Anda di halaman 1dari 8

PENGENDALIAN PENYAKIT BUDOK PADA TANAMAN NILAM DENGAN AGENSIA HAYATI

DAN PEMBENAH TANAH

Sukamto, Muhammad Syakir dan Muhamad Djazuli

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat


Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor
sukamtowrn@yahoo.com

ABSTRAK

Tanaman nilam merupakan tanaman tropik yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dan lebih dari 80% dari produksi
minyak dunia dipasok dari Indonesia. Masalah utama dalam budidaya nilam di Indonesia adalah serangan penyakit.
Penyakit budok merupakan salah satu penyakit penting yang ditemukan di beberapa sentra nilam. Tujuan penelitian
adalah mengetahui potensi agensia hayati dan aplikasi pembenah tanah untuk menekan serangan penyakit budok.
Penelitian dilakukan di kebun percobaan Cikampek, Jawa Barat. Perlakuan terdiri dari formula granul rhizobakteri (P1),
formula cair rhizobakteri (P2), formula cair Trichoderma sp. (P3), pestisida nabati (P4), bubur bourdeaux (P5), benomil
(P6), dan tanpa perlakuan (P7). Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat ulangan.
Penelitian penggunaan pembenah tanah terhadap penyakit budok dilakukan pada skala pot di Kebun Percobaan
Cimanggu, Bogor. Perlakuan terdiri dari Zeolite (A1), Kaptan (A2), fospat alam (A3), pupuk kandang (A4), arang sekam
(A5), zeolite+fospat alam+pupuk kandang+terusi lima gram (A6), zeolite+fospat alam+pupuk kandang+terusi 10 g (A7),
kaptan+fospat alam+pupuk kandang+terusi lima gram (A8), kaptan+fospat alam+pupuk kandang+terusi 10 g (A9),
arang sekam+fospat alam+pupuk kandang+terusi lima gram (A10), arang sekam+fospat alam+pupuk kandang+terusi
10g (A11), dan control (A12). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman nilam dengan perlakuan bubur bourdeux
dan benomil tidak menunjukkan gejala penyakit budok. Tanaman yang diperlakuan dengan rhizobakteri formula
granul dan cair, Trichoderma sp, dan pestisida nabati menunjukkan gejala penyakit dengan intensitas serangan
masing-masing 2,5; 2,0; 2,6; dan 2,7%. Pada percobaan penggunaan pembenah tanah menunjukkan bahwa perlakuan
pembenah tanah yang dikombinasikan dengan terusi dapat menekan serangan penyakit budok. Perlakuan pembenah
tanah dengan kaptan dapat menekan penyakit budok lebih baik (2,6%) dibandingkan zeolite, fospat alam, pupuk
kandang dan arang sekam.
Kata kunci: Nilam, penyakit budok, pengendalian, pembenah tanah

PENDAHULUAN

Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri
yang cukup penting peranannya dalam menghasilkan devisa. Dalam perdagangan dunia, minyak nilam
dikenal dengan nama Patchouly Oil. Volume ekspor minyak nilam dari tahun ke tahun terus meningkat,
tahun 2006 mencapai 2.100 ton dengan nilai 27.171 juta US $ (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007).
Sebagai komoditas ekspor, minyak nilam mempunyai prospek yang cukup baik, karena permintaan akan
minyak nilam sebagai bahan baku industri parfum, kosmetik, sabun dan lain-lain.
Salah satu masalah dalam budidaya dan pengembangan nilam adalah adanya serangan penyakit.
Beberapa penyakit penting pada tanaman nilam yaitu penyakit layu bakteri, penyakit budok, dan penyakit
yang disebabkan oleh nematode dan virus. Penyakit budok saat ini banyak ditemukan dan menjadi kendala
utama di beberapa sentra pertanaman nilam di Jawa, di Sumatera dan di Kalimantan. Gejala di lapang
nampak daun menjadi ungu kemerahan dan disertai adaanya bengkak-bengkak (scabies). Hasil pengamatan
secara mikroskopis menunjukkan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh jamur Synchytrium

321
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 – 19 Juni 2014

pogostemonis Patil & Mahabale (Wahyuno et al., 2007). Penyakit ini juga telah berkembang dan di temukan
pada pertanaman nilam di India (EPPO, 2007). Di India, pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan
PNCB (penta chloronitre benzene) atau Brassicol masing-masing lima kg/ha atau satu persen bubur
Bordeaux yang disemprotkan 10-15 hari setelah tanam atau setelah pemangkasan. Selain itu juga fungisida
Ridomil dapat digunakan untuk pengendalian jamur Synchytrium sp.
Pengendalian penyakit dapat pula dengan dilakukan secara biologi. Pengendalian secara biologi
dengan menggunakan mikroba rhizobakteri telah banyak dilakukan terhadap bakteri dan jamur patogen
penyebab penyakit. Salah satu spesies aktinomycetes yaitu Streptomyces sp. telah banyak digunakan
karena mempunyai antibiotik dengan spektrum yang luas. Selain itu penggunaan Bacillus sp. dan
Pseudomonas sp. telah dilakukan terhadap beberapa patogen seperti Rhizoctonia sp., Botrytis cinerea,
Fusarium sp., Phytophthora sp., (Szczech and Shoda, 2004). Selain sebagai antagonis, aktinomycetes,
Bacillus sp. dan Pseudomanas sp. dapat berperan sebagai plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR).
PGPR telah dilaporkan dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus seperti CMV (Ryu et al.,
2004; Tomato mottle virus (Murphy et al., 2000), Tobacco necrotic virus (Maurhofer et al., 1994). Aplikasi
PGPR dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman (Van Loon et al., 1998). Hasil penelitian pada skala
pot, penggunaan rhizobakteri Micrococcus sp. dan Pseudomonas sp. dapat menekan penyakit budok, dan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida dan pestisida nabati. Namun penggunaan agensia hayati
ini masih perlu disempurnakan untuk formulasinya sehingga akan memudahkan dalam aplikasinya di
lapang.
Selain masalah penyakit, rendahnya produktivitas tanaman nilam juga disebabkan karena adanya
senyawa alelopati yang bersifat toksik di dalam tanah yang ditimbulkan pertanaman nilam sebelumnya
menyebabkan rendahnya produksi tanaman nilam (Dhalimi et al., 1998; Djazuli, 2002a). Selain produksi
yang semakin rendah, ada indikasi kandungan senyawa toksik tersebut akan memperpendek umur dan
masa panen tanaman nilam. Beberapa tanaman telah dilaporkan menghasilkan aktivitas alelopati antara
lain ubijalar, jagung (Chalid, 1992), dan jahe (Wiroatmojo, 1992). Salah satu efek negatif dari alelopati
adalah menghambat serapan hara tanaman (Buchholtz, 1971). Teknik budidaya mempunyai potensi untuk
menekan pengaruh negatif dari senyawa alelopati antara lain dengan aplikasi arang atau karbon aktif (Tian
et al., 2007), Asam salisilat (Al-Hakimi, 2008), Magnesium sulfat (Lipinska dan Lipinski, 2009), rotasi dengan
tanaman menta, selasih dan oregano (Bustos et al., 2008), dan penggunaan mikroba tanah (Lankau, 2009).

BAHAN DAN METODE

Pengendalian penyakit budok di lapang

Pengendalian penyakit budok dilapang dengan menggunakan agensia hayati dan komponen lainnya
dilakukan di Kebun Percobaan Cikampek, Jawa Barat. Lahan yang digunakan untuk penelitian merupakan
lahan bekas ditanam nilam dan terserang penyakit budok dengan intensitas serangan 50-90%. Bahan
tanaman yang digunakan varietas Sidikalang, disiapkan dari kebun benih yang tidak menunjukkan adanya
serangan penyakit budok atau penyakit lainnya. Produk agensia hayati yang digunakan terdiri dari produk
granula dan cair dari konsorsium rhizobakteri, dan produk dari agensia hayati Trichoderma sp. Sebagai
pembanding digunakan pestisida nabati/bubur bourdou dan kimiawi sehingga terdapat enam perlakuan
dan satu kontrol.
Sebelum benih ditanam, tanah yang digunakan diolah terlebih dahulu sedemikian rupa sehingga
bersih dari gulma seperti alang-alang dan rumput lainnya. Tanah yang sudah gembur dan bebas dari gulma

322
Sukamto et al. : Pengendalian Penyakit Budok Pada Tanaman Nilam Dengan Agensia Hayati dan Pembenah Tanah

kemudian dibuat bedengan/guludan dan di plot sesuai dengan rancangan lingkungan yang digunakan yaitu
Rancangan Acak Kelompok (RAK), perlakuan tujuh perlakuan, diulang empat kali. Jarak tanam 100 x 50 cm
(jarak antar baris 100 cm, jarak dalam baris 50 cm). Kemudian dibuat lubang tanam dan diberi pupuk
kandang dengan ukuran 20 t/ha, diberikan 1-2 minggu sebelum tanam ke dalam lubang tanam dengan cara
dibenamkan dan diaduk merata dengan tanah.
Penanaman benih dilakukan pada benih yang sudah berumur kurang lebih 1,5 bulan ditanam dalam
lubang tanam, dalam posisi tegak dengan sedikit ditekan pada bagian pangkal batang, kemudian tanah
segera disiram sampai betul-betul basah. Perlakuan terdiri dari beberapa produk agensia hayati seperti
pada Tabel 1. Pengamatan dilakukan terhadap serangan penyakit dan pertumbuhan tanaman. Jumlah
tanaman yang menunjukkan gejala penyakit budok pada setiap katagori :
1 = ringan (gejala awal)
2 = sedang (gejala pada daun atau batang, belum menggulung/keriting)
3 = berat (gejala pada daun dan batang, sporarium sudah keluar, gejala sudah daun/pucuk sudah keriting).
Intensitas serangan penyakit ditentukan dengan rumus :
∑ (n x v)
I= x 100%
ZxN
Keterangan :
I = Intensitas serangan
n = Jumlah tanaman dalam setiap katagori serangan
v = Nilai skala tiap katagori serangan
Z = Nilai skala dari katagori serangan tertinggi
N = Banyaknya tanaman yang diamati

Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan, penyiangan, pembumbunan, dan pengairan. Pupuk


kandang dan pupuk anorganik (Urea, SP-36 dan KCl) diberikan sesuai standard operasional prosedur (SOP).
Pemberian pupuk kandang dengan kebutuhan dua kg/tanaman (dua kali pemberian). Pupuk anorganik yang
diberikan terdiri dari Urea, SP-36 dan KCl masing-masing dosis sebanyak 20 g/tanaman, 10 g/tanaman dan
18,75 g/tanaman. Penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma yang tumbuh disekitar tanaman nilam,
dilakukan saat awal pertumbuhan. Pembumbunan dilakukan apabila akar terlihat keluar dan agar
pertumbuhan tanaman bisa tegak terutama setelah dilakukan penyiangan dan pemupukan. Pengairan
sangat diperlukan, tanaman nilam sangat membutuhkan air cukup banyak selama pertumbuhannya
khususnya pada awal pertumbuhan.

Tabel 1. Perlakuan pengendalian penyakit budok di lapang

Kode Perlakuan Keterangan


P1 Produk Konsorsium Rhizobakteri Granul Diperlakukan saat tanam, dan setiap dua minggu sekali sampai umur dua
bulan
P2 Produk Konsorsium Rhizobakteri Cair Diperlakukan saat tanam, dan setiap dua minggu sekali sampai umur dua
bulan
P3 Produk Trichoderma sp Diperlakukan saat tanam, dan setiap dua minggu sekali sampai umur dua
bulan
P4 Pestisida nabati Diperlakukan saat tanam, dan setiap dua minggu sekali sampai umur dua
bulan
P5 Terusi + Kapur Tohor Diperlakukan saat tanam, dan setiap dua minggu sekali sampai umur dua
bulan
P6 Fungisida benomil Diperlakukan saat tanam, dan setiap dua minggu sekali sampai umur dua
bulan
P7 Kontrol Tanpa perlakuan

323
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 – 19 Juni 2014

Panen dilakukan dengan memotong sebagian tanaman dengan sabit atau gunting lebih kurang 20
cm dari permukaan tanah dan disisakan 1-2 cabang untuk mempercepat tumbuhnya tunas baru. Panen
terna pertama (lebih kurang tanaman berumur enam bulan). Bekas potongan batang akan mulai tumbuh
lagi dan berkembang 3-4 bulan kemudian dan siap dipanen kedua pada umur 10 bulan. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan statistik degan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf lima
persen.

Perlakuan pembenah tanah

Percobaan dilakukan di Bogor pada skala pot/polibag. Polibag yang digunakan dengan tanah yang
telah di campur dengan pupuk kandang (3:1), dengan berat 25 kg. Polibag yang telah berisi tanah kemudian
dibagi menjadi dua grup yaitu diinokulasi dengan jamur penyebab budok, dan tanpa diinokulasi. Sumber
inokulum disiapkan dengan mengekstrak jaringan tanaman nilam yang terserang berat oleh budok dari
lapang. Kemudian ekstrak jaringan tanaman terserang budok dibiarkan selama 24 jam. Inokulasi dilakukan
dengan menyiramkan 200 ml sumber inokulum pada setiap polibag. Percobaan dilakuan dengan 11
perlakuan zeolite, kaptan, fospat alam (FA), pupuk kandang, arang sekam, dan tiga formula pembenah
tanah yang dikombinasikan dengan terusi (Tabel 2). Penaman nilam dilakukan seminggu setelah perlakuan
pembenah tanah dengan nilam varietas sidikalang. Rancangan percobaan dilakukan dengan rancangan acak
lengkap, dan diulang dengan tiga kali. Pengamatan meliputi analisis tanah, pertumbuhan tanaman, dan
persentasi serangan penyakit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengendalian penyakit budok di lapang


Pengamatan pada dua bulan setelah tanam, pertanaman nilam telah menunjukkan adanya
pertumbuhan yaitu dengan adanya tunas-tunas baru. Pengamatan serangan penyakit budok pada umur 1,
2, 3, dan 4 bulan setelah tanam belum menunjukkan adanya gejala/serangan penyakit budok maupun
penyakit lainnya. Hal ini diduga karena patogen penyebab penyakit belum berkembang pada lahan tersebut
sampai umur tanaman tiga bulan, yang disebabkan belum adanya turun hujan. Perkembangan patogen
penyebab penyakit budok (Synchytrium sp.) untuk tumbuh dan menyerang tanaman inang sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, curah hujan, sifat kimia, struktur atau
kesuburan tanah. Jamur Synchytrium sp. yang menyerang kacang kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L)
DC.) penyebarannya sangat dipengaruhi langsung oleh suhu, kelembaban dan pengembunan. Bahkan
penyebaran sporangia dari Synchytrium psophocarpus sangat dipengaruhi waktu dimana penyebaran
maksimum terjadi pada pukul 16.00 dan 18.00, sedangkan penyebaran sporangia sedikit terjadi pada pukul
16.00 dan 07.00 (Drinkall dan Price, 1983). Pertumbuhan tanaman nilam pada dua bulan setelah tanam
telah mencapai tinggi 30-35 cm.
Pengataman pada lima bulan setelah tanam, serangan penyakit budok ditemukan pada beberapa
perlakuan yaitu formula granul rhizobacteria (P1), formula cair rhizobacteria (P2), Trichoderma sp. (P3),
pestisida nabati (P4), dan tanpa perlakuan (PO) dengan intensitas serangan yang rendah 2,0-2,8% (Tabel 3).
Terjadinya serangan penyakit diduga karena adanya turun hujan pada umur lima bulan setelah tanam,
namun dengan intensitas serangan penyakit yang rendah. Rendahnya serangan penyakit budok karena
tanaman sudah tua dan hanya sedikit tunas-tunas baru yang tumbuh. Namun bila dilihat dari serangan
penyakit menunjukkan bahwa perlakuan dengan fungisida berbahan aktif benomil dan satu persen bubur
bordeaux dapat mengendalikan serangan penyakit budok.

324
Sukamto et al. : Pengendalian Penyakit Budok Pada Tanaman Nilam Dengan Agensia Hayati dan Pembenah Tanah

Tabel 2. Perlakuan pembenah tanah untuk pengendalian penyakit budok pada nilam

Tanpa Inokulasi Inokulasi


No Perlakuan Dosis/polibag (g) Dosis/polibag (g)
1 Zeolite 50 50
2 Kaptan 50 50
3 FA 50 50
4 Pukan 50 50
5 Arang Sekam 50 50
6 Zeolite 30 + FA 30+ Pukan 30+ terusi 5 50 50
7 Zeolite 30 + FA 30+ Pukan 30+ terusi 10 50 50
8 Kaptan 30 + FA 30+ Pukan 30+ terusi 5 50 50
9 Kaptan 30 + FA 30+ Pukan 30+ terusi 10 50 50
10 Arang Sekam 30 + FA 30+ Pukan 30+ terusi 5 50 50
11 Arang Sekam 30 + FA 30+ Pukan 30+ terusi 10 50 50

Tabel 3. Persentase berat basah dan intensitas serangan penyakit budok pada nilam

Berat basah Intensitas Serangan Penyakit (%) pada bulan


Perlakuan (tanaman/g) 1 2 3 4 5
P1 554 a 0 0 0 0 2,5 a
P2 557 a 0 0 0 0 2,0 a
P3 560 a 0 0 0 0 2,6 a
P4 622 b 0 0 0 0 2,7 a
P5 580 c 0 0 0 0 0,0 b
P6 586 c 0 0 0 0 0,0 b
P0 584 c 0 0 0 0 2,8 a
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom, tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 5%. P0-P6 = perlakuan
dapat dilihat pada Table 1.

Pengaruh pembenah tanah


Penyakit budok disebabkan oleh Synchytrium pogostemonis Patil & Mahabale (Wahyuno et al.,
2007; Wahyuno, 2010). S. pogostemonis merupakan jamur tular tanah (soilborne disease) yang dapat
menyerang daun, tangkai daun dan batang tanaman nilam. Struktur reproduksi cendawan Synchytrium
berupa spora berdinding tebal, berwarna oranye, konsisten ditemukan pada semua contoh tanaman yang
sakit. Jamur ini merupakan jamur saprofit yang hanya hidup pada jaringan tanaman dan dapat bertahan
dalam tanah dalam waktu yang sangat lama. Sehingga pengendaliaan penyakit ini dapat dilakukan melalui
perlakuan pada tanah khususnya tanah yang telah terkontaminasi dengan patogen penyebab penyakit.
Selain itu perlakuan pembenah tanah juga ditujukan untuk perbaikan tanah akibat adanya sifat alelopati
dari tanaman nilam. Perlakuan beberapa pembenah tanah yaitu zeolite, fospat alam, kaptan, pupuk
kandang, arang sekam dan kombinasinya dengan terusi diperlakuan pada tanah untuk pengendalian
penyakit budok pada tanaman nilam. Hasil analisis tanah pada dua minggu setelah aplikasi pembenah
tanah menunjukkan adaanya perbedaan kandungan unsur khususnya pH tanah dan kandungan Ca (Tabel
4). Perlakuan Kaptan (kapur pertanian) meningkatkan pH sampai 7,95, juga saat dikombinasi dengan fospat
alam dan pupuk kandang mencapai 7,61.

325
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 – 19 Juni 2014

Tabel 4. Analisis tanah dua minggu setelah perlakuan pembenah tanah

C-org C/N P2O5 Ca Mg K N


No Perlakuan pH N-total
(%) (%) Me/100 g (%)
1 Zeolite 5,67 4,83 0,39 12,38 148,86 7,46 2,71 1,28 1,44
2 Kaptan 7,95 4,39 0,42 10,45 126,00 31,03 1,17 1,23 0,57
3 FA 7,01 5,04 0,34 14,82 126,41 11,45 2,28 1,06 0,72
4 Pukan 6,65 5,56 0,44 12,64 174,14 7,49 3,73 1,88 1,03
5 Arang Sekam 5,69 4,43 0,38 11,66 169,40 7,46 3,37 1,53 0,94
6 Zeolite+FA+Pukan 6,31 5,58 0,49 11,39 204,67 14,36 4,13 2,03 1,62
7 Kaptan+FA+Pukan 7,61 5,47 0,47 11,64 115,70 20,28 2,46 1,14 0,92
8 Arang Sekam+FA+Pukan 6,32 5,04 0,43 12,56 167,73 10,52 3,31 1,13 0,90
9 Kontrol 5,36 5,26 0,36 14,61 124,49 5,41 2,41 1,62 0,71

Tabel 5. Persentasi serangan penyakit budok dan berat basah tanaman pada perlakuan pembenah tanah

Persentasi serangan penyakit Berat basah per


No Perlakuan 1 2 3 4 5 tanaman
1 Zeolite 0 0 0 5,0 a 5,0 a 512 a
2 Kaptan 0 0 0 2,6 b 2,6 b 530 b
3 FA 0 0 0 4,6 a 4,6 a 510 a
4 Pukan 0 0 0 5,0 a 5,0 a 515 a
5 Arang Sekam 0 0 0 4,6 a 4,6 a 514 a
6 Zeolite+FA+Pukan+Terusi 5 g 0 0 0 0c 0c 510 a
7 Zeolite+FA+Pukan+Terusi 10 g 0 0 0 0c 0c 505 a
8 Kaptan+FA+Pukan+Terusi 5 g 0 0 0 0c 0c 510 a
9 Kaptan+FA+Pukan+Terusi 10 g 0 0 0 0c 0c 492 c
10 Arang Sekam+FA+Pukan+Terusi 5 g 0 0 0 0c 0c 500 a
11 Arang Sekam+FA+Pukan+Terusi 10 g 0 0 0 0c 0c 510 a
12 Kontrol 0 0 0 5,0 a 5,0 a 480 c
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom, tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 5%

Adanya spora berdinding tebal menyebabkan S. pogostemonis dapat bertahan hidup dalam bentuk
struktur istirahat, dan pada saat kondisi lingkungan menguntungkan dapat aktif kembali dengan melepas
spora (zoospora) saat kondisi lingkungan menguntungkan, misalnya adanya kelembaban tinggi dan hujan
yang mendukung perkembangbiakan S. pogostemonis. Spora yang dilepas dari sporangium dilengkapi
dengan flagella untuk dapat berenang dilapisan air yang menempel pada artikel tanah untuk menuju ke
tanaman nilam.
Pengamatan sampai bulan ke tiga setelah tanama tidak menunjukkan adanya serangan penyakit
budok pada semua perlakuan pembenah tanah. Hal ini diduga karena musim yang panas dan tidak ada
hujan, sehingga patogen penyebab penyakit tidak berkembang. Serangan penyakit baru terjadi pada bulan
ke empat dengan persentasi serangan yang rendah dan tidak berkembang sampai tanaman nilam dipanen.
Serangan penyakit terjadi pada perlakuan dengan zeolite, kaptan, fospat alam, pukan, dan arang sekam
serta kontrol dengan persentasi serangan berturut-turut 5; 2,6; 4,6; 5; 4,6; dan 5%. Pada perlakukan
kombinasi pembenah tanah dan terusi lima gram maupun 10 gram per pot, tanaman nilam tidak
menunjukkan adanya serangan penyakit budok. Hal ini diduga bahwa terusi dapat menekan perkembangan
patogen penyebab penyakit budok dalam tanah. Perlakuan kaptan (kapur pertanian) dapat menekan

326
Sukamto et al. : Pengendalian Penyakit Budok Pada Tanaman Nilam Dengan Agensia Hayati dan Pembenah Tanah

serangan penyakit (2,6%) lebih baik dibandingkan pembenah tanah lainnya (zeolit, fospat alam, pukan dan
arang sekam). Hasil analisis tanah terlihat bahwa perlakuan kaptan dapat menaikan pH sampai 7,95. Grau
dan Kurtzweil (2003) melaporkan bahwa penyakit busuk batang pada kedelai menyerang lebih berat pada
pH 6,0 dibanding pada lahan dengan pH 7,0.

KESIMPULAN

Tanaman nilam dengan perlakuan bubur bourdeux dan fungisida berbahan aktif benomil tidak
menunjukkan gejala penyakit budok di lapang. Tanaman yang diperlakuan dengan rhizobakteri formula
granul dan cair, Trichoderma sp, dan pestisida nabati menunjukkan gejala penyakit dengan intensitas
serangan masing-masing 2,5; 2,0; 2,6; dan 2,7%. Pada percobaan penggunaan pembenah tanah
menunjukkan bahwa perlakuan pembenah tanah yang dikombinasikan dengan terusi dapat menekan
serangan penyakit budok. Perlakuan pembenah tanah secara tunggal menunjukkan bahwa pembenah
kaptan dapat menekan penyakit budok lebih baik (2,6%) dibandingkan zeolite, fospat alam, pupuk kandang
dan arang sekam. Intensitas serangan penyakit budok sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim sehingga
percobaan sebaiknya dilakukan tidak pada musim kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hakimi AMA. 2008. Effect of Salicylic Acid on Biochemical Changes In Wheat Plants Under Khat Leaves Residues.
Plant Soil Environment. 54 (27) : 288-293.
Buchholtz KP. 1971. The influence of allelopathy on mineral nutrition. In Biochemical Interaction Among Plants. Nat.
Acad. Sci. Washington DC.
Buston PA, J Pohlan, dan M Schulz. 2008. Interaction Between Coffe (Coffea arabica L.) and Intercropped Herbs Under
Field Conditions In The Sierra Norte of Peubla, Mexico. Journal of Agriculture and Rular Development In The
Tropic and Sub Tropics. 109 (1): 85-94.
Chalid A. 1992. Analisis p asam Coumarat pada tanah dan bagian tanaman jagung. Thesis. AKA. Bogor
Dhalimi, A Anggraini, Hobir. 1998. Sejarah perkembangan budidaya nilam di Indonesia. Dalam Monograf Nilam.
Balittro. hlm. 1-9.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Djazuli M. 2002. Alelopati pada tanaman nilam (Pogostemon cablin L.). Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. VIII
(2):163-172.
Drinkall MJ dan TV Price. 1983. Dispersal of Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Plant Pathology 32:229-
237.
EPPO. 2007. Synchytrium endobioticum. National Regulatory Control Systems. EPPO Bulletin 37:221-222.
Grau C and Kurtzweil N. 2003. Soil pH influences soybean disease potential. Departement of Entomology, Iowa State
University.
Lankau R. 2009. Soil Microbial Communities Alter Allelopathic Competition Between Alliria Petiolata and Native
Species. Biol. Invasion. Springer Scence+Busines Media B.V. 10 p.
Lipinska H And W Lipinski. 2009. Initial Growth of Phleum pratense Under The Influence of Leaf Water Extracts From
Selected Grass Species and The Same Extract Improved With MgSO4.7H2O. J. Elementol 14(1): 101-110.

327
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 – 19 Juni 2014

Maurhofer M, Hase C, Meuwly P, Metraux JP, Defago G. 1994. Induction of systemic resistance of tobacco to tobacco
necrosis virus by the root-colonizing Pseudomonas fluorescens strain CHAO: Infulence of the gac a gene and
pyroverdine production. Phytopathology 84: 139-146.
Murphy JF et al. 2000. Plant growth-promoting rhizobacterial mediated protection in tomato against tomato mottle
virus. Plant Disease 84: 779-784.
Ryu CM, Murphy JF, Mysore KS, Kloepper JW. 2004. Plant growth promoting rhizobacteria systemically protect
Arabidopsis thaliana against Cucumber mosaic virus by a salicylic acid and NPR1-independent and jasmonic acid-
dependent signaling pathway Plant J. 31: 1-12.
Sukamto. 2007. Penyakit utama pada tanaman nilam dan pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran
Perkembangan Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 6 September 2007. hlm. 671-700.
Szczech M and M Shoda. 2004. Biocontrol of Rhizoctonia damping-off of tomato by Bacillus subtilis combined with
Burkholderia cepacia. J. Phytopathology 152: 549-556.
Tian Y, Y Feng, and C Liu. 2007. Addition of Activated Charcoal to Soil After Clearing Ageratina adenophora Acumulates
Growth of Forbs and Grasses in China. Tropical Grassland. Vol. 41: 285-291.
Van Loon LC, Bakker PAHM, Pieterse MJ. 1998. Systemic resistance induced by rhizobacteria. Ann Rev Phytopathol 36:
453-483.
Wiroatmojo J. 1992. Alelopati pada tanaman jahe.Bulletin Agronomi 20(3): 1-6.
Wahyuno D. 2010. Pengelolaan perbenihan nilam untuk mencegah penyebaran penyakit budok (Synchytrium
pogostemonis). Review Penelitian Tan. Perkebunan (Perspektif) 9: 1-11.
Wahyuno D, Sukamto, D Manohara, A Kusnanta, C Sumardiyono, dan S Hartono. 2007. Synchytrium a potential threat
of patchouli in Indonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil. Jakarta. hlm. 92-99.

328

Anda mungkin juga menyukai