Anda di halaman 1dari 5

BAB 12

Penghubung Reformasi Desentralisasi Fiskal dan Manajemen Keuangan Publik di


Negara Berkembang

Penulis : Fedelino Annalisa dan Smoke Paul

Bab ini membahas analisis secara terintegrasi dan koordinasi yang lebih baik dalam
pengembangan dan pelaksanaan reformasi antara Public Financial Managemen (PFM) atau
dikenal dengan Manajemen Keuangan Publik dan desentralisasi (otonomi daerah) sehingga
menghasilkan manfaat bagi kinerja secara keseluruhan. Reformasi manajemen keuangan
publik (PFM) mencapai manfaat dari desentralisasi (otonomi daerah) karena berperan
penting dalam menjaga kondisi fiskal, penyediaan layanan publik yang efesien, dan
akuntabilitas pemerintah terhadap pemerintah pusat. Di negara-negara berkembang, kedua
reformasi tersebut didukung oleh organisasi internasional yang berbeda dengan prioritas
yang bertentangan sehingga menimbulkan konflik yang menghasilkan ketidakkonsistensi
dalam sistem pemerintahan dan menjadi fokus utama bab ini,.

Desentralisasi diterapkan seringkali karena alasan politik tanpa melihat substansi sehingga
perlu adanya peran penting dari reformasi PFM untuk membantu pemerintah daerah secara
berhati-hati melaksanakan tugasnya. Secara keseluruhan, Bab ini menekankan perlu
memperhitungkan faktor politik ekonomi dalam mengembangkan dan menghubungkan
antara reformasi PFM dan desentralisasi.
Bagian dari bab ini terdiri atas :

1. Tantangan Untuk Menjembatani PFM dan Desentralisasi Fiskal


Koordinasi antara reformasi PFM dan desentralisasi tidak mudah dan terdapat faktor-
faktor penghambat dalam mewujudkannya, yakni diantaranya :
a) Perbedaan Sifat dan Tujuan Reformasi PSM dan Desentralisasi Fiskal
Hubungan yang umumnya lemah antara reformasi PFM dan desentralisasi
tidak mudah untuk dipahami. Sifat kedua reformasi tersebut agak berbeda.
Elemen kunci PFM sama untuk semua pemerintah dan berkonsentrasi pada
pengelolaan keuangan publik, proses anggaran (persiapan, persetujuan, dan
pelaksanaan), umumnya terkonsentrasi pada isu-isu yang lebih teknis terkait
manajemen keuangan, lebih seragam daripada desentralisasi,dan dalam
banyak kasus disesuaikan dengan konteks negara tertentu. Sebaliknya,
desentralisasi melibatkan banyak variasi reformasi yang terkait, tidak hanya
dengan fiskal, tetapi juga dengan masalah politik (akuntabilitas dan pemilihan
subnasional) dan administratif (territorial, organisasi, dan procedural
nonfinansial), tidak dapat bekerja secara efektif tanpa unsur-unsur politik dan
administratif, kedua unsur tersebut secara kolektif dipergunakan dengan cara
beragam dan konteks yang berbeda pada tingkatan pemberdayaan
fungsional, swasembada fiskal, dan otonomi lintas tingkat pemerintah.
Adanya desentralisasi (otonomi daerah) dimana tanpa adanya mekanisme
dan ketentuan yang tepat bagi penyelenggara (tidak mengikuti praktek
pengelolaan yang baik ) dan politis daerah (ditunjuk terpusat tanpa adanya
pemilihan) sehingga menghambat efesiensi pelayanan publik. Perbedaan
sistem antar pemerintah dan kepentingan berbagai pihak sehingga jelas perlu
adanya pendekatan yang berbeda untuk desentralisasi dan tipe yang
berbeda yang berhubungan dengan PFM dan prosedur dan sistem lainnya.
Tujuan antara reformasi PFM dan desentralisasi sangat bervariasi dalam
situasi yang berbeda. Reformasi FPM cenderung berfokus pada pencapaian
satu atau lebih tujuan inti PFM untuk mempertahankan kedudukan fiskal yang
berkelanjutan (sustainable), alokasi sumber daya yang efektif, dan
penyediaan layanan publik yang efesien.
Sedangkan desentralisasi secara formal sebagai sarana untuk meningkatkan
kinerja sektor publik, termasuk meningkatkan tata pemerintahan yang
demokratis dan penuh perdamaian. Di beberapa negara, tujuan
desentralisasi lebih fokus untuk mempromosikan pemerintahan yang
demokratis daripada meningkatkan pemberian layanan dan akuntabilitas
fiscal (negara Bolivia), tujuan desentralisasi untuk mempertahankan atau
mempertunjukkan perdamaian serta mengembangkan stabilitas politik yang
lebih besar (negara pasca konflik seperti Kamboja, Republik Demokrat
Kongo, Irak, dan Kosovo).
Pemerintah yang berkomitmen akan dengan mudah untuk memulai reformasi
PFM daripada desentralisasi dan hambatan untuk menerapkannnya akan
lebih sedikit karena kurang berpolitik dan terlihat oleh publik sehingga kurang
dkritisi oleh publik.

b) Perbedaan Dalam Perspektif dan Kerangka Kerja Institusional


Secara umum berbagai aktor terlibat dan perumusan dan implementasi
kedua reformaai ini. Kerangkan kerja kelembagaan reformasi desentralisasi lebih
kompleks dibandingkan PFM. Reformasi PFM dikelola oleh Kementerian
Keuangan/ Perbendaharaan Nasional, sedangkan reformasi desentralisasi
dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Keuangn dan badan
perbendaharaan memiliki wewenang yang cukup besar atas lembaga lainnya
berdasarkan kotrol atas penganggaran nasional dan manajemen keuangan.
Reformasi Desentralisasi mengandalkan pengembangan hubungan kerja yang
baik dengan lembaga-lembaga pusat yang merumuskan kebijakan pemerintah
(Kementerian Keuangan dan Bappenas) dan lembaga yang mendukung
pelayanan publik (Kementerian Pendidikan, Kesehatan, dan Pekerjaan Umum).
Oleh karenanya, perlu adanya koordinasi dan dukungan baik dari sejumlah aktor
dengan perspektif dan pengaruh yang berbeda serta melibatkan sistem adopsi
dan prosedur baru agar desentralisasi dapat bekerja efektif.

c) Keragaman Konteks dan Titik Awal


Poin penting untuk memahami konteks reformasi PFM dan desentralisasi
adalah pada perumusan dan penerapannya. Dalam beberapa kasus, sistem PFM
tidak berfungsi, tidak transparan, dan menghadapi tantangan dalam membangun
sistem yang baru. Sedangkan desentralisasi terdiri dari berbagai bentuk seperti
dekonsentrasi (entitas administratif sub-nasional melapor pada tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi); delegasi (entitas sub-nasional digunakan untuk
melakukan fungsi tertentu); dan devolusi (entitas administratif sub-nasional
melapor pada dewan yang dipilih secara lokal). Dalam setiap kasus, unit
administrasi atau pemerintah daerah mungkin berbeda pada berbagai tahapan
pengembangan PFM dan tergantung pada sifat sistem, serta memiliki hubungan
yang berbeda dengan sistem PFM nasional. Desentralisasi juga dapat dimulai
dari posisi yang berbeda dan digunakan untuk merujuk penguatan pemerintahan
sub-nasional yang sudah ada tapi belum berfungsi dengan baik serta
mentransformasikan unit-unit adminsitrasi pemerintah pusat menjadi daerah
yang otonom dan berupaya untuk menyelaraskan struktur akuntabilitas. Selain
itu, dalam kasus-kasus ekstrim (negara pasca konflik atau berpenghasilan
rendah), desentralisasi dapat melibatkan pembentukan pemerintah daerah.

d) Urutan dan Prioritas Reformasi


Meskipun pemerintah daerah seharusnya tidak diberdayakan secara
berlebihan sebelum reformasi PFM diterapkan, pemerintah daerah harus
melakukan beberapa fungsi yang terlihat untuk memvalidasi keberadaannya dan
mulai mengembangkan kredibilitas dengan masyarakat, terutama jika sektor
publik secara keseluruhan dianggap kurang memiliki legitimasi. Dalam kasus-
kasus seperti itu, PFM dan reformasi desentralisasi perlu dibangun secara
simultan daripada berurutan; Reformasi PFM merupakan bagian dari reformasi
desentralisasi bahkan sebelum program reformasi PFM secara menyeluruh
diterapkan. Di negara-negara terbelakang, desntralisasi dimulai sebagai sistem
parallel yang didanai secara eksternal untuk menyediakan layanan lokal dan
mengembangkan tata kelola lokal. Secara umum, jika sistem sub-nasional
kurang dipahami dengan baik daripada praktik terbaik yang dibutuhkan,
reformasi PFM menciptakan lebih banyak masalah daripada penyelesaiannya
sehingga perlu adanya analisis yang cermat dan pendekatan strategis untuk
reformasi.

e) Perubahan Model Reformasi Menjadi Implementasi Strategi


Desain praktik telah menjadi dorongan utama reformasi sektor publik,
terutama yang didukung oleh lembaga internasional. Untuk mencegah sistem
dari stagnasi dalam bentuk terpusat yang menghalangi pemerintah daerah untuk
melaksanakan otonomi yang terkait dengan manfaat potensial desentralisasi
diperlukan adopsi proses implementasi. Implikasinya pada reformasi PFM adalah
adanya pemaksaan control ex-ante pada tahap awal desentralisasi dan
berkembang kearah ketergantungan pada control ex-post. Tipe lain pendekatan
strategi mengikat pada tingkat pendanaan untuk kepatuhan dengan persyaratan
keuangan dan administrasi tertentu. Unsur-unsur strategis yang melekat di
masing-masing dapat memberikan panduan bagi para reformator yang
merenungkan reformasi yang lebih komperhensif.

f) Peran Mitra Pembangunan Internasional


Mitra pembangunan internasional telah memainkan peran penting dalam
banyak program reformasi sector public di negara-negara berkembang termasuk
yang terkait dengan PFM dan desentralisasi. Upaya mitra pembangunan memiliki
dua efek yang sangat menonjol. Pertama mitra pembangunan menjadi kekuatan
pendorong dibalik ketidakseimbangan antara perhatian terhadap desain dan
implementasi. Meskipun bnyak perhatian diberikan pada implementasi, beberapa
negara mampu menciptakan proses implementasi strategis dan
menggunakannya secara efektif. Kedua, mitra pembangunan internasional
beragam dan memilki tujuan dan prioritas masing-masing. Mitra pembangunan
melakukan perhatian lebih pada reformasi PFM dibandingkan reformasi
desentralisasi.

2. Pembelajaran dari Studi Kasus Negara-negara


Bagian ini mengulas dan membandingkan tiga kasus negara yang menggambarkan
bagaimana faktor-faktor konsektual termasuk politik ekonomi, mempengaruhi sifat dan
prioritas relatif reformasi PFM dan desentralisasi yang sedang diimplementasikan. Di
samping itu, bagian ini juga menjelaskan positif dan negatif implementasi hingga
penyebab dan pengaruhnya yang mendasari. Tiga kasus negara tersebut, yakni :
a) Kosovo, tempat perbaikan PFM yang secara signifikan terjadi sebelum reformasi
desentralisasi yang berambisius dan bermotivasi politik; dan
b) Uganda, dimana perubahan politik besar memungkinkan pengembangan konsensus
dan kerangka kerja bersama untuk pemerintah daerah yang kuat, dan dukungan
yang hilang dari waktu ke waktu.
c) Indonesia : yang sebelumnya memiliki sistem dekonsentrasi di bawah kendali pusat
yang kuat dengan cepat dan signifikan bergeser ke desntralisasi dimana terjadi
reformasi besar-besaran di tengah krisis ekonomi dan politik yang besar (1997-
1998). Indonesia memiliki tiga tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan
kabupaten/kota) dan kerangka kerja desentralisasi yang relatif maju sehingga
pemerintah daerah mengelola hampir sepertiga dari total pengeluaran publik dan
memanfaatkan sekitar setengah dari total pengeluaran pembangunan. Pembagian
pendapatan daerah cukup besar, tetapi pendapatan asli daerah relative lemah
dibandingkan dengan tanggung jawab pemerintah daerah. Sumber utama
pendapatan daerah adalah dan hibah alokasi umum berdasarkan minimal 26% dari
pendapatan pemerintah pusat. Di sisi PFM, Indonesia belum menghadapi tantangan
serius yang sama dengan sistem keuangan subnasional yang telah menyebar di
sejumlah negara desentralisasi. Secara keseluruhan, belum ada pemutusan utama
antara PFM dan desentralisasi dan banyak mengalami perbaikan yang diadopsi
dalam sistem manajemen keuangan pemerintah daerah yang telah berupaya untuk
menggerakkan sistem kearah yang lebih baik.

3. Kesimpulan
Bab ini mendorong batas-batas wacana konvensional tentang hubungan antara
reformasi PFM dan denstralisasi dengan penekanan khusus pada negara-negara
berkembang dan transisi. Dalam dunia yang ideal, reformasi PFM dan desentralisasi
akan memiliki hubungan konseptual dan praktis yang kuat. Tetapi pada kenyataannya,
hubungan ideal ini umumnya tidak terjalin dengan baik saat dimplementasikan hal ini
dikarenakan reformasi PFM dan desentralisasi berjalan secara terpisah dan terkadang
dengan cara fundamental yang tidak konsisten dan diperkuat oleh perubahan kondisi
politik dan ekonomi, tujuan reformasi, dan aktor (domestik dan eksternal) yang terlibat
dalam reformasi.

Anda mungkin juga menyukai