Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penulisan book report buku filsafat ilmu sebuah pengantar populer karangan
Jujun S. Suriasumantri bertujuan untuk memenuhi tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Nilai dan Moral. Buku ini memiliki 10
BAB, diawali dengan kearah pemikiran filsafat, dasar-dasar pengetahuan, ontologi:
hakikat apa yang dikaji, epistemologi: cara mendapatkan pengetahuan yang benar,
sarana berpikir ilmiah, aksiologi: nilai kegunaan ilmu, ilmu dan kebudayaan, ilmu
dan bahasa, penelitian dan penulisan ilmiah, dan penutup.

Kaitan buku filsafat ilmu sebuah pengantar popular dengan pendidikan nilai
dan moral adalah filsafat merupakan induk dari pendidikan nilai dan moral. Ilmu
filsafat mengkaji mengenai epistimologi (filsafat pengetahuan), etika (filsafat moral),
etestika (filsafat seni), metafisika, politik (filsafat pemerintahan), filsafat agama,
filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat hukum, filsafat sejarah dan filsafat
matematika. Pendidikan nilai dan moral termasuk di filsafat agama dan juga etika.
Alasan itulah yang membuat penulis memilih buku filsafat ilmu sebuah pengantar
populer karangan Jujun S. Suriasumantri untuk menjadi buku yang penulis jadikan
buku utama untuk dikaji dan dibuat kedalam bentuk book report.

2. Tujuan

1. Memenuhi tugas mata kuliah pendidikan nilai dan moral


2. Book report ini disusun untuk mengkaji dan mengetahui lebih lanjut
mengenai:
a. Dasar-dasar dari ilmu filsafat
b. Bidang yang dikaji dalam ilmu filsafat
c. Cara mendapatkan pengetahuan yang benar
d. Sarana berpikir ilmiah
e. Nilai kegunaan ilmu

1
f. Ilmu dan kebudayaan
g. Ilmu dan bahasa
h. Cara penelitian dan penulisan ilmiah
3. Identitas Buku
Judul : Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
Pengarang : Jujun S. Suriasumantri
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan Jakarta
Tahun : 1995 (cetakan ke IX)
Jumlah Halaman : 384 Halaman
4. Perbandingan
Judul : Pengantar Filsafat Ilmu
Pengarang : Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen
Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya
Tahun : 1990 (cetakan ke III)
Jumlah Halaman : 149 Halaman
5. Ilustrasi
Buku filsafat ilmu sebuah pengantar populer karangan Jujun S. Suriasumantri
ini saya rasa penyampaiannya sangat baik, bahkan humoris, ditambah dengan
gambar-gambar atau karikatur yang unik dan juga lucu. Pengarang sangat bisa
membuat pembahasan serius seperti filsafat ini dengan menarik dan ia memberikan
contoh-contoh perkara dalam buku ini dengan contoh-contoh yang mudah
dibayangkan dan sesuatu yang lucu.
6. Biografi Pengarang

Lahir di Tasikmalaya tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan SD V,


SMP III dan SMA II yang semuanya berada di Bandung, kemudian melanjutkan ke
Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus dalam tahun 1969. Selama menjadi
mahasiswa aktif dalam berbagai kegiatan nonkeilmuan seperti ketua teater, sutrdara
drama, ketua MAPRAM IPB, dirigen orkes angklung IPB dan aksi-aksi mahasiswa.
Pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University dengan beasiswa Unesco

2
dan lulus sebagai doctor dalam Perencanaan Pendidikan dengan spesialisasi sistem
analisis dan PPBS dalam tahu 1975.

Pengalaman dalam pekerjaan antara lain sebagai teaching assistant (1972) dan
research assistant (1973) di Harvard University, dosen tataniaga (1969-1971) dan
manajemen (1975-1980) di IPB, staf ahli pada Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K (1975-1980) dan pernah
menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Panitia Penyusunan Rencana Strategi (1976)
dan Repelita–II (1976-1978) Depdikbud, anggota Kelompok Kerja bidang
Kebudayaan Mendikbud (1984), anggota kelompok kerja Pengumpulan Materi
GBHN 1988, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1985) serta dosen Metodologi
Penelitian di Sekolah (sejak 1981) dan Lemhannas (sejak 1982). Sekarang menjabat
sebagai Pembantu Rektor bidang Akademik dan Ketua Program dokto Fakultas
Pascasarjana IKIP Jakarta.

Buku yang telah diterbitkan adalah ilmu dalam perspektif (Jakarta: Gramedia,
1978), System Thinking (Bandung: Binacipta, 1981) dan A Lesson from Experience
(Bandung: Binacipta, 1984). Keanggotaan professional teramsuk Operations research
Society of America (ORSA), Phideta Kappa, International Society of Educational
Planner, the institute of management Science dan Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-ilmu sosial.

Menikah dengan Nina Dachliana dan berputra Donni Iqbal Suriasumatri.

3
BAB II

LAPORAN ISI BUKU

1. Isi Buku

I. ILMU DAN FILSAFAT

Pengetahuan dimulai denga rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa
ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk
mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang ita belum tahu. Berfilsafat berarti
berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan
yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri,
semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang
dicari telah kita jangkau.

Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri:
apakah sebenarnya yang asaya ketahui tentang ilmu? Apakah cirri-cirinya yang
hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan
ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar?
Kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa
kita mempelajari ilmu? Apakah kegunaannya sebenarnya?

Demikian juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap


pengetahuan yang telah kita ketahui: Apakah ilmu telah mencakup segenap
pengetahuan yang seyogyanya saya ketahui dalam kehidupan ini? Dibatas manakah
ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti? Kemanakah saya harus berpaling di
batas ketidaktahuan ini? Apakah kelebihan dan kegunaan ilmu?

Apakah Filsafat?

Ada tiga karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh.
Yang kedua adalah sifat mendasar. Yang ketiga adalah sifat spekulatif.

4
Bidang Telaah Filsafat

Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah
yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya menjawab
sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang
satu, diapun mulai merambah pertanyaan lain.

Cabang-Cabang Filsafat

Cabang-cabang filsafat antara lain: Epistemologi (filsafat pengetahuan). 2.


Etika (fisalfat moral). 3. Estetika (filsafat seni). 4. Metafisika. 5.Politik (filsafat
pemerintahan). 6 Filsafat Agama. 7. Filsafat ilmu 8. Filsafat pendidikan. 9 Filsafat
Hukum. 10. Filsafat sejarah. 11. Filsafat matematika.

Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang


secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat ilmu merupakan
telaah scara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat
ilmu seperti: Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera yang membuahkan pengetahuan?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan ontologisme).

II. DASAR-DASAR PENGETAHUAN

1. Penalaran

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu


kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai kegiatan berpikir, penalaran
mempunyai irri-ciri tertentu yaitu: pertama, adanya suatu pola berpikir yang secara
luas dapat disebut logika. Atau dapat juga dikatakan penalaran merupakan suatu
proses berpikir logis. Ciri yang kedua adalah proses berpikirnya bersifat analitik.

5
Perasaan adalah suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan
penalaran.
Intuisi adalah suatu kegiatan berpikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri
pada pola pikir tertentu.

2. Logika

Logika dapat di defenisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.


Logika ada dua yaitu: logika induksi dan logika deduksi. Logika Induksi merupakan
cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang
bersifat individual. Sedangkan logika deduksi merupakan cara berpikir di mana dari
pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan
kesimpulan secara deduktif menggunakan pola berpikir silogisme. Disusun dari dua
buah pertanyaan dan sebuah kesimpulan.

3. Sumber pengetahuan

Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan
yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan
paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme sedangkan mereka yang
mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan
empirisme.

Kaum rasionalis beranggapan bahwa pengetahuan didapatkan lewat penalaran


rasional yang abstrak sedangkan kaum empirisme pengetahuan manusia didapatkan
lewat bukti konkret. Selain rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk
mendapatkan pengetahuan yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan
yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Suatu masalah dalam
pikiran namun menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul di benak kita yang lengkap
dengan jawabannya dan kita merasa yakin bahwa itulah jawabannya namun kita tidak
bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai kesana. Intuisi bersifat personal dan
tidak bisa diramalkan.

6
Wahyu pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada para nabi dan
rasul-rasulnya.

4. Kriteria Kebenaran

Paham Koherensi.

Sesuatu yang dianggap benar apabila pernyataan dan kesimpulan konsisten


dengan pernyataan dan kesimpulan yang terdahulu yang telah dianggap benar. Teori
ini disebut teori koherensi. Atau dapat disimpulkan bahwa teori koherensi adalah
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

Paham Korespondensi (Bertrand Russell (1872-1970)

Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan benar adalah benar jika
materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.

Paham Pragmatisme (Charles S. Peirce 1839-1914)

Bagi kaum pragmatisme kebenaran adalah suatu pernyataan diukur dengan


kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.

III. ONTOLOGI: HAKIKAT APA YANG DIKAJI

1. Metafisika

Apakah hakikat kenyataan ini yang sebenar-benarnya? Metafisika dapat


diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki apa hakikat dibalik alam nyata ini. Bidang
telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap
pemikiran filsafat termasuk pemikiran ilmiah.

7
2. Asumsi

Determinisme, probabilistik dan pilihan bebas merupakan permasalahan


filsafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini akan sulit bagi
kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.

Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari


doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Aliran
ini merupakan lawan dari fatalisme yang menyatakn bahwa segala kejadian
ditentukan oleh nasib yang ditetapkan lebih dahulu.

3. Peluang

Berdasarkan teori keilmuan tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti
mengenai suatu kejadian. Yang ada adalah kesimpulan yang probabilistik.

4. Beberapa asumsi dalam ilmu

Suatu permasalahan kehidupan tidak bisa dianalisis secara cermat dan


saksama hanya oleh satu disiplin keilmuan saja. Dalam mengembangkan asumsi kita
harus perhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi ini harus relevan dengan bidang dan
tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi harus operasional dan merupakan dasar
dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari keadaan
sebagaimana adanya bukan bagaimana keaadaan yang seharusnya. Asumsi yang
pertama adalah mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi yang kedua adalah asumsi
yang mendasari telaah moral.

5. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu

Ilmu memulai penjelajahan pada pengalaman manusia dan berhenti di batas


pengalaman manusia. Ilmu membatasi lingkup penjelajahanya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah
teruji kebenaranya secara empiris.

8
IV. EPISTEMOLOGI: CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG
BENAR

1. Jarum Sejarah Pengetahuan

Konsep dasar pengetahuan waktu dulu adalah kriteria kesamaan bukan


perbedaan. Tetapi setelah berkembangnya abad penalaran pada pertengahan abad ke
17 konsep dasarnya berubah dari kesamaan kepada perbedaan berbagai pengetahuan
yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah
struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan berdasarkan apa
yang diketahuai, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu
dipergunakan.

2. Pengetahuan

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui


tentang suatu obyek tertentu. Termasuk didalamnya adalah ilmu. Setiap jenis
pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana
gaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi). Ilmu mempelajari alam
sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita. Usaha untuk
mengetahui gejala ualam sudah dimulai sejak dulu kala melalui mitos. Tahap
selanjutnya yaitu dengan mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan
praktis dan berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat yang didukung oleh
metode mencoba-coba. Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahan yang
disebut seni terapan. Akal sehat dan coba-coba mempunyai peranan penting dalam
usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis
mempertanyakan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Lalu berkembang lagi
kearah empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didasarkan
kepada kenyataan pengalaman.

9
3. Metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang


disebut ilmu. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-
peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam
metode ilmiah adalah sebagai berikut yaitu: pertama, perumusan masalah, Kedua,
Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara faktor yang
saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan, ketiga. Perumusan hipotesis
yang merupakan jawaban sementara. Keempat, pengujian hipotesis. Kelima.
Penarikan kesimpulan.

4. Struktur Pengetahuan Ilmiah

Pengetahuan yang di proses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan


yang memenuhi syarat-syarat keilmuan dan dapat disebut pengetahuan ilmiah atau
ilmu. Pada hakikatnya pengetahuan ilmiah mempunyai tiga fungsi yakni menjelaskan,
merencanakan dan mengontrol. Sebuah teori pada umumnya terdiri dari hukum-
hukum. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan
antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Makin tinggi
keumuman konsep maka makin tinggi teoritis konsep tersebut. Pengetahuan ilmiah
dalam bentuk teori dan hukum harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi atau
secara idealnya harus bersifat universal. Dalam ilmu sosial untuk meramalkan
menggunakan metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau
tahap-tahap perkembangan. Penelitian yang bertujuan untuk menemukan
pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitan
murni atau penelitian dasar. Sedangkan penelitian yang bertujuan untuk
mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan
masalah kehidpan yang bersifat praktis dinamakan penelitian terapan.

10
V. SARANA BERPIKIR ILMIAH

Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir.


Tersedianya sarana tersebut memungkinkan melakukan penelaahan ilmiah secara
teratur dan cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu
kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat
melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa
bahasa, logika, matematika, statistika.

1. Bahasa

Bahasa dapat dicirikan sebagai serangkaian bunyi, lambang dimana rangkaian


bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi ini yang kita kenal sebagai
kata melambangkan suatu obyek tertentu. Bahasa mengalami perkembangan oleh
karena disebabkan pengalaman dan pemikiran manusia yang juga berkembang.
Dengan bahasa manusia dapat berpikir secara teratur namun juga dapat
mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Tanpa bahasa
maka mustahil bisa berpikir secara teratur dan dengan bahasa kita bisa melanjutkan
nilai-nilai kepada generasi berikutnya. Berbahasa dengan jelas adalah makna yang
terkandung dalam kata-kata harus diungkapkan secara tersurat untuk mencegah
pemberian makna yang lain. Berbahasa dengan jelas artinya juga mengungkapkan
pendapat atau pikiran secara jelas.

Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang


mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam
mendapatkan pengetahuan tersebut.

2. Matematika

Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari


pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat
artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
Tanpa itu matematika hanya kumpulan rumus-rumus yang mati. Matematika
mempunyai kelebihan dari bahasa verbal karena matematika mengembangkan bahasa

11
numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif.
Dengan bahasa verbal hanya bisa mengemukakan peryataan yang bersifat kualitatif.
Sifat kuantitatif dari matematika meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu.
Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan
masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika berfungsi sebagai alat berpikir.
Matematika secara garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara
konsisten berdasarkan logika deduktif.

Ada beberapa aliran dalam Filsafat Matematika antara lain: Aliran Logistik
(Immanuel Kant) Aliran Intusionis (Jan Brouwer) dan Aliran Formalis (David
Hilbert).

3. Statistika

Yang menjadi dasar teori statistika adalah peluang. Konsep statistika sering
dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi. Statistika
mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik.
Yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sederhana, yakni semakin besar
contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut.
Statistika juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu
hubungan kausalitas antara dua faktor atua lebih bersifat kebetulan atau benar-benar
terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Sebagai bagian dari perangkat
metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan
menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan secara
kebetulan.

VI. AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU

1. Ilmu dan Moral

Untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang
penjelajahan keilmuan? Kearah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Sejak pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perpektif yang berbeda. Sejak Copernikus (1473-1543) mengajukan teori

12
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi
matahari dan bukan sebaliknya seperti apa yang diajarkan oleh ajaran agama maka
disinilah timbul interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber dari ajaran agama).
Para ilmuan berusaha untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam
sebagaimana semboyan: ilmu yang bebas nilai.

2. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

Secara historis fungsi sosial dari kaum ilmuwan telah lama dikenal dan diakui.
Raja Charles II dari Inggris mendirikan the Royal Society yang bertindak selaku
penawar bagi fanatisme di masyarakat waktu itu. Para ilmuwan pada waktu itu
bersuara mengenai toleransi beragama dan pembakaran tukang-tukan sihir. Sikap
sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuwan yang
dilakukan. Ilmu terbebas dari nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang
memberikan nilai. Dalam menghadapi masalah social, seorang ilmuwan yang
mempunyai latarbelakang pengetahuan yang cukup harus menempatkan masalah
tersebut pada proporsi ang sebenarnya dan menjelaskanya lepada masyarakat dalam
bahasa yang dapat dicerna. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan
maka harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang
seyogiyanya mereka safari. Dibidang etika, tanggungjawab seorang ilmuwan bukan
lagi memberikan informasi tetapi memberikan contoh.

3. Nuklir dan Pilihan Moralnya

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuanya


untuk menindas bangsa lain meskipun yang menggunakan itu adalah bangsanya
sendiri. Einstein waktu itu memihak Sekutu karena anggapanya bahwa sekutu
mewakili aspirasi kemanusiaan. Jika sekutu kalah maka yang akan muncul adalah
rezim Nazi yang tidak berperikemanusiaan. Untuk itu seorang ilmuwan tidak boleh
berpaku tangan. Dia harus memilih sikap: berpihak kepada kemanusiaan atau tetap
bungkam? Seorang ilmuwan tak boleh memutarbalikan penemuwannya bila
hipotesisnya yang dijunjung tinggi yang disusun diatas kerangka pemikiran yang

13
terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan
fakta-fakta pengujian.

4. Revolusi Genética.

Revolusi genética merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia


sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan
itu sendiri. Memperlakukan manusia sebagai kelinci pencobaan adalah sikap yang
tidak bermoral dan bertentangan dengan hakikat ilmu.

VII. ILMU DAN KEBUDAYAAN

1. Manusia dan Kebudayaan

Kebudayaan didefenisikan pertama kali oleh EB. Taylor pada tahun 1871
dimana dalam bukunya primitive culture, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta
kemampuan dan kebiasaan lainya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Nilai menjadi dasar dari kebudayaan. Disamping nilai ini kebudayaan
diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang
mencerminkan nilai budaya yang di kandungnya. Pada dasarnya tata hidup
merupakan pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak:
kegiatan manusia ini dapat ditangkap oleh pancaindera sedangkan nilai budaya hanya
tertangguk oleh budi manusia. Disamping itu nilai budaya dan tata hidup manusia
ditopang oleh sarana kebudayaan.

2. Ilmu dan Pengembangan Kebudayaan Nasional

Ilmu merupakan pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari


kebudayaan. Dalam rangka pengembangan kebudayaan ilmu mempunyai peranan
ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terlenggaranya
pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang
mengisi pembentukan watak suatu bangsa.

14
Dua dasar moral bagi kaum ilmuwan adalah meninggikan kebenara dan
pengabdian secara universal. Tujuh nilai ilmiah yang terpancar dari hakikat
keilmuwan yakni: kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan
pengabdian universal. Peranan ketujuh nilai ini adalah dalam hal bangsa mengahadapi
permasalahan dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan membutuhkan
pemecahan permasalahan secara kritis, rasional, logis dan terbuka. Sedangkan sifat
menjunjung kebenaran dan pengabdian universal akan merupakan aktor yang penting
dalam pembinaan bangsa dimana seseorang lebih menitikberatkan kebenaran untuk
kepentingan golongan dibandingkan kepetingan golongan. Bukan saja seni namun
ilmu dalam hakikatnya yang murni bersifat mempersatukan.

3. Dua Pola Kebudayaan

Ada dua pola kebudayaan yang terbagi kedalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-
ilmu sosial. Raiso de’etre yang menjadi argumentasi pembagian jurusan ini adalah
asumsi yang pertama mengemukakan bahwa manusia mempunyai bakat yang berbeda
dalam pendidikan matematika yang mengharuskan kita mengembangakan pola
pendidikan yang berbeda pula. Asumsi yang kedua adalah yang menganggap bahwa
ilmu sosial kurang memerlukan pengetahuan matematika. Asumsi kedua ini sekarang
ini tidak relevan lagi karena pengembangan ilmu sosial membutuhkan bakat-bakat
matematika yang baik untuk menjadikanya pengetahuan yang bersifat kuantitatif.

VIII. ILMU DAN BAHASA

1. Tentang Terminologi: Ilmu, Ilmu Pengetauan dan Sains

Seluruh bentuk dapat digolongkan dalam kategori ketahuan (knowledge) di


mana masing-masing bentuk dapat di cirikan oleh karakter obyek ontologis, landasan
epistemologis dan landasan aksiologi masing-masing. Salah satu bentuk knowledge
ditandai dengan: 1. Obyek Ontologis yaitu pengalaman manusia yakni segenap ujud
yang dapat dijangkau lewat pancaindra atau alat yang membantu kemampuan
pancaindra; 2. Landasan epistemologis yaitu metode ilmiah yang berupa gabungan
logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut

15
logico-hyphotetico-verifikasi; 3. Landasa aksiologi: kemaslahatan manusia artina
segenap ujud ketahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia.

Terminologi Ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge. Secara


defacto dalam kalangan dunia keilmuwan terminology ilmu sudah sering
dipergunakan seperti dalam metode ilmiah dan ilmu-ilmu social atau ilmu-ilmu alam.
Adapun kelemahan dari pilihan ini ialah bahwa kita terpaksa meninggalkan kata ilmu
pengetahuan dan hanya menggunakan kata ilmu saja untuk sinonim science dalam
bahasa inggris. Alternatif pertama menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan
pengetahuan untuk knowledge.

2. Politik Bahasa Nasional

Bahasa mempunyai dua fungsi yang pertama sebaga sarana komunikasi dan
kedua sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang
mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi pertama dapat disebut sebagai fungsi
komunikatif dan fungsi kedua sebagai fungsi kohesif atau integratif. Pada tanggal 28
Oktober 1928 bangsa Indonesia memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dengan alasan utama yaitu fungsi kohesif bahasa Indonesia sebagai sarana yang
mengintegrasikaan berbagai suku kedalam satu bangsa yakni Indonesia.

IX. PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH

1. Struktur Penelitian dan Penulisan Ilmiah

Langkah pertama dalam penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah yang


berisi: latarbelakang dari suatu masalah. Kemudian melakukan identifikasi masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.
Langkah kedua yaitu: pengajuan Hipotesis. Dalam hipotesis mengkaji mengenai
teori-teori ilmiah yang dipergunakan dalam analisis, pembahasan mengenai
penelitian-penelitian lain yang relevan, penyusunan kerangka berpikir dengan
mempergunakan premis-premis dan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan
prinsip yang dipergunakan, lalu merumuskan hipotesis. Setelah melakukan
perumusan hipotesis maka langkah berikutnya menguji hipotesis secara empiris

16
melalui penelitian dan kemudian hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan
sebagai berikut: 1. menyatakan variabel-variabel yang diteliti. 2. Menyatakan teknik
analisa data. 3. Mendeskripsikan hasil analisis data. 4. memberikan penafsiran
terhadap kesimpulan analisis data. 5. Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah
ditolak atau diterima. Langkah selanjutnya setalah kegiatan laporan hasil penelitian
adalah Ringkasan dan Kesimpulan. Kesimpulan pengujian hipotesis dikembangkan
menjadi kesimpulan penelitian yang ditulis dalam BAB tersendiri. Kesimpulan
penelitian ini merupakan sintesis dari keseluruhan aspek penelitian yang terdiri dari
masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian.
Seluruh laporan penelitian disarikan dalam sebuah ringkasan yang disebut abstrak.
Dalam laporan penelitian dilampirkan daftar pustaka dan riwayat hidup peneliti.

2. Teknik Penulisan Ilmiah

Teknik penulisan ilmiah mempunyai dua aspek yakni gaya penulisan serta
teknik notasi. Penulis ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif artinya bahwa sipenerima pesan
mendapatkan kopi yang benar-benar sama dengan prototipe yang disampaikan
sipemberi pesan. Komunikasi ilmiah harus bersifat impersonal dimana berbeda
dengan tokoh dalam sebuah novel yang bisa berupa aku dan dia atau doktor Faust.
Kata ganti perorangan hilang dan diganti universal yakni ilmuwan. Pembahasan
secara ilmiah mengharuskan kita berpaling kepada pengetahuan-pengetahuan ilmiah
sebagai premis dalam argumentasi kita. Pernyataan ilmiah yang kita gunakan harus
mencatat beberapa hal yakni kita identifikasi orang membuat pernyataan tersebut,
media komunikasi ilmiah dimana pernyataan tersebut di sampaikan, lembaga yang
menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat domisili dan waktu penerbitan
dilakukan.

3. Teknik Notasi Ilmiah

Kalimat yang kita kutip harus dituliskan sumbernya secara tersurat dalam
catatan kaki. Catatan kaki mulai langsung dari pinggi atau dapat dimulai setelah

17
beberapa ketukan tik dari pinggir asalka dilakukan secara konsisten. Nama pengarang
yang jumlahnya sampai tiga orang dituliskan lengkap sedangkan jumlah pengarang
yang lebih dari tiga orang hanya ditulis nama pertama ditambah kata et al. Kutipan
yang diambil dari halaman tertentu disebutkan halamanya dengan singkatan p
(pagina) atau hlm. (halaman). Jika kutipan itu disarikan dari beberapa halaman maka
dapat ditulis pp.1-5 atau hlm 1-5. Jika nama pengaranganya tidak ada langsung
dituliskan nama bukunya atau Anom (anonymous) didepan nama buku tersebut.
Sebuah buku yang ada diterjemahkan harus ditulis baik pengarang maupun
penterjemah bukut tersebut sedangkan kumpulan karangan cukup disebutkan nama
editornya. Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan
memakai notasi op.cit (opere citato: dalam karya yang telah dikutip), loc. cit (loco
citato: dalam tempat yang telah dikutip) dan ibid (ibidem: dalam tempat yang sama).

18
BAB III

ANALISA

1. Isi Perbandingan

I. ILMU DAN PENGALAMAN


Filsafat secara terminologilah yang mungkin sangat beragam pengertiannya.
Semua filsuf memberikan makna, dan pemberian makna filsafat menjadi sebuah
kesibukan tersendiri bagi filsuf. Filsuf muslim memberi makna filsafat sebagai
sebuah ilmu yang didalamnya membahas tentang wujud sebagaimana wujud itu
sendiri dan wujud mutlak (sebagaimana adanya). Sedangkan menurut Franz Magnis-
Suseno, filsafat itu adalah ilmu kritis.
Ilmu menurut logika adalah hadirnya suatu gambaran kedalam akal atau benak
kita, hingga nanti ilmu dibagi menjadi beberapa bagian menurut pandangan ini,
namun saat ini, ilmu itu diartikan sinonim dengan kata science dalam bahasa Inggris,
yaitu rangkaian sistematis sebuah proposisi yang membutuhkan eksperimen ilmiah
dan memiliki nilai (aksiologi).
1. Pengertian filsafat ilmu
Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap suatu disiplin ilmu. Filsafat
ilmu adalah telaah lanjutan terhadap suatu bidang ilmu atau secondary reflection.
Dalam filsafat ilmu, kita mencoba menerapkan kefilsafatan dalam kegiatan keilmuan.
Perbedaan yang terlihat dari filsafat ilmu dengan sejarah ilmu, fisikologi ilmu, dan
sosiologi ilmu yaitu terletak pada objek yang hendak dipecahkan serta metoda yang
digunakan filsafat ilmu. Dalam filsafat ilmu akan dibahas masalah persoalan
epistemology yang berkaitan dengan penyelenggaraan sebuah kegiatan ilmiah dan
symbol-simbol yang dipakai dalam suatu pembahasan.
Syarat mutlak bagi filsafat ilmu yang mengandung makna ialah, adanya
pengetahuan mengenai permasalahan yang terdapat dalam ilmu-ilmu kejuruan yang
mendalam. Filsafat ilmu dalam arti luas adalah yang menampung permasalahan yang
menyangkut hubungan-hubungan keluar dari kegiatan ilmiah, seperti implikasi-
implikasi dan ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah, sedangkan

19
filsafat ilmu dalam arti sempit adalah yang menampung permasalahan yang
bersangkutan dengan hubungan-hubungan kedalam yang terdapat di dalam ilmu,
yaitu cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah.
Bagan situasi yang demikian ini dapat kita bulatkan dengan menentukan tempat
kedudukan filsafat ilmu didalam lingkungan filsafat sebagai keseluruhan. Tempat
kedudukan tersebut ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan filsafat ilmu, yaitu
“sifat pengetahuan ilmiah” dan “cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah”.
Kemandirian ilmu sesungguhnya bersangkutan dengan norma-norma “ilmiah”.
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang mempunyai dasar kebenaran,
bersifat sistematik, dan intersubyektif.
2. Tujuan Pendidikan Ilmiah

Di dalam ilmu, orang berusaha untuk mematangkan pengetahuan yang


memenuhi seluruh tolok ukur diatas. Hal ini merupakan satu cara belaka untuk dapat
merumuskan tujuan penyelidikan ilmiah. Patut diperhatikan disini, hendaknya kita
jangan terlalu menganggap sederhana terhadap penyelidikan deskriptif semacam ini.
Tujuan penyelidikan ilmiah adalah untuk menciptakan sebuah pertanyaan dan untuk
menemukan jawaban dari semua pertanyaan, dengan demikian, kedua tujuan tersebut
saling berhubungan secara erat. Lebih jelasnya ialah, untuk menjaga agar penjelasan-
penjelasan ilmiah tidak diinginkan menjadi penjelasan-penjelasan yang “terakhir”
atau yang “tidak akan diubah lagi”.

3. Ilmu dan Pengalaman Prailmiah

Ciri-ciri pengenal yang dipunyai oleh pengetahuan ilmiah baru akan tampak
dengan jelas apabila dilator belakangi oleh pengalaman prailmiah. Sesungguhnya
ilmu timbul berdasarkan hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, objektivitas.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pengalaman prailmiah juga bukan
semata-mata pengetahuan manusia yang terdapat sebelum adanya ilmu, melainkan
juga pengetahuan manusia yang sampai kini masih terap melandasi pada pengetahuan
ilmiah.

20
Pengetahuan bukanlah merupakan tujuan yang terkandung dalam dirinya
sendiri, melainkan dimaksudkan agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan alam
disekitrarnya.

Didalam metodika suatu ilmu, simbol-simbol serta keajegan-keajegan


memperoleh sifat yang lain. Bahasa yang dipakai dalam ilmu bersifat deskriptif, yang
demikian ini berhubungan dengan verifikasi dan regulative yang demikian ini
berhubungan dengan penjelasan logic, tetapi bahasa yang dipakai dalam pengalaman
prailmiah pertama-tama lebih merupakan “bahasa tindakan” tertentu.

Begitulah manusia tidak lagi melakukan tindakan seperti binatang yang secara
naluriah dan alami dengan khas dapat memastikan bahwa perbuatannya mengena
pada sasarannya.

II. ILMU-ILMU DEDUKTIF

1. Pengertian “Teori Deduktif” dan Matematika sebagai ilmu deduktif

Nama ilmu-ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang


di hadapi tidak didasarkan atas pengalaman seperti hal yang terdapat dalam ilmu-ilmu
empirik, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi (penjabaran-penjabaran).

Ilmu-ilmu deduktif ialah ilmu-ilmu matematika. Dalam hal ini sesungguhnya


dalil-dalil tidaklah di buktikan kebenarannya melalui penyelidik empirik, melainkan
melalui penjabaran dalil-dalil yang sudah di peroleh sebelumnya.

Dalil-dalil matematika dibuktikan kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang


lain, dan bukannya berdasarkan atas pengamatan. Kiranya cukup jelas bahwa
masalah-masalah kefilsafatan mengenai matematika dipengaruhi oleh matematika itu
sendiri. Perkembangan ini memang benar-benar menunjukkan perubahan-perubahan
yang mendalam . Secara berangsur-angsur orang mulai terbiasa akan adanya teori-
teori ilmu ukur sudah sama sekali kehilangan arti pentingnya untuk melukiskan
pengamatan-pengamatan mengenai ruang yang bersifat empirik. Ilmu ukur tetap
merupakan alat yang tidak dapat di kesampingkan bagi ilmu alam.

21
2. Aliran-aliran

Filsafat ilmu deduktif tidak bermaksud memberikan analisa mengenai proses-


proses berpikir yang dilalui oleh seorang ahli matematika untuk mencapai hasil-hasil.
Sudah dengan sendirinya bahwa ketika mencari bukti-bukti matematika serta ketika
menyusun sebuah teori deduktif, orang dapat memakai berbagai macam metodik serta
ilham, yang tidak ditemukan kembali dalam perumusan yang definitive.

Dalam proses ini arti-arti tidak perlu merupakan momen yang berada diluar
lingkungan pandang, dengan demikian maka yang pokok ialah bahwa arti-arti
tersebut dipakai hanya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, artinya bahwa
suatu pernyataan dapat diformalisasikan menjadi bukti yang didalamnya arti-arti tadi
tidak berperan lagi.

III. ILMU-ILMU EMPIRIK PADA UMUMNYA

1. Siklus Empirik

Ilmu-ilmu empirik memperoleh bahan-bahannya melalui pengalaman. Tetapi


pengalaman atau empirial ilmiah sesungguhnya lebih daripada sekedar “pengalaman
sehari-hari” serta “hasil tangkapan inderawi”, keadaan saling berhubungan antara
gejala yang satu dengan gejala-gejala yang lain dikukuhkan oleh teori-teori, dan
sementara itu juga semakin rumit. Demikian eratnya hubungan yang terdapat antara
teori dengan hasil tangkapan, sehingga seorang penyidik ilmiah boleh dikatakan tidak
akan menangkap sesuatu tanpa melakukan penafsiran.

“Siklus Empirik” hendaknya dipandang sebagai suatu model yang didalamnya


secara berturut-turut disebutkan tahap-tahap penyelidikan, meskipun dalam
kenyataannya tersebut, acapkali saling bertindihan dan sering pula timbul secara
bersamaan.

Sehingga sebenarnya hubungan yang terdapat antara kerangka acuan dengan


siklus empiric bukanlah hubungan yang menyangkut urut-urutan waktu, melainkan
suatu hubungan timbal balik.

22
2. Penjelasan Ilmiah

Ilmiah adalah sebuah jawaban atas pertanyaan. Karena dapat


dipertanggungjawabkan karena didukung oleh bukti dari penyelidikan. Ilmiah
merupakan suatu kualifikasi positif yang berarti bahwa jawaban-jawaban yang
bersifat demikian itu memberikan kesan yang mendalam. Bahkan jawaban-jawaban
tersebut dapat di percaya serta memiliki dasar yang kokoh. Ilmu empirik tidaklah
memberikan keputusan bahsa sesuatu berlaku sekali dan untuk selamanya. Ilmu
empirik tunduk kepada apa yang dinamakan perintah dan bersifat otokritik.

IV. ILMU DAN NILAI

1. Teori dan Penerapan

Pengetahuan diperoleh dengan jalan menghentikan reaksinya yang serta merta


dan kemudian berpilar lebih lanjut serta menyelidika hubungan yang terdapat antara
hal-hal yang di hadapinya. Ilmu merupakan bentuk yang lebih mendasar dari
pertanyaan serta pertanggungjawaban, penguasaan bahasa, di bandingkan dengan
pembicara serta pembuatan prailmiah. Suatu pengetahuan bersifat ilmiah bukanlah
karena pengetahuan tadi dapat diterapkan melainkan karena sifatnya yang teoritik,
dengan demikian ilmu-ilmu terapan tidak banyak mengandung kadar ilmiahnya
dibandingkan dengan ilmu teoritik.

2. Ilmu, Nilai, Keadaan-Bebas-Nilai”

Suatu tanggapan disebut pertimbangan nilai jika didalamnya orang mengatakan


bahwa sesuatu hal baik atau keliru. Bahwasannya ilmu sebagai ilmu atau dipandang
secara tersendiri memiliki suatu nilai dan bernilai.

Ungkapan “ilmu sebagai ilmu atau dipandang secara tersendiri”, sudah tentu
bersifat abstrak. Dengan demikian konstatasi bahwa ilmu merupakan perwujudan
nilai, tidak menimbulkan kesukaran yang terlampau banyak yang terakhir ini
memperdalam keinsyafan kita bahwa dalam “penilaian” “(yang bersifat positif)”,

23
terhadap ilmu, bagaimanapun turut berperan unsur “yang bersifat subyektifitif
dibidang kebudayaan”.

Dalam hal ini aliran-aliran tadi memperlihatkan kecenderungan untuk lebih


memperhatikan “keadaan lahiriah” dibandingkan dengan “keadaan batiniah”. Ilmu
dengan memperhatikan cara-cara berfungsi ilmu didalam masyarakat. Ilmu bukan
sekedar “menangkap” kenyataan konkret dengan langsung, melainkan dengan tidak
langsung merangkap secara akali “kenyataan tersebut”. Bahwasannya ilmu-ilmu
tertentu memang layak dibedakan dengan ilmu-ilmu yang lain sebagai “ilmu-ilmu
kenyataan” tidaklah merupakan masalah yang penting. Tetapi yang tidak dapat di
ingkari adalah bahwa ilmu-ilmu manusia menimbulkan kesulitan-kesulitan khusus
yang bersangkutan dengan masalah keadaan bebas nilai.

2. Analisa Buku

Kegiatan menalar memang tidak terlepas dari kegiatan dan kehidupan manusia
sehari-hari. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Jujun S. Suriasumantri dalam buku
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa memang manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mengembangkan pengetahuan untuk menunjang kehidupannya dan
selalu menggunakan penalarannya.

Dalam buku ini juga dipaparkan bahwa dalam penalaran yang dilakukan oleh
manusia itu terbagi atas beberapa paham yang dianutnya. Ada paham rasionalisme,
empirisme, koherensi, dan korespondensi. Penalaran yang bersifat rasionalisme
didasarkan atas berpikir logika atau logis. Penalaran yang bersifat empirisme adalah
penalaran yang didasarkan atas pengalaman atau kenyataan yang ditangkap oleh
pancaindera manusia. Penalaran koherensi adalah penalaran yang bersifat
berhubungan yang hampir sama dengan paham korespondensi.

Dalam konteks lain, sudut pandang manusia untuk menilai sebuah kebenaran
itu berbeda-beda. Jadi manusia mempunyai penilaian atau sebuah persepsi yang
berbeda dalam memahami atau mengerti tentang sebuah kebenaran. Sebagai contoh,
ada anak kecil yang merasa telah ditipu di sekolah. Bahwa 3+4=7, 5+2=7, 6+1=7

24
dalam urutan hari pertemuan belajar yang berbeda harinya. Berarti untuk menilai
sebuah kebenaran atas contoh si anak kecil tadi, jelaslah bahwa ada banyak kriteria
untuk menentukan kebenaran tadi, tidak berdasar atas satu jalan saja untuk
menilainya.

Kemudian, ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni


kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan
kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak
dipenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.

3. Analisa Buku dengan Buku Perbandingan

Pertama, kedua buku ini memiliki kajian yang sama, yaitu mengenai
pengantar ilmu filsafat, walaupun tentu saja ada perbedaan di dalamnya, baik dalam
materi yang dikaji, cara penyampaian dan lainnya.

Perbedaan pertama, yang paling jelas terlihat, yaitu mengenai materi yang
dikaji.

Pengantar filsafat ilmu Filsafat ilmu sebuah pengantar populer

Ilmu dan pengalaman Ilmu dan filsafat

Ilmu-ilmu deduktif Dasar-dasar pengetahuan


Ilmu-ilmu empirik pada umumnya Ontologi : hakikat apa yang dikaji
Ilmu dan nilai Epistemologi : cara mendapatkan pengetahuan yang benar
Sarana berpikir ilmiah
Aksiologi: nilai kegunaan ilmu
Ilmu dan kebudayaan
Ilmu dan bahasa
Penelitian dan penulisan ilmiah

25
Secara kasat mata jelas terlihat, buku filsafat ilmu sebuah pengantar populer
dari Jujun S. Suriasumantri lebih banyak materi yang dibahas ketimbang
Daftar Isi kedua buku
buku pengantar filsafat ilmu dari Beerling, Kwee, Mooij, dan Van
Peursen.

Perbedaan lainnya adalah mengenai cara penyampaian, saya sangat merasa


terhibur dengan cara penyampaian dalam buku filsafat ilmu sebuah pengantar populer
oleh Jujun S. Suriasumantri, dibawakan dengan bahasa yang mudah dipahami,
padahal materi yang dijelaskan, merupakan sesuatu yang sulit dipahami oleh saya
yang memang belum terbiasa membaca buku-buku bertema serius seperti ini. Jujun S.
Suriasumantri juga memberikan contoh-contoh nyata dikehidupan sehari-hari, bahkan
hal-hal yang biasanya mahasiswa lakukan atau alami, sehingga contoh itu dapat
dipahami cukup mudah. Lebih menarik lagi, karena terdapat beberapa karikatur yang
sebagai penggambaran dari contoh yang diberikan, dan karikatur-karikatur tersebut
dibuat dengan cara humoris, sangat membantu saat pembaca mulai merasa bosan
karena pembahasan yang dibahas oleh buku.

Perbedaan terasa sekali dengan buku lainnya, yaitu pengantar filsafat ilmu dari
Beerling, Kwee, Mooij, dan Van Peursen, cara penyampaian buku ini cukup serius,
ditambah lagi buku ini merupakan buku yang diterjemahkan, jadi bahasanya begitu
formal, untuk mahasiswa awal, apalagi yang jarang membaca buku-buku serius,
kebosanan sering sekali menghampiri.

Kesamaan pertama yang dapat dilihat, diawali dengan materi mengenai filsafat,
dimulai pengertian filsafat, cabang ilmu filsafat, dan pengenalan pembaca kepada
filsafat, materi ini sama-sama ada pada BAB pertama di dalam kedua buku ini.

Kesamaan selanjutnya terdapat dalam materi mengenai pembelajaran deduktif


dan induktif yang sama-sama dibahas dalam kedua buku ini. Di dalam buku filsafat
ilmu sebuah pengantar populer dari Jujun S. Suriasumantri dibahas dalam BAB
sarana berpikir ilmiah, sedangkan di buku buku pengantar filsafat ilmu dari Beerling,
Kwee, Mooij, dan Van Peursen, dibahas di dalam BAB ilmu-ilmu deduktif.

26
Walaupun, materi mengenai pembelajaran deduktif dan iduktif, lebih terperinci
dibahas oleh Jujun S. Suriasumantri.

Kemudian mengenai cara berpikir ilmiah, akan kita temukan dikedua buku ini.
Mengenai penjelasan ilmiah terdapat dalam pengantar filsafat ilmu dari Beerling,
Kwee, Mooij, dan Van Peursen dalam BAB ilmu-ilmu empirik pada umumnya.

Pada BAB akhir di dalam buku pengantar filsafat ilmu dari Beerling, Kwee,
Mooij, dan Van Peursen mengenai ilmu dan nilai tidak dibahas oleh buku filsafat
ilmu sebuah pengantar populer oleh Jujun S. Suriasumantri.

27
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan
Kegiatan menalar memang tidak terlepas dari kegiatan dan kehidupan manusia
sehari-hari. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Jujun S. Suriasumantri dalam buku
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa memang manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mengembangkan pengetahuan untuk menunjang kehidupannya dan
selalu menggunakan penalarannya.

Dalam buku ini juga dipaparkan bahwa dalam penalaran yang dilakukan oleh
manusia itu terbagi atas beberapa paham yang dianutnya. Ada paham rasionalisme,
empirisme, koherensi, dan korespondensi. Penalaran yang bersifat rasionalisme
didasarkan atas berpikir logika atau logis. Penalaran yang bersifat empirisme adalah
penalaran yang didasarkan atas pengalaman atau kenyataan yang ditangkap oleh
pancaindera manusia. Penalaran koherensi adalah penalaran yang bersifat
berhubungan yang hampir sama dengan paham korespondensi.

Dalam konteks lain, sudut pandang manusia untuk menilai sebuah kebenaran
itu berbeda-beda. Jadi manusia mempunyai penilaian atau sebuah persepsi yang
berbeda dalam memahami atau mengerti tentang sebuah kebenaran. Sebagai contoh,
ada anak kecil yang merasa telah ditipu di sekolah. Bahwa 3+4=7, 5+2=7, 6+1=7
dalam urutan hari pertemuan belajar yang berbeda harinya. Berarti untuk menilai
sebuah kebenaran atas contoh si anak kecil tadi, jelaslah bahwa ada banyak kriteria
untuk menentukan kebenaran tadi, tidak berdasar atas satu jalan saja untuk
menilainya.

Kemudian, ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni


kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan
kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak
dipenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.

28
2. Saran
Untuk lebih menambah pemahaman, disarankan untuk membaca juga buku
filsafat ilmu lainnya agar semakin menguasai mengenai ilmu filsafat, cara berpikir
ilmiah, penalaran deduktif maupun induktif, juga materi-materi lainnya.

29

Anda mungkin juga menyukai