Anda di halaman 1dari 12

NOTULENSI SEMINAR ONLINE LAUNCHING KEISYA 24

“Let’s Talk About Love”

Hari, tanggal: Selasa, 21 April 2020

Waktu: 19.30 s/d selesai

Pembicara: dr. Davrina Rianda, M. Gizi

1. Pertama-tama, kita perlu menyamakan dulu visi kita selama di dunia. Selama ini, kita
disibukkan dengan kuliah, kerja, mengurus anak, mengejar S2-S3, dsb, apa sih
sebenarnya tujuannya? Apa sebenarnya tujuan kita hidup di dunia?
2. Kita sering mendengar bahwa dunia itu sifatnya hanya sementara, tetapi sebenarnya,
‘dunia’ inilah kesempatan terbaik kita untuk menjembatani kita ke surga-Nya.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Tidak ada amalan seorangpun yang bisa
memasukannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga
denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah.” (HR Muslim)
3. Dalam Islam, kita sudah diberikan ‘kisi-kisi’ bagaimana caranya untuk menjadi “mapres”
nya dalam Islam. Bagaimanakah cara menjadi umat terbaik dalam Islam. Nah, dalam
surat Al Imran ayat 110, disebutkan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.”
Dengan demikian, dari sini, kita bisa menarik informasi bahwa amar ma’ruf nahi munkar
(menyeru kepada kebaikan, mencegah kemunkaran) adalah koentji agar produktivitas kita
bisa membawa manfaat.

Selain itu, dalam hadits, disebutkan juga bahwa:


“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat untuk manusia.
Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah kegembiaraan yang engkau masukan ke
hati seorang mukmin, atau engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau
membayarkan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya.
Dan aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi kebutuhannya itu lebih aku cintai
daripada ber-i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan lamanya. Dan siapa yang menahan
marahnya maka Allah akan tutupi auratnya. Barangsiapa yang menahan marahnya,
padahal ia bisa menumpahkannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan di
hari kiamat. Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya sampai ia memenuhi
kebutuhannya, maka Allah akan mengokohkan kedua kakinya di hari ketika banyak kaki-
kaki terpeleset ke api neraka.” (HR Ath Thabrani)
4. Dari ayat dan hadits tersebut, ternyata dalam Islam, kontribusi kepada lingkungan –
selain dari diri sendiri – sangat dianjurkan. Hal ini penting kita sadari karena niat kita
untuk menebar kebermanfaatan harus senantiasa diluruskan niatnya untuk Allah, Allah,
dan Allah. Ini terdengar sederhana, tetapi kadang menerapkannya agak menantang juga.

Kalau niatnya tidak dipanjangkan untuk Allah, maka kita akan mudah kecewa jika ikhtiar
yang kita lakukan belum sesuai harapan (misalnya: kurang ‘wah’, sudah dirancang tapi
tidak terlaksana, dll). Bahkan, bisa jadi karena niatnya belum ‘lurus’, kita jadi
menyalahkan lingkungan sekitar, memicu perselisihan, dan memunculkan rasa iri yang
sebenarnya tidak perlu timbul. 

Kalau niatnya sudah diluruskan untuk Allah, maka ketika ada ‘kegagalan’ dalam
prosesnya, kita akan memandangnya sebagai proses belajar dan “mungkin Allah punya
pintu lain bagi aku untuk bermanfaat”.
5. Ketika kita sudah menyadari pentingnya menebar kebermanfaatan dan meluruskan niat
kita, pertanyaan besar selanjutnya, “Bagaimana untuk memulainya, padahal aku ini
‘belum jadi apa-apa’?”

Ada lima poin kunci untuk memulainya:

#01 “Be the very best version of you”

Penting bagi kita untuk menyadari bahwa kita ini berkompetisi dengan diri kita sendiri.
Ibarat lari marathon, setiap orang sudah punya line-nya masing-masing. Fokus kita
adalah bagaimana caranya agar pribadi dan kebermanfaatan yang kita bawa hari ini harus
lebih baik dibandingkan hari kemarin.

Tapi kan, “Berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan”?

Ini artinya, kita harus benar-benar mengoptimalkan waktu yang kita punya. Kita tidak
tahu kapan kita akan mati. Jikalau kita tahu, tentu kita bisa membuat program kerja yang
teratur ya hingga nanti kita meninggal dunia. Oleh karena itu, ketika kita melihat ada
yang tampaknya “berbuat lebih besar”, ingat kembali yang sebelumnya kita bahas:
“NIAT”. Ketika kita niatnya lurus untuk Allah, maka adanya orang lain yang “berbuat
kebaikan lebih besar” menjadi pemacu kita untuk mengupgrade kebermanfaatan kita dan
semoga hal itu memicu kita untuk semakin giat mencari rahmat Allah SWT.

#02 Never aim for second best

Amanah yang tampaknya “kecil” jangan pernah dihiraukan. Kalau membawa amanah
kecil saja kita belum mampu, bagaimana kita bisa diberikan amanah yang lebih besar?
Kita tidak pernah tahu, mungkin saja amanah yang “kecil” ini akan menjembatani kita
bertemu Bapak A, mengenal B, ataupun melatih kemampuan C yang nantinya membawa
kita kea manah yang semakin besar.
Jangan pernah menganggap diri ini hanya “debu-debu”. Jangan underestimate diri kita
sendiri.

Kita sudah diciptakan dengan lengkap, punya ‘privilege’ untuk sehat hingga hari ini
(bahkan tambahan privilege untuk teman-teman yang mendapat kesempatan kuliah,
karena tidak semua orang bisa mengenyam Pendidikan tersebut). Semua nikmat yang kita
terima itu “tidak murah”. Setiap manusia yang hidup di dunia ini punya susunan gen yang
berbeda-beda (bahkan untuk orang yang kembar sekalipun).

*Setiap orang di dunia ini harusnya punya peran yang istimewa, yang tidak bisa
digantikan oleh orang lain. *Tugas kita: optimalkan peran kita yang tidak bisa digantikan
itu!

#03 Tumbuhkan Growth Mindset

Apa sih, growth mindset itu?

Growth mindset adalah sebuah pola pikir yang digagas oleh Carol Dweck, seorang
psikolog di Stanford. Mindset ini punya poin utama, “Kemampuan bisa dikembangkan
dengan dedikasi dan kerja keras – otak dan bakat hanyalah starting point.”

Pernah nggak akan diberikan amanah, lalu merasa kita “nggak pantas” menerima amanah
itu? Misalnya, diminta untuk menjadi MC, tapi kita merasa itu bukan ‘bakat kita’. Nah,
ini lawannya growth mindset, yaitu fixed mindset.

Dengan memiliki growth mindset, kita akan benar-benar menghargai proses belajar,
bahwa nggak ada orang yang tiba-tiba punya kemampuan Y. Semua harus ditempa
dengan kerja keras dan dedikasi. Penting bagi kita untuk senantiasa menempatkan diri
underpressure (karena berlian pun tercipta pada tekanan yang tinggi!).

Hal ini sesuai dengan prinsip “neuroplastisitas” pada otak, yaitu proses bagaimana suatu
kemampuan bisa dibentuk pada seseorang. 

Kemampuan “dibentuk” di otak melalui proses penguatan sinaps, yaitu jembatan antar sel
saraf. Hal paling utama untuk memicu penguatan sinaps ini adalah dengan “behavior”
atau perilaku. Artinya, jika kita ingin memiliki kemampuan A, maka harus melakukan A.
Ingin punya kemampuan menulsi, harus menulis! Tidak hanya dengan membaca tips-
tipsnya saja.

Dengan memiliki growth mindset, kerja keras dan dedikasi yang kita lakukan tidak terasa
berat, justru malah menggelitik diri kita ketika kita hari ini “kurang bekerja keras”. Kita
pun bisa menjadi “ketagihan” untuk senantiasa belajar dan menempa diri.

#04 Melatih resiliensi


Sering nggak, merasa setiap ngelakuin usaha, kok kayaknya kita gampang gagal ya?

Tenang saja, kamu nggak sendirian! Semua orang pernah mengalami kegagalan, bahkan
berulang-ulang. Yang kadang membuat kita jadi tidak menghargai diri kita sendiri.

Jadi, apa yang membedakan?

Kita harus melatih “resiliensi”.

Resiliensi ini adalah kemampuan kita untuk bangkit dengan cepat ketika menemui
kegagalan. Ini akan melatih kita untuk melihat “hambatan” sebagai tantangan untuk
mengupgrade diri. Kemampuan resiliensi ini banyak ditemukan pada tokoh-tokoh dunia
yang sukses.

Yakinlah bahwa Allah tidak akan membebani umat-Nya ujian yang melebihi kemampuan
kita. Kalau kita diuji, pasti kita sebenarnya mampu. Tinggal pilihan kita apakah dapat
menaklukan ujian itu.

Ujian ini dapat menjadi kesempatan kita untuk meningkatkan derajat seorang Muslimah
di sisi Allah. Ibaratnya, kalau kita jadi siswi, kalau mau naik kelas, pasti harus ujian
dahulu yaa. Jadikan setiap ujian adalah momen kita untuk mengupgrade diri!

#05 Lingkungan ‘membentuk’ kita

Hal yang cukup krusial namun sering kita luput adalah “membentuk” lingkungan kita.
Tidak bisa dipungkiri, kita itu akan ‘mudah’ terbentuk sesuai dengan lingkungan kita.

“Permisalan teman duduk yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi
dan tukang pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia akan memberimu
minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapat bau harum
darinya. Adapun tukang pandai besi, bisa jadi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau
kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” (HR Bukhari)

Lalu bagaimana agar kita tidak mudah “terbawa” lingkungan yang tidak baik?

Satu cara utama: Kita yang membentuk lingkungan kita!

Jangan sungkan untuk mengatur lingkungan kita, ketika kita merasa lingkungan kita
menarik kita ke hal-hal yang tidak membawa kita ke hal-hal yang akan membantu kita
mendapat rahmat Allah SWT.

Ingat, kita tidak hidup dua kali. Ketika kita malah terbawa untuk menghabiskan waktu
dengan ghibah, menonton hal-hal yang tidak berfaedah, ataupun melakukan hal-hal yang
sebenarnya tidak ada dampaknya terhadap rahmat Allah, maka di momen itulah kita
harus mengevaluasi diri maupun lingkungan kita. Itu yang saya pribadi lakukan, ketika
saya punya momen untuk “leha-leha”, saat itulah saya mempertanyakan kembali,

“Kok aku bisa sempat-sempatnya seperti ini ya? Hal lain apa yang bisa aku kerjakan?
Pressure mana yang bisa kudapat untuk menempa diriku?”

“Bagaimana aku mengatur lingkunganku agar bisa membentuk aku menjadi pribadi yang
A, B, C?”

Ketika kita ingin punya kemampuan A, punya goal B, coba kita cari lingkungan dengan
visi yang sama. Lingkungan yang dikelilingi oleh orang-orang yang sudah memiliki atau
sedang mempelajari kemampuan yang ingin kita bentuk itu.

InsyaAllah, kita akan punya lingkungan yang saling mengingatkan dan mendukung untuk
mencapai goal tersebut. Ini akan menjadi pemantik diri kita utk terus kontinyu, untuk
lebih konsisten melakukan ikhtiar kita.

PERTANNYAAN DAN JAWABAN

1. Nadhifah_Sidoarjo
Assalamualaikum, mau bertanya sekarang kan banyak orang yang nerasa dirinya
insecure bukan hanya soal fisik melainkan tentang bakat atau sebagainya. padahal
sebenarnya kita juga mempunyai bakat yang terpendam hanya saja kurang
menyadari dan kurang digali. bagaimana cara kita untuk melawan rasa insecure itu?

Waalaykumsalam Nadhifah,

pertanyaannya sangat menarik.

Di era milenial ini, adanya media sosial memang ibarat pedang bermata dua. Sisi
baiknya, kita bisa terpacu karena melihat ikhtiar dan pencapaian orang lain. Tetapi, di
sisi lain, mungkin membuat kita jadi minder dengan hal tersebut.

Satu hal yang bisa kita ingat:

Potensi itu tidak perlu dicari, tetapi harus dimunculkan.

Beberapa caranya sudah disebutkan pada pemaparan materi, misalnya dengan


berusaha 110% untuk setiap amanah yang datang, sekecil apapun bentuknya.
Semoga, dengan ketika mengerjakan amanah-amanah tersebut dengan sepenuh hati,
maka hal ini memunculkan potensi kita yang sebenarnya.

Sekadar bercerita, saya dulu waktu SMP s/d SMA itu anti sekali "public speaking"
dan tidak aktif dalam organisasi. Bagi saya, hal itu "bukanlah bakat saya".
Tapi kemudian, saat saya lulus SMA, saya merasa diri saya saat masuk SMA hingga
lulus SMA "sama-sama saja". Tidak ada upgradingnya, bahkan dulu saya punya
julukan 'suka gonta ganti pacar', itu saja yang diingat mgkn dari teman-teman saya.
Bukan kemampuan, kapabilitas, maupun pencapaian saya.

Akhirnya, saya berpikir, ibu saya sudah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan
saya, saya diberikan kesempatan pendidikan hingga usia 17 tahun - yang tidak murah
-, apa iya saya "cuma" jadi orang yang bisanya "cuma gonta-ganti pacar" saja?

Semenjak saat itu, saya langsung mendekati hal-hal yang dilakukan oleh teman-teman
saya yang saya rasa sangat terupgrade: yaitu berorganisasi. Ini akan susah, apalagi
saya tidak terbiasa (sebelumnya saat SMA saya hanya tergabung di organisasi yang
"mudah masuknya", dan saya tidak mengambil jabatan yang tinggi2). Niat saya waktu
itu hanya satu, untuk jadi pribadi yang baik, yang bisa meninggalkan legacy yang
baik kepada junior2 saya kelak.

Alhamdulillah, saya diterima di satu organisasi jurnalistik fakultas yang tidak mudah
utk dimasuki. Yang lebih di luar dugaan saya, masyaAllah, akhirnya saya menjadi
pemimpin dari organisasi tersebut.

Tentu saja, perjalanannya sangat panjang. Saya memulai tidak langsung jadi
pemimpin, tapi berkali2 jadi anggota, berkali2 jadi PJ, berkali2 jadi Ketua Acara, dst.
Hingga akhirnya mendapat amanah untuk menjadi pemimpinnya dan amanah untuk
beberapa kali mengisi seminar -sesuatu yang saya hindari tadinya karena tidak "pede"
dan merasa bukan bakat saya-.

Jadi kuncinya:

1. Mulai dari sekarang untuk mengambil amanah

2. Jalani amanah dengan 110%. Dalam menjalani amanah, find ways, not excuses.

3. Sabar dan luruskan niatnya untuk Allah.

Kalau niatnya lurus, ikhtiarnya maksimal = nggak ada kata gagal dalam mengemban
amanah. Setiap "kegagalan" akan jadi pembelajaran. Bagi saya, "gagal" dalam
mengemban amanah hanya ketika saya tidak ikhtiar maksimal.

Karena usaha = lahannya manusia

hasil = lahannya Allah

Melawan insecure kira-kira seperti itu. Dilatih dari amanah-amanah yang kecil, lama2
akan terbentuk percaya diri dan kapabilitasnya. InsyaAllah.
2. Ayu Elvriyani Sinaga_ Sumatera Utara, Kota Tanjungbalai
Pertanyaan saya dari ke 5 poin tersebut sudah dilakukan namun hasil tdk sesuai
harapan. Apa yang harus dilakukan?
Yg kedua apa keterkaitan dengan 5 poin tersebut dgn judul materi hari ini “let's talk
about love”?

Halo, Elvriyani. Terima kasih atas pertanyaannya yang menarik.

Jika sudah melakukan semua hal tsb, tapi hasil tidak sesuai harapan. Apa yang harus
dilakukan?

a) Ingat kembali bahwa:


Ikhtiar = lahannya manusia
Hasil = lahannya Allah
Artinya, tugas kita adalah menambah-kurang ikhtiar kita. "sama dengan" nya itu
lahannya Allah.
b) Re-definisi hasil
Apa yang kita maksud dengan "hasil"?
Ketika kita ikhtiar, apa yang sebenarnya jadi goal kita? CV, eksistansi, atau sudah
kita luruskan untuk Allah?
Jika sudah dipanjangkan niatnya untuk Allah, maka di balik setiap ikhtiar kita,
pasti ada pembelajarannya. Misal, yang sederhana, "gagal" mengundang pemateri.
Apa pembelajarannya? "Oooh, saya dapat kesempatan untuk terlatih mengontak
seseorang seperti X. Saya jadi tahu, kata-kata apa yang baiknya saya gunakan,
langkah-langkah apa yang harus saya ambil ketika dia begini, dan begitu."
Artinya, kita tetap dapat "hasil" sebenarnya. Kalau kita pikir-pikir lagi, yang
memunculkan penyesalan bukan ketika kita "gagal", melainkan ketika kita tidak
berikhtiar maksimal. Bayangkan, kalau kita sedang ujian, semisal kita sudah
belajar keras tapi ternyata pertanyaan yang keluar di luar konteks, lebih nggak
"jleb" dibandingkan ketika kita tidak maksimal belajarnya. Maka akan muncul,
"Ah, coba aku begini.. coba aku begitu.." dan kadang pemikiran ini yang bikin
kita down.
Dengan me-redefinisi hasil, itu akan membantu kita tidak mudah kecewa. 😊
c) Memahami prinsip "connecting the dots"
Ini sebenarnya adalah prinsip yang dibawa oleh alm Steve Jobs. Kadang, kita
melakukan A, B, kok rasa-rasanya nggak jelas arahnya mau ke mana. Padahal kita
sudah ikhtiar dengan melakukan hal yang baik, sesuai syariat, dll.
Ketika kita sudah ikhtiar maksimal , Ini saatnya membiarkan "tangan" Allah
bekerja. Ketika 5 tahun lagi, kita baru akan menyadari, "Ooh, dulu aku ngga
tembus univ X karena akan dibawa Allah ke posisi ini.. Ooh, dlu aku harus tunda
kerja dlu karena aku akan dibawa Allah untuk menemui ABC.."

Apa hubungan 5 poin tersebut dengan Lets Talk About Love?


Love yang dimaksud adalah bagaimana kita bisa mencintai diri sendiri dan
lingkungan kita, untuk mengoptimalkan kebermanfaat.
Mencintai diri dibutuhkan agar kita bisa menyadari bahwa kita adalah individu
yang penuh potensi. Bahwa kita harus ikhtiar untuk memunculkan potensi kita.
Caranya? Seperti yang sudah disebutkan di poin2 tadi.
Mencintai lingkungan adalah lahan kita untuk amar maruf nahi munkar, untuk
mengejar rahmat Allah SWT. Seperti yang sudah disebutkan di awal2. Luruskan
niat, itu adalah kunci utama sebelum memulai semuanya.

3. Rahma Dwi_Kab. Bandung


Jadi kalau misalkan kita mau menggapai sesuatu, kan harus menekuni sesuatu itu.
Nah, gimana kalau kita mau menggapai sesuatunya banyak, jadi bukan cuma satu??
Terima kasih kak :)

Waalaykumsalam warahmatullahi wabarakatuh Rahma,

Bagaimana kalau banyak yang ingin kita capai?

Ini sebenarnya saya bahas di buku Trias Muslimatika. Semoga teman2 sudah ada
yang baca bukunya yaa

Sebenarnya, tidak ada yang salah juga ketika kita memiliki keinginan untuk
menguasai kemampuan yang beragam. Karena di zaman sekarang, kita seperti
dituntut utk "serba bisa" yaa.

Nah, yang challenging ketika kita jadi nggak fokus dan malah bingung harus kejar
yang mana dahulu.

Caranya mudah: Ubah diri menjadi goal-oriented, dibandingkan tools oriented.

Contoh:

Tools = kuliah S1, kuliah S2, ikut course, tulis buku, buka bisnis, kerja jadi PNS, dll\

Goals =

- Goal pertengahan = berdakwah tentang pentingnya peran ibu, mengurangi


kesukaran orang-orang yang sedang terpuruk karena COVID
- Goal akhir = amar maruf nahi munkar, menjadi madrasah yang baik bagi anak,
melakukan amalan yang dicintai Allah

Kalau kita fokus utamanya di tools, kita jadi bingung sendiri karena rasa-rasanya kita
mau menjalani seluruh hal itu. Tapi susah, tapi mau, tapi harus.

Jadi, kita ubah fokus ke goal. Misal, mau dapat rahmat Allah dengan amar maruf nahi
munkar. Caranya adalah dengan melakukan "goal pertengahan" yang jadi jembatan
kita utk meraih gol akhir. Misal, goal pertengahan kita adalah berdakwah mengenai
pentingnya peran wanita muslimah.

Toolsnya? Apakah harus dengan saat itu juga jadi pendakwah yang dihadiri oleh
ribuan orang?

Nah, tools ini sebenarnya sifatnya fleksibel. Dengan contoh tadi, tools yang bisa kita
lakukan:

- Buka sosmed dakwah kecil2an

- Posting dakwah di akun sendiri

- Ambil course tentang public speaking yang baik

- Ambil S2 mempelajari behavior manusia dll

- Lihat video cara Ustadzah A berdakwah, dll

Beragam, tapi kita jadi lebih mudah untuk menyesuaikan tools mana yang kita bisa
lakukan duluan. Yang sesuai dengan kondisi kita saat ini. 

Hal ini penting, karena dengan fokus di goal, kita jadi "nggak apa apa" kalau belum
bisa menempuh pelatihan A, kuliah B, dll; karena pun banyak jalan menuju Roma.
Yang penting, fokus di goal akhir dan pertengahan yang mau kita capai. Kalau belum
tercapai? Kembali ke jawaban untuk Elvriyani

4. Fithrotun Ni’mah_Palembang
Seringkali kita menemukan orang-orang hebat di acara-acara seperti seminar, dll.
baik sebagai pemateri, pemandu, dll.
Nah, di situ kadang kita merasa bahwa kita nggak ada apa apanya dibanding
mereka, bagaimana cara kita mengubah mindset kita itu?
Terimakasih.

Halo, Fithrotun
Jawaban dari pertanyaan ini ada di poin #01 dan #02 dari pemaparan materi yaa.

Kunci:

1. Kita sudah punya "line" pacuan masing masing. Tugas kita bukan supaya kita jadi
bisa lebih baik dari orang lain, melainkan bagaimana diri kita hari ini bisa lebih baik
dari diri kita hari kemarin. Kita bersaing dengan diri kita sendiri yang di hari kemarin.
Fokus pada perbaikan diri sendiri, sehingga ketika kita melihat orang lain yang
mungkin kita jadikan panutan, maka hal ini justru jadi ladang kita untuk tahu tips-tips
mengupgrade diri sendiri.

2. Penting: Kita dilahirkan dengan sehat, lengkap, bisa punya priviliege untuk
mengenyam pendidikan, diberi kesempatan untuk punya hP dan internet untuk hadir
di diskusi ini = Never take that for granted. 

Bersyukur, bersyukur, bersyukur. Teman-teman di sini punya priviliege yang itu


semua "tidak mudah" dan "tidak murah". Kita diciptakan dengan sangat istimewa =
punya akal. Sehingga, setiap manusia pasti punya potensi yang luar biasa. Tugas kita,
optimalkan potensi itu.

Buka pikiran, buka telinga, buka mata. Masih banyak orang di luar sana yang untuk
makan saja, susahnya luar biasa.. Dengan nikmat yang Allah berikan saat ini, saatnya
kita "gives back" dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya.

PS. "Berbuat kebermanfaatan" itu nggak harus punya kantor sendiri, jadi founder, jadi
pembicara, dll. Siapa tahu, dengan caption atau chat kita yang sederhana, bisa
menjadi reminder yang ampuh bagi teman-teman kita untuk berbuat baik,
mempertajam ibadahnya, dsb.

Di akhirat kelak, kita pun mungkin nggak ditanya "maaf anda lulusan mana?" "Maaf
anda sudah isi seminar di berapa tempat" dsb. Tapi yang terpenting, bagaimana di
setiap ikhtiar yang kita lakukan, diniatkan untuk Allah, dan semoga bisa jadi ladang
untuk kita dapat rahmat Allah SWT.

5. Insyira_Tangerang Selatan
Untuk menebarkan kebermanfaatan tentu saja salah satunya dengan mengingatkan
teman apabila ia berbuat suatu kesalahan atau dosa. Namun terkadang hal tersebut
mendapat respon atau tanggapan negatif seperti "yaelah gini doang dan gausah
bawa berlebihan", "gausah sok alim lu" atau tanggapan negatif lainnya. Menurut
kakak gimana ya cara mengatasi tersebut? Sekian pertanyaan saya dan terimakasih.

Waalaykumsalam warahmatullahi wabarakatuh..


Gak apa-apa, mending dibilang sok alim daripada sok kafir.

Fokus dengan niat dan ikhtiar kita saja. Jangan lupa, harus tetap dicatat juga yaa
bagaimana cara mengingatkan teman kita dengan cara yang ahsan.

Perihal nanti orang itu akan berubah dll, itu bukan lahannya kita. Itu lahannya Allah
SWT.

CLOSING STATEMENT Dr. DAVRINA RIANDA

"Live the life, the way you want to live"

Kalau kita mau hidup kita penuh manfaat, mari kita jalani dengan segala ikhtiar utk
menebar manfaat. Hidup kita harus "dihidupi", tidak hanya dilalui begitu saja. Taruh di
dunia dalam genggaman, dan akhirat di hati kita. Taklukan dunia, karena inilah
kesempatan terbesar kita untuk meraih rahmat Allah agar bisa berkumpul di surga-Nya
kelak. Aamiin..

Anda mungkin juga menyukai