Anda di halaman 1dari 11

Penggunaan NPV (Nuclear Polyhydrosis Virus)

yang Bersumber dari Ulat Grayak yang Terinfeksi di Lapangan


dalam Pengendalian Spodoptera litura pada Kedelai di Sulawesi Selatan
Asrianti Ilyas dan Abdul Fattah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km 17,5. Makassar, Telepon: (0411) 556 449
Fax: (0411) 554522,
E-mail: abdulfattah911@ymail.com

Abstrak

Spodoptera litura merupakan salah satu jenis hama penting yang merusak daun kedelai
dibandingkan dengan hama perusak daun lainnya. Bioinsektisida Nuclear Polyhedrosis Virus
(NPV) adalah salah satu jenis virus patogen yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam
mengendalikan ulat grayak, karena bersifat spesifik, selektif, efektif untuk hama hama yang telah
resisten terhadap insektisida dan aman terhadap lingkungan. Pengkajian ini bertujuan untuk
mengetahui efektivitas penggunaan Sl-NPV dalam pengendalian hama Spodoptera litura pada
tanaman kedelai. Kegiatan ini dilaksanakan pada mulai Maret-September 2015. Rancangan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan: P1 = emulsi
NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei (pakan ulat
sutera) 10 ml/l air; P2 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai 10 ml/l air;
P3 = emulsi NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei
(pakan ulat sutera) 20 ml/l air; P4 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai
20 ml/l air; P5 = Perlakuan dengan insektisida kimia sebagai kontrol. Hasil yang dicapai
menunjukkan bahwa pemberian emulsi NPV dari ulat grayak(P4) dengan konsertasi 20 ml/l air
memberi intensitas serangan ulat grayak yang paling rendah(11,11%) dan berbeda nyata dengan
kontrol/tanpa aplikasi (33,33%). Jumlah Sl (Spodoptera litura) pada rendah (2,00 ekor) ditemukan
pada perberian NPV dari ulat grayak (P4) dengan konsentrasi 20 ml/liter air dibanding dengan
perlakuan yang lain(3,00 – 4,40 ekor). Hasil biji yang dicapai tertinggi (1,45 t/ha) pada perlakuan
Pemberian emulsi NPV dari ulat grayak(P4) dengan konsertasi 20 ml/l air dibanding perlakuan
lainnya (1,26-1,36 t/ha).

Kata Kunci: kedelai, NPV, Spodoptera litura.

Pendahuluan

Hama-hama tanaman kedelai dikelompokkan menjadi hama tanaman muda, hama


perusak daun, dan hama perusak polong (Marwoto & Hardaningsih, 2007). Hama perusak daun
meliputi kutu kebul (Bemisia tabaci), kutu daun (Aphis glycines), tungau merah (Tetranychus
cinnabarinus), wereng hijau kedelai (Empoasca spp.), ulat grayak (Spodoptera litura), ulat jengkal
(Chrysodeizis chalcites), ulat penggulung daun (Omiodes indicata), dan kumbang kedelai
(Phaedonia inclusa) (Marwoto & Hardaningsih, 2007; Marwoto & Suharsono, 2008). Kerusakan
daun akibat serangan hama pada prinsipnya dapat mengganggu proses fotosintesis (Arifin, 1992).
Spodoptera litura merupakan salah satu jenis hama penting yang merusak daun kedelai
dibandingkan dengan hama perusak daun lainnya (Adie et al., 2012). Kehilangan hasil akibat
serangan hama Spodoptera litura dapat mencapai 80%, bahkan puso jika tidak dikendalikan
(Marwoto & Suharsono, 2008). Tingkat kehilangan hasil tergantung pada varietas yang
digunakan, fase pertumbuhan, dan waktu serangan (Adie et al., 2012). Spodoptera litura dikenal
sebagai hama bersifat polifag dan serangga migrasi yang menimbulkan kerusakan serius pada
pertanaman kedelai (Djuwarso et al., 1986). Kehadiran hama Spodoptera litura di pertanaman
kedelai sangat membahayakan, karena dapat menyerang tanaman pada berbagai fase pertumbuhan

818 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
seperti fase vegetatif (11–30 HST), fase pembungaan dan awal pengisian polong (31–50 HST),
dan fase pertumbuhan dan perkembangan polong serta pengisian biji (51–70 HST) (Tengkano &
Soehardjan,
Spodoptera litura merupakan salah satu jenis hama penting yang merusak daun kedelai
dibandingkan dengan hama perusak daun lainnya (Adie et al., 2012 dalam Hendrival et al., 2013).
Kehilangan hasil akibat serangan hama S. litura dapat mencapai 80%, bahkan puso jika tidak
dikendalikan (Marwoto & Suharsono, 2008 dalam Hendrival et al., 2013). Tingkat kehilangan
hasil tergantung pada varietas yang digunakan, fase pertumbuhan, dan waktu serangan (Adie et
al., 2012 dalam Hendrival et al., 2013). S. litura dikenal sebagai hama bersifat polifag dan
serangga migrasi yang menimbulkan kerusakan serius pada pertanaman kedelai (Djuwarso et al.,
1986 dalam Hendrival et al., 2013). Kehadiran hama S. litura di pertanaman kedelai sangat
membahayakan, karena dapat menyerang tanaman pada berbagai fase pertumbuhan seperti fase
vegetatif (11–30 HST), fase pembungaan dan awal pengisian polong (31–50 HST), dan fase
pertumbuhan dan perkembangan polong serta pengisian biji (51–70 HST) (Tengkano &
Soehardjan, 1985 dalam Hendrival et al., 2013).
Pada tahun 2002, serangan ulat grayak mencapai sekitar 12114 ha dan serangan terluas
terjadi di Sulawesi Selatan (2448 ha) dan Jawa Barat (2335 ha) (Direktorat Bina Perlintan 2003).
Di Cirebon pada tahun 2004 pertanaman padi seluas 506 ha terserang hama ini dengan kerapatan
populasi 1-3 ekor larva/m² serta serangan seluas 140 ha dengan kerapatan populasi 2–30 ekor
larva/m² (Setiatin 2004 dalam Trisnaningsih dan Kartohardjono, 2009). Karena serangan yang
ditimbulkan sangat luas maka perlu diupayakan cara penanggulangannya.
Adapun bioinsektisida Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) adalah salah satu jenis virus
patogen yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam mengendalikan ulat grayak, karena bersifat
spesifik, selektif, efektif untuk hama hama yang telah resisten terhadap insektisida dan aman
terhadap lingkungan. NPV telah dikembangkan secara in vivo di laboratorium Balitkabi, untuk
pengendalian hayati hama Lepidoptera. NPV diketahui efektif mengendalikan hama ulat grayak
pada kedelai (Bedjo et al. 2000). Sebagai bioinsektisida, virus tersebut dapat mengendalikan
serangga hama sasaran secara tepat karena bersifat spesifik, mempunyai kemampuan membunuh
cukup tinggi, biaya relatif murah dan tidak mencemari lingkungan. Hasil rekayasa NPV dengan
bahan pembawa dapat mempertahankan virulensi NPV, sehingga dapat menekan populasi ulat
grayak pada tanaman kedelai di lapang sampai 90% (Bedjo 2003).
Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) merupakan salah satu jenis virus yang berpontensi
sebagai agensia hayati dalam pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura), karena bersifat
spesifik, selektif, dan efektif untuk hama-hama yang telah resisten terhadap insektisida dan aman
terhadap lingkungan (Laoh et al., 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan NPV dalam
pengendalian hama Helicoverpa armigera mampu menekan tingkat serangan yang hanya mencapai
5,60% dibanding dengan tanpa penggunaan NPV yang mencapai 11,53%. Hasil penelitian lain
mengenai penggunaan NPV untuk mengendalikan ulat grayak pada padi dapat menyebabkan
mortalitas 53% pada 3 hari seteelah inokulasi dan 95% pada 9 hari setelah inokulasi (Trisnaningsih
dan Kartohardjono, 2009).
Hasil percobaan laboratorium menunjukkan bahwa NPV memiliki potensi biotik tinggi,
ditunjukkan oleh tingkat patogenisitasnya yang dinyatakan dengan nilai LC 50 (konsentrasi yang
mematikan 50% populasi). LC 50 SlNPV untuk ulat grayak adalah 5,4 x 10 3 polyhedra inclusion
bodies (PIBs)/ml (Arifin dan Waskito 1986), sedangkan untuk ulat pemakan polong 6 x 10 3
PIBs/ml (Gothama 1999).

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 819


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Penggunaan NPV yang sumber inangnya dari ulat grayak, penggerek tonggol jagung, dan
ulat sutra dapat menekan populasi ulat grayak dengan tingkat mortalitas 61,0-90,60% (Yasin dan
Tenrirawe, 2011).
Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) merupakan salah satu jenis virus patogen yang
menginfeksi beberapa jenis serangga hama, antara lain ulat grayak dan ulat pemakan polong
kedelai. NPV untuk ulat grayak disebut SlNPV (Borrelinavirus litura) dan untuk pemakan polong
disebut HaNPV (B. heliothis). (Arifin, 2006).
Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) merupakan salah satu jenis virus yang berpontensi
sebagai agensia hayati dalam pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura), karena bersifat
spesifik, selektif, dan efektif untuk hama-hama yang telah resisten terhadap insektisida dan aman
terhadap lingkungan (Laoh et al., 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan NPV dalam
pengendalian hama Helicoverpa armigera mampu menekan tingkat serangan yang hanya mencapai
5,60% dibanding dengan tanpa penggunaan NPV yang mencapai 11,53%. Hasil penelitian lain
mengenai penggunaan NPV untuk mengendalikan ulat grayak pada padi dapat menyebabkan
mortalitas 53% pada 3 hari setelah inokulasi dan 95% pada 9 hari setelah inokulasi (Trisnaningsih
dan Kartohardjono, 2009).
Hasil percobaan laboratorium menunjukkan bahwa NPV memiliki potensi biotik tinggi,
ditunjukkan oleh tingkat patogenisitasnya yang dinyatakan dengan nilai LC 50 (konsentrasi yang
mematikan 50% populasi). LC 50 SlNPV untuk ulat grayak adalah 5,4 x 10 3 polyhedra inclusion
bodies (PIBs)/ml (Arifin dan Waskito 1986), sedangkan untuk ulat pemakan polong 6 x 10 3
PIBs/ml (Gothama 1999).
Penggunaan NPV yang sumber inangnya dari ulat grayak, penggerek tonggol jagung, dan
ulat sutra dapat menekan populasi ulat grayak dengan tingkat mortalitas 61,0-90,60% (Yasin dan
Tenrirawe, 2011).
Pengamatan Spodoptera L. Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) pada tanaman kedelai
pada dosis 9 X 10 8 PIBs/m2 yang diformulasikan dengan tepung laktosum untuk pengendalian
ulat grayak, Spodoptera L. menyebabkan tingkat kematian ulat grayak 79-81% (Arifin et al.,
1999).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dipandang perlu pengkajian mengenai uji
efektifitas NPV dari berbagai sumber inokolum. Hal ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
penggunaan Sl-NPV dalam pengendalian hama Spodoptera litura pada tanaman kedelai.

Metodologi
Waktu dan Tempat

Penelitian penggunaan NPV yang bersumber dari ulat grayak dalam pengendalian hama
Spodoptera litura pada tanaman kedelai, dilaksanakan di Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep, pada MK tahun 2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada kajian ini yaitu benih varietas unggul baru kedelai Argomulyo,
ulat grayak yang telah mati di pertanaman kedelai karena terinfeksi NPV, ulat grayak sehat, daun
murbei, insekitisida kimia (deltametrin), aquadest steril, air, kertas saring, tissu. Sedangkan alat yang
digunakan antara lain traktor, cangkul, alat tugal, tali nilon, tali rafia, meteran, ajir, hand sprayer,

820 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
terpal, sabit, timbangan kasar, timbangan analitik, sentrifuge, wadah kotak plastik, corong kaca, cawan
petri, lumpang, gelas volume, kuas, blender, tapisan, gunting, sealed plastic, dan alat tulis menulis.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, 5 perlakuan (4 perlakuan NPV dan
1 kontrol/insekitisda kimia) dan 3 ulangan. Perlakuan yang akan dikaji:
1. P1 = emulsi NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei
(pakan ulat sutera) 10 ml/l air
2. P2 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai 10 ml/l air.
3. P3 = emulsi NPV dari ulat grayak yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun murbei
(pakan ulat sutera) 20 ml/l air
4. P4 = emulsi NPV dari ulat grayak yang mati di pertanaman kedelai 20 ml/l air.
5. P5 = Perlakuan dengan insektisida kimia sebagai kontrol: Dursban 4E50-75ml/ 20lt dengan
bahan aktif Chlorpyrifos 480 g/l yang merupakan insektisida organofosfat berspektrum luas
untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama pada tanaman pangan dan hortikultura.
Varietas kedelai yang digunakan adalah Argomulyo. Varietas tersebut ditanam pada plot
yang berukuran 10 m x 6 m dengan 2 biji per lubang tanam dan jarak tanam Legowo 4:2 (40 cm x 20
cm).
Formulasi SlNPV

NPV diformulasikan dengan bahan pembawa dalam bentuk tepung (wettable powder)
(Tanada dan Kaya 1993). Bahan pembawa diperkaya dengan bahan additive yang kompatibel
untuk meningkatkan persistensi serta mengoptimalkan lapisan penyemprotan (droplet) dan
pelingkupan (coverage). Bahan additive terdiri atas bahan (a) pembasah untuk meningkatkan daya
basah dan daya sebar, (b) perekat untuk mencegah pencucian air hujan, (c) penebal untuk
mengurangi evaporasi dan kehilangan lapisan penyemprotan, (d) pelembab untuk memperlambat
proses pengeringan selama penyemprotan, (e) perangsang makan untuk memperbanyak virus yang
tertelan, (f) pelindung sinar UV untuk meningkatkan stabilitas terhadap sinar surya, dan (g)
kadang-kadang enzim, seperti chitinase untuk meningkatkan aktivitas virus (Johnstone; Smirnoff
dalam Couch and lgnoffo 198l). Tujuan memformulasikan bioinsektisida antara lain untuk (1)
meningkatkan persistensi virus selama mungkin, dan (2) menempatkan virus agar kontak dengan
inangnya sehingga tercapai infeksi maksimum (Maddox 1975).

Pembuatan formulasi SlNPV

Ulat yang mati terinfeksi oleh polyhedra dihomogenasi dengan air suling kemudian
disaring dengan kasa nilon berukuran 100 mala jala (mesh). Suspensi polyhedra kasar dimurnikan
dengan pemutar (centrifuge) selama 15 menit dengan kecepatan 3500 putaran/menit. Endapan
yang dihasilkan dicuci dengan air suling dan dimurnikan kembali. Pencucian dan pemurnian
dilakukan sebanyak 4 kali. Endapan hasil pencucian terakhir ditetapkan sebagai polyhedra standar.
Polyhedra standar (100) diencerkan 10 kali dengan air suling secara berturut-turut
sehingga diperoleh seri suspensi 10-1 hingga 10-5. Konsentrasi suspensi 10-5 distandardisasi dengan
haemacytometer melalui penghitungan banyaknya polyhedra inclusion bodies (PIBs/ml).
Berdasarkan penghitungan tersebut, konsentrasi suspensi polyhedra standar ditentukan sebesar 4,8
X 109 PIBs/ml.

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 821


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Suspensi polyhedra standar diencerkan 10 kali kemudian diformulasikan dalam bentuk
tepung dengan bahan formulasi yakni kaolin. Caranya, suspensi sebanyak 25 ml ditetesi dengan
agensia 0,1% Triton x-100 untuk mempertahankan stabilitas dan persistensi SlNPV. kemudian
dicampur dengan tepung sebanyak 100 gr secara bertahap sambil diaduk sampai rata. Dengan cara
tersebut diperoleh sediaan polyhedra berformulisi tepung dengan konsentrasi 1.2 X 108 PIBs/g
(Arifin, 2002).
Pemeliharaan/ Rering Ulat Grayak di laboratorium

Ulat grayak dipelihara secara massal di laboratorium dengan cara mengambil kelompok-
kelompok telur ulat grayak di pertanaman kedelai di Kabupaten Soppeng. Setelah menetas, larva
ulat grayak dipelihara dalam wadah plastik transparan bertutup yang diberi beberapa lubang kecil
pada tutupnya. Ulat grayak diberi pakan daun murbei (pakan ulat sutera) tiap pagi dan sore hari.
Kepompong yang terbentuk dipelihara dalam kotak plastik yang bagian dasarnya diisi
tanah hingga terbentuk ngengat. Ngengat sebanyak 5-10 pasang dipasangkan dalam toples plastik
yang bagian dalamnya dilapisi kertas untuk peletakan telur. Ngengat diberi pakan larutan madu
10% yang diresapkan pada kapas. Telur yang dihasilkan dipelihara dalam kotak plastik hingga
menetas menjadi larva kembali.Kegiatan ini berlangsung selama lebih kurang satu bulan hingga
mencapai fase telur kembali. Perbanyakan ulat grayak dilakukan sebanyak tiga kali siklus hidup
ulat grayak.

Parameter yang diamati :


 Intensitas serangan untuk daun :
Rumus yang digunakan :

n1 x v 1

I = ------------------------ x 100%
ZxN
I = Intensitas serangan
n1 = Jumlah tanaman atau bagian tanaman contoh dengan skala v1
v1 = Nilai skala kerusakan contoh ke- i
N = Jumlah tanaman atau bagian tanaman contoh yang diamati
Z = Nilai skala kerusakan tertinggi
Nilai Skala :
0 = tidak ada kerusakan pada daun
1 = Kerusakan daun > 1 - ≤ 20%
2 = Kerusakan daun > 20 - ≤ 40%
3 = Kerusakan daun > 40 - ≤ 60%
4 = Kerusakan daun > 60 - ≤ 80%
5 = Kerusakan daun > 80 - ≤ 100%
 Persentase kematian ulat grayak pada perlakuan Sl-NPV
 Komponen pertumbuhan (rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang aktif)
 Komponen hasil produksi (rata-rata jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman,
persentase polong yang rusak per tanaman, persentase biji yang rusak per tanaman, jumlah
polong hampa, jumlah polong bernas, produktivitas (ton/ha).

822 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam untuk
mengetahui pengaruh setiap perlakuan. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan
digunakan uji Duncan pada taraf 5%.

Hasil dan Pembahasan

Persentase Mortalitas Larva Ulat Grayak


Perbanyakan SlNPV dilakukan dengan cara mengambil sejumlah ulat grayak instar 4 dan
5 yang mati secara alami karena terinfeksi virus di pertanaman kedelai dengan ciri-ciri ulat
memanjang/mengembang, tidak mengkeret, bila dipijit mengeluarkan cairan berbau busuk, serta
terkadang menggantung di permukaan bagian bawah daun. Ulat grayak kemudian dibuat emulsi
menggunakan aquadest steril. Emulsi NPV ulat grayak kemudian diencerkan dengan aquadest
steril, dan dioleskan pada permukaan daun murbei. Ulat-ulat tersebut dipelihara hingga mati.
Setelah mati, ulat grayak dikoleksi, diekstraksi, dicampur dengan air suling kemudian disaring
dengan menggunakan kasa nilon sehingga diperoleh suspensi polyhedra kasar murni.
Untuk membedakan antara ulat grayak yang mati karena terinfeksi virus dengan
keracunan pestisida di lapang, dapat dilihat ciri-ciri dan perbedaan yang ditimbulkan yaitu matinya
ulat terkena virus, cenderung memanjang atau tidak mengkeret sedangkan apabila mati karena
pestisida,cenderung mengkeret. Larva yang mati terkena virus, apabila dipijit, atau ditusuk akan
akan mudah robek dan mengeluarkan lendir seperti nanah yang berbau busuk sekali, sedangkan
ulat yang terkena pestisida tidak berbau busuk (Hariyanto, Hartati, dan Marwoto, 2014).
Adapun hasil pengamatan persentase kematian ulat grayak setelah dilakukan aplikasi
SlNPV di laboratorium dapat disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Rata-rata mortalitas larva ulat grayak (pakan daun murbei) mulai hari pertama sampai hari
ke sepuluh setelah aplikasi SlNPV di laboratorium.
Hari ke- Mortalitas S.litura (ekor) Persentase Mortalitas S.litura
1 0 0
2 5 2,5
3 14 9,5
4 18 18,5
5 65 51
6 45 73,5
7 21 84
8 19 93,5
9 9 97,5
10 4 100
Total 200 100

Ulat grayak yang diaplikasikan NPV di laboratorium adalah ulat grayak yang telah
mencapai instar 4 dan instar 5. Pada tabel di atas, nampak bahwa ulat grayak mulai mengalamai
kematian pada hari ke-2 dan mencapai puncak mortalitas tertinggi pada hari ke-5, kemudian
hingga hari ke-10 semua ulat grayak telah mati. Pada pengamatan yang dilakukan, ulat grayak
yang telah terinfeksi, tidak dapat melanjutkan fase hidupnya dan kemampuan makannya juga
sangat menurun.
Hasil percobaan laboratorium menunjukkan bahwa NPV memiliki potensi biotik tinggi,
ditunjukkan oleh tingkat patogenisitasnya yang dinyatakan dengan nilai LC50 (konsentrasi yang

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 823


Banjarbaru, 20 Juli 2016
mematikan 50% populasi). LC50SlNPV untuk ulat grayak adalah 5,4 x 103polyhedra inclusion
bodies (PIBs)/ml (Arifin dan Waskito 1986), sedangkan untuk ulat pemakan polong 6 x 103
PIBs/ml (Gothama 1999).
Proses infeksi NPV dimulai dari tertelannya polihedra oleh ulat bersama pakan. Di dalam
saluran pencernaan yang bersuasana alkaLis (pH 9,0 - 10,5), selubung polihedra larut, sehingga
membebaskan virion. Virion menembus dinding saluran pencernaan untuk masuk ke rongga tubuh,
kemudian menginfeksi sel-sel yang rentan. Replikasi virion terjadi di daiam inti sel. Dalam waktu
1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi keruh. Ulat
tampak berminyak, disertai dengan membran integumen yang membengkak dan perubahan warna
tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Kemampuan makannya menurun,
sehingga pertumbuhannya lambat. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati
menggantung dengan posisi terbalik dengan tungkai semu bagian akhir pada tanaman. Integumen
ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi, sehingga sangat rapuh. Apabila integumen robek,
dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa berwarna putih-kecoklatan yang mengandung
polihedra. Ulat muda (instar l-lll) mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9
hari setelah polihedra tertelan (lgnoffo and Couch 1981; Tanada and Kaya 1993 dalam Arifin,
2002).

Gambar 1. Contoh mekanisme infeksi NPV pada ulat grayak pada produk Vitura.

Perbanyakan SlNPV di laboratorium, dilanjutkan dengan aplikasi suspensi SlNPV pada


skala laboratorium dengan konsentrasi sesuai perlakuan pada 100 ekor larva instar 5. Adapun hasil
pengamatan persentase mortalitas S. litura pada tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Persentase mortalitas S. litura pada skala laboratorium hari setelah aplikasi (HSA).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Perlakuan Keterangan
HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA

P1 0 2 13 25 40 54 67 80 87 98 100 Mati
seluruhnya
pd hr ke10
P2 0 0 0 3 13 29 43 66 82 93 - 7 % menjadi
ngengat
kembali
namun cacat

824 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Perlakuan Keterangan
HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA HSA

P3 0 6 22 74 88 95 100 - - - - Mati
seluruhnya
pd hr ke-6

P4 0 0 4 12 18 38 52 78 89 97 - 3%
berubah jadi
ngengat
kembali
namun
cacat

Berdasarkan hasil pengamatan yang tersaji pada tabel 3, tampak bahwa perlakuan P3
paling cepat mematikan larva S. litura, dan yang paling lambat adalah perlakuan P2. Adapun larva
yang mampu mencapai fase ngengat, maka berdasarkan hasil pengamatan, ngengat ulat grayak
yang terinfeksi NPV, pada bagian sayapnya tidak berkembang dengan sempurna, dimana kedua
sayapnya atau salah satunya menjadi keriting dan lebih kecil dibanding ukuran sayap normal
ngengat sehat. Hal ini menyebabkan ngengat tidak dapat terbang mencari makan, dan pada
akhirnya mati. Hasil pengamatan tersebut membuktikan bahwa SlNPV dapat mengendalikan
serangan S. litura.

Jumlah Sl dan Intensitas Serangan Sl pada daun kedelai


SlNPV diaplikasikan dengan mengencerkan terlebih dahulu suspensi polyhedra dan
disemprotkan pada permukaan daun kedelai dengan menggunakan hand sprayer, dan diaplikasikan
pada sore hari menjelang malam. Aplikasi dilakukan dua kali selang satu minggu.
Aplikasi NPV sebaiknya dilakukan pada sore atau petang hari pada kondisi cuaca yang
menguntungkan, mengingat sifatnya yang rentan terhadap paparan sinar surya, khususnya sinar
ultra-violet, dan perilaku ulat yang aktif pada petang dan malam hari (Tanada and Kaya 1993
dalam Arifin, 2006).
Tabel 3. Rata-rata jumlah Sl yang ditemukan pada tiap plot perlakuan (ekor) dan Rata-rata
Intensitas Serangan Sl pada daun kedelai (%).

Rata – rata Jumlah Sl yang


Rata-rata Intensitas Serangan
ditemukan pada tiap plot di
Sl pada daun kedelai (%) Rata Hasil Biji
Perlakuan pertanaman kedelai (ekor)
(t/ha)
Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Aplikasi Aplikasi Aplikasi Aplikasi
P1 9,00a 4,30b 33,33a 22,22a 1,26a
b
P2 8,70 3,50c 33,33a 22,22a 1,36ab
b
P3 8,80 4,40a 33,33a 22,22a 1,32ab
b
P4 8,80 2,00e 33,33a 11,11b 1,45b
a
P5 8,90 3,00d 33,33a 22,22a 1,32ab
Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.

Pada pengamatan sebelum dan setelah aplikasi, jumlah Sl yang ditemukan pada tiap
perlakuan tidak terdapat perbedaan yang jauh, demikian pula dengan intensitas serangan pada
tanaman, kecuali pada perlakuan P4.

Rata-rata hasil produksi yang dicapai pada setiap perlakuan yang menggunakan NPV dari
ulat grayak sekitar 1,26-1,45 t/ha dan tidak berbeda nyta dengan hasilbiji yang diperoleh pada
kontrol(1,32ab). Hal ini membuktikan bahwa perlakuan NPV yang berasal dari ulat grayak

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 825


Banjarbaru, 20 Juli 2016
disamping dapat menurunkan instensitas serangan ulat grayak juga dapat memberikan hasil biji
yang lebih tinggi dibanding dengan cara petani yang menggunakan insekitisida kimia..

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengkajian dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Pemberian emulsi NPV dari ulat grayak(P4) dengan konsertasi 20 ml/l air memberi intensitas
serangan ulat grayak yang paling rendah(11,11%) dan berbeda nyata dengan kontrol/tanpa
aplikasi (33,33%).
2. Jumlah Sl (Spodoptera L ) pada rendah (2,00 ekor) ditemukan pada perberian NPV dari ulat
grayak (P4) dengan konsentrasi 20 ml/liter air disbanding dengan perlakuan yang lain (3,00 –
4,40 ekor).
3. Hasil biji yang dicapai tertinggi (1,45 t/ha) pada perlakuan Pemberian emulsi NPV dari ulat
grayak(P4) dengan konsertasi 20 ml/l air disbanding perlakuan lainnya (1,26-1,36 t/ha).

Daftar Pustaka

Adie, M.M., K. Igita, Tridjaka, dan Suharsono. 2000. Genetika ketahanan antibiosis kedelai
terhadap ulat grayak. h. 305–311. Dalam M.M. Adie et al. (Eds.). Prosiding Seminar
Balitkabi. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Hayati pada Tanaman Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian. Balitkabi, 8–9 Maret 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.

Adie, M.M., A. Krisnawati, dan A.Z. Mufidah. 2012. Derajat ketahanan genotipe kedelai terhadap
hama ulat grayak. h. 29–36. Dalam A.A. Rahmianna et al. (Eds.). Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Peningkatan Daya Saing dan
Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian
Empat Sukses Pembangunan Pertanian. Malang, 5 Juli 2012. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Arifin, M. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pemakan daun kedelai. h. 81–103.
Dalam Marwoto, Saleh, N. Sunardi & Winarno, A. (Eds.). Risalah Lokakarya
Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Malang. Malang. 8–10 Agustus 1991.

Arifin, M. 2002. Teknik produksi dan pemanfaatan bioinsektisida NPV untuk pengendalian ulat
grayak pada kedelai, p. 121-134. Dalam Sunihardi et al. (Eds.). Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman
Pangan, Komponen dan Paket Teknologi Produksi Palawija. Bogor, 22-24 November
1999. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Arifin, M., 2006. Kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV dalam Pengendalian Ulat Grayak dan
Ulat Pemakan Polong Kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 25
No. 1 Tahun 2006. 65-71.

Arifin, M. dan WI.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap
nuclear polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan.
Sukamandi, 16-18 Januari 1986. 1 (Palawija): 74-78.

826 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Bedjo. 2003. Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) untuk
pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai. Lokakarya
Pemanfaatan Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) sebagai agens hayati untuk
mengendalikan hama pemakan daun kedelai Spodoptera litura F. 4 Nopember 2003
Balitkabi. 16 hal.

Ditlintan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan). 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama
dan Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia 2008. Ditlintan, Jakarta.

Djuwarso, T., V. Naito, H. Matsuura, and A. Kikuchi. 1986. Tingkah laku ngengat Spodoptera
litura Fab. (Lepidoptera: Noctuidae) pada malam hari. Buletin Penelitian 3: 35–43.

Gothama, A.A.A. 1999. Peningkatan efektivitas Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae)


nuclear-polyhedrosis virus dengan beberapa ajuvan. Seminar Nasional Peranan
Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor,
16 Februari 1999. Pel Cabang Bogor dan Program PHT Nasional.

Hariyanto, D., Sri Hartati, dan Marwoto, 2014. Pemanfaatan NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus).
http://www.agrikencana.com. [diakses 15 Agustus 2015].

Hendrival, Latifah, dan R. Hayu, (2013). Perkembangan Spodoptera Litura F. (Lepidoptera:


Noctuidae) Pada Kedelai. Jurnal Floratek 8: 88 – 100.

Informasi Pertanian, 2014.http://www.informasipertanian.com/2014/03/manfaat-jerami-untuk-


kesuburan-tanah.html. [Diakses 14 Agustus 2015].

Isroi, 2007. Pengomposan Limbah Kakao. Materi Disampaikan pada Acara Pelatihan TOT
Budidaya Kopi dan Kakao di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember 25 – 30 Juni
2007.

Kemtan (Kementerian Pertanian). 2009. Rancangan Rencana trategis Kementerian Pertanian


Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta. 184 hlm.

Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, pp. 189-233. In Metcalf R.L. and WH.
Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New
York.

Marwoto. 2007. Dukungan pengendalian hama terpadu dalam program bangkit kedelai. Iptek
Tanaman Pangan 2 :79−92.

Marwoto dan Bejo. 1997. Resistensi hama ulat daun terhadap insektisida di daerah sentra
produksi kedelai di Jawa Timur. Laporan Teknis 1996−1997. Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 14 hlm.

Marwoto dan S. Hardaningsih. 2007. Pengendalian hama terpadu pada tanaman kedelai. h. 296–
318. Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono, A., Hermanto, & Kasim, H (Eds.). Kedelai:
Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak
(Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 27(4):
131–136.

Okada, T., W. Tengkano, dan T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in
faunistic aspects. Prosiding Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 6
Desember 1988. 37 hlm

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 827


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Puslitbang Tanaman Pangan, 2014. Panduan Roguing Tanaman dan Pemeriksaan Benih Kedelai.
http://www.pangan.litbang.pertanian.go.id/berita-450-panduan-roguing-tanaman-dan-
pemeriksaan-benih-kedelai.html. [Diakses 15 Agustus 2015].

Tengkano, W dan M. Soehardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan
tanaman kedelai. h. 295–318. Dalam S. Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Trisnaningsih dan Kartohardjono A., 2009. Formulasi Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) untuk
Mengendalikan Ulat Grayak Padi (Mythimna separata Walker) pada Tanaman Padi.
Jurnal Entomologi Indonesia. Perhimpunan Entomologi Indonesia. September 2009, Vol.
6, No.2, Hal. 86-94.

Wachjar, A. dan L. Kadarisman, 2007. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik Cair dan Pupuk An-
Organik Serta Frekuensi Aplikasinya terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao
(Theobroma cacao L.) Belum Menghasilkan. Buletin Agronomi (35)3: 212 – 216.

828 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016

Anda mungkin juga menyukai