Anda di halaman 1dari 21

LABORATORIUM PEDODONSIA

PENDEKATAN PADA ANAK DOWN SYNDROME

DISUSUN OLEH :
Entin Suhartini, SKG (2018-16-117)
Felicia Arihta Hosiana, SKG (2018-16-118)

PEMBIMBING :
Ika Anisyah, drg., Sp.KGA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA
PENDAHULUAN

Down syndrome merupakan kelainan genetic autosomal yang dapat terjadi pada

anak laki-laki dan perempuan (1:1000 kelahiran hidup) dengan kelebihan satu kromosom

21 (trisomi 21). Kelebihan kromosom ini menyebabkan abnormalitas perkembangan

kromosom, dan perubahan keseimbangan genetik tubuh yang menyebabkan perubahan

karakteristik fisik dan mental, kemampuan intelektual, dan gangguan fungsi fisiologis.

Istilah down syndrome diperkenalkan pertama kali oleh dokter berkewarganegaraan

Inggris, Dr. John Langdon Down dengan gambaran kondisi spesifik down syndrome,

terhambatnya tumbuh kembang dengan karakteristik fisik dan gangguan mental yang

khas tahun 1866.

Sejak tahun 1959 diketahui penyebab utama down syndrome adalah kelainan

kromosom (trisomi 21). Namun, etiologi down syndrome belum diketahui dengan pasti.

Diduga kelainan kromosom ini disebabkan oleh genetik, umur ibu dan ayah, radiasi,

infeksi, dan autoimun. Patogenesis dari down syndrome disebabkan oleh kelianan genetik

yang terjadi pada lebih dari 350 gen ekstra kromosom 21 yang menyebabkan gambaran

karakteristik fenotipe khas down syndrome.

Terdapat tiga tipe abnormalitas kromosom sebagai penyebab down syndrome.

Pertama, tipe trisomi 21 reguler (nondisjunction) yang merupakan kelainan sebagian

besar kasus down syndrome (95%). Individu ini memiliki kelebihan kromosom 21 pada

seluruh sel tubuh yang terjadi akibat kegagalan pemisahan kromosom saat oosis

bermeiosis. Kedua, tipe translokasi (3-4%), yang terjadi bila sebagian atau seluruh

kromosom ekstra 21 menempel (translokasi) pada kromosom lain (13,14,15,22). Ketiga,

tipe mosaik (1-2%). Individu ini memiliki ekstra kromosom 21 pada beberapa sel
tubuhnya, namun sel tubuh lainnya normal. Manisfestasi klinis down syndrome ini tidak

begitu parah disbanding 2 tipe lainnya.

Karakter klinis yang muncul pada down syndrome dapat bervariasi mulai dari

yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Secara

umum karakteristik down syndrome dikategorikan menjadi karakteristik perkembangan

dan fisik. Selain itu, kesehatan gigi dan mulut pada down syndrome juga merupakan hal

yang penting. Masalah utama yang dihadapi dokter gigi dalam penanganan down

syndrome adalah penatalaksaan manajemen tingkah laku anak yang sangat berbeda

dengan individu normal. Diperlukan pemilihan teknik pendekatan tingkah laku yang

sesuai agar anak mau menerima perawatan, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi

sistemik dan kemampuan anak. Strategi tindakan preventif sangat penting diedukasikan

terutama bagi orang tua mengingat down syndrome kurang mampu bahkan tidak mampu

menjaga oral hygiene secara benar. (jurnal randita)

Anak down syndrome dalam perkembangannya berbeda dengan anak normal.

Anak down syndrome mempunyai keterlambatan dan keterbatasan dalam semua area

perkembangan sehingga mereka mengalami kesulitan untuk merawat diri sendiri dan

cenderung memiliki ketergantungan dengan lingkungan terutama pada orang tua dan

sudara-saudaranya. (jurnal chrisly)


TINJAUAN PUSTAKA

Down Syndrome

Down Syndrome adalah kelainan kromosom yang disebabkan oleh kesalahan

dalam pembelahan sel yang mengakibatkan adanya kromosom tambahan 21 atau trisomi

21. Pada saat itu, diagnosis sindrom ini hanya berdasarkan pada temuan fisik. Pada tahun

1956, ditemukan bahwa komplemen normal manusia 46 kromosom dan pada tahun 1959

ditemukan bahwa sindroma Down dikaitkan dengan kromosom ekstra 21, dengan total 47

kromosom.

Etiologi Down Syndrome

Etiologi sindroma Down berkaitan dengan masalah non-disjunction dari

kromosom 21 selama oogenesis, sehingga kromosom 21 ekstra yang terdapat pada ibu

diturunkan pada anak. Penelitian terbaru juga menyatakan keterlibatan seorang ayah

sebagai etiologi melalui non-disjunction selama spermatogenesis. Banyak teori

berkembang mengenai penyebab sindroma Down, tetapi tidak diketahui penyebab

sebenarnya. Beberapa ahli mengatakan bahwa abnormalitas hormon, sinar-X, infeksi

virus, masalah imunologi, kecenderungan genetik, dan ketidakseimbangan enzim

mungkin sebagai penyebabnya. Usia ibu hamil diatas 35 tahun beresiko tinggi dan usia

ayah yang lebih tua juga menyebabkan tingginya kemungkinan memperoleh bayi dengan

sindoma Down

Sindrom Down biasanya disebabkan karena kegagalan dalam pembelahan sel atau

disebut nondisjunction. Tidak diketahui mengapa hal ini dapat terjadi. Namun, diketahui

bahwa kegagalan dalam pembelahan sel ini terjadi pada saat pembuahan dan tidak
berkaitan dengan apa yang selama kehamilan. Pada sindrom Down, trisomi 21 dapat

terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga dapat

terjadi saat mitosis dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya

terhenti pada saat profase meiosis I tidak berubah pada tahap tersebut sampai terjadi

ovulasi. Diantara waktu tersebut, nondisjunction. Pada sindrom Down, pada meiosis I

menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa

normal, yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.Nondisjunction

dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Adanya virus/infeksi

2. Radiasi

3. Penuaan sel telur. Dimana peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel

telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh

spermatozoa, sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan. 97

4. Gangguan fungsi tiroid. Dibeberapa penelitian ditemukan adanya binotiroid nada

anak dengan sindrom Down termasuk hinotiroid primer dan transien. Pituitary-

hypothalamic hypothyroidism defisiensi thyroxin binding globulin (TGB) dan

kronik limfositik tiroiditis, selain itu ditemukan pula adanya autoimun tiroid pada

anak dengan usia lebih dari 8 tahun yang menderita down syndrome

5. Umur ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi

dengan sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35

tahun). Angka kejadian sindrom Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam

400 kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang

dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi


androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi

estradiol sistemik perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan hormon LH

(Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) yang secara

tiba- tiba meningkat pada saat sebelum dan selama menopause, dapat

meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.

6.

Gambar : Nondisjunction

Pada gambar diatas, terlihat adanya pembelahan disebut nondisjunction

yang terjadinya pada saat meiosis, sehingga terjadi kelebihan jumlah kromosom

didalam tubuh manusia, yaitu menjadi 47 kromosom. Selain nondisjunction,

penyebab lain dari sindrom Down adalah anaphase lag. Yaitu, kegagalan dari

kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang

terbentuk pada pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya

perpindahan/pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus

sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis 3 ataupun mitosis
Karakteristik Anak Down syndrome

Fisik

Down syndrome memiliki ciri yang khas ditandai dengan adanya

mongoloid face. Pada bagian wajah tampak datar dengan sela hidung yang datar,

ukuran kepala pendek (brachycephaly) bentuk almond pada mata yang

disebabkan oleh lipatan epikantus pada kelopak mata dan garis kelopak mata

miring, leher pendek, ukuran telinga yang kecil dan letak telinga yang rendah

(low seat ear), ukuran mulut kecil tetapi ukuran lidah besar, ukuran dagu kecil.

Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa anggota tubuh yang lebih pendek

yaitu jari-jari tangan dan jari-jari kaki (brachydactyly), garis transversal yang khas

pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, antara ibu jari dengan

jari-jari lainnya terdapat ruang yang agak lebar, kulit kering, tonus otot yang

lemah.

Penyakit Jantung

Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom

Down dengan prevelensi 40-50%. Kelainan jantung yang telah teridentifikasi

pada penderita Sindrom Down antara lain: Complete Atrioventricular Septal

Defect (CAVSD) 37%,Ventricular Septal Defect (VSD) 31 %, Atrial Septal

Defect (ASD) 15 %, Partial Atrioventricular Septal Defect (PAVSD) 6 %,

Tetralogi Fallot (TOF ) 5 %, Patent Ductus Arteriosus (PDA) 4 %.

Hematologi

Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat


Leukemia, termasuk Leukemia Limfoblastik Akut (2%) dan Leukemia Myeloid

(10%) . Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat

klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada hati yang

mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X.

Dalam studi prospektif dan retrospektif, hingga 26% bayi dengan leukemia

transient akan berkembang menjadi FAB M7 subtipe leukemia myeloid akut

(AML-M7), juga dikenal sebagai leukemia megakaryoblastik akut (AMKL) atau

leukemia myeloid DS (ML-DS). AMKL terjadi pada sekitar 1 dari 50 sampai 200

anak-anak dengan sindrom down. Insiden ini sekitar 500 kali lebih besar pada

anak-anak dengan DS. AMKL dapat terjadi pada 4 tahun pertama kehidupan yang

terkait dengan mutasi pada GATA1. Sebaliknya, leukemia myeloid pada orang

dengan DS berusia empat tahun atau lebih tua biasanya negatif untuk mutasi

GATA1, dan prognosis mereka tidak berbeda dari AML pada pasien tanpa

Sindrom Down. Penderita Sindrom Down juga memiliki resiko terjadi leukemia

limfoblastik akut (ALL) sekitar 10-20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

anak-anak tanpa sindrom down.

SistemPencernaan

Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada

esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia). Saluran esofagus

yang tidak terbuka (atresia) ataupun tiada saluran sama sekali di bagian tertentu

esofagus. Biasanya ia dapat dekesan semasa berumur 1 – 2 hari dimana bayi

mengalami masalah menelan air liurnya. Saluran usus kecil duodenum yang tidak
terbuka penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini

disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan

mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana

perut membuncit dan susah untuk buang air besar. Saluran usus rectum atau

bagian usus yang paling akhir (dubur) yang tidak terbuka langsung atau

penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan

sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami

masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut

membuncit dan susah untuk buang air besar Apabila anak sudah mengalami

sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah.

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui

amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan.

Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau

mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati- hati memantau

perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan

sindrom down lebih tinggi.

Manifestasi Rongga Mulut Down Syndrome

Anomali Gigi

Anomali gigi sangat umum ditemukan pada penderita down syndrome.

Kelainan pada ukuran, bentuk, jumlah dan struktur gigi adalah salah satu dari

gangguan bawaan yang selalu ditemukan pada penderita down syndrome. (

Congenitally missing teeth (hypodontia): A review of the literature concerning the

etiology, prevalence, risk factors, patterns and treatment). Frekuensi anomali gigi
pada penderita down syndrome sepuluh kali lebih besar daripada individu normal.

Kelainan dalam ukuran gigi biasanya berupa mikrodonsia (gigi dengan ukuran

yang lebih kecil dari ukuran normal) kelainan dalam bentuk gigi adalah konus,

kelainan dalam hal jumlah adalah anodonsia sebagian dan gigi supernumerary.

Mikrodonsia pada penderita down syndrome ditemukan sekitar 35%-55%

(DOWN SYNDROME - A case report) . Mikrodonsia merupakan kelainan

ukuran gigi yang menunjukkan ukuran gigi yang lebih kecil dari normal. Secara

klinis memperlihatkan ukuran mahkota yang lebih kecil daripada variasi normal

disertai bentuk yang mengerucut. Mikrodonsia umumnya pada insisif kedua baik

pada gigi sulung maupun gigi tetap (Peg shaped). Bell dkk memeriksa ukuran

gigi insisif bawah dan menemukan bahwa ukuran mahkota gigi yang mengecil

dikaitkan dengan berkurangnya ketebalan email dan dentin.

Down syndrome sering mengalami keterlambatan erupsi gigi sulung dan

gigi tetap. Gigi sulung tidak erupsi sampai usia 2 tahun, terutama gigi anterior

rahang atas dan bawah, dan molar pertama dengan keterlambatan pertumbuhan

gigi yang utuh usia 4 sampai 5 tahun. Gigi molar permanen mengalami

keterlambatan erupsi sampai usia 6 tahun, gigi insisif rahang bawah 8 sampai 9

tahun. Hal ini dikaitkan dengan resorbsi tulang yang terjadi dengan lambat pada

anak Down syndrome. Tingkat kecepatan erupsi dipengaruhi oleh jaringan ikat

periradukular. Sirkulasi perifer yang buruk pada pada Down syndrome menjadi

faktor keterlambatan erupsi. Keterlambatan erupsi merupakan bagian dari

keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang menjadi ciri khas pada

penderita Down syndrome.


Missing teeth adalah suatu keadaan di dalam rongga mulut berupa

hilangnya gigi disebabkan terjadinya kegagalan perkembangan gigi. Anak

berkebutuhan khusu memiliki kemungkinan terjadi missing teeth yang lebih

tinggi karena adanya kelainan pada genetik yang menyebabkan keterlambatan

serta kelainan pertumbuhan dan perkembangan pada anak secara fisik dan mental,

salah satunya adalah Down syndrome. Individu dengan Down syndrome memiliki

kemungkinan kehilangan gigi insisif lateral rahang atas sebesar 19% dan sebesar

13.2% mengalami kehilangan gigi premolar kedua pada rahang bawah. Gigi yang

paling sering mengalami missing teeth adalah gigi paling distal dari semua jenis

gigi, yaitu insisif kedua, premolar kedua, dan molar tiga. Regio yang paling sering

terjadi missing teeth adalah regio anteror dibandingkan dengan posterior.

Agenesis ditemukan lebih banyak terjadi pada rahang atas dibandingkan dengan

rahang bawah, meskipun perbedaannya tidak signnifikan. Perbandingan antara

missing teeth bilateral memperlihatkan kecenderungan lebih tinggi daripada

unilateral.

Proses odontogenesis memerlukan inervasi yang baik agar dapat

membantu proses pembentukan jaringan dasar gigi, namun ada beberapa kasus

inervasi yang kurang baik menyebabkan kegagalann pembentukan gigi sehingga

mengalami agenesis. Agenesis terjadi karena cabang inervasi pada bagian

foramen infraorbital, insisif, palatinus, mental dan mandibular yang merupakan

daerah penting dalam pembentukan gigi memiliki struktur yang berbeda sehingga

menyebabkan proses odontogenesis terganggu. Percabangan terakhir pada sistem


inervasi lebih mempengaruhi odontogenesis dari gigi anterior bagian lateral, oleh

karena itu gigi lateral memiliki kemungkinan kehilangan gigi yang lebih besar

dibanding gigi bagian sentral.

Maloklusi

Maloklusi sering terjadi pada individu Down syndrome dan terjadi deviasi

besar dalam hubungan oklusal. Faktor-faktor yang memainkan peran penting

dalam terjadinya maloklusi ini adalah bernafas melalu mulut, pengunyahan yang

tidak benar, bruxism, agenesis, deviasi midline pada lengkung rahang atas,

openbite anterior, disfungsi TMJ, diastema gigi, keterlambatan erupsi pada gigi

sulung dan permanen, tongue thrust, otot yang hypotonic, gangguan

perkembangan rahang atas dan rahang bawah, dan hubungan rahang.

Maloklusi yang sering terjadi pada anak sindrom Down adalah maloklusi

Klas III. Insidens maloklusi ini terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan

bagian tengah wajah yaitu meliputi bagian nasal, premaksila dan tulang maksila.

Sekitar 69% penderita Down syndrome memiliki overjet mandibula. Temuan

lainnya adalah anterior openbite, posterior crossbite, maloklusi sagital.

Peningkatan insidens maloklusi pada anak sindrom Down ini adalah seperti yang

dilaporkan : Klas III (32%-70%); Klas II (3%-32%) ; crossbite unilateral dan

bilateral sebanyak 71% dan openbite 5%.

Lidah dan Bibir

Gambaran jaringan lunak rongga mulut yang umum dari Down syndrome

ialah ukuran lidah yang besar dan fissured tongue dengan kombinasi geographic

tongue. Fissured dan geographic tongue yang asimtomatik dapat menyebabkan


retensi dan penumpukan makanan dan berkontribusi menyebakan halitosis.

Penelitian mengungkapkan bahwa ukuran lidah tidak berbeda secara signifikan

dari individu normal. Ukuran lidah terlihat besar karena ukuran rongga mulut

yang kecil karena tidak berkembangnya pertumbuhan dari wajah bagian tengah,

karena tonus otot yang rendah menyebabkan lidah sering menjulur ke depan.

Hipotonia dari otot orofasial misalnya otot orbikularis, zygomatik, masseter dan

temporalis meningkatkan penutupan rongga mulut yang tidak benar, kurang

sempurnanya kemampuan menghisap, kontrol lidah yang buruk, gangguan

mastikasi, kesulitan bicara dan ketidakstabilan rahang. Terlihat pola cetakan gigi

secara unilateral maupun bilateral pada lidah yang dinamakan scalloped tongue.

Bibir atas terangkat dan sudut mulut tertarik ke bawah. Bibir bawah tebal,

kering, dan pecah-pecah. Lapisan mukosa rongga mulut tipis karena menurunnya

laju aliran saliva. Pembukaan mulut yang persisten karena lidah yang relatif besar

dalam rongga mulut yang dapat menyebabkan bernafas melalui mulut, drooling

(selalu mengeluarkan saliva), angular cheiltis. Keadaan drooling pada penderita

Down syndrome karena posisi mulut terbuka, lidah menjulur, dan hipotonik otot

orofasial. Uvula yang terbelah, cleft palate, dan submukosa.

Pertengahan Wajah dan Palatum yang Kompleks

Perkembangan seluruh kraniofasial yang terlambat dan profil wajah relatif

cekung. Kurangnya perkembangan ukuran rahang atas dan perkembangan ukuran

rahang bawah normal atau hipoplastik ringan. Defisiensi perkembangan rahang

atas secara vertikal mengakibatkan penutupan yang berlebih pada rahang bawah
dengan demikian menggambarkan lengkung rahang bawah relatif lebih maju dari

lengkung rahang atas. Palatum yang sempit dan tinggi sehingga terlihat seperti

anak tangga “stair palate”

Karies gigi merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya kerusakan

jaringan dimulai dari permukaan gigi dan dapat meluas ke pulpa gigi, diikuti

dengan kerusakan bahan organik organik yang dapat menyebabkan rasa ngilu

sampai rasa nyeri. Proses karies ditandai degan terjadinya demineralisasi pada

jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya, sehingga

terjadinya invasi bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta penyebaran

infeksi ke jaringan periapikal dan menimbulkan rasa nyeri.

Penderita sindroma Down yang bebas karies memiliki jumlah

Streptococcus mutans yang jauh lebih rendah dan peningkatan saliva

streptococcus mutans khususnya konsentrasi IgA. Beberapa faktor yang

menyebabkan rendahnya prevalensi karies pada penderita sindroma Down yaitu

karena terlambatnya erupsi gigi, kurangnya paparan dengan lingkungan yang

kariogenik, kehilangan gigi yang kongenital, tingginya pH saliva, meningkatnya

bikarbonat, mikrodonsia, adanya jarak antara gigi, dan fisur yang dangkal.

Saliva yang berbeda pada lingkungan elektrolit dan pH pada anak

sindroma Down menyebabkan tingkat karies yang lebih rendah. Nilai DMF,

viskositas, serta jumlah S.mutans pada anak sindroma Down lebih rendah

daripada anak normal sedangkan pH, jumlah elektrolit dan IgA yang lebih tinggi

daripada anak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa rendahnya karies gigi

pada anak sindroma Down dapat dihubungkan dengan pH basa, viskositas dan
jumlah S.mutans yang rendah, serta konsentrasi elektrolit dan IgA yang tinggi

pada saliva.

Penyakit Periodontal

Penderita down syndrome biasanya memiliki status kebersihan rongga

mulut yang buruk digambarkan sebagai peradangan margin gingiva, gingivitis

nekrotik akut dan subakut, resesi gingiva, peningkatan kedalaman poket,

periodontitis kronis, kehilangan tulang alveolar, abses, keterlibatan area furkasi,

peningkatan mobilitas gigi bahkan kehilangan gigi. Penyakit periodontal pada

down syndrome sebagian besar disebabkan oleh maloklusi, kebersihan mulut

yang buruk, dan penurunan sistem imun

Prevalensi peningkatan keparahan penyakit periodontal pada penderita

down syndrome 60%-90% dibandingkan individu normal dan penderita

keterbelakangan mental lainnnya. Prevalensi kehilangan tulang meningkat dari

35% menjadi 74% pada individu DS. Hanya hubungan moderat antara plak gigi

dan keparahan penyakit periodontal pada individu DS, sehingga menandakan

bahwa kerusakan periodontal yang cepat dan parah tidak dapat dijelaskan oleh

status kebersihan mulut yang buruk saja.

Gingivitis

Penderita down syndrome memiliki keparahan gingivtis yang lebih tinggi

dibandingkan penderita retardasi mental. Keparahan gingivitis pada penderita

down syndrome disebabkan karena penderita down syndrome mengalami

maloklusi yang sering terjadi pada rahang atas dan kelainan bentuk gigi

mikrodontia sehingga terdapat celah antar gigi pada rahang bawah sebagai retensi
plak dan keterbatasan dalam membersihkan gigi dan mulutnya menyebabkan

akumulasi plak. Kurangnya kemampuan penderita retardasi mental dalam

membersihkan gigi dan mulut menyebabkan terjadinya penumpukan sisa

makanan dan akumulasi plak. Plak nantinya akan termineralisasi menjadi

kalkulus. Kalkulus tidak secara langsung mengiritasi gingiva, tetapi permukaan

kalkulus yang kasar akan menjadi retensi plak sehingga menyebabkan akumulasi

plak Beberapa studi melaporkan bahwa insidensi dari penyakit periodontal pada

penderita down syndrome berkisar antara 90-96%. Hal ini juga dihubungkan

dengan penurunan respon imun. Gangguan sistem imun dan rendahnya daya tahan

terhadap infeksi pada down syndrome disebabkan terdapat defek kemotaksis

Polymorphonuclear Neutrophil (PMN), dan fagositosis.

Penatalaksanaan Manajemen Tingkah Laku

Perilaku yang baik di tempat praktik gigi harus dibiasakan. Dalam

penangan pada kasus pasien keterbatasan perkembangan, ini bisa menjadi

tantangan bagi dokter gigi dan staf lain. Perawatan gigi pada anak-anak down

syndrome usia dini mungkin dikesampingkan. Dengan alasan mungkin ada

masalah medis yang lebih mendesak, pertimbangan keuangan atau orang tua ingin

menunggu sampai anak tampak cukup dewasa untuk menghadapi kunjungan ke

dokter gigi. Sayangnya hal ini membuat anak lebih sulit diajarkan perawatan yang

tepat saat perawatan home care dan mengembangkan hubungan dengan anak yang

akan menghasilkan perilaku kooperatif selama perawatan gigi.


Masalah utama yang dihadapi dokter gigi dalam penanganan Down

syndrome adalah penatalaksanaan manajemen tingkah laku anak yang

sangat berbeda dengan individu normal. Diperlukan pemilihan teknik

pendekatan tingkah laku yang sesuai agar anak mau menerima perawatan,

tentunya dengan mempertimbangkan kondisi sistemik dan kemampuan anak.

Strategi tindakan preventif sangat penting diedukasikan terutama bagi

orangtua mengingat Down syndrome kurang mampu bahkan tidak mampu

menjaga oral hygiene secara benar. Tujuan perawatan untuk semua populasi

keterbatasan perkembangan harus sama sperti halnya pasien normal. Rencana

perawatan perlu disesuaikan sesuai kebutuhan kondisi masing-masing individu.

Tujuan keseluruhannya adalah untuk menyediakan perawatan selengkap mungkin.

Pendekatan dental preventif pada Down syndrome dapat

disesuaikan dengan kondisinya. Behavioral management yang dapat digunakan

yaitu metode visual, teknik tell-show-do, modelling, dan desensitisasi. Metode

visual yang diberikan berupa melalui foto-foto, model gigi, dan video youtube

yang berhubungan dengan perawatan dental pada anak. Beberapa foto

yang diperlihatkan meliputi foto perawatan dental, alat-alat kedokteran gigi,

sikat gigi dan model gigi. Selain itu, bila pasien sangat gelisah saat pertama

kali datang, sehingga pendekatan desensitisasi yang berulang dimulai dari

pemeriksaan skor plak yang rutin, dan penyikatan gigi. Metode lainnya

yang diterapkan adalah modeling dan tell-show-do. Metode ini dapat dilakukan

pada tingkatan intelectual disability Down syndrome yang ringan.

Reinforcement positif harus diberikan setelah anak berhasil diberikan


tindakan. Hal ini dapat membantu agar anak mau menerima perawatan pada

kunjungan berikutnya. Individu Down syndrome belajar dengan

memerlukan lebih banyak pengulangan dan semakin efektif bila

menggunakan media visual berupa foto, dan video.

Pendekatan perawatan dental pada anak berkebutuhan khusus

meliputi perawatan dengan pendekatan farmakologis dan non farmakologis.

Pendekatan farmakologis diberikan bila anak memerlukan perawatan

dental invasif, tetapi anak tidak kooperatif dan individu berkebutuhan khusus.

Perawatan dental pendekatan farmakologis diantaranya sedasi dan

anastesi umum. Perawatan dental pendekatan non farmakologis bertujuan

untuk membentuk tingkah laku agar lebih kooperatif, diantaranya modelling,

desensitisasi, retraining, behavioral shaping (tell show do), reinforcement,

kontrol suara, dan hipnosis. Selain itu, ada pula pendekatan non

farmakologis berupa hand over mouth (HOME) dan physical restraint.

Pemilihan pendekatan tingkah laku ini akan mempengaruhi keberhasilan

perawatan gigi dan mulut.

Langkah-langkah penatalaksanaan manajemen down syndrome:

1. Merencanakan appointment (secara langsung/telepon) untuk membahas

kebutuhan khusus pasien sebelum kunjungan pertama. Diskusikan hal ini dengan

orang tua atau pengasuh.

2. Membuat jadwal pada pagi hari atau waktu yang terbaik untuk pasien
3. Membicarakan dengan orang tua atau pengasuh untuk menentukan tingkat

kemampuan intelektual dan fungsional pasien. Dan menjelaskan setiap prosedur

pada tingkatan dimana pasien tersebut bisa mengerti

4. Menggunakan instruksi singkat, jelas, dan menjelaskan langsung ke pasien.

5. Meminimalkan distraksi seperti gambar dan suara yang mungkin menyulitkan

bagi pasien untuk bekerja sama

6. Mulai pemeriksaan rongga mulut secara perlahan, hanya menggunakan jari pada

awalnya. Jika ini berhasil, mulai dengan menggunakan instrumen.

7. Gunakan pendekatan Tell-Show-Do saat memperkenalkan instrumen atau

prosedur baru.

8. Memberikan penghargaan pada pasien yang kooperatif dengan reinforcement

verbal positif.

9. Mengembangkan serta meningkatkan kepercayaan dan konsistensi antara staff

gigi dengan pasien. Dan pada setiap kunjungan dengan staff gigi dan operator

yang sama.

Perawatan Gigi Preventif pada anak down syndrome:

1. Mempertimbangkan status jantung dan perlu untuk konsultasi atau premedikasi

bila diindikasikan.

2. Pemeriksaan pasien dari hari pertama kelahiran, mencermati pola erupsi gigi dan

malformasi.
3. Memantau penyakit periodontal. Berikan perawatan sesuai dengan kebutuhan dan

mempertimbangkan rujukan khusus jika diindikasikan.

4. Memberi saran cara menyikat gigi dengan tekanan atau tidak setelah mengetahui

dan menentukan batas toleransi pada anak yang mungkin terlalu merangsang

untuk pada beberapa anak.

5. Mempertahankan gigi pasien sebisa mungkin dan mempertimbangkan

pemeliharaan ruang dengan melakuakan konsultasi ortodontik jika ada gigi yang

hilang.
KESIMPULAN

Down syndrome merupakan kelainan genetic autosomal yang dapat terjadi pada

anak laki-laki dan perempuan (1:1000 kelahiran hidup) dengan kelebihan satu kromosom

21 (trisomi 21). Kelebihan kromosom ini menyebabkan abnormalitas perkembangan

kromosom, dan perubahan keseimbangan genetik tubuh yang menyebabkan perubahan

karakteristik fisik dan mental, kemampuan intelektual, dan gangguan fungsi fisiologis.

Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan dalam segala hal, termasuk menjaga

kebersihan rongga mulutnya sehingga masalah dalam rongga mulut pun tidak dapat

dihindari. Perawatan dental pasien sindroma down membutuhkan kerjasama dokter gigi,

dengan orang tua serta perawat, Dokter gigi harus mengetahui kondisi pasien secara detil,

kebanyakan pasien sindroma down kooperatif, untuk pasien dengan tingkat kecemasan

sedang dapat dilakukan Tell Show Do, immobilisasi untuk tingkat kecemasan tinggi

lakukan anestesi umum

Anda mungkin juga menyukai