Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran matematika di SD merupakan salah satu kajian yang selalu

menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan karakteristik khususnya

antara hakikat anak dan hakikat matematika. Untuk itu diperlukan adanya

jembatan yang dapat menetralisisr perbedaan atau pertentangan tersebut. Anak

usia SD sedang mengalami perkembangan pada tingkat berpikirnya. Ini karena

tahap berpikir mereka masih belum formal dan relatif masih konkret. Dari

perbedaan itulah, para siswa mengalami banyak masalah dalam pembelajaran

matematika, hal ini juga dialami oleh siswa kelas IV di SDN Mirat III,

Kecamatan Leuwimunding.

Dalam pembelajaran Matematika di Kelas IV SDN Mirat III, Kecamatan

Leuwimunding pada materi pecahan tidak berjalan dengan lancar seperti yang

seharusnya. Ada beberapa masalah yang dihadapi, diantara masalah yang

terjadi dalam pembelajaran tersebut yaitu (1) rendahnya hasil belajar siswa

pada materi pecahan, (2) rendahnya partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan

pembelajaran.

Rendahnya hasil belajar siswa pada materi pecahan merupakan suatu hal

yang ironi. Idealnya, semua siswa kelas IV SDN Mirat III Kecamatan

Leuwimunding dapat meraih hasil belajar yang tinggi karena materi tersebut

merupakan materi lanjutan yang sudah pernah diberikan pada kelas

sebelumnya yaitu pada kelas III, sehingga idealnya sudah menguasai materi
pecahan tersebut dengan mudah, namun kenyataanya sebagian besar siswa

mendapatkan hasil belajar yang rendah pada materi tersebut.

Rendahnya partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran

juga menjadi penyebab kendala dalam pembelajaran matematika, hal tersebut

dibuktikan dengan pasifnya siswa ketika diberi kesempatan bertanya oleh guru,

begitu pula ketika siswa diberi kesempatan menjawab pertanyaan yang

diberikan guru.

Dari berbagai permasalahan di atas, maka permasalahan mengenai

rendahnya hasil belajar siswa pada materi pecahan perlu segera diatasi. Jika

tidak dicarikan solusinya, dimungkinkan akan mempengaruhi hasil belajar pada

mata pelajaran matematika. Itulah sebabnya, peneliti memilih permasalahan

tersebut sebagai masalah yang harus segera dipecahkan.

Jika dianalisis secara seksama, maka sesungguhnya permasalahan

rendahnya hasil belajar siswa pada materi pecahan terjadi karena beberapa

faktor, yaitu (1) guru tidak memanfaatkan media dalam pembelajaran, (2)

strategi yang digunakan guru kurang sesuai dengan karakteristik materi, (3)

kondisi belajar siswa yang kurang mendukung.

Dari faktor-faktor tersebut, tampaknya faktor guru tidak memanfaatkan

media dalam pembelajaran merupakan penyebab yang paling dominan. Hal ini

karena dalam pembelajaran yang dilakukan, siswa hanya menerima penjelasan

guru, sedangkan siswa tidak dapat membuktikan atau mempraktekkan sendiri

materi yang sedang mereka pelajari, sehingga sulit untuk para siswa memahami

materi pecahan.
Hal ini juga diperkuat oleh Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana

Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan menyatakan bahwa pecahan

merupakan salah satu topik yang sulit untuk diajarkan. Kesulitan itu terlihat

dari kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru, dan

sulitnya pengadaan media pembelajaran. Akibatnya pembelajaran yang sering

dilakukan guru dalam penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama, yaitu

dengan cara menyamakan penyebut kedua pecahan tanpa proses atau

penggunaan media peraga. Siswa dipaksa untuk menerima penjelasan guru

tanpa membuktikan atau membangun sendiri dalam pikirannya. Hal ini terjadi

karena guru sering kali mengalami kesulitan dalam mencari media yang efektif.

Maka solusi yang memungkinkan untuk mengatasi masalah penggunaan

media peneliti lebih memilih solusi berupa media kertas lipat. Hal ini

disebabkan pada pertimbangan sebagai berikut : Dalam pembuatan media ini,

sangat mudah dibuat sehingga dimungkinkan siswa dapat membuat media

sendiri, kemudian dengan menggunakan media ini, dapat menciptakan kondisi

belajar yang aktif dan menyenangkan, siswa dapat belajar sambil bermain

sehingga tidak menimbulkan kejenuhan yang akhirnya siswa akan dengan

mudah untuk menguasai materi pecahan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti mengkaji melalui

Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Pecahan

Menggunakan Media Kertas Lipat di Kelas IV, SDN Mirat III, Kecamatan

Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, Tahun Pelajaran 2019/2020”.

B. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan media kertas lipat dapat meningkatkan hasil belajar

pecahan siswa kelas IV, SDN Mirat III, Kecamatan Leuwimunding?

C. Tujuan Penelitian Perbaikan Pembelajaran

Untuk menggambarkan cara penggunaan media kertas lipat dalam

meningatkan hasil belajar pecahan siswa kelas IV SDN Mirat III, Kecamatan

Leuwimunding.

D. Manfaat Penelitian Perbaikan Pembelajaran

1. Bagi siswa

Hasil Penelitian tindakan kelas ini dapat memacu potensi siswa agar

lebih meningkatkan hasil belajar matematika.

2. Bagi Guru

Melalui Penelitian Tindakan Kelas ini, guru dapat lebih mengetahui

secara tepat penggunaan media kertas lipat dalam pembelajaran matematika

sub pokok bahasan operasi penjumlahan bilangan pecahan berpenyebut

tidak sama dan bertambah wawasannya.

3. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran

meningkatkan kualitas hasil belajar matematika.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Belajar
Belajar merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia dan dilakukan oleh setiap orang. Di dalam penyampaian materi
pembelajaran “Pengerjaan pecahan dengan alat peraga kertas lipat” guru harus
mampu memahami perbedaan intelektual siswa yang satu dengan yang lainnya.
Adapun usaha yang dilakukan untuk merancang, memilih dan melaksanakan
berbagai metode serta teori dan pendapat yang dikemukakan para ahli tentang
pendekatan pembelajaran dan belajar adalah sebagai berikut.
1. Menurut Ki Hajar Dewantoro (Arifin, 1997 : 107), guru harus
membimbing anak didik ke arah kemajuan sejati sesuai dengan kodrat dan
perkembangannya serta memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
aktif sendiri. Guru tetap berfungsi sebagai penolong pada saat anak-anak
mengalami kesulitan.
2. Menurut Lewin (Arifin, 1997 : 100) menyatakan bahwa belajar adalah
proses memecahkan problem yang dihadapi diletakkan dalam suatu medan
atau konteks, lalu menghubungkan problem tersebut dengan konteksnya
sehingga dapat terpecahkan. Sedangkan mengajar dapat diartikan sebagai
proses pemberian problem dengan kata lain mengajar adalah proses
pemberian kemampuan problem solving (memecahkan permasalahan)
kepada anak didik.
3. Menurut Aunurrahman (2011 : 48) mengemukakan bahwa belajar dapat
didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi
sebagai hasil latihan atau pengalaman.
4. Menurut Sudjana (2011 : 22) proses belajar adalah kegiatan yang
dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil
belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang relatif menetap
dan dengan disertai usaha orang tersebut. Perubahan itu tidak hanya
berkaitan dengan perubahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk
kecakapan keterampilan, sikap pengertian dan menyangkut segala aspek
tingkah laku pribadi seseorang.
Hasil belajar secara umum dapat diartikan sebagai perubahan
tingkah laku (kemampuan) yang diharapkan terjadi pada siswa setelah
proses pembelajaran atau pengalaman belajar. Hasil belajar dapat berupa
perubahan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Disamping itu belajar juga harus merupakan suatu yang keluar
dalam diri anak, meningkatkan perkembangan mental anak terhadap yang
lebih tinggi. Dapat dilakukan dengan memperkaya pengalaman anak
terutama pengalaman konkrit, karena dasar perkembangan mental adalah
melalui pengalaman-pengalaman aktif dengan menggunakan benda-benda
disekitarnya. Piaget (Meysaroh, 2003), membagi fase perkembangan
kognitif sebagai berikut :
a. Fase Sensori Motor (umur 0-2 tahun)
Aktivitas kognitif pada fase sensori motor didasarkan terutama atas
pengalaman langsung melalui panca indera.
b. Fase Intuitif atau Praoperasional (umur 2-7 tahun)
Pada fase ini kualitas berfikir ditransformasikan, anak tidak terikat lagi
pada lingkungan. Anak gemar meniru dan mampu menerima khayalan
dan pengertian tidak logis seperti hal-hal yang fantastik. Tetapi perlu
diingat bahwa pengertian anak secara kualitatif berbeda dengan
pengertian orang dewasa, pengertian anak diliputi imajinasinya.
c. Fase Operasi Konkrit (umur 7-11 tahun)
Pada fase ini menunjukkan reorganisasi dalam struktur mental anak.
Pengajaran di Sekolah Dasar sesuai dengan perkembangan kognitif.
Anak bisa melakukan aktifitas seperti menghitung, mengelompokkan,
membentuk dan sebagainya.
d. Fase Operasi Formal (umur 11-16 tahun)
Pada fase ini anak belajar mengenal kaidah yang lebih canggih. Mereka
dapat mengembangkan hukum yang berlaku umum dan pertimbangan
ilmiah. Pada fase ini mereka dapat menyimpulkan moral dalam suatu
cerita.

B. Strategi Belajar Matematika


Sebagai seorang pengajar yang mengajarkan matematika hendaknya
dapat meyakinkan siswa dan masyarakat bahwa matematika itu termasuk ilmu
pengetahuan yang telah dipilih untuk diajarkan di sekolah. Ini berarti bahwa
belajar matematika di sekolah gunanya tidak hanya menambah pengetahuan,
keterampilan, terjadinya perubahan sikap akan tetapi diharapkan juga siswa
dapat mempergunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi dalam situasi yang baru di lingkungan masyarakat.
Matematika tersusun secara hirarkhis, sehingga ada pula hirarkhi
dalam belajar matematika, artinya untuk belajar matematika haruslah bertahap
dan berurutan. Menurut Nasution (1995 : 176), untuk memanipulasi sesuatu,
agar dapat memecahkan sesuatu masalah, seseorang harus menguasai
kemampuan-kemampuan atau aturan-aturan yang lebih sederhana yang
merupakan prasyarat guna pemecahan. Dengan demikian untuk mempelajari
suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari siswa
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar materi matematika tersebut, jika
ada sesuatu yang tidak dikuasai dalam tahap tertentu, maka siswa akan
mengalami kesulitan pada tahap berikutnya. Dan apabila dari pendidikan dasar
siswa sudah tidak memperhatikan hal tersebut maka siswa akan mengalami
kesulitan untuk mengembangkan pemahaman matematika pada jenjang yang
lebih tinggi. Herman Hudoyo berpendapat bahwa untuk mempelajari konsep B
yang mendasarkan kepada konsep A, seseorang perlu memahami lebih dulu
konsep A. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu memahami
konsep B (Hudoyo, 1989 : 2).
Matematika tersusun secara hirarkhis, sehingga ada pula hirarkhi dalam
belajar matematika, artinya untuk belajar matematika haruslah bertahap dan
berurutan. Menurut Nasution (1995 : 176), untuk memanipulasi sesuatu, agar
dapat memecahkan sesuatu masalah, seseorang harus menguasai kemampuan-
kemampuan atau aturan-aturan yang lebih sederhana yang merupakan
prasyarat guna pemecahan. Dengan demikian untuk mempelajari suatu materi
matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari siswa akan
mempengaruhi terjadinya proses belajar materi matematika tersebut, jika ada
sesuatu yang tidak dikuasai dalam tahap tertentu, maka siswa akan mengalami
kesulitan pada tahap berikutnya. Dan apabila dari pendidikan dasar siswa
sudah tidak memperhatikan hal tersebut maka siswa akan mengalami kesulitan
untuk mengembangkan pemahaman matematika pada jenjang yang lebih
tinggi. Herman Hudoyo berpendapat bahwa untuk mempelajari konsep B yang
mendasarkan kepada konsep A, seseorang perlu memahami lebih dulu konsep
A. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu memahami konsep B
(Hudoyo, 1989 : 2).

C. Media Pembelajaran
1. Pengertian Alat Peraga
Salah satu cara untuk meminimalkan hambatan dalam pembelajaran
adalah dengan menggunakan cara yang tepat. Diantaranya dengan
menggunakan alat peraga. Hal ini dikarenakan matematika mempunyai
kajian yang bersifat abstrak. Menurut Dienes (Ruseffendi, 1997 : 92-94),
dengan belajar matematika manusia dapat menyelesaikan persoalan yang
ada di masyarakat yaitu dalam berkomunikasi sehari-hari seperti berhitung,
mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data dengan menggunakan alat.
Ini berarti bahwa alat peraga dalam suatu pembelajaran matematika sangat
menunjang. Nana Sudjana berpendapat bahwa dengan menggunakan alat
peraga dapat menambah minat dan perhatian siswa untuk belajar serta
memberikan pengalaman yang nyata dan dapat menumbuhkan kegiatan
berusaha sendiri pada diri siswa (Sudjana, 1989 : 100).
2. Fungsi Alat Peraga
Pada dasarnya anak belajar melalui sesuatu yang konkrit. Untuk
memahami konsep abstrak anak memerlukan benda-benda konkrit sebagai
perantara atau visualisasinya. Konsep abstrak itu dicapai melalui tingkat-
tingkat belajar yang berbeda-beda, bahkan orang dewasa pun yang pada
umumnya sudah dapat memahami konsep abstrak, pada keadaan tertentu
sering memerlukan visualisasi. Nasution menyatakan bahwa maksud dan
tujuan peragaan adalah memberikan variasi dalam cara guru mengajar dan
memberikan lebih terwujud, lebih terarah untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Pada pembelajaran matematika pada konsep abstrak akan
dapat dipahami dan tahan lama pada siswa bila belajar melalui berbuat dari
pengertian, bukan hanya mengingat-ingat fakta. Untuk itu dalam
pembelajaran matematika fungsi alat peraga menurut ET. Russefendi
(Meysaroh 2003 : 18-19) diantaranya sebagai berikut.
a. Proses pembelajaran termotivasi, baik murid maupun guru, dan
utamanya, minat siswa akan timbul. Mereka akan senang, terangsang dan
tertarik sehingga akan bersikap positif terhadap pelajaran matematika.
b. Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkrit sehingga
lebih dapat dipahami dan dimengerti serta dapat ditanamkan pada tingkat
yang lebih rendah.
c. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan benda-benda di
alam sekitar lebih dapat dipahami.
d. Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkrit yaitu dalam
bentuk model matematika yang dapat dipakai sebagai obyek penelitian.

D. Pecahan dengan Menggunakan Alat Peraga Kertas Lipat


1. Pecahan ½ dan ¼
a. Mengenal pecahan ½ dan ¼

1) Amir mempunyai kertas lipat 1 lembar, akan


dibagikan kepada dua adiknya yaitu Badu dan Ani
sama besar. Berapa bagian yang diterima Badu ?
Berapa bagian yang diterima Ani ?

2) Jika suatu benda dibagi 2 sama besar, setiap bagian


sama dengan ½
½ ½ 3) ½ dibaca setengah atau seperdua atau satu per dua

menjadi empat bagian yang sama ?

5) Jika suatu benda dibagi empat sama besar,


¼ ¼ setiap bagian sama dengan ¼

¼ ¼

6) ¼ dibaca seperempat atau satu perempat

2. Pecahan 1/3 dan 1/6


a. Mengenal pecahan 1/3 dan 1/6

1) Sukma memotong 1 kertas lipat menjadi 3


bagian yang sama
2) Berapa bagian setiap potongan kertas lipat
tersebut ?
3) Jika suatu benda dibagi 3 sama besar,
setiap bagian sama dengan 1/3

4) 1/3 dibaca sepertiga atau satu pertiga

5) Bagaimana jika 1 kertas lipat dipotong

menjadi 6 bagian yang sama ?

6) Jika suatu benda dibagi enam sama besar,


1 1 1
/6 /6 /6

setiap bagian sama dengan 1/6

7) 1/6 dibaca seperenam atau satu perenam


1
/6 1/6 1
/6
3. Menyajikan nilai pecahan dengan menggunakan berbagai bentuk gambar
dan sebaliknya.

Contoh :
a. Tentukan nilai pecahan setiap bagian dari benda-benda berikut !

1) ½ ½

2) …

3) … …

… …

4) … … … … … …

5)

……


b. Warnailah ½ bagian dari benda-benda berikut !
1)
2)

c. Warnailah 1/6 bagian dari benda-benda berikut !


1)

2)

E. Evaluasi Materi Pembelajaran


Proses belajar bukanlah suatu proses komunikasi biasa atau searah
terutama pada siswa sekolah dasar akan tetapi merupakan suatu proses
komunikasi multi arah yaitu antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa
pada proses pendidikan. Komunikasi ini memberikan informasi, wawasan
pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap. Oleh karena itu harus
diupayakan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam kenyataannya komunikasi ini tidak selalu berjalan lancar, akan
tetapi ada hambatan-hambatan. Diantara hambatan-hambatan itu bisa
disebabkan dari diri siswa, guru, proses pembelajaran, sarana dan prasarana,
lingkungan masyarakat. Hambatan-hambatan inilah yang harus diminimalkan
atau bahkan dihilangkan agar proses komunikasi berjalan lancar.
Salah satu cara untuk meminimalkan hambatan-hambatan adalah
dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Diantaranya dengan
penggunaan alat peraga. Hal ini dikarenakan matematika mempunyai obyek
kajian yang bersifat abstrak. Disamping itu dengan penggunaan alat peraga,
siswa lebih mudah memahami, mengingat serta dapat membangkitkan
ketertarikan siswa pada materi pelajaran, sehingga proses pembelajaran bersifat
variatif tidak monoton.
Dengan alat peraga dapat pula membantu ketuntasan penyampaian
materi pelajaran yang diakibatkan karena kemampuan siswa dalam satu kelas
ternyata bervariasi. Variasi tersebut sebagai akibat tingkat kemampuan anak
yang berbeda-beda, di samping bakat dari anak itu sendiri. Dalam pokok
bahasan pecahan penggunaan alat peraga kertas lipat menjadikan proses belajar
mengajar tidak verbalistik, lebih memberi motivasi siswa, serta memberi
pengalaman belajar yang tidak abstrak, sehingga hasil belajar yang diperoleh
akan lebih baik.
Mutu penelitian sangat ditentukan dari benar tidaknya suatu data yang
diperoleh. Sedangkan benar tidaknya data ditentukan dari baik tidaknya
instrumen pengumpulan data. Semua alat yang bisa mendukung suatu
penelitian dapat dikatakan instrumen penelitian. Instrumen penelitian yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen pembelajaran dan
instrumen pengumpulan data.
1. Instrumen Pembelajaran
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
2. Instrumen Pengumpulan data
a. Test/Lembar Kerja Siswa (LKS)
Test sebagai instrumen pengumpulan data merupakan
serangkaian pertanyaan yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu maupun
kelompok. Test dalam penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan
informasi mengenai pemahaman siswa mengenai materi pembelajaran.
b. Pedoman Observasi Aktifitas Guru (APKG) dan Observasi Aktifitas
Siswa
Lembar observasi ini (APKG 1 dan 2) digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai rancangan dan pelaksanaan kegiatan
pembelajaran selama penelitian berlangsung yang diisi oleh supervisor
2 dibantu oleh penilai 2 dengan indikator yang telah ditetapkan.
Indikator yang ditetapkan sesuai dengan langkah-langkah metode kertas
lipat.
Pedoman observasi aktifitas guru ini menggunakan kolom “ya”
dan “tidak” yang harus diisi oleh supervisor 2. Selain itu terdapat kolom
keterangan untuk memuat saran maupun kekurangan aktifitas guru dan
siswa dari supervisor 2 untuk dijadikan bahan refleksi setelah
pembelajaran. Pedoman observasi aktifitas siswa diisi oleh guru sebagai
peneliti pada saat pembelajaran berlangsung, yang terdiri dari 3 aspek
yang dinilai yaitu aspek keaktifan, perhatian dan pemahaman.
c. Pedoman wawancara
Wawancara merupakan kegiatan tanya jawab untuk meminta
keterangan atau pendapat meganai suatu hal. Pedoman wawancara ini
dibuat dalam bentuk pertanyaa terstruktur untuk memperoleh informasi
mengenai kesan siswa setelah menikuti proses pembelajaran dengan
metode kertas lipat.
d. Catatan lapangan
Catatan lapangan merupakan catatan tertulis mengenai apa
yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka
mengumpulkan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian.
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN PERBAIKAN PEMBELAJARAN

A. Subjek, Tempat, dan Waktu Penelitian serta Pihak yang Membantu


1. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN Mirat III yang
terdiri dari 27 siswa dengan
2. Penelitian berlokasi di SDN Mirat III jalan Mekar Budi Desa Mirat
Kecamatan Leuwimunding Kabupaten Majalengka.
3. Penelitian ini dilaksanakan pada semester 1 Tahun Pelajaran 2019/2020,
dengan waktu penelitian dibagi dan dilaksanakan dalam dua siklus sesuai
dengan jadwal pelaksanaan perbaikan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
Tabel 3.1
Jadwal Pelaksanaan Perbaikan

No. Siklus Hari Tanggal Waktu

1. I 26 September 2019

2. II 2 Oktober 2019

4. Pihak yang membantu dalam penelitian ini adalah supervisor 2 sebagai


penilai 1 sekaligus sebagai kepala SDN Heuleut I yaitu Bapak Raskim,
S.Pd. dan penilai 2 yaitu Ibu Nunung Nurhayati, S.Pd. untuk membantu
mengamati selama kegiatan pembelajaran, menemukan kesulitan dan
hambatan dalam pembelajaran, memberi masukan dan saran perbaikan,
membantu peneliti dalam merefleksi pembelajaran.
B. Desain Prosedur Perbaikan Pembelajaran
Prosedur penelitian ini mengikuti prinsip dasar penelitian tindakan kelas
yaitu sesuai dengan model spiral yang dikembangkan oleh Kemmis dan
McTaggart (Arikunto, 2006 : 97), alur penelitian ini terdiri dari empat kegiatan
pokok yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.

1. Siklus I
a. Perencanaan
1) Guru menyiapkan alat peraga yang akan digunakan.
2) Guru menyiapkan skenario pembelajaran dengan materi pelajaran
mengenal pecahan ½, ¼.
3) Guru menyusun alat peraga kertas lipat yang menunjukkan nilai
pecahan ½, ¼.
4) Guru menyiapkan pedoman observasi.
b. Pelaksanaan Tindakan
1) Guru membagi siswa menjadi 4 kelompok.
2) Guru membagi lembar kerja.
3) Siswa melaksanakan diskusi kelompok dengan bimbingan guru.
4) Laporan hasil diskusi masing-masing kelompok dilanjutkan diskusi
kelas dengan bimbingan guru.
5) Guru bersama siswa menyimpulkan tentang materi pelajaran
mengenal pecahan ½, ¼.
6) Guru memberi catatan singkat pada siswa untuk ditulis di bukunya
masing-masing.
7) Guru memberi tugas untuk dikerjakan siswa.
c. Pengamatan
1) Guru mengamati siswa dalam proses pembelajaran dengan materi

pelajaran mengenal pecahan ½, ¼.

2) Guru meneliti kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pecahan

½, ¼ setelah diberi tes siklus I.

3) Pengamat mengisi pedoman observasi yang disediakan guru tentang

keseluruhan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru pada siklus

I.

d. Refleksi
Guru bersama pengamat mendiskusikan hasil pengamatan untuk
perbaikan pada siklus II.
2. Siklus II
a. Perencanaan
1) Guru mengidentifikasi dan merumuskan masalah berdasarkan
masalah pada refleksi siklus I.
2) Guru menyiapkan skenario pembelajaran dengan materi pelajaran
mengenal pecahan 1/3, 1/6.
3) Guru menyusun alat peraga kertas lipat yang menunjukkan nilai
pecahan 1/3, 1/6.
4) Guru menyiapkan pedoman observasi.
b. Pelaksanaan
1) Guru memberikan contoh lagi soal tentang nilai pecahan ½, ¼
dengan kertas lipat.
2) Guru menjelaskan cara menunjukkan nilai pecahan 1/3, 1/6, dengan
langkah-langkah seperti pada siklus I, dengan menggunakan alat
peraga kertas lipat.
3) Salah satu siswa disuruh maju ke depan kelas untuk memperagakan
nilai pecahan 1/3 dan 1/6 dengan menggunakan alat peraga kertas lipat.
4) Guru memberi tugas siswa untuk dikerjakan.
c. Pengamatan
1) Guru mengamati siswa dalam proses pembelajaran dengan materi
pelajaran mengenal pecahan 1/3, 1/6.
2) Guru meneliti kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pecahan
½, ¼, 1/3, dan 1/6 setelah siswa diberi tes siklus II.
3) Pengamat mengisi pedoman observasi yang disediakan guru tentang
keseluruhan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru pada siklus
II.
d. Refleksi
Guru bersama pengamat mendiskusikan hasil pengamatan dan
hasil tes yang telah diberikan.

C. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dari berbagai instrumen yang meliputi lembar
observasi guru dan siswa serta lembar kerja siswa dikumpulkan. Data-data
tersebut kemudian oleh peneliti disajikan dalam bentuk data kualitatif dan
deskriptif. Kemudian data-data tersebut dipresentasikan untuk mengetahui
peningkatan proses dan hasil belajar dan dijadikan dasar untuk perbaikan
pembelajaran pada siklus berikutnya.
1. Hasil Tes
a. Penskoran
Penskoran dilakukan untuk menghindari unsur sujektivitas dan
dilakukan berdasarkan ketentuan standar nilai setiap soal.
b. Mengubah skor menjadi nilai
Setelah dilakukan penskoran maka selanjutnya adalah
mengubahnya menjadi bentuk nilai persentase (%) dengan
menggunakan rumus :
Jumlah Skor
Nilai = X 100
Skor Maksimal

c. Menilai tingkat pemahaman siswa


Menurut arikunto (2008), berdasarkan tabel tafsiran kategori
kemampuan, penilaian kemampuan siswa dapat dikategorikan ke dalam
lima kategori.

Tabel 3.1. Skala Kategori Kemampuan

Nilai (%) Kategori Kemampuan


81 – 100 Sangat Baik
61 – 80 Baik
41 – 60 Cukup
21 – 40 Kurang
0 – 20 Sangat Kurang

d. Menghitung rata-rata
Rata-rata nilai dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

∑x
X=
n

Keterangan :
X = Rata-rata kelas
∑ x = Jumlah seluruh skor
N = Banyaknya siswa
e. Menghitung ketuntasan belajar
Ketuntasan belajar merupakan persentase siswa yang memperoleh nilai
memenuhi KKM mata pelajaran Matematika yaitu 62. Ketuntasan
belajar dihitung dengan rumus :

∑ siswa tuntas (memenuhi KKM)


Ketuntasan Belajar = X 100
∑ seluruh siswa
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian Perbaikan Pembelajaran


1. Gambaran Data Awal (Pra Siklus)
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan oleh
peneliti di SDN Mirat III, Kecamatan Leuwimunding,
Kabupaten Majalengka pada bulan September dan Oktober,
dengan dibantu rekan sejawat sebagai observer. PTK ini
bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar pecahan di kelas IV
SDN Mirat III dengan menggunakan media kertas lipat.
Tindakan penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus
pertama terdiri dari satu pertemuan sedangkan siklus kedua
terdiri dari satu pertemuan. Setiap pertemuan terdiri dari 1 x 35
menit. Adapun hasil penelitian dapat dideskripsikan sebagai
kegiatan pra tindakan dilakukan untuk memperoleh data
awal mengenai proses pembelajaran matematika di kelas IV
SDN Mirat III. Pelaksanaan pra siklus dilakukan di bulan
September 2019. Data yang diperoleh pada tahap pra siklus ini
didapat melalui observasi dan tes evaluasi pra siklus.
Hasil pengamatan awal sebelum tindakan menunjukkan
bahwa pembelajaran berpusat pada guru, siswa terlihat pasif
selama proses pembelajaran, sebagian siswa perhatiannya tidak
terfokus pada pembelajaran. Adapun rutinitas pembelajaran
yang dilakukan meliputi kegiatan guru menjelaskan materi di
papan tulis, siswa mencatat, pemberian tugas latihan dan
pekerjaan rumah sehingga aktivitas belajar matematika siswa
rendah. Guru cenderung menggunakan metode ceramah dan
lebih menekankan pada penguasaan materi daripada proses
pembelajaran.
Guru belum pernah mengaitkan materi matematika yang
sifatnya abstrak dengan konteks kehidupan nyata siswa, padahal
pada tahap perkembangan kognitif siswa kelas IV SD masih
memiliki masalah dalam berpikir abstrak. Akibatnya, masih
banyak siswa yang kesulitan dalam memahami konsep
matematika. Proses pembelajaran yang pasif dan kesulitan
dalam memahami konsep matematika berimplikasi pada prestasi
belajar matematika siswa menjadi rendah. Berdasarkan hasil
ulangan harian pertama pelajaran matematika, ada 16 siswa
dengan presentase 60,7% yang mencapai nilai KKM yaitu 75.
Sedangkan siswa yang belum mencapai nilai KKM yaitu 11
siswa dengan presentase 39,3%. Oleh karena itu, perlu diadakan
tindakan untuk menciptakan pembelajaran yang aktif dan
bermakna sehingga pemahaman siswa lebih mendalam terhadap
konsep materi pembelajaran dan pada akhirnya prestasi belajar
matematika siswa meningkat.
2. Gambaran Data Tindakan Siklus I
Data yang diperoleh pada tahap pra tindakan dijadikan
sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan pada siklus I dengan
tujuan agar pembelajaran lebih bermakna dan siswa menjadi
lebih aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan pada siklus I adalah sebagai berikut :
a. Perencanaan Siklus I
Setelah memperoleh data tentang proses pembelajaran
matematika di kelas IV SDN Mirat III yang menggunakan
metode ceramah, kegiatan terpusat pada guru, tidak ada
penekanan pembelajaran dalam konteks kehidupan nyata
sehingga berdampak pada kesulitan bagi siswa dalam
memahami materi pembelajaran, maka data tersebut
dijadikan acuan untuk menerapkan metode kertas lipat dalam
materi pecahan.
Adapun rencana tindakan yang disusun yaitu
menentukan waktu pelaksanaan tindakan kelas, menentukan
pokok bahasan sesuai dengan kesepakatan guru kelas yang
bersangkutan, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), menyusun lembar observasi, pedoman wawancara,
soal tes, menyiapkan media belajar berupa model pola
pecahan dan model garis bilangan, menyiapkan bahan-bahan
yang dibutuhkan sesuai dengan rancangan pembelajaran,
yaitu kertas manila, spidol warna, penggaris, dan gunting.
b. Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
Siklus I Dilaksanakan pada hari Kamis, 26
September 2019 dilaksanakan pada jam ke 2. Materi
pembelajaran yang dikaji adalah mengenal konsep pecahan,
letak pecahan pada garis bilangan, dan membandingkan
pecahan berpenyebut sama. Proses pembelajaran ini diawali
dengan guru dan siswa melakukan apersepsi, yaitu meninjau
kembali pelajaran pada kelas sebelumnya dan
menghubungkannya dengan pelajaran yang akan dikaji. Hal
ini dikarenakan guru perlu mengaitkan antara pengetahuan
baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa agar
pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran semakin
kuat.
Proses selanjutnya adalah guru mengenalkan konsep
pecahan dengan memperlihatkan beberapa model pecahan
kepada siswa dan mendemontrasikannya. Guru menstimulus
siswa untuk menyebutkan nilai pecahan-pecahan yang sesuai
dengan model pecahan yang diperlihatkan guru. Ada 4 siswa
yang maju ke depan kelas untuk menyebutkan nilai pecahan-
pecahan pada model pecahan sambil mendemontrasikannya.
Hal ini sesuai dengan teori CTL, yaitu siswalah yang
menjadi pusat pembelajaran, sedangkan guru hanyalah
sebagai fasilitator. Setelah siswa melakukan pemodelan di
depan kelas, guru memberikan contoh kontekstual terkait
dengan penerapan pecahan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya pembagian roti untuk beberapa anak. Kemudian
guru memfasilitasi siswa untuk menceritakan contoh
kontekstual yang lain. Ada 12 anak yang mengacungkan
tangan, namun guru hanya memilih 5 siswa untuk
menceritakan contoh kontekstual tersebut. Kegiatan tersebut
mendorong siswa untuk belajar secara bermakna dengan cara
siswa dilibatkan secara penuh untuk menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata mereka.
Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap
materi pembelajaran akan semakin kuat. Proses selanjutnya
adalah guru memberikan penjelasan tentang materi letak
pecahan pada garis bilangan dengan menggunakan model
garis bilangan. Guru menstimulus siswa untuk bertanya
terkait materi pembelajaran. Ada 10 siswa yang bertanya.
Guru melanjutkan materi tentang membandingkan
pecahan berpenyebut sama. Guru memberikan contoh
kontekstual terkait materi pembelajaran, misalnya dengan
bertanya kepada siswa, “Manakah porsi kue yang lebih besar,
¼ kue atau ¾ kue ?” Kemudian guru memodelkan contoh
tersebut dengan memperlihatkan model pecahan ¼ dan ¾
untuk membandingkannya. Setelah itu, sebagian besar
menjawab bahwa ¾ nilainya lebih besar dibandingkan
dengan ¼ . Guru memfasilitasi siswa untuk memberikan
contoh kontekstual yang lain. Ada 4 siswa yang maju untuk
memberikan contoh kontekstual yang lain dengan cara
membagi kue menjadi beberapa bagian, kemudian
membandingkan nilai pecahan kue sembari
mendemontrasikannya di depan kelas. Kegiatan tersebut
memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di
lingkungan alamiah yang berkaitan dengan dunia nyata
siswa. Pemberian contoh kontekstual dapat membantu siswa
dalam memahami materi pembelajaran. Hal ini dikarenakan,
menurut Piaget siswa dalam rentang usia kelas IV SD masih
memiliki masalah dalam berpikir abstrak.
Guru meminta siswa untuk bergabung dengan
kelompok belajar. Setiap kelompok belajar diminta untuk
mengerjakan soal dan mempresentasikannya di depan kelas.
Soal terdiri dari 3 instruksi, yaitu membuat pola pecahan dan
mengarsirnya, menuliskan bilangan pecahan pada garis
bilangan, dan membandingkan pecahan berpenyebut sama.
Guru memberikan kesempatan bagi siswa yang belum paham
tentang penyelesaian soal untuk bertanya kepada teman
kelompok atau guru. Pemahaman siswa dapat diperoleh
melalui interaksinya dengan siswa lain dalam kegiatan
kelompok. Semua anggota kelompok belajar terlihat antusias
dalam bekerjasama dan memberikan ide, kecuali satu
kelompok belajar yang terlihat kurang bekerjasama dalam
menyelesaikan soal, sehingga berdampak pada lamban dalam
menyelesaikan soal.
Guru menjelaskan aturan kegiatan presentasi, yaitu
satu siswa berperan sebagai presentator. Kelompok belajar
terlihat antusias untuk mempresentasikan hasil diskusi
kelompok belajarnya. Mereka berlomba-lomba
mengacungkan tangan agar dipilih guru untuk presentasi
lebih awal. Kemudian, setiap kelompok belajar
mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas. Kelompok
belajar lain yang belum presentasi memberikan penilaian
terhadap kinerja presentasi kelompok belajar yang sedang
presentasi pada lembar penilaian dan mengevaluasi hasil
jawaban pertanyaan kelompok tersebut.
Pada kegiatan akhir, guru memfasilitasi siswa untuk
mengungkapkan pendapat mengenai kegiatan pembelajaran.
Namun belum ada siswa yang bersedia untuk memberikan
pendapatnya. Kegiatan ditutup dengan guru memberikan
penghargaan kepada setiap kelompok belajar.
Berdasarkan hasil tes matematika, nilai rata-rata yang
diperoleh adalah 81,25. Nilai tertinggi adalah 100 dan nilai
terendah adalah 50. Siswa yang sudah mencapai nilai KKM
yaitu ≥75 terdapat 21 siswa dengan presentase 78,6%.
Sedangkan siswa yang belum mencapai nilai KKM yaitu 6 siswa
dengan presentase 21,4%.
Perbandingan antara nilai pra tindakan dan siklus I dapat
dilihat pada grafik berikut :

Gambar 3. Grafik Perbandingan Prestasi Belajar Matematika


Siswa Pada Tahap Pra Tindakan dan Siklus
I
Berdasarkan grafik di atas, dapat dibuat kesimpulan
bahwa antara nilai siswa pada pra tindakan dan siklus I
mengalami perbaikan. Terjadi peningkatan nilai rata-rata dari
74,71 menjadi 81,25. Begitu pula presentase pencapaian nilai
KKM meningkat dari 60,7% menjadi 78,6% pada siklus I.
Namun presentase pencapaian nilai KKM pada siklus I belum
mencapai indikator keberhasilan penelitian yaitu 80%. Oleh
karena itu, penelitian dilanjutkan ke siklus II.
Tabel 4.1
Jawaban yang Benar Hasil Tes Siklus I
No
Hasil Scan Transkrip
.
Shabita menjawab benar
1. soal no. 1 yaitu ½

Alya menjawab benar


2. soal no. 2 yaitu ¼

Dita menjawab benar


3. soal no. 3 yaitu satu per
dua
Arif menjawab benar
4. soal no. 4 yaitu ¼
Nur menjawab benar soal
5. no. 5 yaitu ½
Tabel 4.2
Jawaban yang Salah Hasil Tes Siklus I
No
Hasil Scan Transkrip
.
Denis menjawab
1. salah soal no. 1
yatiu 1/1
Azrul menjawab
2. salah soal no. 2
yaitu 4/1
Tino menjawab
3. salah soal no. 3
yaitu desimal
Nisa menjawab
salah soal no. 4
4.
yaitu ½

Fadli menjawab
5. salah no. 5 yaitu
1/5

c. Analisis dan Refleksi Siklus I


Berdasarkan hasil pelaksanaan siklus I, ada beberapa
hal yang perlu diperbaiki yaitu :
1) Penjelasan kurang detail dan kurang jelas mengenai
rencana pembelajaran sebelum pembelajaran
dilaksanakan, sehingga pada saat pelaksanaan tindakan
guru terkadang bertanya kepada peneliti tentang langkah
kegiatan pembelajaran.
2) Masih ada beberapa siswa dalam satu kelompok belajar
yang hanya diam menunggu hasil pekerjaan teman
sekelompoknya.
3) Pembelajaran melebihi alokasi waktu pembelajaran yang
semestinya. Hal ini dikarenakan guru terlalu lama
melakukan apersepsi dan durasi waktu yang disediakan
guru untuk kegiatan presentasi terlalu lama.

Hasil analisis dan refleksi inilah yang dijadikan


sebagai pedoman penyusunan rencana pelaksanaan siklus II.
3. Gambaran Data Tindakan Siklus II
Pelaksanaan tindakan pada siklus II ini mengacu pada
hasil analisis dan refleksi yang dilakukan pada siklus I.
Tindakan pada siklus II ini dilaksanakan satu kali pertemuan
atau dua jam pelajaran. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
pada siklus I adalah sebagai berikut :
a. Perencanaan Siklus II
Kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap
perencanaan adalah menentukan waktu pelaksanaan tindakan
kelas bersama guru, menentukan pokok bahasan sesuai
dengan kesepakatan guru kelas yang bersangkutan, menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), menyusun lembar
observasi, pedoman wawancara, soal tes, dan buku pedoman
matematika.
b. Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
Pelaksanaan siklus II dilaksanakan pada hari Rabu,
2 Oktober 2019. Pembelajaran matematika dilaksanakan
pada jam ke 2. Materi pembelajaran yang dikaji adalah
penjumlahan pecahan. Proses pembelajaran ini diawali
dengan guru dan siswa melakukan apersepsi, yaitu meninjau
kembali pelajaran pada kelas sebelumnya dan
menghubungkannya dengan pelajaran yang akan dikaji. Hal
ini dikarenakan guru perlu mengaitkan antara pengetahuan
baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa agar
pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran semakin
kuat.
Proses selanjutnya adalah guru mengenalkan konsep
penjumlahan pecahan dengan memberikan contoh kontekstual
terkait materi pembelajaran dan melakukan pemodelan
dengan contoh kontekstual tersebut. Contohnya, Ibu
memotong apel menjadi 6 bagian yang sama besar.
Kemudian, Nada memakan 2 potong apel dan Anggi
memakan 3 potong apel. Berapa bagian kue yang dimakan
Shabita dan Anggi? Kemudian guru memfasilitasi siswa
untuk memberikan contoh kontekstual lain. Ada 3 siswa yang
memberikan contoh dan memodelkannya. Kegiatan ini
mendorong siswa untuk belajar secara bermakna dengan cara
siswa dilibatkan secara penuh untuk menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata mereka.
Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap
materi pembelajaran akan semakin kuat. Hal ini dikarenakan,
menurut Piaget tahap perkembangan kognitif siswa dalam
rentang usia kelas IV SD masih berada di tahap operasional
konkret, yaitu mampu berpikir logis hanya dengaan benda-
benda yang bersifat konkret. Kegiatan selanjutnya, guru
memberikan penjelasan tentang materi penjumlahan pecahan
berpenyebut sama dan penjumlahan pecahan berpenyebut
beda. Guru menstimulus siswa untuk bertanya terkait materi
pembelajaran. Tak sedikit siswa yang bertanya kepada guru
maupun kepada siswa yang lain.
Siswa mulai membentuk masyarakat belajar. Setiap
kelompok belajar diminta untuk mengerjakan soal dan
mempresentasikannya di depan kelas. Soal terdiri dari 5 soal
penjumlahan pecahan yang ada di buku pedoman matematika.
Guru memberikan kesempatan bagi siswa yang belum paham
tentang penyelesaian soal untuk bertanya kepada teman
kelompok atau guru. Pada siklus ini, jumlah siswa yang
bertanya lebih banyak dari pada siklus sebelumnya. Siswa
tidak segan untuk bertanya kepada temannya terkait
penyelesaian soal yang belum dipahami. Semua anggota
kelompok belajar terlihat antusias dalam bekerjasama dan
memberikan ide. Tidak ada satupun anggota kelompok belajar
yang tidak berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan soal.
Kegiatan tersebut mendorong siswa untuk belajar secara aktif,
kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama. Pemahaman
siswa dapat diperoleh melalui interaksinya dengan siswa lain
dalam kegiatan kelompok. Selain itu pembelajaran
dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan.
Kegiatan selanjutnya adalah guru menjelaskan aturan
kegiatan presentasi, yaitu satu siswa berperan sebagai
presentator. Kelompok belajar terlihat antusias untuk
mempresentasikan hasil diskusi kelompok belajarnya. Mereka
berlomba-lomba mengacungkan tangan agar dipilih guru
untuk presentasi lebih awal. Kemudian, setiap kelompok
belajar mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
Kelompok belajar lain yang belum presentasi memberikan
penilaian terhadap kinerja presentasi kelompok belajar yang
sedang presentasi dan mengevaluasi hasil jawaban pertanyaan
kelompok tersebut.
Guru memfasilitasi siswa untuk mengungkapkan
pendapat mengenai kegiatan pembelajaran. Ada lima siswa
yang bersedia mengungkapkan pendapat mengenai kegiatan
pembelajaran. Di antara pendapat mereka adalah
pembelajaran hari ini menyenangkan dan lebih aktif.
Pada kegiatan akhir, guru memberikan penghargaan
kepada setiap kelompok belajar. Kegiatan ditutup dengan
pengerjaan soal tes matematika oleh siswa.
Berdasarkan hasil tes matematika, nilai rata-rata yang
diperoleh adalah 89,10. Nilai tertinggi adalah 100 dan nilai
terendah adalah 60. Siswa yang sudah mencapai nilai KKM
yaitu ≥75 terdapat 22 siswa dengan presentase 82,1 %.
Sedangkan siswa yang belum mencapai nilai KKM
yaitu 5 siswa dengan presentase 17,9 %.
Tabel 4.3
Jawaban yang Benar Hasil Tes Siklus II
No
Hasil Scan Transkrip
.
Caca menjawab
1. benar soal no. 1
yaitu 1/3
Tirsya menjawab
2. benar soal no. 2
yaitu 1/6
Sri menjawab
benar soal no. 3
3.
yaitu 1/3

Alya menjawab
benar soal no. 4
4.
yaitu satu per
enam
Shabita menjawab
5. benar soal no. 5

Tabel 4.4
Jawaban yang Salah Hasil Tes Siklus II
No. Hasil Scan Transkrip
Nur menjawab
salah soal no. 1
1. yaitu ¼

Anggia menjawab
salah soal no. 1
2.
yaitu 1/3

Asep menjawab
salah soal no. 3
3.
yaitu 3/2

Rahma menjawab
4. salah soal no. 4
yaitu 1 setengah 6
Yusup menjawab
5. salah soal no. 5

Perbandingan antara nilai siklus I dan siklus II dapat


dilihat pada grafik berikut :
Gambar 4. Grafik Perbandingan Prestasi Belajar Matematika Siswa
Pada Siklus I Dan Siklus II
Berdasarkan grafik di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa terjadi peningkatan nilai secara signifikan dari siklus I
ke siklus II. Nilai rata-rata meningkat menjadi 89,10, nilai
terendah 60 dan untuk nilai tertinggi tidak mengalami
perubahan yaitu 100, hanya kuantitas siswa yang
mendapatkan nilai tersebut bertambah. Presentasae
pencapaian KKM meningkat menjadi 82,1 %. Hal ini sudah
melampaui target peneliti yang menginginkan presentase
pencapaian KKM ≥80%. Oleh karena itu, penelitian tidak
perlu dilanjutkan pada siklus III, karena indikator
keberhasilan penelitian sudah tercapai.
Berikut peneliti berikan gambaran peningkatan yang
terjadi dari tahap pra tindakan, siklus I, dan siklus II.
Gambar 5. Grafik Peningkatan Belajar Belajar Pecahan
Siswa Pada Tahap Pra Tindakan, Siklus I, dan Siklus II
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat adanya
peningkatan prestasi belajar dari tahap pra tindakan ke siklus I
dan siklus II. Nilai tertinggi mengalami peningkatan dari
awalnya 99 menjadi 100. Nilai terendah mengalami
peningkatan dari awalnya 42 menjadi 50 kemudian 60.
Terjadi peningkatan pada nilai rata-rata, pada awalnya 74,71
menjadi 81,25, kemudian 89,10. Sedangkan peningkatan
presentase pencapaian KKM awalnya 60,7% menjadi 78,6%,
terakhir 82,1%.
c. Analisis dan Refleksi Siklus II
Kekurangan pada siklus I telah diperbaiki pada siklus
pada siklus II, guru lebih memahami pelaksanaan tindakan
dibandingkan siklus sebelumnya. Selain itu, semua anggota
kelompok belajar terlibat secara aktif dalam kegiatan
kelompok, tidak ada satu anggotapun yang hanya diam
menunggu hasil pekerjaan teman sekelompoknya, serta proses
pembelajaran tidak melebihi alokasi waktu yang disediakan.

B. Pembahasan Hasil Penelitian Perbaikan Pembelajaran


Setelah melakukan penelitian tindakan, diperoleh hasil
penelitian yang membuktikan bahwa penerapan metode kertas lipat
pada materi pecahan di kelas IV SDN Mirat III dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran sehingga berimplikasi pada adanya
peningkatan prestasi belajar matematika siswa. Hal ini dikarenakan
penerapan metode kertas lipat mendorong siswa untuk belajar secara
bermakna dengan cara siswa dilibatkan secara aktif untuk dapat
mempraktekkan apa yang dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata mereka. Dengan demikian pemhaman siswa
terhadap materi pembelajaran semakin kuat. Data kondisi awal siswa
kelas IV SDN Mirat III sejumlah 27 siswa diperoleh dari
pelaksanaan tes pra tindakan, diketahui bahwa nilai tertinggi yaitu
99, nilai terendah yaitu 42 dan nilai rata-rata 74,71. Siswa yang
sudah mencapai nilai KKM sebanyak 16 siswa dengan presentase
60,7%. Sedangkan siswa yang belum mencapai nilai KKM sebanyak
11 siswa dengan presentase 39,3%. Hal ini menunjukkan
pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran masih kurang.
Berdasarkan hasil observasi, pembelajaran masih berpusat
pada guru dan cenderung menggunakan metode ceramah guru lebih
menekankan pada penguasaan materi daripada proses pembelajaran.
Selain itu, guru belum pernah mengaitkan materi pembelajaran
matematika yang sifatnya abstrak dengan konteks kehidupan nyata
siswa. Padahal, menurut Piaget (Asri Budiningsih, 2005:38) tahap
perkembangan kognitif siswa dalam rentang usia kelas IV SD masih
bermasalah dalam berpikir abstrak. Hal ini berdampak pada
rendahnya pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran sehingga
prestasi belajar merekapun menjadi rendah. Untuk itu, perlu
dilakukan tindakan agar kualitas pembelajaran dan prestasi belajar
matematika meningkat, yaitu dengan menerapakan metode kertas
lipat dalam ateri pecahan. Hal ini dikarenakan, penerapan metode
kertas lipat membiasakan siswa mengalami sendiri apa yang
dipelajarinya, mendorong siswa untuk mengonstruksi
pengetahuannya sendiri dan mengaitkan materi pembelajaran dengan
kehidupan nyata siswa. Dengan demikian, pemahaman siswa
terhadap materi pembelajaran lebih kuat sehingga berimplikasi
terhadap peningkatan prestasi belajar siswa.
Pelaksanaan tindakan dilakukan dalam dua siklus. Pada siklus
pertama, siswa difasilitasi guru untuk melakukan demontrasi model-
model pecahan di depan kelas.
Dalam proses pembelajaran, antusias siswa dalam
pembelajaran meningkat. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya
keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Suasana pembelajaran
yang kondusif dan menyenangkan memberikan kenyamanan bagi
siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa juga terdorong
untuk berpikir dan bekerjasama atas inisiatif sendiri, siswa memiliki
konsentrasi yang lebih baik karena terlibat aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Hal ini berbeda ketika siswa hanya menerima materi
pembelajaran dengan mendengarkan ceramah saja. Siswa mengalami
sendiri apa yang dipelajarinya, sehingga apa yang dipelajari siswa
menjadi lebih bermakna. Siswa dilibatkan secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata. Dengan demikian, pemahaman siswa
terhadap materi pembelajaran matematika lebih kuat dan mendalam
sehingga berimplikasi terhadap peningkatan prestasi belajar
matematika siswa.
Berdasarkan hasil tes pembelajaran matematika, diketahui
bahwa nilai tertinggi yaitu 100, nilai terendah yaitu 50 dan nilai rata-
rata 81,25. Siswa yang sudah mencapai nilai KKM sebanyak 21
siswa dengan presentase 78,6%. Sedangkan siswa yang belum
mencapai nilai KKM sebanyak 6 siswa dengan presentase 21,4%.
Hal ini menunjukkan adanya peningkatan prestasi belajar
matematika siswa.
Berdasarkan hasil observasi, pembelajaran pada siklus I telah
dilaksanakan dengan menerapkan metode kertas lipat. Siswa menjadi
pusat dalam kegiatan belajar sedangkan guru hanya sebagai
fasilitator siswa dalam belajar. Namun, dalam pelaksanaan siklus I
masih ada kekurangan yang harus diperbaiki, yaitu penjelasan
kurang detail dan kurang jelas mengenai rencana pembelajaran
sebelum pembelajaran dilaksanakan, sehingga pada saat pelaksanaan
tindakan guru terkadang bertanya kepada peneliti tentang langkah
kegiatan pembelajaran. Hal tersebut tentunya menjadikan proses
pembelajaran terhambat dan kurang efisien. Selain itu, masih ada
beberapa siswa dalam satu kelompok belajar yang hanya diam
menunggu hasil kerjaan teman sekelompoknya, dan proses
pembelajaran melebihi alokasi waktu pembelajaran yang disediakan.
Oleh karena presentase pencapaian nilai KKM pada siklus I
belum mencapai indikator keberhasilan penelitian yaitu 80 % dan
masih ada kekurangan pada proses pembelajaran yang perlu
diperbaiki, maka penelitian dilanjutkan ke siklus II.
Pada saat proses pembelajaran, siswa terlihat antusias dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran dan mereka terlibat secara aktif
dalam kegiatan tersebut. Mereka juga membangun pemahaman
sendiri baik dalam kegiatan mandiri maupun kelompok. Interaksi
pembelajaran tidak hanya terjadi antara guru dan siswa, namun juga
antara siswa dan siswa. Durasi waktu yang disediakan guru untuk
kegiatan presentasi tidak terlalu lama seperti halnya pada siklus I.
Hal ini dilakukan agar proses pembelajaran tidak melebihi alokasi
waktu pembelajaran matematika.
Pada siklus ini, jumlah siswa yang bertanya lebih banyak dari
pada siklus sebelumnya. Siswa tidak segan untuk bertanya kepada
temannya terkait penyelesaian soal yang belum dipahami. Semua
anggota kelompok belajar terlihat antusias dalam bekerjasama dan
memberikan ide. Tidak ada satupun anggota kelompok belajar yang
tidak berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan soal. Kegiatan
tersebut mendorong siswa untuk belajar secara aktif, kreatif,
produktif, dan mementingkan kerja sama. Selain itu, pembelajaran
dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan.
Kekurangan pada siklus I telah diperbaiki pada siklus II. Pada
siklus II, guru lebih memahami pelaksanaan tindakan dibandingkan
siklus sebelumnya. Selain itu, semua anggota kelompok belajar
terlibat secara aktif dalam kegiatan kelompok, tidak ada satu
anggotapun yang hanya diam menunggu hasil pekerjaan teman
sekelompoknya, serta waktu pembelajaran tidak melebihi alokasi
waktu pembelajaran.
Pada siklus kedua diketahui bahwa nilai tertinggi yaitu 100,
nilai terendah yaitu 60 dan nilai rata-rata 89,10. Siswa yang sudah
mencapai nilai KKM sebanyak 22 siswa dengan presentase 82,1%.
Sedangkan siswa yang belum mencapai nilai KKM sebanyak 5 siswa
dengan presentase 17,9%. Hal ini sudah melampaui target peneliti
yang menginginkan presentase pencapaian KKM ≥80%.
Oleh karena indikator keberhasilan penelitian sudah tercapai
dan adanya peningkatan kualitas pembelajaran, maka peneliti
memutuskan untuk mengakhiri siklus penelitian yang menggunakan
metode kertas lipat pada pembelajaran matematika materi pecahan di
kelas IV SDN Mirat III.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN TINDAK LANJUT

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
mengajar dengan menggunakan media kertas lipat pada pokok bahasan
pecahan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SDN Mirat III
Kecamatan Leuwimunding Kabupaten Majalengka. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penelitian pada Siklus II diketahui bahwa nilai tertinggi yaitu 100, nilai
terendah yaitu 60 dan nilai rata-rata 89,10. Siswa yang sudah mencapai nilai
KKM sebanyak 22 siswa dengan presentase 82,1%. Sedangkan siswa yang
belum mencapai nilai KKM sebanyak 5 siswa dengan presentase 17,9%. Hal
ini sudah melampaui target peneliti yang menginginkan presentase
pencapaian KKM ≥80%.
Cara penggunaan media kertas lipat dalam pembelajaran pecahan
adalah guru membagikan kertas lipat, memberikan contoh pecahan, dan guru
mempraktekkan/memberi contoh kertas lipat.

B. Saran Tindak Lanjut


Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang teah dilakukan peneliti
mengajukan beberapa saran/rekomendasi bagi beberapa pihak terkait dalam
penelitian seperti guru, sekolah, dan peneliti selanjutnya.
1. Bagi guru, Hendaknya di dalam mengajar guru mengupayakan
penggunaan alat bantu pengajaran yang berupa alat peraga. Mengingat
pengajaran dengan alat peraga ini memberikan banyak manfaat. Dan
diharapkan bagi seorang guru untuk dapat mengembangkan alat bantu
pengajaran ini baik yang sudah ada atau bahkan membuat alat bantu yang
belum ada dengan menggunakan benda-benda yang ada di lingkungan
sekolah.
2. Bagi sekolah, semoga hasil penelitian tindakan kelas ini dapat memberikan
sumbangan positif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran baik dalam
pembelajaran matematika maupun pembelajaran lainnya. Penelitian ini
juga diharapkan dapat berkontribusi terhadap kemajuan serta kualitas
pendidikan di sekolah.
3. Bagi peneliti selanjutnya, mengajar dengan alat peraga yang dapat
diterapkan dalam penelitian lain untuk meningkatkan hasil belajar siswa
dengan subjek yang lebih luas dan jenjang yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai