakit dan menghindari syok.
2. Tangan kiri melebarkan genetalia eksterna, tangan kanan dimasukkan secara
obstetri sampai mencapai tepi plasenta dengan menelusuri tali pusat.
3. Tepi plasenta dilepaskan dengan ulnar tangan kanan sedangkan tangan kiri
menahan fundus uteri sehingga tidak terdorong ke atas.
4. Setelah seluruh plasenta dapat dilepaskan, maka tangan dikeluarkan bersama
dengan plasenta.
5. Dilakukan eksplorasi untuk mencari sisa plasenta atau membrannya.
6. Kontraksi uterus ditimbulkan dengan memberikan uterotonika.
7. Perdarahan di observasi.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan
memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh
tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
Berikut ini merupakan langkah-langkah melakukan plasenta manual.
Prosedur Plasenta Manual
Persiapan :
1. Pasang set dan cairan infus
2. Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan
3. Lakukan anastesia verbal dan analgesia per rektal
4. Siapkan dan jalankan prosedur pencegahan infeksi
Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri
1. Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong
2. Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan
salah satu tangan sejajar lantai
3. Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan menghadap ke
bawah) ke dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat.
4. Setelah mencapai bukaan serviks, minta seorang asisten/ penolong lain untuk
memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan
fundus uteri
5. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga ke kavum uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
6. Bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari
merapat ke jari telunjuk dan jari-jari lain saling merapat)
Melepas plasenta dari dinding uterus
7. Tentukan implantasi plasenta, temuukan tepi plasenta paling bawah.
• Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap di sebelah atas
dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana
punggung tangan menghadap ke bawah (posterior ibu)
• Bila di korpus depan maka pindahkan tangan ke sebelah atas tali pusat dan
sisipkan ujung jari-jari tangan di antara plasenta dan dinding uterus dimana
punggung tangan menghadap ke atas (anterior ibu)
8. Setelah ujung-ujung jari masuk di antara plasenta dan dinding uterus maka
perluas pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan kanan dan kiri
sambil digeserkan ke atas (kranial ibu) hingga semua perlekatan plasenta
terlepas dari dinding uterus.
Catatan :
• Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta pada dataran yang sama tinggi
dengan dinding uterus maka hentikan upaya plasenta manual Karena hal itu
menunjukkan plasenta inkreta (tertanam dalam miometrium)
• Bila hanya sebagian dari implantasi plasenta dapat dilepaskan dan bagian
lainnya melekat erat maka hentikan pula plasenta manual karena hal tersebut
adalah plasenta akreta. Untuk keadaan ini sebaiknya ibu diberi uterotonika
tambahan (misoprostol 600mcg per rektal) sebelum dirujuk ke fasilitas
kesehatan rujuk.
Mengeluaran plasenta
9. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk
menilai tidak ada plasenta yang tertinggal
10. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah
uterus) kemudian instruksikan asisten/ penolong untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam membawa plasenta keluar (hindari terjadinya percikan
darah)
11. Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus kearah
dorsokranial setelah plasenta di lahirkan dan tempatkan plasenta di dalam
wadah yang telah disediakan
Pencegahan infeksi pasca tindakan
12. Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain yang
digunakan
13. Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya dalam larutan klorin
0,5% selama 10 menit.
14. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir
15. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering.
Pemantauan pascatindakan
16. Periksa kembali tanda vital ibu
17. Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan
18. Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan asuhan
lanjutan
19. Beritahukan pada ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu
masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan
20. Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pascatindakan sebelum dipindah ke
ruang rawat gabung. (APN:2008)
Tindakan plasenta manual dapat menimbulkan komplikasi sebagai
berikut :
• Terjadi perforasi uterus.
• Terjadi infeksi : terdapat sisa plasenta atau membran dan bakteriaterdorong ke
dalam rongga rahim.
• Terjadi perdarahan karena atonia uteri.
Untuk memperkecil komplikasi dapat dilakukan tindakan profilaksis dengan :
• Memberikan uterotonika intramuskular atau intravena.
• Memasang tamponade uterovaginal.
• Memberikan antibiotika.
• Memasang infus.
• Persiapan transfusi darah.
(Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan, hal : 302 - 303).
2.1 Sisa Plasenta
2.2.1 Pengertian
Sisa Plasenta adalah tertinggalnya potongan-potongan plasenta seperti
kotiledon dan selaput plasenta yang menyebabkan terganggunya kontraksi
uterus sehingga sinus-sinus darah tetap terbuka dan menimbulkan perdarahan
post partum.
Sisa Plasenta adalah plasenta tidak lepas sempurna dan meninggalkan
sisa, dapat berupa fragmen plasenta atau selaput ketuban tertahan. Sisa Plasenta
disebabkan oleh plasenta tertanam terlalu dalam sampai lapisan miometrium
uterus. Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat
menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah
perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
(Prawiraharjo, 2005).
Sisa plasenta adalah sisa plasenta dan selaput ketuban yang masih
tertinggal dalam rongga rahim yang dapat menyebabkan perdarahan
postpartum dini dan perdarahan postpartum lambat. Perdarahan postpartum
dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa plasenta atau selaput janin.
Bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara manual atau di kuratase dan
pemberian obatobat uterotonika intravena.
2.2.2 Etiologi
Etiologi terjadinya sisa plasenta, antara lain :
a. Kelainan dari uterus sendiri
yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya
kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan
constriction ring.
b. Kelainan dari plasenta
Abnormalitas plasenta meliputi bentuk plasenta dan penanaman
plasenta dalam uterus yang mempengaruhi mekanisme pelepasan plasenta.
misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu;
dan adanya plasenta akreta.
c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan ,
Seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya
pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; Dengan
pendorongan dan pemijatan uterus akan mengganggu mekanisme pelepasan
plasenta dan menyebabkan pemisahan sebagian plasenta, pemberian
uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks
kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus.
2.2.3 Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot terus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif,
dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan uterus
ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan
penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta mulai terlepas dari dinding
uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapisan dan desidua
spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat
itu. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini
mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat
plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Terpisahnya plasenta
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus
yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan
tempat melekatnya plasenta.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta
bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil
darah terkumpul di dalam rongga rahim. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah adanya pancaran darah yang
mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus
meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke
vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Setelah plasenta lahir memeriksa kelengkapan plasenta sangatlah penting,
yang diperiksa adalah sebagai berikut:
• Permukaan maternal (15-20 kotiledon)
• Permukaan fetal
• Selaput ketuban
• Apakah ada tanda-tanda plasenta suksenturiata
Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat
menimbulkan perdarahan (sujiyatini,2011)
Jika bagian plasenta-satu lobus atau lebih- mengalami retensi, bagian
plasenta tersebut mencegah uterus berkontraksi secara efektif.(bernis, 2006)
2.2.4 Tanda dan Gejala
Gejala klinik yang sering di rasakan pada klien dengan sisa plasenta yaitu:
a. Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan
perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan
subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus
dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan terjadi karena uterus tidak bisa
berkontraksi secara efektif.
b. Tinggi fundus uterus tidak berkurang walaupun uterus berkontraksi
c. Pemerikasan tanda – tanda vital
• Pemeriksaan suhu badan
Suhu biasanya meningkat sampai 380C dianggap normal. Setelah satu
hari suhu akan kembali normal ( 36 – 370C ), terjadi penurunan akibat
hipovolemia.
• Nadi
Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi
hipovolemia yang semakin berat.
• Tekanan darah
Tekanan darah biasanya turun, memperingan hipovolemia.
• Pernafasan
Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga menjadi tidak normal
yaitu pernafasan cepat
d. Pusing, gelisah, letih, ekstremitas dingin dan dapat terjadi syok
hipovolemik.
Tanda dan gejala yang selalu ada :
• Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak
lengkap
• Perdarahan segera
• Syok akibat hipovolemia
Tanda- tanda Syok

Syok Awal Syok Lanjut

Terbangun, sadar, cemas Bingung atau tidak sadar


Denyut nadi agak cepat Denyut nadi cepat dan lemah
(110 x per menit atau lebih)
Pernafasan sedikit lebih cepat Nafas pendek dan sangat cepat
(30 x per menit atau lebih)
Pucat Pucat dan dingin
Tekanan darah rendah ringan Tekanan darah sangat rendah
(sistolik kurang dari 90 mmHg)
Pengeluaran urin 30 cc per jam Pengeluaran urin kurang dari
atau Lebih 30cc per jam

Tanda dan Gejala kadang-kadang ada :


• Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
• Perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir
2.2.5 Faktor Predisposisi
a. Umur ibu
Usia ibu hamil terlalu muda (< 20 tahun) dan terlalu tua (> 35
tahun) mempunyai risiko yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada umur
dibawah 20 tahun, dari segi biologis fungsi reproduksi seorang wanita
belum berkembang dengan sempurna untuk menerima keadaan janin dan
segi psikis belum matang dalam menghadapi tuntutan beban moril, mental
dan emosional, sedangkan pada umur diatas 35 tahun dan sering
melahirkan, fungsi reproduksi seorang wanita sudah
mengalamikemunduran atau degenerasi dibandingkan fungsi reproduksi
normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca
persalinan terutama perdarahan lebih besar.
b. Paritas Ibu
Perdarahan post partum semakin meningkat pada wanita yang telah
melahirkan tiga anak atau lebih, dimana uterus yang telah melahirkan
banyak anak cenderung bekerja tidak efesien pada semua kala persalinan.
Uterus pada saat persalinan, setelah kelahiran plasenta sukar untuk
berkontraksi sehingga pembuluh darah maternal pada dinding uterus akan
tetap terbuka. Hal ini dapat meningkatkan perdarahan postpartum
(Wiknjosastro, 2006 : 23).
Jika kehamilan “terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan
terlalu dekat (4 terlalu)” dapat meningkatkan risiko berbahaya pada proses
reproduksi karena kehamilan yang terlalu sering dan terlalu dekat
menyebabkan intake (masukan) makanan atau gizi menjadi rendah. Resiko
tinggi terjadinya sisa plasenta yaitu pada Grandemultipara.
c. Kehamilan ganda
Kehamilan ganda atau gemelli memerlukan implantasi plasenta
yang agak luas, sehingga memungkinkan pada saat pelepasaan plasenta ada
sebagian plasenta yang tertinggal.
d. Kasus infertilitas
Pada kasus infertilitas sebgaian besar lapisan endometriumnya tipis.
Saat plasenta berimplantasi dimungkinkan melekat terlalu erat pada
endometrium.
e. Plasenta previa, karena dibagian ishmus uterus, pembuluh darah sedikit
sehingga implantasi plasenta bisa masuk jauh kedalam.
f. Bekas operasi pada uterus.
2.2.6 Komplikasi
Sisa plasenta dalam nifas menyebabkan perdarahan dan infeksi. Perdarahan
yang banyak dalam nifas hamper selalu disebabkan oleh sisa plasenta. Berikut
ini merupakan komplikasi dari sisa plasenta.
a. Perdarahan Postpartum Sekunder
Perdarahan postpartum sekunder adalah perdarahan dalam kala IV yang
lebih dari 500 – 600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Rustam
Mochtar,1998). Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan
yang hebat sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh ke dalam keadaan
syok. Atau dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan lahan tetapi terus
menerus yang juga berbahaya karena kita tidak menyangka akhirnya
perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok.
Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik. Ibu yang
mempunyai factor predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.
b. Infeksi Masa Nifas
Infeksi nifas (infeksi puerperalis) adalah infeksi luka jalan lahir pasca
persalinan, biasanya dari endometrium bekas insersi plasenta. Karena sebagai
benda mati yang tertinggal didalam rahim, hal ini akan meningkatkan
pertumbuhan bakteri dibantu dengan port d’entre dari tempat perlekatan
plasenta. Hal ini ditandai dengan suhu 380C atau lebih, yang terjadi sesudah 24
jam pasca persalinan dalam 10 hari pertama masa nifas.
c. Polip Plasenta
Terjadi polip plasenta sebagai masa proliferative yang mengalami infeksi
sekunder dan nekrosis.
d. Terjadi degenerasi (keganasan) koriokarsinoma.
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat
berubah menjadi patologik (displastik-dikariotik) dan akhirnya menjadi
karsinoma invasive, proses keganasan akan berjalan terus. Sel ini tampak
abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan
abnormal pada sel-sel ini merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan
yang berjalan lambat, yang beberapat ahun kemudian bisa menyebabkan
kanker. Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan pre
kanker, yang bisa berubah menjadi kanker (Manuaba, 2008).
2.2.7 Diagnosis
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila
penolong persalinan memeriksa lengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila
kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa
plasenta maka untuk memastikannnya dengan eksplorasi dengan tangan, kuret, atau
alat bantu diagnostik ultrasonografi.
Diagnosis sisa plasenta:
a. Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan penemuan melakukan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus Sisa Plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar klien akan kembali lagi ke
tempat persalinan dengan keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang ke
rumah (Saifuddin, 2006).
b. Perdarahan berlangsung terus menerus atau berulang.
c. Pada palpasi di dapatkan fundus uteri masih teraba lebih besar
d. Pada pemeriksaan dalam didapat uterus yang membesar, lunak, dan dari ostium
uteri keluar darah (Wiknjosastro, 2006).
Perdarahan pascapersalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok.
Atau dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus
yang juga bahaya karena kita tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah
banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh dalam presyok dan syok. Karena itu
penting sekali pada setiap ibu yang bersalin dilakukan pengukuran kadar darah
secara rutin, serta pengawasan tekanan darah, nadi, pernafasan ibu, dan periksa juga
kontraksi uterus perdarahan selama 1 jam.
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang
• Hitung darah lengkap
Untuk mengetahui golongan darah, nilai hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit
( Ht ), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit, pada keadaan
yang disertai dengan infeksi
• Menentukan adanya gangguan koagulasi
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial Tromboplastin
Time ( aPTT ) atau yang sederhana dengan Clotting Time ( CT ) atau
Bleeding Time ( BT ). Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.
• Pemeriksaan USG
Pada pemeriksaan USG akan terlihat adanya sisa plasenta (stoll cell)
2.2.9 Penatalaksanaan
Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan
komplikasi perdarahan postpartum adalah sebagai berikut :
• Menghentikan perdarahan dengan mencari sumber perdarahan
• Mencegah timbulnya syok.
• Mengganti darah yang hilang.
Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta :
❖ Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar klien akan kembali lagi ke
tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
❖ Perbaiki keadaan umum dengan memasang infus Rl atau cairan Nacl 0,9 %
❖ Ambil darah untuk pemeriksaan hemoglobin, golongandarah dan Cross match.
❖ Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. Pada kasus syok parah, dapat
gunakan plasma ekspander. Plasma expender diberikan karena cairan ini dapat
meresap ke jaringan dan cairan ini dapat menarik cairan lain dari jaringan ke
pembuluh darah.
❖ Jika ada indikasi terjadi infeksi yang diikuti dengan demam, menggigil, rabas
vagina berbau busuk, segera berikan antibiotika spectrum luas.Antibiotik yang
dapat diberikan :
a. Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU setiap 6 jam
+gentamisin 100 mg stat IM, kemudian 80 mg tiap 8 jam+metronidazol
400 atau 500mg secara oral setiap 8 jam.
b. Ampisilin 1 g IV diikuti 500 mg secara IM setiap 6 jam+metronidazol
400 mg atau 500 mg secara oral setiap 8 jam
c. Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU tiap 6 jam+gentamisin
100 mg stat IM lalu 80 gr tiap 6 jam.
d. Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU tiap 6
jam+kloramfenikol 500 mg secara IV tiap 6 jam.
❖ Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase.
❖ Kuretase oleh Dokter. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati
karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
❖ Sisa plasenta dapat dikeluarkan dengan manual plasenta. Tindakan ini dapat
dilakukan untuk mengeluarkan sisa plasenta yang tertinggal di dalam rahim
setelah plasenta lahir.
❖ Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
Dengan perlindungan antibiotic sisa plasenta dikeluarkan secara digital atau
dengan kuret besar. Jika ada demam ditunggu dulu sampai suhu turun dengan
pemberian antibiotic dan 3 – 4 hari kemudian rahim dibersihkan, tetapi jika
perdarahan banyak, rahim segera dibersihkan walaupun ada demam.
2.2.10 Pencegahan Sisa Plasenta
Untuk mencegah terjadinya Sisa Plasenta , ada beberapa hal yaitu :
a. Meningkatkan KB
b. Meningkatkan pertolongan partus (kala III) tidak diperbolehkan melakukan
masase dengan tujuan mempercepat proses persalinan plasenta karena dapat
mengacaukan kontraksi uterus.
c. Gizi yang cukup
d. Tidak melakukan kuretase terlalu bersih (Endometrium) terkikis habis
BAB III
CLINICAL PRESEDUR
A. Clinical Prosedur Retensio Plasenta
Apabila plasenta belum lahir dalam setengah sampai satu jam setelah bayi lahir, apabila
terjadi perdarahan maka plasenta harus segera dikeluarkan.
Penatalaksaan retensio plasenta
1. Pemasangan infus dengan kateter berdiameter besar serta pemeberian cairan
kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat apabila
memungkinkan). Tranfusi dara apabila diperlukan yang dikonfirmasikan dengan
hasil pemeriksaan darah.
2. Drip oksitosin 10 Ui dalam 500 ml larutan ringer laktat atau Nacl 0,9% (persalinan
normal) sampai uterus berkontraksi
3. Tidak diperbolehkan melakukan prasat crede yang sekarang ini tidak banyak
digunakan karena memungkinkan terjadinya inversio uteri, perlukaan pada otot
uterus dan rasa nyeri yang keras dengan kemungkinan syok. Mencoba melahirkan
plasenta dengan prasat Brandt-Andrews, yaitu salah satu tangan penolong
memegang tali pusat didekat vulva. Tangan lain diletakan pada dinding perut diatas
sympisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak dipermukaan depan
rahim. Kira pada perbatasan regmen bawah dan badan rahim. Dengan melakukan
penekanan kearah belakang, maka badan rahim terangkat. Apabila plasenta telah
lepas maka tali pusat tidak tertarik ke atas. Kemudian tekanan di atas simfisis
diarahkan kebawah belakang vulva. Pada saat inilah dilakukan tarikan ringan pada
tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Jika berhasil lanjutkan drip
oxitosin untuk mempertahankan uterus
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba tindakan manual plasenta
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan
dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan dengan kuretase sisa plasenta.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian
obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotik apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
skunder
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari hasil makalah yang kita bahas dapat disimpulkann bahwa Retensio plasenta
adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam setelah janin
lahir. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian
plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan
segera. Jenis plasenta yang menyebabkan retensioplasenta adalah plasenta akreta,
plasenta perkreta, plasenta inkreta, plasenta adhesive, dan plasenta inkarserata.
Penyebab dari retensio plasenta yaitu kurang kuatnya his, plasenta yang sukar
lepas, dan salah penanganan pada kala III. Penanganan dari retensio plasenta ini
yaitu dengan memperbaiki keadaan umum dengan memasang infus, pengeluaran
plasenta secara manual dan bila ostium uteri sudah sedemikian sempitnya sehingga
tangan penolong tidak bisa masuk maka dilakukan histerektomi.
Sisa Plasenta adalah tertinggalnya potongan-potongan plasenta seperti kotiledon
dan selaput plasenta yang menyebabkan terganggunya kontraksi uterus sehingga
sinus-sinus darah tetap terbuka dan menimbulkan perdarahan post partum. Sewaktu
suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Penyebab dari sisa plasenta yaitu elainan dari uterus, kelainan dari plasenta, dan
salah penanganan pada kala III. Penanganan sisa plasenta yaitu memperbaiki
keadaan umum dengan memasang infus, ekspolarsi sisa plasenta, mengeluarkan
sisa plasenta secara manual, dan bila perlu dilakukan kolaborasi dengan dokter
untuk dilakukan kuretase.
4.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan, maka penulis menyarankan kepada
ibu hamil untuk sebaiknya memeriksakan kehamilannya sedini mungkin dan
sesering mungkin kepada tenaga kesehatan tidak perlu menunggu komplikasi
terlebih dahulu bisadi periksakan ke tenaga kesehatan seperti bidan atau dokter agar
dapat segera mendeteksi adanya komplikasi yang mungkin terjadi pada kehamilan,
persalinan, dan nifas terutama pada kasus retensio plasenta dan sisa plasenta.
Bagi tenaga kesehatan sangat perlu mengetahui bagaimana mendeteksi secara dini
penyulit- penyulit yang akan terjadi pada ibu hamil, ibu bersalin, dan janin.
Terutama kasus retensio plasenta dan sisa plasenta, agar tenaga kesehatan
khususnya tenaga bidan dapat melakukan penanganan dan asuhan yang tepat,
kepada ibu bersalin.
Kemudian bidan yang mendapati pasien dengan kehamilan dengan retensio
plasenta dan sisa plasenta dapat melakukan kolaborasi dan rujukan yang tepat
kepada dokter yang lebih berwenang sehingga hal ini dapat mengurangi angka
kematian dan kesakitan ibu. dan ibu dapat di tangani dengan sesegera mungkin
dengan pelayanan yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA

Maryunani, A. & Puspita, E. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan


Neonatal. Jakarta: TIM.
Maryunani, A. & Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam
Kebidanan. Jakarta: TIM
Medforth, Janet. 2011. Kebidanan Oxford : dari bidan untuk bidan. Jakarta : EGC.
Rukiyah, Ai Yeyeh. 2010. Asuhan Kebidanan 4 (Patologi). Jakarta : TIM.
Sastrawinata, Sulaiman. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai