Anda di halaman 1dari 6

THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta

SIFAT FISIK DAN DAYA TERIMA BISKUIT


DARI CAMPURAN TEPUNG SINGKONG DAN TEPUNG TERIGU

Rusdin Rauf, Nurdiana, Rahmatika Nur Aini, Miftakhul Istinganah


Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta
email: rusdin.rauf@ums.ac.id

Abstrak
Tingginya konsumsi tepung terigu membawa dampak pada kondisi ketahanan pangan, karena
bahan baku tepung terigu diperoleh melalui impor. Selain itu, berbagai masalah kesehatan
terkait kebiasaan mengonsumsi makanan berbahan baku tepung terigu, khususnya pada anak-
anak, seperti penyakit celiac dan autis. Upaya untuk mengurangi penggunaan tepung terigu
telah dilakukan dengan mensubstitusikan tepung singkong. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi sifat fisik dan daya terima biskuit yang dibuat dari campuran tepung
singkong dan tepung terigu. Penelitian dilakukan dengan membuat biskuit dari campuran
tepung singkong dan tepung terigu pada berbagai rasio, yaitu 40:60, 60:40, 80:20, 100:0.
Biskuit kemudian dianalisis sifat fisik (kekerasan dan warna) dan daya terimanya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh variasi campuran tepung singkong dan tepung
terigu terhadap kekerasan, warna dan daya terima biskuit. Biskuit yang paling disukai panelis
adalah yang dibuat dari campuran tepung singkong dan tepung terigu 60:40.

Kata Kunci: biskuit, kekerasan, warna, daya terima, singkong.

PENDAHULUAN dan Sarbini, 2015). Selain itu, sebagai produk


Data konsumsi tepung terigu masyarakat antara, pemanfaatan singkong lebih fleksibel
Indonesia sejak tahun 2010 hingga 2013 untuk diolah menjadi berbagai produk
menunjukkan kecenderungan yang pangan dengan beragam bentuk dan citarasa.
meningkat, yaitu berturut-turut 4.403 MT Tepung singkong sering digunakan
(Metrik Ton), 4.721 MT, 5.142 MT, dan sebagai bahan pensubstitusi tepung terigu
5.351 MT (APTINDO, 2014). Tingginya dalam pengolahan produk seperti biskuit.
konsumsi tepung terigu dapat berdampak Namun berbagai penelitian menunjukkan
pada berbagai gangguan kesehatan, terutama bahwa penambahan tepung singkong dapat
pada anak-anak, seperti penyakit celiac menurunkan mutu biskuit. Eggleston et al.
(Sapone et al., 2012) dan beberapa gangguan (1992) melaporkan bahwa tepung singkong
otak yaitu autis (Buie, 2013) dan epilepsy dapat disubstitusikan sebanyak 40 % untuk
(Hernandez et al., 1998). Upaya untuk mendapatkan kualitas yang baik. Pendapat
mengatasi masalah ini antara lain dengan yang sama dinyatakan oleh Oluwamukomi et
meningkatkan pemanfaatan pangan lokal al. (2011) bahwa substitusi tepung singkong
untuk menggantikan atau mengurangi maksimum sebanyak 40 % untuk
penggunaan tepung terigu sebagai bahan mendapatkan biskuit dengan tingkat
baku berbagai produk pangan. kerenyahan yang baik serta dapat diterima
Bahan baku lokal yang cukup potensial oleh panelis.
dikembangkan sebagai pengganti tepung Kelemahan dari beberapa penelitian
terigu adalah singkong. Singkong terlebih terdahulu adalah dalam pembuatan produk
dahulu diolah menjadi tepung singkong biskuit jumlah penggunaan tepung singkong
sebagai produk antara yang lebih fleksibel masih lebih rendah dibandingkan tepung
pemanfaatannya untuk diolah menjadi terigu. Selain itu berbagai penelitian yang
berbagai produk pangan dengan beragam telah dilakukan, terdapat ketidaktepatan
bentuk dan citarasa. Selain itu, dalam bentuk dalam menentukan jumlah air dalam
tepung, masa simpannya lebih lama, serta pembuatan adonan biskuit. Volume air
lebih mudah dalam proses distribusi (Rauf merupakan faktor penting dalam pembuatan

THE 5TH URECOL PROCEEDING 124 ISBN 978-979-3812-42-7


THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta

adonan. Shewry et al. (2001) melaporkan Selanjutnya singkong diiris tipis dengan
bahwa jika jumlah air yang digunakan sedikit ketebalan 1 mm, dilanjutkan dengan
atau kurang dalam proses pembentukan pengeringan menggunakan pengering
adonan, maka interaksi antar komponen akan kabinet pada suhu 60°C selama 20 jam. Irisan
terhambat. Namun jika air yang digunakan singkong kering kemudian digiling, lalu
berlebih, dapat menyebabkan rusaknya diayak 120 mesh.
interaksi antar komponen.
Rauf dan Sarbini (2015) melaporkan Pembuatan Biskuit
bahwa tepung singkong memiliki daya serap Formula pembuatan biskuit diperoleh
air yang lebih tinggi dibandingkan tepung melalui proses optimasi pembuatan biskuit
terigu. Makin tinggi penggunaan tepung berbahan baku tepung terigu. Jumlah air dari
singkong dalam pembuatan adonan, semakin setiap perlakuan, mengikuti teknik
besar jumlah air yang diperlukan. Jumlah air proporsional yang dilaporkan oleh Rauf dan
dalam pembuatan adonan dapat ditentukan Sarbini (2015).
dengan teknik proporsional, yang
disesuaikan dengan daya serap air campuran Tepung singkong : terigu (g)
tepung singkong dan tepung terigu. Bahan 40:6 60:4 80:2 100:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 0 0 0 0
mengevaluasi tingkat kekerasan, warna dan
T.singkon
daya terima biskuit dari campuran tepung 80 120 160 200
singkong dan tepung terigu. g
T.terigu 120 80 40 0
METODE PENELITIAN Air 57,0 64,1 67,0 74,3
Bahan Gula 85,7 85,7 85,7 85,7
Bahan utama yang digunakan dalam Telur 35 35 35 35
penelitian ini adalah tepung terigu, singkong, Margarin 71,4 71,4 71,4 71,4
margarin, baking powder, air, gula, telur dan Baking
vanili. Singkong diperoleh dari pasar 2,3 2,3 2,3 2,3
powder
tradisional di Surakarta, sedangkan tepung
terigu, margarin, baking powder, air, gula, Vanili 3 3 3 3
telur dan vanili diperoleh dari pasar swalayan
di Surakarta. Prosedur pembuatan biskuit yaitu gula
direbus dalam air hingga larut. Setelah
Alat dingin, dicampurkan tepung singkong,
Peralatan yang digunakan dalam tepung terigu, telur, margarin, baking powder
penelitian, dibagi menjadi tiga, yaitu alat dan vanili hingga menjadi adonan. Adonan
untuk pembuatan tepung singkong, alat untuk kemudian dicetak, lalu dipanggang
pembuatan biskuit dan alat untuk analisis. menggunakan oven pada suhu 170°C selama
Peralatan pembuatan tepung singkong antara 15 menit.
lain grinder, pengering kabinet dan ayakan.
Peralatan pembuatan biskuit yaitu pencetak Pengujian Kekerasan
biskuit dan oven. Peralatan analisis yang Pengukuran kekerasan biskuit, sesuai
digunakan adalah universal testing machine prosedur yang dilaporkan Dziki et al. (2014)
model Z0.5 dari Zwick/Roell AG, Jerman dengan sedikit modifikasi pada pengaturan
dan Minolta reflectance chromameter (CR- tekanan dan kecepatan. Biskuit diletakkan
400). pada plat/meja sampel. Besarnya gaya yang
diberikan diatur dari 0 hingga 25 N.
Pembuatan Tepung Singkong Kecepatan pre-test, test dan post test masing-
Pembuatan tepung singkong mengikuti masing 1,5 mm/detik, 2 mm/detik dan 10
prosedur Eduardo et al. (2013) dengan mm/detik. Tekanan diberikan hingga biskuit
modifikasi pada teknik pengeringan. retak. Hasil pengujian ditampilkan pada
Singkong dikupas, kemudian dicuci. monitor.

THE 5TH URECOL PROCEEDING 125 ISBN 978-979-3812-42-7


THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta

Pengujian Warna dan 80:20 memiliki tingkat kekerasan yang


Pengukuran warna biskuit menggunakan tidak berbeda nyata.
Minolta reflectance chromameter (CR-400),
yang didasarkan pada nilai L* a* b*. Alat Tingginya tingkat kekerasan pada biskuit
terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan plat dengan perlakuan 40:60 terkait dengan
standar putih (Y = 93,5; x = 0,3114; y = besarnya rasio tepung terigu yang tersusun
0,3190) seperti yang digambarkan dalam atas protein. Kumar et al. (2013) melaporkan
manual Konica Minolta (2013). bahwa biskuit berbahan tepung terigu yang
memiliki kadar protein lebih tinggi,
Pengujian Daya Terima memberikan kekerasan yang lebih besar. Aly
Pengujian daya terima dilakukan oleh 30 dan Seleem (2015) menyatakan bahwa makin
orang panelis dari mahasiswa Program Studi tinggi penambahan sumber protein, semakin
Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan, besar tingkat kekerasan biskuit. Rauf dan
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sarbini (2014) menjelaskan bahwa tepung
Penelis melakukan pengujian terhadap terigu memiliki kadar protein yang lebih
sampel yang telah diberi kode acak tiga digit tinggi dibanding tepung singkong.
angka. Pengujian dimulai dari sampel sebelah
kiri ke kanan secara berurutan. Setiap sampel 20
16,46b
diuji untuk lima indikator mutu penerimaan,
yaitu warna, aroma, tekstur, rasa dan 15 13,28ab
11,43a 11,6a
Kekerasan (N)
keseluruhan. Pengujian sampel berikutnya
dilakukan setelah menyelesaikan pengujian 10
semua indikator mutu penerimaan. Pengujian
daya terima didasarkan pada lima skala 5
hedonik, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak
suka, 3 = agak suka, 4 = suka, dan 5 = sangat 0
suka. 40:60 60:40 80:20 100:0
Tepung singkong : Tepung terigu
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan Gambar 1. Tingkat kekerasan biskuit
acak lengkap dengan empat perlakuan variasi dari berbagai rasio campuran tepung
rasio campuran tepung singkong dan tepung singkong dan tepung terigu
terigu, yaitu 40:60, 60:40, 80:20 dan 100:0.
Data dianalisis menggunakan ANOVA satu
arah. Perbedaan hasil dianalisis Perlakuan tepung singkong:tepung terigu
menggunakan uji Duncan pada taraf 5%. 100:0 yang menunjukkan tingkat kekerasan
yang tidak signifikan dengan perlakuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
40:60, telah dijelaskan oleh Hoojjat dan
Kekerasan Zabik (1984) bahwa biskuit dengan bahan
Kekerasan biskuit merupakan gambaran berupa tepung yang memberikan daya serap
dari gaya tekan maksimum yang diperlukan air yang tinggi dapat memberikan kekerasan
hingga biskuit mengalami deformasi. Hasil yang lebih tinggi. Rauf dan Sarbini (2015)
penelitian tentang kekerasan biskuit yang menjelaskan bahwa tepung singkong
ditampilkan pada Gambar 1, menunjukkan memiliki daya serap air yang lebih tinggi
bahwa ada pengaruh variasi campuran tepung dibanding tepung terigu.
singkong dan tepung terigu terhadap tingkat
kekerasan biskuit (p < 0,05). Biskuit dengan Warna
perlakuan tepung singkong:terigu 40:60 dan Data statistik dari pengujian warna
100:0, menunjukkan tingkat kekerasan yang menunjukkan bahwa ada pengaruh rasio
tidak berbeda nyata. Kedua perlakuan campuran tepung singkong dan tepung terigu
tersebut memberikan kekerasan yang lebih terhadap warna biskuit untuk karakteristik
tinggi dibanding perlakuan 60:40 dan 80:20. L*, a* dan b*. Hal tersebut ditunjukkan oleh
Sedangkan biskuit dengan perlakuan 60:40

THE 5TH URECOL PROCEEDING 126 ISBN 978-979-3812-42-7


THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta

nilai sigrifikansi masing-masing yng Nilai b* merupakan indikator dari warna


memberikan nilai p < 0,05. Karakteristik kuning-biru, dengan nilai positif (+) berarti
warna biskuit dari campuran tepung singkong kuning dan nilai negatif (-) berarti biru. Hasil
dan tepung terigu diberikan pada Tabel 2. penelitian menunjukkan bahwa semua
perlukan pada biskuit mengindikasikan
Tabel 2. Karakteristik warna biskuit dari warna kekuningan. Nilai b* pada perlakuan
campuran tepung singkong dan tepung 40:60 tampak lebih rendah dibanding
terigu perlakuan lainnya. Qaisrani et al. (2013)
melaporkan bahwa terbentuknya warna
Tepung kekuningan karena kandungan serat yang
singkong: L* a* b* terdapat pada bahan.
terigu
Daya Terima
40 :60 55,59a 9,81c 26,70a Secara statistik, hasil penelitian
60 :40 63,84b 8,51 bc
31,78b menunjukkan bahwa ada pengaruh variasi
80 : 20 66,58c 5,88a 31,32b campuran tepung singkong dan tepung terigu
100 : 0 65,55bc 7,65 b
31,11b terhadap daya terima biskuit. Pengaruh
Nilai p 0,001 0,010 0,001 tersebut tampak pada semua variabel
kesukaan, yaitu warna, aroma, rasa, tekstur
dan keseluruhan, yang masing-masing
Nilai L* pada Tebel 2, dapat dijelaskan memberikan nilai signifikansi p < 0,05. Hasil
bahwa makin tinggi porsi tepung singkong pengujian daya terima biskuit dari campuran
yang digunakan, semakin tinggi nilai L* dari tepung singkong dan tepung terigu
biskuit. Tingginya nilai L*, menunjukkan ditampilkan pada Tabel 3.
tingginya kecerahan biskuit. Nilai L*
tertinggi diberikan oleh perlakuan 80:20 dan Tabel 3. Daya terima biskuit dari campuran
100:0. Kedua perlakuan tersebut tepung singkong dan tepung terigu
menunjukkan nilai L* yang tidak berbeda
nyata. Rauf (2015) menjelaskan bahwa nilai Indi- Tepung singkong : terigu
L* dipengaruhi oleh reaksi pencoklatan yang p
kator 40:60 60:40 80:20 100:0
terjadi selama pemanggangan, yaitu reaksi Warna 2,8a 4,0bc 4,2c 3,6b 0,00
Karamelisasi dan reaksi Maillard. Reaksi 4,1c
Aroma 3,0a 3,6b 3,6b 0,00
karamelisasi terjadi karena adanya gula yang
Rasa 2,7a 3,3b 3,3b 2,8a 0,01
dipanaskan, sedangkan reaksi Maillard
terjadi antara gugus reduksi dari gula dan Tekstur 2,7a 4,0b 3,8b 3,7b 0,00
gugus amin dari protein. Hasil penelitian ini Keselu-
2,8a 3,7b 3,6b 3,5b 0,00
sesuai dengan laporan Aly dan Seleem (2015) ruhan
bahwa makin rendah porsi penambahan
sumber protein, semakin tinggi nilai L* dari Indikator rasa dan tekstur biskuit yang
biskuit. mendapatkan penerimaan yang paling rendah
dan cenderung tidak disukai adalah perlakuan
Nilai a* menunjukkan warna merah- 40:60. Pada perlakuan 100:0, panelis
hijau, dengan nilai positif (+) berarti merah
memberikan penilaian yang rendah terhadap
dan nilai negatif (-) berarti hijau. Hasil rasa, namun memberikan penerimaan yang
pengujian menunjukkan bahwa semua cukup tinggi terhadap tekstur.
perlakuan memberikan warna biskuit yang Biskuit dengan perlakuan 60:40
cenderung merah. Warna merah tertinggi menunjukkan keunggulannya terhadap daya
diberikan oleh biskuit dengan perlakuan
terima aroma. Sedangkan perlakuan 80:20
tepung singkong:tepung terigu 40:60. memberikan keunggulan yang berbeda, yaitu
Srivastava et al. (2012) mengungkapkan pada kesukaan terhadap warna. Meskipun
bahwa nilai a* berbanding terbalik dengan secara statistik, perlakuan 60:40, 80:20 dan
nilai L*. Warna kemerahan terbentuk dari 100:0 untuk kesukaan keseluruhan tidak
proses pemanggangan.

THE 5TH URECOL PROCEEDING 127 ISBN 978-979-3812-42-7


THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta

berbeda nyata, namun perlakuan campuran Eduardo M, Svanberg U, Oliveira J. 2013.


tepung singkong:tepung terigu 60:40 Effect of cassava flour characteristics on
memberikan skor penerimaan tertinggi. properties of cassava-wheat-maize
composite bread types. International
KESIMPULAN Journal of Food Science 2013: 1-10.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: Eggleston G, Onwaka PE, Ihedioha OD. 1992.
1. Ada pengaruh rasio campuran tepung Development and evaluation of products
singkong dan tepung terigu terhadap from cassava flour as a new alternative to
tingkat kekerasan biskuit. Kekerasan wheat bread. Journal of the Science of
tertinggi diberikan oleh campuran 40:60. Food and Agriculture 59: 377-385.
2. Terdapat pengaruh variasi campuran
tepung singkong dan tepung terigu Hadjivassiliou M, Gibson A, Davies-Jones
terhadap indikator warna biskuit. GA, Lobo AJ, Stephenson TJ, Milford-
3. Terdapat pengaruh rasio campuran Ward A. 1996. Does cryptic gluten
tepung singkong dan terigu terhadap sensitivityplay a part in neurological
warna, aroma, rasa, tekstur dan kesukaan illness? Lancet 347(8998): 369-371
keseluruhan. Rasio 60:40, 80:20, dan Hernandez MA, Colina G, Ortigosa L. 1998.
100:0 menunjukkan kesukaan Epilepsy, celebral calcifications and
keseluruhan yang tidak berbeda nyata, clinical or subclinical coelic disease.
yang secara umum disukai oleh panelis. Course and Follow up with gluten-free
Sedangkan campuran 40:60 cenderung diet. Seizure 7: 49-54.
tidak disukai oleh panelis.
Hoojjat P, Zabik ME. 1984. Sugar-snap
cookies prepared with wheat-navy bean-
UCAPAN TERIMAKASIH sesame seed flour blends. Cereal
Terimakasih dan penghargaan pada Chemistry 61: 41-44.
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Konica Minolta. 2013. Chroma Meter CR-
Kesehatan, Universitas Muhammadiyah 400/410 Instruction Manual. Konica
Surakarta, yang telah mendanai penelitian ini Minolta, Inc., Japan.
melalui program Rencana Pengembangan
Program Studi (RPPS). Kumar N, Khatkar, BS, Kaushik R. 2013.
Effect of reducing agents on wheat gluten
REFERENSI and quality characteristics of flour and
cookies. The Annals of The University
Aly MMA, Seleem HA. 2015. Gluten-free flat
Dunarea de Jos of Galati – Food
bread and biscuits production by cassava,
Technology 37(2): 68-81.
extruded soy proteinand pumpkin
powder. Food and Nutrition Science 6: Oluwamukomi MO, Oluwalana IB,
660-674 Akinbowale OF. 2011. Physicochemical
and sensory properties of wheat-cassava
APTINDO. 2014. Overview industry tepung
composite biscuit enriched with soy
terigu nasional Indonesia. Asosiasi
flour. African Journal of Food Science
Produsen Terigu Indonesia. Jakarta.
5(2): 50-56.
Indonesia.
Qaisrani TB, Butt MS, Anjum FM, Sheikh
Buie TMD. 2013. The relationship of autism
MA. 2013. Color tonality and sensory
and gluten. Clinical Therapeutics 35 (5):
response of psylliumhusk based cookies.
578-583.
Pakistan Journal of Nutrition 12(1): 55-
Dziki D, Cacak-Pietrzak G, Mis A, Jonczyk K, 59.
Gawlik-Dziki U. 2014. Influence of
Rauf R. 2015. Kimia Pangan. Yogyakarta:
wheatkernel physical properties on the
Penerbit Andi.
pulverizing process. Journal of Food
Science & Technologi 51(10): 2648- Rauf R, Sarbini D. 2014. Sifat elongasi adonan
2655. dari campuran tepung Terigu dan tepung

THE 5TH URECOL PROCEEDING 128 ISBN 978-979-3812-42-7


THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta

singkong dengan volume air yang


didasarkan pada daya serap air. Laporan
Penelitian Reguler Kompetitif,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rauf R, Sarbini D. 2015. Daya serap air
sebagai acuan untuk menentukan volume
air dalam pembuatan adonan dari
campuran tepung terigu dan tepung
singkong. Agritech 35 (3): 324-330.
http://jurnal-agritech.tp.ugm.ac.id
Sapone A, Bai JC, Dolinsek J, Green PHR,
Hadjivassiliou M, Kaukinen K, Rostami
K, Sanders DS, Schumann M, Ullrich R,
Villalta D, Volta U, Catassi C, Fasano A.
2012. Spectrum of gluten-related
disorders: consensus on new
nomenclatur and classification. BioMed
Central Medicine 10 (13): 1-12.
Shewry PR, Popineau Y, Lafiandra D, Belton
P. 2001. Wheat glutenin subunits and
dough elasticity: findings of the
eurowheat project. Trends in Food
Science and Technology 11: 433-441.
Srivastava Y, Semwal AD, Sharma GK, Bawa
AS. 2010. Effect of virgin coconut meal
(VCM) on the textural, thermal and
physico chemical properties of biscuits.
Food and Nutrition Sciences 2: 38-44.

THE 5TH URECOL PROCEEDING 129 ISBN 978-979-3812-42-7

Anda mungkin juga menyukai