Abstrak
Spodoptera litura merupakan salah satu jenis hama penting yang merusak daun kedelai
dibandingkan dengan hama perusak daun lainnya. Bioinsektisida Nuclear Polyhedrosis Virus
(NPV) adalah salah satu jenis virus patogen yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam
mengendalikan ulat grayak, karena bersifat spesifik, selektif, efektif untuk hama hama yang telah
resisten terhadap insektisida dan aman terhadap lingkungan. Pengkajian ini bertujuan untuk
mengetahui efektivitas penggunaan Sl-NPV dalam pengendalian hama Spodoptera litura pada
tanaman kedelai. Kegiatan ini dilaksanakan pada mulai Maret-September 2015. Rancangan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan: P1 = emulsi
NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei (pakan ulat
sutera) 10 ml/l air; P2 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai 10 ml/l air;
P3 = emulsi NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei
(pakan ulat sutera) 20 ml/l air; P4 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai
20 ml/l air; P5 = Perlakuan dengan insektisida kimia sebagai kontrol. Hasil yang dicapai
menunjukkan bahwa pemberian emulsi NPV dari ulat grayak(P4) dengan konsertasi 20 ml/l air
memberi intensitas serangan ulat grayak yang paling rendah(11,11%) dan berbeda nyata dengan
kontrol/tanpa aplikasi (33,33%). Jumlah Sl (Spodoptera litura) pada rendah (2,00 ekor) ditemukan
pada perberian NPV dari ulat grayak (P4) dengan konsentrasi 20 ml/liter air dibanding dengan
perlakuan yang lain(3,00 – 4,40 ekor). Hasil biji yang dicapai tertinggi (1,45 t/ha) pada perlakuan
Pemberian emulsi NPV dari ulat grayak(P4) dengan konsertasi 20 ml/l air dibanding perlakuan
lainnya (1,26-1,36 t/ha).
Pendahuluan
Metodologi
Waktu dan Tempat
Penelitian penggunaan NPV yang bersumber dari ulat grayak dalam pengendalian hama
Spodoptera litura pada tanaman kedelai, dilaksanakan di Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep, pada MK tahun 2015.
Bahan yang digunakan pada kajian ini yaitu benih varietas unggul baru kedelai Argomulyo,
ulat grayak yang telah mati di pertanaman kedelai karena terinfeksi NPV, ulat grayak sehat, daun
murbei, insekitisida kimia (deltametrin), aquadest steril, air, kertas saring, tissu. Sedangkan alat yang
digunakan antara lain traktor, cangkul, alat tugal, tali nilon, tali rafia, meteran, ajir, hand sprayer,
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, 5 perlakuan (4 perlakuan NPV dan
1 kontrol/insekitisda kimia) dan 3 ulangan. Perlakuan yang akan dikaji:
1. P1 = emulsi NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei
(pakan ulat sutera) 10 ml/l air
2. P2 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai 10 ml/l air.
3. P3 = emulsi NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei
(pakan ulat sutera) 20 ml/l air
4. P4 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai 20 ml/l air.
5. P5 = Perlakuan dengan insektisida kimia sebagai kontrol: Dursban 4E50-75ml/ 20lt dengan
bahan aktif Chlorpyrifos 480 g/l yang merupakan insektisida organofosfat berspektrum luas
untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama pada tanaman pangan dan hortikultura.
Varietas kedelai yang digunakan adalah Argomulyo. Varietas tersebut ditanam pada plot
yang berukuran 10 m x 6 m dengan 2 biji per lubang tanam dan jarak tanam Legowo 4:2 (40 cm x 20
cm).
Formulasi SlNPV
NPV diformulasikan dengan bahan pembawa dalam bentuk tepung (wettable powder)
(Tanada dan Kaya 1993). Bahan pembawa diperkaya dengan bahan additive yang kompatibel
untuk meningkatkan persistensi serta mengoptimalkan lapisan penyemprotan (droplet) dan
pelingkupan (coverage). Bahan additive terdiri atas bahan (a) pembasah untuk meningkatkan daya
basah dan daya sebar, (b) perekat untuk mencegah pencucian air hujan, (c) penebal untuk
mengurangi evaporasi dan kehilangan lapisan penyemprotan, (d) pelembab untuk memperlambat
proses pengeringan selama penyemprotan, (e) perangsang makan untuk memperbanyak virus yang
tertelan, (f) pelindung sinar UV untuk meningkatkan stabilitas terhadap sinar surya, dan (g)
kadang-kadang enzim, seperti chitinase untuk meningkatkan aktivitas virus (Johnstone; Smirnoff
dalam Couch and lgnoffo 198l). Tujuan memformulasikan bioinsektisida antara lain untuk (1)
meningkatkan persistensi virus selama mungkin, dan (2) menempatkan virus agar kontak dengan
inangnya sehingga tercapai infeksi maksimum (Maddox 1975).
Ulat yang mati terinfeksi oleh polyhedra dihomogenasi dengan air suling kemudian
disaring dengan kasa nilon berukuran 100 mala jala (mesh). Suspensi polyhedra kasar dimurnikan
dengan pemutar (centrifuge) selama 15 menit dengan kecepatan 3500 putaran/menit. Endapan
yang dihasilkan dicuci dengan air suling dan dimurnikan kembali. Pencucian dan pemurnian
dilakukan sebanyak 4 kali. Endapan hasil pencucian terakhir ditetapkan sebagai polyhedra standar.
Polyhedra standar (100) diencerkan 10 kali dengan air suling secara berturut-turut
sehingga diperoleh seri suspensi 10-1 hingga 10-5. Konsentrasi suspensi 10-5 distandardisasi dengan
haemacytometer melalui penghitungan banyaknya polyhedra inclusion bodies (PIBs/ml).
Berdasarkan penghitungan tersebut, konsentrasi suspensi polyhedra standar ditentukan sebesar 4,8
X 109 PIBs/ml.
Ulat grayak dipelihara secara massal di laboratorium dengan cara mengambil kelompok-
kelompok telur ulat grayak di pertanaman kedelai di Kabupaten Soppeng. Setelah menetas, larva
ulat grayak dipelihara dalam wadah plastik transparan bertutup yang diberi beberapa lubang kecil
pada tutupnya. Ulat grayak diberi pakan daun murbei (pakan ulat sutera) tiap pagi dan sore hari.
Kepompong yang terbentuk dipelihara dalam kotak plastik yang bagian dasarnya diisi
tanah hingga terbentuk ngengat. Ngengat sebanyak 5-10 pasang dipasangkan dalam toples plastik
yang bagian dalamnya dilapisi kertas untuk peletakan telur. Ngengat diberi pakan larutan madu
10% yang diresapkan pada kapas. Telur yang dihasilkan dipelihara dalam kotak plastik hingga
menetas menjadi larva kembali.Kegiatan ini berlangsung selama lebih kurang satu bulan hingga
mencapai fase telur kembali. Perbanyakan ulat grayak dilakukan sebanyak tiga kali siklus hidup
ulat grayak.
n1 x v 1
I = ------------------------ x 100%
ZxN
I = Intensitas serangan
n1 = Jumlah tanaman atau bagian tanaman contoh dengan skala v1
v1 = Nilai skala kerusakan contoh ke- i
N = Jumlah tanaman atau bagian tanaman contoh yang diamati
Z = Nilai skala kerusakan tertinggi
Nilai Skala :
0 = tidak ada kerusakan pada daun
1 = Kerusakan daun > 1 - ≤ 20%
2 = Kerusakan daun > 20 - ≤ 40%
3 = Kerusakan daun > 40 - ≤ 60%
4 = Kerusakan daun > 60 - ≤ 80%
5 = Kerusakan daun > 80 - ≤ 100%
Persentase kematian ulat grayak pada perlakuan Sl-NPV
Komponen pertumbuhan (rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang aktif)
Komponen hasil produksi (rata-rata jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman,
persentase polong yang rusak per tanaman, persentase biji yang rusak per tanaman, jumlah
polong hampa, jumlah polong bernas, produktivitas (ton/ha).
Ulat grayak yang diaplikasikan NPV di laboratorium adalah ulat grayak yang telah
mencapai instar 4 dan instar 5. Pada tabel di atas, nampak bahwa ulat grayak mulai mengalamai
kematian pada hari ke-2 dan mencapai puncak mortalitas tertinggi pada hari ke-5, kemudian
hingga hari ke-10 semua ulat grayak telah mati. Pada pengamatan yang dilakukan, ulat grayak
yang telah terinfeksi, tidak dapat melanjutkan fase hidupnya dan kemampuan makannya juga
sangat menurun.
Hasil percobaan laboratorium menunjukkan bahwa NPV memiliki potensi biotik tinggi,
ditunjukkan oleh tingkat patogenisitasnya yang dinyatakan dengan nilai LC50 (konsentrasi yang
Gambar 1. Contoh mekanisme infeksi NPV pada ulat grayak pada produk Vitura.
Tabel 2. Persentase mortalitas S. litura pada skala laboratorium hari setelah aplikasi (HSA).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Perlakuan Keterangan
HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA
P1 0 2 13 25 40 54 67 80 87 98 100 Mati
seluruhnya
pd hr ke10
P2 0 0 0 3 13 29 43 66 82 93 - 7 % menjadi
ngengat
kembali
namun cacat
P3 0 6 22 74 88 95 100 - - - - Mati
seluruhnya
pd hr ke-6
P4 0 0 4 12 18 38 52 78 89 97 - 3%
berubah jadi
ngengat
kembali
namun
cacat
Berdasarkan hasil pengamatan yang tersaji pada tabel 3, tampak bahwa perlakuan P3
paling cepat mematikan larva S. litura, dan yang paling lambat adalah perlakuan P2. Adapun larva
yang mampu mencapai fase ngengat, maka berdasarkan hasil pengamatan, ngengat ulat grayak
yang terinfeksi NPV, pada bagian sayapnya tidak berkembang dengan sempurna, dimana kedua
sayapnya atau salah satunya menjadi keriting dan lebih kecil dibanding ukuran sayap normal
ngengat sehat. Hal ini menyebabkan ngengat tidak dapat terbang mencari makan, dan pada
akhirnya mati. Hasil pengamatan tersebut membuktikan bahwa SlNPV dapat mengendalikan
serangan S. litura.
Pada pengamatan sebelum dan setelah aplikasi, jumlah Sl yang ditemukan pada tiap
perlakuan tidak terdapat perbedaan yang jauh, demikian pula dengan intensitas serangan pada
tanaman, kecuali pada perlakuan P4.
Rata-rata hasil produksi yang dicapai pada setiap perlakuan yang menggunakan NPV dari
ulat grayak sekitar 1,26-1,45 t/ha dan tidak berbeda nyta dengan hasilbiji yang diperoleh pada
kontrol(1,32ab). Hal ini membuktikan bahwa perlakuan NPV yang berasal dari ulat grayak
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Adie, M.M., K. Igita, Tridjaka, dan Suharsono. 2000. Genetika ketahanan antibiosis kedelai
terhadap ulat grayak. h. 305–311. Dalam M.M. Adie et al. (Eds.). Prosiding Seminar
Balitkabi. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Hayati pada Tanaman Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian. Balitkabi, 8–9 Maret 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
Adie, M.M., A. Krisnawati, dan A.Z. Mufidah. 2012. Derajat ketahanan genotipe kedelai terhadap
hama ulat grayak. h. 29–36. Dalam A.A. Rahmianna et al. (Eds.). Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Peningkatan Daya Saing dan
Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian
Empat Sukses Pembangunan Pertanian. Malang, 5 Juli 2012. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Arifin, M. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pemakan daun kedelai. h. 81–103.
Dalam Marwoto, Saleh, N. Sunardi & Winarno, A. (Eds.). Risalah Lokakarya
Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Malang. Malang. 8–10 Agustus 1991.
Arifin, M. 2002. Teknik produksi dan pemanfaatan bioinsektisida NPV untuk pengendalian ulat
grayak pada kedelai, p. 121-134. Dalam Sunihardi et al. (Eds.). Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman
Pangan, Komponen dan Paket Teknologi Produksi Palawija. Bogor, 22-24 November
1999. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Arifin, M., 2006. Kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV dalam Pengendalian Ulat Grayak dan
Ulat Pemakan Polong Kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 25
No. 1 Tahun 2006. 65-71.
Arifin, M. dan WI.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap
nuclear polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan.
Sukamandi, 16-18 Januari 1986. 1 (Palawija): 74-78.
Ditlintan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan). 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama
dan Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia 2008. Ditlintan, Jakarta.
Djuwarso, T., V. Naito, H. Matsuura, and A. Kikuchi. 1986. Tingkah laku ngengat Spodoptera
litura Fab. (Lepidoptera: Noctuidae) pada malam hari. Buletin Penelitian 3: 35–43.
Hariyanto, D., Sri Hartati, dan Marwoto, 2014. Pemanfaatan NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus).
http://www.agrikencana.com. [diakses 15 Agustus 2015].
Isroi, 2007. Pengomposan Limbah Kakao. Materi Disampaikan pada Acara Pelatihan TOT
Budidaya Kopi dan Kakao di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember 25 – 30 Juni
2007.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, pp. 189-233. In Metcalf R.L. and WH.
Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New
York.
Marwoto. 2007. Dukungan pengendalian hama terpadu dalam program bangkit kedelai. Iptek
Tanaman Pangan 2 :79−92.
Marwoto dan Bejo. 1997. Resistensi hama ulat daun terhadap insektisida di daerah sentra
produksi kedelai di Jawa Timur. Laporan Teknis 1996−1997. Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 14 hlm.
Marwoto dan S. Hardaningsih. 2007. Pengendalian hama terpadu pada tanaman kedelai. h. 296–
318. Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono, A., Hermanto, & Kasim, H (Eds.). Kedelai:
Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak
(Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 27(4):
131–136.
Okada, T., W. Tengkano, dan T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in
faunistic aspects. Prosiding Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 6
Desember 1988. 37 hlm
Tengkano, W dan M. Soehardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan
tanaman kedelai. h. 295–318. Dalam S. Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Trisnaningsih dan Kartohardjono A., 2009. Formulasi Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) untuk
Mengendalikan Ulat Grayak Padi (Mythimna separata Walker) pada Tanaman Padi.
Jurnal Entomologi Indonesia. Perhimpunan Entomologi Indonesia. September 2009, Vol.
6, No.2, Hal. 86-94.
Wachjar, A. dan L. Kadarisman, 2007. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik Cair dan Pupuk An-
Organik Serta Frekuensi Aplikasinya terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao
(Theobroma cacao L.) Belum Menghasilkan. Buletin Agronomi (35)3: 212 – 216.