net/publication/321667700
CITATIONS READS
0 2,539
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Mudasir Mudasir on 11 January 2018.
1. Mengenal algae
Algae adalah merupakan organisme thalophyta, yaitu organism yang tidak mempunyai akar,
batang dan daun sejati yang mempunyai klorofil a sebagai pigmen fotosintetik utama dan tidak
mempunyai sel-sel steril yang melindungi sel-sel reproduktifnya (Lee,1999). Algae tidak
menunjukkan satu kelompok taksonomi yang berdekatan tetapi merupakan kelompok organisme
yang mempunyai keragaman fotosintetik yang saling bertukar hanya sedikit karakteristik (Sze,
1986). Ada dua tipe dasar sel algae, yaitu prokaryotik dan eukaryotic. Prokaryotik sel tidak
mempunyai organela yang ber-membran (plastida, mitokondria, nuklei, badan golgi dan flagela).
Eukaryotik sel dikelilingi dinding sel yang tersusun atas polisakarida dan di bagian dalamnya
mempunyai membran plasma yang mengatur keluar masuknya senyawa dalam protoplasma.
Nukleusnya dikelilingi oleh membran sel ganda yang mempunyai pori-pori. Kloroplasnya
mempunyai kantung membran yang disebut tilakoid yang membawa reaksi cahaya untuk
fotosintesis. Kloroplas juga dibungkus oleh membran ganda. Sementara badan golgi tersusun
atas banyak kantung membran (membrane sac) yang disebut sisternae. Flagela tersusun atas
aksonema dari mikrotubula doublet yang dikelilingi oleh dua mikrotubula sentral yang semuanya
dibungkus oleh membran plasma sel (Lee, 1999).
Ada empat kelompok besar algae yang berbeda (gambar 1.). Kelompok pertama terdiri dari
hanya algae prokaryotik, yaitu Cyanophyta (Cyanobacteria). Kelompok kedua terdiri dari algae
eukaryotik dengan kloroplas yang dikelilingi hanya oleh selubung kloroplas (chloroplast
envelope) yang tidak mempunyai retikulum endoplasma kloroplas. Kelompok ini meliputi
Glaucophyta, Rhodophyta dan Chlorophyta. Kelompok ketiga adalah algae yang mempunyai
kloroplas yang dikelilingi oleh satu membran retikulum endoplasma kloroplas. Kelompok ini
meliputi Euglenophyta dan Dinophyta. Kelompok keempat mengandung dua membran retikulum
endoplasma kloroplas yang mengelilingi kloroplas. Kelompok ini meliputi Cryptophyta,
Heterokontophyta (Chrysophyceae, Synurophyceae, Dictyochophyceae, Pelagophyceae,
Bacillariophyceae (Diatom), Raphidophyceae, Xanthophyceae, Eustigmatophyceae dan
Phaeophyceae) dan Prymnesiophyta (Lee, 1999).
A. B.
Gambar 1A (mikroalgae). a.Cryptophyta, b.Xanthophyceae,Raphidophyceae,Chrysophyceae,Phaeophyceae, c.
Bacillariophyceae (Diatom), d.Prymnesiophyta, e.Chlorophyta, f.Dinophyta, g.Euglenophyta, h.Eustigmatophyceae,
i.j. Chlorophyta;1B (makroalgae). Gracilaria arcuata
Tubuh algae disebut thalus. Thalus algae mempunyai mempunyai kisaran dari sel soliter yang
kecil hingga besar dan mempunyai struktur multiselular yang kompleks. Sehingga karakter
morfologi tersebut juga sangat penting dalam menentukan level klasifikasinya. Perbedaan
karakter tersebut meliputi sel soliter yang berflagela, sel berflagela yang berkoloni, sel yang
membentuk agregasi palmeloid, sel yang tidak berflagela yang berkoloni, sel yang bersifat
amuboid dan rhizopodial, dan sel yang membentuk filamen, yang terdiri dari filamen uniseriata
(filamen tunggal) dan multiseriata (filamen jamak/lebih dari satu) (Sze, 1986).
Algae mempunyai peranan penting di habitat air tawar, air laut dan terestrial. Algae yang hidup
di dalam air terbagi menjadi 2 tipe, yaitu planktonik dan bentik. Algae planktonik merupakan
penyusun komunitas fitoplankton di dalam danau, lautan yang terapung bebas dalam badan air
(free-floating). Dalam usaha untuk mendapatkan cukup sinar matahari untuk fotosintesis,
organisme ini harus tetap berada dekat dengan permukaan air (Sze, 1986).
Algae planktonik mempunyai berbagai kemampuan untuk beradaptasi agar dapat tetap
mengapung. Ketersediaan nutrien dan grazing dari hewan-hewan herbivora adalah merupakan
faktor penting dalam mengontrol fitoplankton (Sze, 1986).
Algae bentik berkaitan dengan substrat yang terendam dalam air. Algae bentik yang kecil tidak
terikat kuat dengan substrat, sementara algae bentik besar biasanya terikat erat dengan substrat.
Seluruh thalus mungkin terikat kuat dengan substratnya, tetapi banyak spesies yang mempunyai
organ khusus yang disebut holdfast untuk melekatkan diri ke substrat. Algae dapat tumbuh dalam
non-living substrate atau pada permukaan organism lain yang disebut dengan epifitisme (tumbuh
pada algae lain atau tanaman lain). Tipe-tipe substrat (pasir, batuan, tanaman) akan sangat
penting dalam menentukan kemampuan suatu spesies untuk dapat tumbuh. Ketersediaan cahaya
dan keberadaan herbivora adalah faktor yang penting dalam mengontrol distribusi dari algae
bentik (Sze, 1986).
Algae planktonik biasanya selalu kecil dan ditemukan secara soliter atau dalam koloni,
sementara algae bentik menunjukkan kisaran yang luas dalam ukuran dari sel tunggal sampai
makrofita yang besar. Sehingga seringkali dibedakan antara mikrobentos yang terdiri dari algae
dengan thalus yang sangat kecil yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop dan makroalgae atau
makrofita dengan thalus yang kasap mata. Algae mikrobentik kemungkinan membentuk lapisan
film ketika mereka berjumlah banyak. Makrolagae berbeda dengan tanaman darat yang hanya
mempunyai sedikit atau bahkan jaringan penunjang dan mengambil nutrien dari seluruh bagian
permukaan tubuhnya. Air yang berada disekitarnya akan memberikan buoyancy (kemampuan
untuk mengapung) sehingga mengurangi kebutuhan akan jaringan penunjang, meskipun
beberapa algae besar mempunyai kantung udara (gas-filled bladders). Disamping sebagai
produsen bahan organik dan oksigen, makroalgae juga menjadi habitat atau shelter (tempat
berlindung) bagi organism lain. Dalam lingkungan terestrial, algae biasanya hidup di habitat
yang lembab dan hanya aktif pada saat kelembabannya cukup. Mereka kadangkala membentuk
pertumbuhan yang jelas pada tanah yang basah, pada kulit-kulit pohon, dan pada permukaan
salju. Algae terestrial atau Algae aerial, secara umum mempunyai kemampuan dalam kisaran
lingkungan yang lebih luas daripada algae akuatik. Algae aerial mampu hidup dalam level
cahaya yang tinggi dan harus meminimalisasi evaporasi untuk mengurangi hilangnya air. Fase
bertahan khusus sangat penting untuk bertahan hidup dalam antara kondisi yang tepat untuk
tumbuh (Sze, 1986).
Masing-masing tabung dirancang untuk mendapatkan pencahayaan penuh dari semua sisi.
Penggunaan tabung dengan diameter yang lebih besar dimungkinkan untuk organisme yang
membutuhkan pencahayaan yang kecil, tetapi cara ini dapat mengakibatkan penurunan
pertumbuhan bagi banyak jenis algae. Suspensi algae akan disirkulasikan dengan pompa
sentrifugal dengan laju aliran suspensi bervariasi antara 20 sampai 60 cm/ detik. Laju aliran
suspensi yang tinggi adalah penting untuk mencegah pengendapan sel-sel algae, tetapi harus pula
memperhatikan bahwa laju yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan sel-sel algae.
Pertukaran gas diperlukan untuk menyediakan CO2 dan meniadakan pembentukan oksigen
dilakukan oleh gas-exchange cylinder. Penggunaan CO2 sebaiknya sangat efisien karena laju
suspensi algae adalah menyebar tidak teratur dan aliran akan cenderung mengendap pada dinding
silinder membentuk lapisan film sehingga pertukaran gas akan dengan cepat terjadi.
Temperatur diatur dengan water-jacketed 2 m tube. Temperatur maksimum pada 38°C dapat
dicapai dengan water bath pada suhu 60°C. Iluminasi diberikan dari dua sisi tabung dengan
adjustable panel yang dilengkapi oleh 60 tabung floresen dengan cahaya 10000 lux pada masing-
masing sisi. Pengontrolan partumbuhan dilakukan oleh by pass. Keseluruhan system dapat
disterilisasi dengan live steam dengan tekanan sebesar 0,25 atm (Becker, 1984).
2. Cylindrical bioreactor
Reaktor ini dibuat dari stainless steel yang mempunyai bentuk silindris dengan diameter antara
20 sampai 60 cm dan tinggi antara 30 -100 cm dengan volume antara 20-250 liter (gambar 3.).
Masing bagian dipisahkan oleh dinding setinggi 30 cm dengan banyak lubang yang dapat ditutup
dengan penyumbat (plugs). Bagian dalam dibuat sebagai tempat medium yang akan dipompa
melalui pipa dari bagian ini ke bagian luar. Storage section dapat digunakan untuk menjaga agar
volume total stabil, dan untuk mengumpulkan supernatan medium setelah dipanen dengan
flokulasi atau sedimentasi. Pada bagian lantai atau sepertiga bagian mempunyai gradual slope.
Bagian ini berguna untuk mengeluarkan supernatant dengan membuka lubang yang terletak pada
ketinggian tertentu pada dinding pemisah melalui discharge pipe dari bagian dalam (inner
section) ke bagian luar (outer section), dari dimana suspensi mengaliran balik melalui gravitasi
dalam lapisan tipis. Aliran velositas dapat diatur dengan sejumlah lubang yang dibuka atau
ditutup dalam dinding dalam (inner walls) (Becker, 1984).
5. Sloping ponds
Prinsip dari sistem ini adalah membuat aliran turbulen sementara suspensi algae mengalir
melalui slopping channels atau permukaannya(gambar 5.). Pompa mengembalikan media algae
dari bagian terendah ke bagian atas. Turbulensi diproduksi melalui gravitasi dari kecepatan aliran
dari air yang dihasilkan oleh kemiringan dari permukaan (surface slope). Keuntungan dari sistem
ini, disamping mempunyai pompa dengan kecepatan aliran yang tinggi dan bertekanan rendah,
juga tidak memerlukan mechanical devices (paddle wheels atau impellers) yang dibutuhkan
untuk mencampur medium (medium mixing).
Gambar 5. Sloping ponds
Pada unit inisiasi kultivasi, permukaan arus menurun dibuat dengan dangkal yang diperkuat
dengan resin polyester yang tersusun bertingkat satu dengan yang lain untuk membentuk susunan
lompatan hidrolik. Kultur di-resirkulasi ke bagian yang tertinggi dari bagian yang terendah
dengan pemompaan, sehingga medium tersusun dengan terutama oleh gravitasi dalam lapisan
tipis cairan. Masalah utama dari konstruksi ini adalah gerakan cairan tersebut tidak cukup kuat
untuk menahan sedimentasi dari suspensi algae. Kemiringan yang relatif tinggi membutuhkan
energi yang sangat besar untuk memompa dan aerasi dibuat dengan aliran ke bawah dari kultur
menyebabkan kecepatan disorbsi CO2 yang tinggi dari suspensi. Ada bagian khusus yang
didesain untuk operasi di siang hari dan malam hari. Suspensi dijaga tetap bersirkulasi pada
siang hari saat cukup radiasi sinar matahari. Sementara pada saat malam hari suspensi tetap
berada dalam tangki untuk di-aerasi dan dilakukan pencampuran (Becker, 1984).
7. Pemanenan
Secara umum aspek ekonomi produksi microalgae tergantung pada teknologi yang digunakan
untuk pemanenan dan konsentrasi algae dalam usaha untuk mendapatkan biomassa algae untuk
proses selanjutnya. Pemisahan algae dari medium menghadapi banyak kesulitan, seperti
konsentrasi yang kecil dalam medium, sebagian besar algae mempunyai ukuran yang sangat
kecil dan mempunyai densitas yang hanya sedikit lebih besar daripada air. Sehingga proses
pemanenan tergantung pada tujuan dari penggunaan selanjutnya dari algae yang dipanen. Ada
beberapa metode pemanenan yang sering dipakai, antara lain:
1. Belt filter
Metode ini menggunakan paper-fiber precoat sebagai penyaring medium (filter medium) yang
kemudian ditampung dalam coarse mesh polyester fabric belt (sabuk saringan kasar yang terbuat
dari poliester). Setelah sel-sel algae ditampung pada paper-fiber precoat, kemudian dilakukan
penghilangan air dan dilepaskan dari sabuk (belt). Pelepasan ini dilakukan dengan menyedot
biomassa algae dari sabuk tersebut melalui lubang-lubang kecil (small slits) (gambar 6.) (Becker,
1984).
Daftar Pustaka
Amon, T., Amon B., Kryvoruchko, V. 2007. Methane production through anaerobic digestion of
various energy crops grown in sustainable crop rotations. Bioresource Technology
98:3204-3212
Barbosa, B., Jansen M. Ham N. 2003. Microalgae cultivation in air-lift reactors: modeling
biomass yield and growth rate as a function of mixing frequency. Biotechnology
Bioengineering 82:170-179
Barbosa, B. Hadiyanto, M., Wijffels, R. 2004. Overcoming shear stress of microalgae cultures in
sparged photobioreactors. Biotechnology Biengineering 85:78-85
Becker, E.W. 1994.Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press.
Beemann, J. and Oswald, W. 1996. System and economic analysis of microalgae ponds for
conversion of CO2 to biomass, Final report to the US Department of Energy. Pittsburg
Energy Technology Center.
Biogas prediction. 2007. http://www.energetik-leipzig.de./Biogas/Biogas.htm. accessed 2 Dec
2007
Chisti, Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances 25:294-306
Das, D. and Veziroglu, T.N. 2001. Hydrogen production by biological processes: a survey of
literature. International Journal of Hydrogen Energy 26:13-28
Dayananda, C., Sarada, R. and Usha, R.M. 2007. Autotrophic cultivation of Botrycoccus braunii
for the production of hydrocarbons and exopolysaccharides in various media. Biomass
and Bioenergy 31: 87-93
Eriksen, N., Riisgard F. and Gunther, W. 2007. Online estimation of O2 production, CO2 uptake,
and growth kinetics of microalgal cultures in a gas-tight photobioreactors. Journal of
Applied Phycology 19:161-174
Gaffron, h and Rubin, J. 1942. Fermentive and photochemical production of Hydrogen in algae.
Journal Genetic Physiology 26:219-240
Ghirardi, M.L., Zang, J.P. and Lee, J.W. 2000. Microalgae: a green source of renewable H2.
Trends Biotechnology 18:506-511
Graves, D.A., Tevault, C.V., Greenbaum, E. 1989. Control of photosynthetic reductant-the role
of light and temperature on sustained hydrogen photoevolution by Chlamydomonas sp. In
an anoxic, carbon dioxide-containing atmosphere. Photochemical and Photobiology
50:571-576
Grima, E., Fernandez, F., Camacho, F. 1999. Photobioreactors: light regime, mass transfer and
scale up. Journal of Biotechnology 70:231-247
Gudin, C., and Chaumont, D. 1991. Cell fragility-the key problem of microalgae mass
production in closed photobioreactors. Biological Resource Technology 38: 145-151
Haag, A. 2007. Algae bloom again. Nature 447: 520-521
Hankamer, B. Lehr, F., Rupprecht, J. 2007. Photosynthetic biomass and H2 production: from
bioengineering to bioreactor scale up. Physiological Plantarum 131:10-21
Haris, E.H. 1989. The Chlamydomonas sourcebook: a comprehensive guide to biology and
laboratory use. Academic Press, San Diego
Kim, J., Kang, C., and Park, T., 2006. Enhanced hydrogen production by controlling light
intensity in sulfur-deprived Chlamydomonas reinhardtii. International Journal of
Hydrogen Energy 31: 1585-1590
Lee, R.E. 1999.Phycology. Cambridge University Press.
Melis, a. Zhang, L.P., and Forestier, M. 2000. Sustained photobiological hydrogen gas
production upon reversible inactivation of oxygen evolution in the green algae
Chlamydomonas reinhardtii. Plant Physiology 122: 127-136
Schenk, P.M., Skye, R., Thomas-Hall, Evan, S., Ute, C.M., Jan, H.M., Clemens, P., Olaf, K. and
Ben, H. 2008. Second generation biofuels: high-efficiency microalgae for biodiesel
production. Bioenergy Resources 1: 20-43
Sheehan J., Dunahay, T., and Benemann, J. 1998. A look back at the US Department of Energy’s
Aquatic Species Program-biodiesel from algae. National Renewable Energy Laboratory
Sze, P. 1986.Algae. Wm.C.Brown. Publishers.
VDI. 2004. Vergarung organischer stoffe. In: Verein Deutscher Ingenieure Guidelines 2004,
Guidline VDI 4630, Dusseldorf, Germany
Weliand, P. 2003. Production and energetic use of biogas from energy crops and wastes in
Germany. Applied Biochemical Biotechnology 109: 263-274