Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321667700

Potensi Algae Sebagai Biofuel

Chapter · January 2010

CITATIONS READS
0 2,539

2 authors:

Mudasir Mudasir Eko Suyono


Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
128 PUBLICATIONS   573 CITATIONS    29 PUBLICATIONS   97 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

QCM gas sensors View project

Photocatalytic reduction View project

All content following this page was uploaded by Mudasir Mudasir on 11 January 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Potensi algae sebagai biofuel
Eko Agus Suyono*1*3 dan Mudasir*2*3
*1 Fakultas Biologi UGM
*2 Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, UGM
*3 Pusat Studi Energi, UGM

1. Mengenal algae
Algae adalah merupakan organisme thalophyta, yaitu organism yang tidak mempunyai akar,
batang dan daun sejati yang mempunyai klorofil a sebagai pigmen fotosintetik utama dan tidak
mempunyai sel-sel steril yang melindungi sel-sel reproduktifnya (Lee,1999). Algae tidak
menunjukkan satu kelompok taksonomi yang berdekatan tetapi merupakan kelompok organisme
yang mempunyai keragaman fotosintetik yang saling bertukar hanya sedikit karakteristik (Sze,
1986). Ada dua tipe dasar sel algae, yaitu prokaryotik dan eukaryotic. Prokaryotik sel tidak
mempunyai organela yang ber-membran (plastida, mitokondria, nuklei, badan golgi dan flagela).
Eukaryotik sel dikelilingi dinding sel yang tersusun atas polisakarida dan di bagian dalamnya
mempunyai membran plasma yang mengatur keluar masuknya senyawa dalam protoplasma.
Nukleusnya dikelilingi oleh membran sel ganda yang mempunyai pori-pori. Kloroplasnya
mempunyai kantung membran yang disebut tilakoid yang membawa reaksi cahaya untuk
fotosintesis. Kloroplas juga dibungkus oleh membran ganda. Sementara badan golgi tersusun
atas banyak kantung membran (membrane sac) yang disebut sisternae. Flagela tersusun atas
aksonema dari mikrotubula doublet yang dikelilingi oleh dua mikrotubula sentral yang semuanya
dibungkus oleh membran plasma sel (Lee, 1999).
Ada empat kelompok besar algae yang berbeda (gambar 1.). Kelompok pertama terdiri dari
hanya algae prokaryotik, yaitu Cyanophyta (Cyanobacteria). Kelompok kedua terdiri dari algae
eukaryotik dengan kloroplas yang dikelilingi hanya oleh selubung kloroplas (chloroplast
envelope) yang tidak mempunyai retikulum endoplasma kloroplas. Kelompok ini meliputi
Glaucophyta, Rhodophyta dan Chlorophyta. Kelompok ketiga adalah algae yang mempunyai
kloroplas yang dikelilingi oleh satu membran retikulum endoplasma kloroplas. Kelompok ini
meliputi Euglenophyta dan Dinophyta. Kelompok keempat mengandung dua membran retikulum
endoplasma kloroplas yang mengelilingi kloroplas. Kelompok ini meliputi Cryptophyta,
Heterokontophyta (Chrysophyceae, Synurophyceae, Dictyochophyceae, Pelagophyceae,
Bacillariophyceae (Diatom), Raphidophyceae, Xanthophyceae, Eustigmatophyceae dan
Phaeophyceae) dan Prymnesiophyta (Lee, 1999).

A. B.
Gambar 1A (mikroalgae). a.Cryptophyta, b.Xanthophyceae,Raphidophyceae,Chrysophyceae,Phaeophyceae, c.
Bacillariophyceae (Diatom), d.Prymnesiophyta, e.Chlorophyta, f.Dinophyta, g.Euglenophyta, h.Eustigmatophyceae,
i.j. Chlorophyta;1B (makroalgae). Gracilaria arcuata

Tubuh algae disebut thalus. Thalus algae mempunyai mempunyai kisaran dari sel soliter yang
kecil hingga besar dan mempunyai struktur multiselular yang kompleks. Sehingga karakter
morfologi tersebut juga sangat penting dalam menentukan level klasifikasinya. Perbedaan
karakter tersebut meliputi sel soliter yang berflagela, sel berflagela yang berkoloni, sel yang
membentuk agregasi palmeloid, sel yang tidak berflagela yang berkoloni, sel yang bersifat
amuboid dan rhizopodial, dan sel yang membentuk filamen, yang terdiri dari filamen uniseriata
(filamen tunggal) dan multiseriata (filamen jamak/lebih dari satu) (Sze, 1986).
Algae mempunyai peranan penting di habitat air tawar, air laut dan terestrial. Algae yang hidup
di dalam air terbagi menjadi 2 tipe, yaitu planktonik dan bentik. Algae planktonik merupakan
penyusun komunitas fitoplankton di dalam danau, lautan yang terapung bebas dalam badan air
(free-floating). Dalam usaha untuk mendapatkan cukup sinar matahari untuk fotosintesis,
organisme ini harus tetap berada dekat dengan permukaan air (Sze, 1986).
Algae planktonik mempunyai berbagai kemampuan untuk beradaptasi agar dapat tetap
mengapung. Ketersediaan nutrien dan grazing dari hewan-hewan herbivora adalah merupakan
faktor penting dalam mengontrol fitoplankton (Sze, 1986).
Algae bentik berkaitan dengan substrat yang terendam dalam air. Algae bentik yang kecil tidak
terikat kuat dengan substrat, sementara algae bentik besar biasanya terikat erat dengan substrat.
Seluruh thalus mungkin terikat kuat dengan substratnya, tetapi banyak spesies yang mempunyai
organ khusus yang disebut holdfast untuk melekatkan diri ke substrat. Algae dapat tumbuh dalam
non-living substrate atau pada permukaan organism lain yang disebut dengan epifitisme (tumbuh
pada algae lain atau tanaman lain). Tipe-tipe substrat (pasir, batuan, tanaman) akan sangat
penting dalam menentukan kemampuan suatu spesies untuk dapat tumbuh. Ketersediaan cahaya
dan keberadaan herbivora adalah faktor yang penting dalam mengontrol distribusi dari algae
bentik (Sze, 1986).
Algae planktonik biasanya selalu kecil dan ditemukan secara soliter atau dalam koloni,
sementara algae bentik menunjukkan kisaran yang luas dalam ukuran dari sel tunggal sampai
makrofita yang besar. Sehingga seringkali dibedakan antara mikrobentos yang terdiri dari algae
dengan thalus yang sangat kecil yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop dan makroalgae atau
makrofita dengan thalus yang kasap mata. Algae mikrobentik kemungkinan membentuk lapisan
film ketika mereka berjumlah banyak. Makrolagae berbeda dengan tanaman darat yang hanya
mempunyai sedikit atau bahkan jaringan penunjang dan mengambil nutrien dari seluruh bagian
permukaan tubuhnya. Air yang berada disekitarnya akan memberikan buoyancy (kemampuan
untuk mengapung) sehingga mengurangi kebutuhan akan jaringan penunjang, meskipun
beberapa algae besar mempunyai kantung udara (gas-filled bladders). Disamping sebagai
produsen bahan organik dan oksigen, makroalgae juga menjadi habitat atau shelter (tempat
berlindung) bagi organism lain. Dalam lingkungan terestrial, algae biasanya hidup di habitat
yang lembab dan hanya aktif pada saat kelembabannya cukup. Mereka kadangkala membentuk
pertumbuhan yang jelas pada tanah yang basah, pada kulit-kulit pohon, dan pada permukaan
salju. Algae terestrial atau Algae aerial, secara umum mempunyai kemampuan dalam kisaran
lingkungan yang lebih luas daripada algae akuatik. Algae aerial mampu hidup dalam level
cahaya yang tinggi dan harus meminimalisasi evaporasi untuk mengurangi hilangnya air. Fase
bertahan khusus sangat penting untuk bertahan hidup dalam antara kondisi yang tepat untuk
tumbuh (Sze, 1986).

2. Potensi algae untuk biofuel


Produksi biodiesel dari algae adalah merupakan cara yang paling efisien untuk memproduksi
biofuel. Kelebihan utama dari sistem ini adalah mempunyai efisiensi dalam mengkonservasi
foton yang lebih tinggi (kenyataan dari kenaikan produksi biomas per hektar), dapat dipanen
hampir sepanjang tahun sehingga menunjukkan adanya keberlangsungan ketersediaan bahan
bakar, dapat menggunakan air laut dan air limbah sehingga mengurangi penggunaan air tawar,
dapat mensinergikan antara produksi bahan bakar yang bersifat CO2-neutral dan usaha
penyerapan CO2, memproduksi biofuel yang non toksik dan mempunyai kemampuan
biodegradable tinggi (Schenk et al.,2008).
Mikroalgae mempunyai kemampuan untuk memproduksi selulosa, tepung, dan minyak secara
efisien dan dalam jumlah yang besar (Seehan et.al., 1998). Beberapa mikroalgae dan
Cyanobacteria dapat memproduksi biohidrogen dalam kondisi anaerobik (Melis et al., 1999) dan
proses fermentasinya dapat menghasilkan metan (Schenk et al.,2008). Mikroalgae telah
dilaporkan mampu memproduksi biodiesel 15-300 kali lebih banyak daripada tanaman semusim
lain pada area tertentu. Selanjutnya, dibandingkan dengan tanaman semusim yang biasanya
dipanen satu sampai dua kali per tahun, mikroalgae dapat dipanen dalam waktu yang sangat
singkat (1 sampai 10 hari tergantung pada proses), dan bahkan dapat dilakukan pemanenan
berkali-kali (multiple) dan terus menerus (continuous) dengan kenaikan produksi yang sangat
tinggi. Kemampuan untuk menangkap dan meng-konversi cahaya yang besar akan berperan
dalam mengurangi input dari pupuk dan nutrien sehingga akan mengurangi limbah dan polusi.
Penggunaan air limbah untuk kultivasi algae dapat juga merupakan pilihan (Mallick, 2002).
Selanjutnya budidaya algae dapat dilakukan di daerah marginal atau lahan tidak produktif
sehingga dapat mengurangi kompetisi dalam penggunakan lahan produktif dan membuka
kesempatan ekonomi baru untuk daerah kering atau yang terkena intrusi garam. Selanjutnya,
sementara tanaman semusim membutuhkan sejumlah besar air tawar, kultur algae dapat
menggunakan air tawar dengan jumlah yang jauh lebih sedikit serta dapat meminimalisasi
evaporasi melalui penggunaan sistem bioreaktor tertutup, terutama dengan penggunaan strain-
strain microalgae air laut dan halofilik (tahan terhadap kadar tinggi). Biomasa mikroalgae yang
dihasilkan dari bioreaktor dapat dibuat gas dan dipirolisasi untuk menghasilkan biofuel sebagai
bagian dari strategi penyerapan CO2. Dengan metode ini, limbah organisme hasil rekayasa
genetik (Genetic Modified Organism) dapat juga diolah sebagai salah satu langkah sadar
lingkungan. Biomasa dari pelet yang kaya karbon dapat disimpan sebagai bagian dari strategi
penyerapan karbon karena dapat menggunakan CO2 dari pembangkit listrik sebagai input untuk
produksi biomasa. Aspek penting lainnya dari penggunaan mikroalgae adalah penggunaan
bioteknologi untuk meningkatkan kemampuan strain-strain potensial. Aspek ini menjanjikan
peningkatan produksi dengan rekayasa metobolik (Schenk et al.,2008).
3. Fisibilitas ekonomi biodiesel dari mikroalgae
Sistem mikroalgae diprediksi oleh banyak ahli dan penentu kebijakan akan memegang peranan
penting untuk masa depan keberlanjutan lingkungan yang bersih karena kelebihan-kelebihannya.
Kelebihan-kelebihan tersebut bahwa produksi per hektarnya 15 kali lebih tinggi daripada sawit
yang merupakan produsen bahan bakar terbesar dan kemampuan untuk tumbuh pada lahan yang
tidak produktif sehingga mengurangi kompetisi lahan dengan tanaman pangan. Sistem produksi
algae dikenal sangat efisien dalam memproduksi biomasa untuk bahan bakar dan kemungkinan
kemajuan pengembangan akan ditemukan dalam waktu dekat. Sebagai contoh, algae sudah dapat
direkayasa untuk meningkatkan efisiensi fotosintesisnya akibat peningkatan penetrasi cahaya dan
pengurangan fluoresensi dan kehilangan panas (Schenk et al.,2008).
Sejumlah studi dalam usaha untuk menghitung biaya produksi minyak dari algae dalam skala
besar (farm). Analisis komprehensif dan road map yang baik untuk membangun sistem tersebut
diestimasikan mempunyai kisaran antara $39-$69 US/barel, apabila dihitung inflasi sampai tahun
2008 berkisar antara $52-$91 US/barel. Estimasi ini berdasarkan pada kolam terbuka seluas 400
hektar, menggunakan CO2 murni atau aliran gas dari pembangkit listrik batu bara dan
mempunyai produktifitas sebesar 30-60 g/m2/hari dengan produksi lipid sebesar 50%. Analisis
terbaru (83) mengestimasikan bahwa biaya produksi minyak algae adalah $84 US/barel.
Skenario ini didasarkan pada asumsi biaya infrastruktur oleh Benemann & Oswald yang
menggunakan sistem hibrid dengan produktifitas aerial sebesar 70,4 g/m2/hari dan menghasilkan
35% minyak algae. Meskipun industri komersial tidak se-optimis perhitungan tersebut, tetapi
Seambiotic Ltd. (Israel) mempunyai perhitungan yang mendekati perhitungan di atas. Estimasi
biaya produksi dari algae kering adalah $0,34 US/kg (3). Produktifitasnya adalah 20 g/m 2/hari
dan kandungan lipid totalnya berkisar antara 8-20%. Mengambil asumsi apabila rata-rata
produksi lipid adalah 24%, tidak ada biaya lanjut dalam ekstraksi, kemudian harga lipid adalah
$1,42 US/kg maka biaya yang dibutuhkan adalah $209 US/barel. Jika lebih optimis, pada
produksi lipid sebesar 40%, harga lipid adalah $0,85 US/k,g maka biaya yang dibutuhkan adalah
$126 US/barel. Sehingga apabila harga minyak stabil pada $90 per barel mark, beberapa dari
asumsi di atas menunjukkan bahwa produksi biodiesel dari mikroalgae tersebut sudah ekonomis
(economically viable). Kenyataan di lapangan, ada potensi untuk mengurangi biaya dengan cara
meningkatkan efisiensi melalui peningkatan kualitas kultivasi dan penggunaan teknik molekular
untuk meningkatkan produksi mikroalgae. Disamping itu, dapat melakukan peningkatan
optimasi dari bioreaktor, seperti mengefisiensikan penggunaan nutrien yang merupakan salah
satu sumber biaya yang terbesar (Schenk et al.,2008).

4. Produksi biohidrogen dari algae


Mikroalgae untuk produksi photo-biological hydrogen dari air sedang dikembangkan menjadi
sesuatu yang sangat menjanjikan dan berpotensi memberikan arah bahan bakar yang bebas emisi
yang bersinergi dengan strategi penyerapan CO2. Produksi biohidrogen dari mikroalgae sudah
diketahui lebih dari 65 tahun yang lalu dan penemuan pertama dilakukan pada alga hijau
Scenedesmus obliquus (Gaffron and Rubin, 1942) dan kemudian diidentifikasi pada banyak
spesies fotosintetik termasuk Cyanobacteria (Das and Veziroglu, 2001). Kebanyakan studi pada
produksi hidrogen dari algae adalah menggunakan alga hijau Chlamydomonas reinhardtii,
sebagai organisme model untuk penelitian tentang fotosintesis (Harris, 1989), melalui siklus
aerobik-anaerobik yang dikembangkan oleh Melis dan rekan-rekannya tahun 2000 (Ghirardi et
al., 2000). Proses H2 adalah menarik karena proses ini menggunakan cahaya matahari untuk
mengkonversi air menjadi hidrogen dan oksigen, yang dibebaskan dalam 2 fase melalui reaksi
berikut:
H2O  2H+ + 2e- + 1/2 O2
2H+ + 2e- - H2
Reaksi pertama ditemukan dalam semua organisme fotosintetik oksigen sementara reaksi kedua
adalah dimediasi oleh senyawa besi khusus yang mengandung enzim chloroplast-hydrogenase
dan terdapat pada mikroalgae tertentu. Cyanobacteria juga mempunyai kemampuan untuk
memproduksi H2 dari air tetapi menggunakan proses biokimia alternatif. Di bawah cahaya
normal dan kondisi aerobik, H+ dan e- dari reaksi pemisahan air dalam fotosintesis digunakan
untuk mensintesis ATP dan NADPH (Schenk et al.,2008).
Reaksi kedua ditemukan di bawah kondisi anaerobik. Dalam keadaan ketiadaan O2 baik produksi
ATP dengan fosforilasi aksidatif dan pembentukan NADH/NADPH akan dihambat. Di bawah
kondisi tersebut, mikroalgae tertentu seperti C. reinhardtii mengulangi (reroute) penyimpanan
energi dalam bentuk karbohidrat seperti tepung ke chloroplast hydrogenase (63,111) untuk
memfasilitasi produksi ATP melalui fosforilasi dan menjaga rantai transport elektron dari
reduksi berlebihan (over-reduction). Kemudian, hydrogenase bersama dengan berbagai proses
fermentasi bertindak sebagai katup pembebas proton/elektron dengan mengkombinasikan proton
dari medium dan e- dari feredoksin yang tereduksi untuk memproduksi gas hidrogen yang
diekskresikan dari sel. C. reinhardtii kemudian memberikan dasar untuk produksi solar-driven
bio-H2 dari air dan dapat juga menggunakan proses fermentasi lain. Keuntungan utama dari
produksi hidrogen adalah hidrogen tidak terakumulasi dalam kultur tetapi cepat dibebaskan ke
dalam fase gas, tidak seperti produk fermentasi lain, yang dapat memberikan efek toksik pada
sel. Perkembangan yang terbaru telah menghasilkan peningkatan efisiensi dalam produksi
biohidrogen dari algae. Sebagai contoh adalah dihasilkannya strain-strain mutan yang mampu
meningkatkan cadangan tepung dan menghambat aliran siklus elektron sekitar PS1 (Stm6) dan
dengan meningkatkan penyediaan glukosa secara eksternal (Stm6glc4) (Schenk et al., 2008).
Untuk meningkatkan kemampuan ekonomis dari sistem produksi H2, aliran metabolit (metabolite
flux) ke H2 akan harus di optimasi lebih lanjut melalui rekayasa biologi dan dengan optimasi
proses yang berkaitan dengan sistem bioreaktor. Rekayasa biologi termasuk pendekatan untuk
meningkatkan laju efisiensi konversi foton dari ~1% ke laju profit ekonomi sebesar ~7%
(Hankamer et al., 2007). Produksi biohidrogen dari algae dapat dikombinasikan dengan proses
desalinasi, meskipun laju produksinya masih rendah. Algae laut dan halofilik dapat mengekstrak
hidrogen (sebagai proton dan elektron) dan oksigen dari air laut dan memicu penggabungan
hidrogen dan oksigen, sehingga dihasilkan air tawar. Konsekuensi dari pemakaian sel-sel bahan
bakar stasioner yang menggunakan hidrogen dan oksigen untuk menghasilkan listrik ke dalam
kerangka nasional, akan mendorong produksi energi yang dikombinasikan dengan desalinasi.
Meskipun produksi air tawar tidak besar, tetap setidaknya menghasilkan air tawar dari algae
yang tidak mungkin dilakukan apabila menggunakan tanaman semusim sebagai sumber bahan
bakar nabati. Produksi air akan langsung terkait dengan produksi H2. Pada cahaya 1% untuk
efisiensi H2, studi fisibilitas mengindikasikan kesuksesan proses pengembangan, 1 juta liter
fasilitas photo-bioreactor dapat memproduksi sampai 610 m3 (610.000 liter) air tawar per tahun.
Biohidrogen adalah sangat unik diantara biofuel yang lain karena bebas karbon (carbon-free).
Sehingga selama produksi H2, sebagian besar karbon terserap selama fase aerobik karena tetap
dalam residu biomasa sampai akhir proses. Dengan mengkonversikan biomasa ini ke Agri-char,
Produksi bahan bahan bakar H2 sangat mungkin untuk dikombinasikan dengan proyek
penyerapan CO2 industri dan atmosfer. Skema perdagangan karbon yang menjadi isu
internasional, akan memberikan nilai tambah yang besar dalam keseluruhan proses biohidrogen
(Schenk et al., 2008).
5. Produksi biometan dari algae
Produksi biogas dari biomasa semakin penting akhir-akhir ini. Studi terbaru dari Institut fur
Energetik und Umwelt Leipzig memprediksikan kebutuhan metan semakin meningkat di Eropa
yang akan terpenuhi oleh biogas (Biogas Prediction, 2007). Tetapi, pengetahuan tentang proses
biologi dalam fasilitas produksi biogas masih terbatas sekarang ini; sehingga riset dalam bidang
ini masih diperlukan dan penting untuk meningkatkan proses produksi biometan. Biometan dapat
dibuat dari berbagai macam biomas tanaman dan juga limbah tanaman (Schenk et al.,2008).
Faktor keterbatasan utama dalam pertumbuhan produksi biometan ke depan adalah sumber
tanaman yang berasal dari biomas yang tumbuh dari proses fotosintetik. Sekarang ini, 500 kW
pabrik biometan membutuhkan sekitar 10.000 – 12.000 ton biomas dari tanaman (feedstock) per
tahun. Telah dilaporkan (Amon et al., 2007) bahwa penggunaan tanaman biji-bijian (cereals) dan
bunga matahari (sunflowers) mampu memproduksi sekitar 2.000 – 4.500 m3 per tahun. Produksi
dari jagung adalah lebih tinggi dan bervariasi tergantung dari spesies dan waktu panen, mampu
memproduksi sekitar 5.700-12.400 per tahun per hektar (Weiland, 2003).
Mikroalgae menjadi fokus perhatian karena efisiensi dari produksi biomasanya per hektar yang
diestimasi mencapai 5-30 kali dari tanaman semusim (crop plants) (Seehan et al., 1998).
Tingginya kandungan lipid, tepung dan protein dan tidak adanya lignin yang tidak dapat
difermentasi dengan mudah, menjadikan mikroalgae adalah kandidat yang ideal untuk produksi
biometan yang efisien dengan fermentasi dalam pabrik biogas. Sama dengan biodiesel, lemak
memegang peranan penting, karena kapasitas konversinya ke dalam metan adalah lebih tinggi
(1390 liter biogas (72% CH4, 28% CO2) per kg bahan organik kering) daripada protein (800 liter
biogas (60% CH4, 40%CO2) per kg bahan organik kering) dan karbohidrat (746 liter biogas
(50% CH4, 50% CO2) per kg bahan organik kering). (VDI, 2004)
Dengan menggunakan bioreaktor alga tertutup yang sangat tinggi efisiensinya, mikrolagae kini
dapat tumbuh dalam jumlah yang sangar besar (150-300 ton per hektar per tahun) (Chisty, 2007).
Jumlah biomasa ini dapat secara teoritis memproduksi 200.000 – 400.000 m3 metan per hektar
per tahun. Namun demikian, produksi biometan dari microalgae tidak se-kompetitif produksi
biometan dari jagung atau tanaman semusim lain (crop plants) lain, karena produksi biomasanya
relatif mahal (kasus di Jerman, harga alga hijau Chlorella vulgaris adalah lebih mahal 100 kali
dari jagung), dan kapasitas produksinya adalah terlalu rendah untuk memenuhi kebutuhan pabrik
biogas komersial. Namun demikian, pengembangan sistem pemurnian yang efisien sudah
dilakukan dan menuju ke pembuatan percontohan (pilot project) di Austria (paten no
AT411332B (2003)) dan Jerman (paten no 304 26 097 – BCM method (20060)) (Schenk et
al.,2008).

6. Sistem kultivasi algae


Sistem kolam terbuka dan bioreaktor tertutup sudah mencapai viabilitas secara ekonomi dalam
memproduksi produk-produk bernilai tinggi seperti astaxantin dan nutraseutikal. Namun margin
ekonomi untuk produksi biofuel karena nilai pasar (market value) masih relative rendah.
Optimalisasi produksi biomas menjadi pusat perhatian untuk meningkatkan nilai ekonomi
produksi biofuel (Haag, 2007; Hankamer et al., 2007) dan hal ini membutuhkan optimalisasi
system kultivasi.Faktor-faktor yang yang berpengaruh terhadap optimalisasi kultur adalah
temperatur (Cho et al., 2007), percampuran (mixing) (Barbosa et al., 2003), dinamika fluida dan
gangguan hidrodinamik, distribusi dan ukuran gelembung udara (gas bubble) (Barbosa et al.,
2004), pertukaran udara (gas exchange)(Eriksen et al., 2007), transfer massa (Grima et al.,
1999), intensitas dan siklus cahaya (Kim et al., 2006), kualitas air, pH, salinitas (Abu-Rezq et al.,
1999), mineral dan regulasi karbon/bioaviability, kerentaan sel (cell fragility)(Gudin and
Chaumont, 1991), densitas sel dan penghambatan pertumbuhan(Benemann and Oswald, 1996).
Sebagian besar riset tentang pertumbuhan algae dan hubungannya dengan nutrisi biasanya meng-
aplikasikan kondisi dimana algae hidup di lingkungannya dan bagaimana peran algae dalam
ekosistemnya. Padahal, sistem produksi algae membutuhkan pertumbuhan biomassa secara
maksimal dengan densitas sel yang sangat tinggi. Pemahaman yang lebih baik terhadap prinsip-
prinsip fisika dan desain bioreaktor telah menghasilkan densitas sel yang diinginkan (Graves et
al., 1989). Formulasi media yang optimal juga merupakan hal yang penting untuk memastikan
kecukupan dan stabilitas penyediaan nutrien untuk mencapai percepatan pertumbuhan dan
densitas sel yang maksimal, dan usaha untuk memproduksi biofuel dengan efisienssi yang lebih
tinggi (Dayananda et al., 2005). Produksi alga dapat merupakan proses multifase dengan masing-
masing langkah mempunyai kondisi optimal yang independen seperti pengurangan nitrogen
untuk produksi minyak atau pengurangan sulfur dalam produksi H2. Dalam sistem kultivasi algae
berskala besar setidaknya ada 2 metode, yaitu sistem biorekator tertutup (closed bioreactor) dan
kolam terbuka (open pond) (Becker, 1994).
1. Closed tubular system
Sistem ini dibuat untuk tujuan khusus. Produk yang bernilai tinggi dan dibutuhkan untuk pabrik
yang membutuhkan kualitas kultur yang baik, sehingga diperlukan reaktor yang steril atau
setidaknya dapat mengontrol reaktor tetap berada dalam kultur unialgae (single strain).
Keuntungan dari sistem ini adalah dapat mencegah adanya kontaminasi yang sulit dilakukan di
open pond system. Selanjutnya, pada sistem ini akan mendapatkan masukkan CO2 yang lebih
baik, disamping terkontrolnya temperatur, pencahayaan dan faktor fisik yang lain. Juttner (1982)
mendesain system biorekator tubular dengan menggunakan 110 1 unit (110 tabung yang saling
berhubungan dalam 1 unit) tabung kaca yang sangat panjang dengan diameter dalamnya sebesar
40 mm dengan total panjang 79 meter (gambar 2.).

Gambar 2. Closed tubular reactor


Keterangan: A. Filter CO2/ udara, C.entrance port , D.baffle plate, E. outlet vent, F.gas exchange cylinder,
G.perlator, H.stainless steel tube with rubber septum, I.valve, K.centrifugal pump, L.corner valve, M.water jacketed
tube, N. medium supply vessel, O.distilling vessel dan steam generator, P.supply vessel, R.valve, S.centrifuge,
T.inlet, U.cooling coil, V.heated air filter, W.safety valve, Z. automatic valve for deinozed water

Masing-masing tabung dirancang untuk mendapatkan pencahayaan penuh dari semua sisi.
Penggunaan tabung dengan diameter yang lebih besar dimungkinkan untuk organisme yang
membutuhkan pencahayaan yang kecil, tetapi cara ini dapat mengakibatkan penurunan
pertumbuhan bagi banyak jenis algae. Suspensi algae akan disirkulasikan dengan pompa
sentrifugal dengan laju aliran suspensi bervariasi antara 20 sampai 60 cm/ detik. Laju aliran
suspensi yang tinggi adalah penting untuk mencegah pengendapan sel-sel algae, tetapi harus pula
memperhatikan bahwa laju yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan sel-sel algae.
Pertukaran gas diperlukan untuk menyediakan CO2 dan meniadakan pembentukan oksigen
dilakukan oleh gas-exchange cylinder. Penggunaan CO2 sebaiknya sangat efisien karena laju
suspensi algae adalah menyebar tidak teratur dan aliran akan cenderung mengendap pada dinding
silinder membentuk lapisan film sehingga pertukaran gas akan dengan cepat terjadi.
Temperatur diatur dengan water-jacketed 2 m tube. Temperatur maksimum pada 38°C dapat
dicapai dengan water bath pada suhu 60°C. Iluminasi diberikan dari dua sisi tabung dengan
adjustable panel yang dilengkapi oleh 60 tabung floresen dengan cahaya 10000 lux pada masing-
masing sisi. Pengontrolan partumbuhan dilakukan oleh by pass. Keseluruhan system dapat
disterilisasi dengan live steam dengan tekanan sebesar 0,25 atm (Becker, 1984).

2. Cylindrical bioreactor
Reaktor ini dibuat dari stainless steel yang mempunyai bentuk silindris dengan diameter antara
20 sampai 60 cm dan tinggi antara 30 -100 cm dengan volume antara 20-250 liter (gambar 3.).

Gambar 3. Cylindrical bioreactor


Pada bagian atas ditutup oleh penutup baja yang pipih (flat steel lid) dan bagian lebih bawah
(sekitar 1/3) ditutup oleh double walled steel cylinder yang menjadikan air dapat disirkulasikan
untuk menjaga temperatur agar tetap konstan. Sebagian besar reaktor dilengkapi dengan internal
illumination system. Pipa transparan disisipkan ke dalam silinder dari bagian atas melalui lubang
pada penutup (flat steel lid) yang mengikat tabung-tabung fluoresen (fluorescence tubes),
sehingga akan lebih mudah untuk diambil tanpa membuka reaktor. Setelah inokulasi, suspensi
algae diagitasi oleh stirrer dengan T-shaped multifunctional device yang terletak pada tengah
tabung dengan 2 atau 4 blades. Udara steril yang diperkaya dengan CO2 dilewatkan melalui
bagian tengan tabung ke dalam blades dimana penetrasi ke dalam medium dilakukan melalui
lubang kapiler (Becker, 1984).
3. Circular ponds
Selama tahap awal dari produksi algae skala besar, sistem ini mempunyai diameter sampai 45
meter, beberapa diantaranya ditutup oleh glass domes (gambar 4.2a). Sistem sirkular ini
mempunyai banyak kerugian sebab membutuhkan biaya konstruksi yang mahal dan
mengkonsumsi energi yang besar selama stirring (pengadukan) meskipun turbulensinya rendah
pada bagian tengah dari kolam. Selanjutnya, problem teknik dalam mengontrol pergerakan dari
stirring device dan menyediakan CO2 ke dalam kultur. Dan akhirnya, terjadi ketidakefisiensian
dalam penggunaan lahan (Becker, 1984).
4. Oblong ponds
Salah satu contoh sistem ini adalah kolam elips dengan total area 95m2 dengan kapasitas sekitar
12000 liter (gambar 4.2b.).
Sistem ini didesain untuk dipanen melalui metode flokulasi. Kolam dibagi menjadi 4 bagian,
central sump pit, central storage, inner dan outer culture circulation.

Gambar 4. Circular ponds, Oblong ponds


Keterangan:

Masing bagian dipisahkan oleh dinding setinggi 30 cm dengan banyak lubang yang dapat ditutup
dengan penyumbat (plugs). Bagian dalam dibuat sebagai tempat medium yang akan dipompa
melalui pipa dari bagian ini ke bagian luar. Storage section dapat digunakan untuk menjaga agar
volume total stabil, dan untuk mengumpulkan supernatan medium setelah dipanen dengan
flokulasi atau sedimentasi. Pada bagian lantai atau sepertiga bagian mempunyai gradual slope.
Bagian ini berguna untuk mengeluarkan supernatant dengan membuka lubang yang terletak pada
ketinggian tertentu pada dinding pemisah melalui discharge pipe dari bagian dalam (inner
section) ke bagian luar (outer section), dari dimana suspensi mengaliran balik melalui gravitasi
dalam lapisan tipis. Aliran velositas dapat diatur dengan sejumlah lubang yang dibuka atau
ditutup dalam dinding dalam (inner walls) (Becker, 1984).
5. Sloping ponds
Prinsip dari sistem ini adalah membuat aliran turbulen sementara suspensi algae mengalir
melalui slopping channels atau permukaannya(gambar 5.). Pompa mengembalikan media algae
dari bagian terendah ke bagian atas. Turbulensi diproduksi melalui gravitasi dari kecepatan aliran
dari air yang dihasilkan oleh kemiringan dari permukaan (surface slope). Keuntungan dari sistem
ini, disamping mempunyai pompa dengan kecepatan aliran yang tinggi dan bertekanan rendah,
juga tidak memerlukan mechanical devices (paddle wheels atau impellers) yang dibutuhkan
untuk mencampur medium (medium mixing).
Gambar 5. Sloping ponds
Pada unit inisiasi kultivasi, permukaan arus menurun dibuat dengan dangkal yang diperkuat
dengan resin polyester yang tersusun bertingkat satu dengan yang lain untuk membentuk susunan
lompatan hidrolik. Kultur di-resirkulasi ke bagian yang tertinggi dari bagian yang terendah
dengan pemompaan, sehingga medium tersusun dengan terutama oleh gravitasi dalam lapisan
tipis cairan. Masalah utama dari konstruksi ini adalah gerakan cairan tersebut tidak cukup kuat
untuk menahan sedimentasi dari suspensi algae. Kemiringan yang relatif tinggi membutuhkan
energi yang sangat besar untuk memompa dan aerasi dibuat dengan aliran ke bawah dari kultur
menyebabkan kecepatan disorbsi CO2 yang tinggi dari suspensi. Ada bagian khusus yang
didesain untuk operasi di siang hari dan malam hari. Suspensi dijaga tetap bersirkulasi pada
siang hari saat cukup radiasi sinar matahari. Sementara pada saat malam hari suspensi tetap
berada dalam tangki untuk di-aerasi dan dilakukan pencampuran (Becker, 1984).

7. Pemanenan
Secara umum aspek ekonomi produksi microalgae tergantung pada teknologi yang digunakan
untuk pemanenan dan konsentrasi algae dalam usaha untuk mendapatkan biomassa algae untuk
proses selanjutnya. Pemisahan algae dari medium menghadapi banyak kesulitan, seperti
konsentrasi yang kecil dalam medium, sebagian besar algae mempunyai ukuran yang sangat
kecil dan mempunyai densitas yang hanya sedikit lebih besar daripada air. Sehingga proses
pemanenan tergantung pada tujuan dari penggunaan selanjutnya dari algae yang dipanen. Ada
beberapa metode pemanenan yang sering dipakai, antara lain:
1. Belt filter
Metode ini menggunakan paper-fiber precoat sebagai penyaring medium (filter medium) yang
kemudian ditampung dalam coarse mesh polyester fabric belt (sabuk saringan kasar yang terbuat
dari poliester). Setelah sel-sel algae ditampung pada paper-fiber precoat, kemudian dilakukan
penghilangan air dan dilepaskan dari sabuk (belt). Pelepasan ini dilakukan dengan menyedot
biomassa algae dari sabuk tersebut melalui lubang-lubang kecil (small slits) (gambar 6.) (Becker,
1984).

Gambar 6. Belt filter


2. Vacuum drum-filter
Prinsip operasi dari alat ini dengan mengisikan sekitar bagian bawah dari filter drum dengan
suspensi tepung (kentang atau jagung) setebal 2-3 cm. Dengan adanya vacuum di dalam drum
dan pemutaran drum, maka suspensi algae akan menempel pada lapisan tepung tersebut.
Selanjutnya, menggunakan blades yang bergerak mengikuti pergerakan drum, lapisan supensi
algae yang menempel pada lapisan tepung akan terambil untuk didapatkan biomassanya (gambar
7.) (Becker, 1984).

Gambar 7. Vacuum drum-filter


3. Flocculation
Selama fase pertumbuhan logaritmik dari sel-sel algae, muatan negatifnya tinggi dan sulit untuk
dinetralisasi sehingga sel-sel algae tersebut tetap tersebar. Tetapi dengan berjalannya waktu sel-
sel algae mengalami penurunan pertumbuhan, muatan negatifnya akan berkurang dan sel-sel
tersebut cenderung berkelompok dan mengendap, proses ini disebut autoflokulasi. Karena proses
autoflokulasi hanya terjadi pada kondisi tertentu dan sulit diprediksinya kondisi lingkungan yang
menyebabkannya, maka dikembangkan metode untuk menginisiasi sedimentasi dengan
menggunakan berbagai macam flokulan. Flokulan yang sering dipakai adalah polikation seperti
garam-garam aluminium dan besi. Tetapi residu flokulan metal tersebut kemungkinan
menyebabkan masalah toksisitas. Sehingga direkomendasikan untuk menggunakan flokulan
yang aman seperti derivat tepung kentang chitosan atau flokulan sintetis (Becker, 1984).
4. Dissolved air flotation
Prinsip dari metode ini adalah membiarkan gelembung-gelembung udara untuk membawa
partikel padat (sel-sel algae) di dalam suspensi untuk menuju ke permukaan pada tanki terbuka
dimana akan diambil dengan skimming (gambar 8.). Metode ini lebih efisien daripada mengambil
endapan sel-sel algae dari sedimentasi pada bagian dasar tanki. Proses ini dapat dicapai sampai
konsentrasi suspensi 7% (Becker, 1984).

Gambar 8. Dissolved air flotation


5. Centrifugation
Metode ini adalah yang paling sederhana dan bebas dari flokulan atau senyawa kimia lainnya,
tetapi biaya investasi dan perawatannya relatif tinggi (Becker, 1984).

Daftar Pustaka
Amon, T., Amon B., Kryvoruchko, V. 2007. Methane production through anaerobic digestion of
various energy crops grown in sustainable crop rotations. Bioresource Technology
98:3204-3212
Barbosa, B., Jansen M. Ham N. 2003. Microalgae cultivation in air-lift reactors: modeling
biomass yield and growth rate as a function of mixing frequency. Biotechnology
Bioengineering 82:170-179
Barbosa, B. Hadiyanto, M., Wijffels, R. 2004. Overcoming shear stress of microalgae cultures in
sparged photobioreactors. Biotechnology Biengineering 85:78-85
Becker, E.W. 1994.Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press.
Beemann, J. and Oswald, W. 1996. System and economic analysis of microalgae ponds for
conversion of CO2 to biomass, Final report to the US Department of Energy. Pittsburg
Energy Technology Center.
Biogas prediction. 2007. http://www.energetik-leipzig.de./Biogas/Biogas.htm. accessed 2 Dec
2007
Chisti, Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances 25:294-306
Das, D. and Veziroglu, T.N. 2001. Hydrogen production by biological processes: a survey of
literature. International Journal of Hydrogen Energy 26:13-28
Dayananda, C., Sarada, R. and Usha, R.M. 2007. Autotrophic cultivation of Botrycoccus braunii
for the production of hydrocarbons and exopolysaccharides in various media. Biomass
and Bioenergy 31: 87-93
Eriksen, N., Riisgard F. and Gunther, W. 2007. Online estimation of O2 production, CO2 uptake,
and growth kinetics of microalgal cultures in a gas-tight photobioreactors. Journal of
Applied Phycology 19:161-174
Gaffron, h and Rubin, J. 1942. Fermentive and photochemical production of Hydrogen in algae.
Journal Genetic Physiology 26:219-240
Ghirardi, M.L., Zang, J.P. and Lee, J.W. 2000. Microalgae: a green source of renewable H2.
Trends Biotechnology 18:506-511
Graves, D.A., Tevault, C.V., Greenbaum, E. 1989. Control of photosynthetic reductant-the role
of light and temperature on sustained hydrogen photoevolution by Chlamydomonas sp. In
an anoxic, carbon dioxide-containing atmosphere. Photochemical and Photobiology
50:571-576
Grima, E., Fernandez, F., Camacho, F. 1999. Photobioreactors: light regime, mass transfer and
scale up. Journal of Biotechnology 70:231-247
Gudin, C., and Chaumont, D. 1991. Cell fragility-the key problem of microalgae mass
production in closed photobioreactors. Biological Resource Technology 38: 145-151
Haag, A. 2007. Algae bloom again. Nature 447: 520-521
Hankamer, B. Lehr, F., Rupprecht, J. 2007. Photosynthetic biomass and H2 production: from
bioengineering to bioreactor scale up. Physiological Plantarum 131:10-21
Haris, E.H. 1989. The Chlamydomonas sourcebook: a comprehensive guide to biology and
laboratory use. Academic Press, San Diego
Kim, J., Kang, C., and Park, T., 2006. Enhanced hydrogen production by controlling light
intensity in sulfur-deprived Chlamydomonas reinhardtii. International Journal of
Hydrogen Energy 31: 1585-1590
Lee, R.E. 1999.Phycology. Cambridge University Press.
Melis, a. Zhang, L.P., and Forestier, M. 2000. Sustained photobiological hydrogen gas
production upon reversible inactivation of oxygen evolution in the green algae
Chlamydomonas reinhardtii. Plant Physiology 122: 127-136
Schenk, P.M., Skye, R., Thomas-Hall, Evan, S., Ute, C.M., Jan, H.M., Clemens, P., Olaf, K. and
Ben, H. 2008. Second generation biofuels: high-efficiency microalgae for biodiesel
production. Bioenergy Resources 1: 20-43
Sheehan J., Dunahay, T., and Benemann, J. 1998. A look back at the US Department of Energy’s
Aquatic Species Program-biodiesel from algae. National Renewable Energy Laboratory
Sze, P. 1986.Algae. Wm.C.Brown. Publishers.
VDI. 2004. Vergarung organischer stoffe. In: Verein Deutscher Ingenieure Guidelines 2004,
Guidline VDI 4630, Dusseldorf, Germany
Weliand, P. 2003. Production and energetic use of biogas from energy crops and wastes in
Germany. Applied Biochemical Biotechnology 109: 263-274

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai