Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

TUTORIAL
ILMU KEDOKTERAN GIGI KLINIK

“MATI RASA PADA LIDAH”

DISUSUN OLEH :

NAMA : NURWAHYUNI
NIM : J 011 181 336
KELOMPOK :I

PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2019
A. Skenario
Seorang laki-laki berusia 50 tahun menderita kanker nasofaring dan menjalani
radioterapi daerah leher dan lokal kanker selama 7 minggu. Sejak minggu
petama penderita merasakan mulut kering, sulit menelan, dan mati rasa
terhadap makanan dan minuman. Puncak mati rasa terjadi pada minggu ke-3
dan kondisi membaik secara bertahap pada minggu selanjutnya. Secara klinis
tampak selaput putih pad lidah, pada sebagian mukosa pipi dan langit-langit
tampak kemerahan.

B. Kata Kunci
 Kanker nasofaring
 Mulut kering
 Selaput putih pada lidah
 Sulit menelan
 Laki-laki 50 tahun
 Mati rasa terhadap makanan dan minuman
 Radioterapi
 Langit-langit tampak kemerahan

C. Pertanyaan Penting
1. Jelaskan definisi dari :
a. Mati rasa
b. Mulut kering
c. Sulit menelan
d. Radioterapi
2. Apa penyebab dan mekanisme timbulnya :
a. Selaput putih pada lidah dan kemerahan pada langit-langit mulut
b. Mulut kering, sulit menelan dan mati rasa
3. Apakah timbulnya keluhan pasien pada minggu pertama pengobatan
berhubungan dengan radioterapi? Jika iya bagaimana mekanismenya?
4. Bagaimana mekanisme penyembuhan mati rasa dan mengapa pada minggu
ketiga pasien mengalami puncak mati rasa?
5. Apakah terjadi perubahan ekologi dan flora mulut pada penderita?
6. Jelaskan pengaruh mati rasa pada lidah terhadap sistem pengecapan,
penelanan dan pengunyahan?
7. Mengapa mati rasa terjadi pada minggu ketiga dan membaik secara
bertahap?
8. Apakah perubahan mikroorganisme pada ronga mulut dapat
mempengaruhi mulut kering, sulit menelan dan mati rasa? Jika iya,
bagaimana mekanismenya?

D. Jawaban
1. Pengertian:
a. Mati rasa adalah kondisi diama seseorang mengalami kerusakan
fungsi pengecapan. Berdasarkan pada ambang pengecapan, rasa pahit
dan asin menunjukkan kerusakan lebih awal dan lebih parah
dibandingkan dengan rasa manis yang mengalami gangguan terakhir.
b. Mulut kering atau serostomia merupakan efek samping radioterapi
karena kelenjar parotis juga terkena dosis radiasi sebanyak radiasi
eksterna yang diterima oleh nasofaring.
c. Sulit menelan susahnya suatu aktivitas neuromuskuler yang kompleks
yang meliputi koordinasi yang cepat dari struktur – struktur dalam
kavum oris, faring , laring dan esofagus. Pada waktu proses menelan,
bolus makanan atau cairan akan berjalan dari mulut ke lambung melalui
faring dan esofagus. Untuk proses ini dibutuhkan sekitar 40 pasang otot
dan 5 saraf kranialis. Proses menelan terdiri dari 3 fase yaitu fase oral
(preparasi – propulsif ), fase faringeal dan fase esofageal.
d. Radioterapi adalah pengobatan dengan menggunakan sinar pegion
untuk membunuh atau menghilangkan seluruh sel kanker.
2. Radioterapi pada daerah kepala dan leher khususnya kanker nasofaring
melibatkan sebagian besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya
dalam keadaan akut dapat menyebabkan efek samping pada mukosa
mulut berupa mukositis radiasi yang dirasa pasien sebagai nyeri saat
menelan, mulut kering dan hilangnya pengecapan.
a. Salah satu penyebab munculnya bintik putih pada lidah adalah
kandidiasis oral yang merupakan infeksi jamur yang sering terjadi
bersamaan dengan mukositis oral pada perawatan radioterapi.
Kandidas oral disebebabkan oleh spesies Candida albicans yang dapat
bersifat akut atau subakut, infeksi tersebut dapat terlihat lapisan putih
pada mukosa pipih, lidah, bibir dan palatum.
b. Mekanisme kerusakan kelenjar saliva dilaporkan bahwa radiasi ion dan
regio mukosa oral dapat merusak fisiologi dan histologi spesifi serta
perubahan fungsi dan struktur suportif termasuk kelenjar saliva. oleh
karena itu sekresi saliva menurun drastis.

3. Iya, Radioterapi dilakukan dengan menggunakan radiasi ionisasi yang


menyebabkan kematian sel dengan cara pembentukan radikal bebas
melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama yakni apoptosis yang
menyebabkan kematian sel dalam beberapa jam sesudah radiasi.
Mekanisme kedua adalah dengan menginduksi kegagalan mitosis dan
menghambat proliferasi selular, yang kemudian dapat mematikan sel-sel
kanker. Pada perk embangan saat ini, target utama radioterapi adalah
melalui kerusakan deoxyribonucleid acid (DNA) seluler. Efek samping
dari terapi kanker adalah mukositis oral, terutama disebabkan terapi
radiasi pada kanker daerah kepala dan leher dan berbagai jenis
kemoterapi. Mukositis oral menyebabkan nyeri, kesulitan makan,
menelan dan bicara yang dapat menyebabkan infeksi sekunder, penurunan
berat badan dan dapat menyebabkan penderita tidak bisa melanjutkan
terapi.
4. Faktor terapi anti kanker yaitu pada radioterapi: letak titik sasaran radiasi,
besaran radiasi, dan durasi radiasi akan mempengaruhi keadaan nutrisi
penderita keganasan. Pemberian radiasi merupakan pengalihan energi dari
radiasi pengion ke dalam sel-sel. Terjadi deposit fisik dari energi yang
akan diikuti oleh berbagai peristiwa yang menimbulkan dampak pada sel,
sepeti cedera akibat sinar radiasi. Selama masa radioterapi, fungsi
pengecapan mulai mengalami kerusakan pada minggu pertama terapi,
yang diawali dengan rasa pahit dan gangguan makin bertambah selama
minggu kedua pengobatan. Kerusakan fungsi pengecapan mencapai
puncaknya pada minggu ketiga, keempat dan sampai siklus terakhir dari
keseluruhan radiasi. Berdasarkan pada ambang pengecapan, rasa pahit
dan asin menunjukkan kerusakan lebih awal dan lebih parah dibandingkan
dengan rasa manis yang mengalami gangguan terakhir.
5. Serostomia merupakan efek samping radioterapi karena kelenjar parotis
juga terkena dosis radiasi sebanyak radiasi eksterna yang diterima oleh
nasofaring. Serostomia dapat menyebabkan menurunnya produksi air liur,
mengurangi kualitas sistim fisiologis air liur, meningkatkan viskositas,
meningkatkan keasaman air liur, dan menurunnya IgA oral sehingga
menyebabkan tingginya perkembangan karies dan infeksi flora mulut.
6. Serostomia dapat terjadi akut atau kronis, bersifat sementara atau menetap
dan ada saliva yang banyak berkurang sedikit atau hampir seluruhnya.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan xerostomia baik yang bersifat
fisiologis maupun patologis Faktor- faktor hsiologis meliputi saat
berolahraga, berbicara terlalu lama dan usia. Sedangkan faktor palologis
terdiri dari keadaan-keadaan lokal yang menyebabkan kekeringan pada
mukosa. gangguan lokal pada kelenjar saliva atau duktus dan laktor-
faktor sistemik yang mempengaruhi fungsi kelenjar saliva . Produksi
saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam komposisi
saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat
berperan dengan baik. Hal ini mengakibatkan timbulnya Beberapa
kaluhan pada penderita Xerostomia seperti kesukaran dalam mengunyah
dan menelan, kesukaran dalam berbicara.
7. Kerusakan fungsi pengecapan mencapai puncaknya pada minggu ketiga,
keempat dan sampai siklus terakhir dari keseluruhan radiasi. Berdasarkan pada
ambang pengecapan, rasa pahit dan asin menunjukkan kerusakan lebih awal dan
lebih parah dibandingkan dengan rasa manis yang mengalami gangguan terakhir.
Penderita dengan usia di atas 50 tahun risikonya bertambah besar karena
kemampuan DNA untuk memperbaiki diri rendah.
8. Perubahan sifat biologis saliva cenderung mempengaruhi kelainan
biologis rongga mulut seperti xerostomia, fenomena ini salah satu
penyebabnya adalah ketidakseimbangan regulasi pH saliva. Selain itu,
kondisi pH kritis saliva tersebut juga diperparah oleh aktivitas fermentasi
karbohidrat oleh sejumlah mikroorganisme patogen rongga mulut, seperti
C. albicans, S. mutans, dan A. Actinomycetemcomitans. Perubahan pH
saliva pada jaringan lunak mulut sering dihubungkan dengan terjadinya
karies gigi, oral candidiasis dan periodontitis. Perubahan pH saliva asam
dan basa dapat memicu terjadinya viskositas saliva dan mempermudah
terjadinya fermentasi karbohidrat dan protein saliva sehingga dapat
menyebabkan ketidakseimbangan pertumbuhan ketiga mikropatogen
tersebut,dimana S. mutans dapat bertahan hidup dalam pH kritis 4,5-5,0
dan C.albicans dapat tumbuh pada pH yang bervariasi, sekitar pH 4,5-6,5.
Sedangkan A. Actinomycetemcomitans dapat tumbuh lebih baik pada
kondisi pH saliva 7-8,5.Ketiga mikroorganisme ini selain patogen pada
infeksi rongga mulut juga memberikan kontribusi pada infeksi
endocarditis. Pemberian obat anti bakteri disamping dapat meningkatkan
pertumbuhan jamur juga memberikan ancaman infeksi oral candidiasis
kronis. Upaya yang dapat menjadi solusi adalah dengan mengatur pH
rongga mulut dengan pH saliva sebagai indikator dan penyangga aktivitas
biologi rongga mulut dengan prinsip menghambat faktor virulennya
ketiga mikropatogen tersebut terhadap pembentukan biofilm, kolonisasi,
invasi dan infeksi terhadap host. Saliva secara spesifik menjadi kontrol
aktivitas mikroorganisme patogen dalam rongga mulut melalui
pengaturan pH saliva khususnya untuk menjaga keseimbangan pH rongga
mulut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fransiska Tricia. Pudji Rahaju. Rus Suheryanto. Hubungan Status Nutrisi


penderitas Karsinona Nasofaring Stadium Lanjut dengan Kejadian Mukositis
Sesudah Radioterpi. Jurnal ORLI vol. 42 No.1. 2012. Hal 54-5, 61-2.
2. Nayoan C R. Gambaran penderita Disfagia yang Menjalani Pemeriksaan
Fiberoptick endoscopic Evaluation of swallow di RSUP DR. Kariadi
semarang. Healthy Tadulako Journal. Vol 3 No 2. 2017. Hal 48
3. Supriatno. Gueno Subagyo. Perawatan Kandidiasis Pseudomembran Akut
dan Mukositis oral pada Penderita Kanker Nasofaring. Mak Ked Gi. 2011.
183-4.
4. Sayuti hasibuan. Harun Sasanti. Xerostomia : Faktor Etologi dan
Penanggulangan. JKGUI. Hal 242

Anda mungkin juga menyukai