Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Hemodialisis
a. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis adalah yang suatu proses pemanfaatann ginjal buatan
(dialyzer) untuk pembersihan darah dari zat-zat yang konsentrasinya
berlebihan di dalam tubuh. Zat-zat tersebut dapat berupa zat terlarut
dalam darah seperti toksin ureum dan kalium atau zat pelarut dalam
darah seperti air dan serum darah (Suwitra, 2006 dalam Pranoto, 2010).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 812
Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, hemodialisis merupakan terapi pengganti fungsi
ginjal dengan alat khusus sebagai upaya mempertahankan kualitas hidup
yang optimal. Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan toksis
uremik dalam tubuh serta mengatur cairan elektrolit tubuh.
Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal dengan cara
memompa darah keluar dari dalam tubuh dan dimasukkan ke dalam
mesin dializer untuk dibersihkan dari zat-zat toksik melalui proses difusi
dan fiber oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), selanjutnya
darah dialirkan kembali ke dalam tubuh. Setiap proses hemodialisis
membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam dan dilakukan 1-3 kali seminggu
(Mahdiana, 2011, dalam Laksono, 2019).
Fungsi larutan dialisat adalah menarik kelebihan garam, toksik, atau
zat-zat lain untuk dikeluarkan dari darah secara aman. Larutan dialisat
yang digunakan tersebut adalah campuran dari air dan beberapa

8
9

substansi penting. Pemilihan larutan dialisat setiap pasien berbeda-beda,


hal ini didasarkan pada kondisi masing-masing pasien, misalnya dialisat
yang mengandung potassium konsentrasi rendah digunakan pada pasien
hiperkalemik untuk mempermudah difusi kalium dari darah ke larutan
dialisat (Munar, 2013, NIDDK, 2016, Buren & Palmer, 2017, dalam
Zahra, 2019).

b. Indikasi Hemodialisis
Menurut Smeltzer et al (2008, dalam Hutagaol, 2017) indikasi
dilakukannya terapi hemodialisis pada penderita GGK antara lain :
1) Laju filtrasi glomerulus <15 ml/menit/1,73 m²
2) Hiperkalemia
3) Kadar ureum lebih dari 200 mg/dl
4) Kreatinin lebih dari 65 mEq/L
5) Kelebihan cairan
6) Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali
7) Kegagalan terapi konservatif

c. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Hemodialisis


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien GGK
terhadap pelaksanaan hemodialis menurut Syamsiah (2011) yaitu :
1) Faktor Pasien
Faktor pasien meliputi karakteristik demografi (usia, jenis
kelamin, ras, status perkawinan, pendidikan), tingkat pengetahuan,
status bekerja, sikap, lamanya sakit, keyakinan, persepsi, nilai-nilai,
motivasi, harapan pasien dan kebiasaan merokok.
10

2) Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan


Faktor sistem pelayanan kesehatan meliputi fasilitas unit
hemodialisa, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan (biaya,
jarak, ketersediaan transportasi) dan waktu pelayanan.
3) Faktor Petugas
Faktor petugas meliputi karakteristik keberadaan tenaga perawat
terlatih, ahli diet, keterampilan serta kualitas komunikasi petugas
kesehatan.

d. Komplikasi Hemodialisis
Menurut Hirmawati (2014) komplikasi yang dapat diakibatkan oleh
terapi hemodialisis yaitu :
1) Regulasi tekanan darah, dapat terjadi selama dialisis ketika cairan
dari tubuh dikeluarkan.
2) Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang terjadi saat
hemodialisis tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem
vaskuler pasien.
3) Nyeri dada, dapat terjadi saat pCO2 menurun dalam waktu yang
sama dengan sirkulasi darah diluar tubuh.
4) Pruritus, dapat terjadi selama terapi hemodialisis ketika proses
produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.
5) Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena adanya perpindahan
cairan serebral yang muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
besar kemungkinan terjadi pada pasien dengan gejala uremia yang
berat.
6) Kram otot, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
7) Mual dan muntah.
11

2.1.2 Gagal Ginjal Kronik (GGK)


a. Definisi GGK
Ginjal adalah organ penting yang memiliki fungsi untuk mencegah
menumpuknya racun atau limbah tubuh sehingga dapat menjaga
komposisi darah, mengendalikan keseimbangan cairan, menjaga level
elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil, serta
memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan
tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap kuat
(Infodatin, 2017).
Ginjal yang mengalami gangguan pada pada tahap awal tidak akan
menunjukkan tanda dan gejala, namun tanpa pemberian terapi dapat
berjalan progresif menjadi gagal ginjal (Infodatin, 2017).
GGK adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, sehingga memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa hemodialisis atau transplantasi ginjal
(Rahardjo, 2014 dalam Ni’mah Mufidah, 2019).
GGK adalah suatu kondisi terjadinya penurunan progresif fungsi
ginjal dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Dikatakan GGK apabila
kerusakan ginjal atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR)
kurang dari 60 mL/min/1,73 m² selama minimal 3 bulan (Kidney
Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) (2012, dalam Infodatin,
2017).
GGK atau disebut juga sebagai End-Stage Renal Disease (ESRD)
pada orang dewasa adalah kondisi saat filtrasi glomerulus <15
ml/menit/1,73 m² atau kreatinin serum >8 mg/dl (Sjamsuhidajat, 2010,
dalam Rochmaningsih & Anita, 2018).
12

b. Klasifikasi GGK
Menurut data National Kidney Foundation (NKF) (dalam Hutagaol,
2017), klasifikasi penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) dibagi
menjadi lima stadium, yaitu :

Tabel 2.1 Stadium CKD


GFR
Stadium Deskripsi Istilah Lain (ml/mnt/
1,73 m2)
I Kerusakan ginjal Berisiko
dengan GFR normal >90
Kerusakan ginjal Insufisiensi Ginjal
II dengan GFR turun Kronik (IGK) 60-89
ringan
III GFR turun sedang IGK, GGK 30-59
IV GFR turun berat GGK 15-29
Gagal ginjal tahap
V Gagal ginjal akhir (ESRD) <15
(Sumber : Black & Hawks, 2013)

c. Penyebab GGK
Menurut Infodatin (2017), kejadian GGK dapat disebabkan oleh :
1) Diabetes Melitus (DM)
Pada pasien DM, tingginya kadar gula darah dapat merusak
membran penyaring ginjal. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya
protein sehingga terjadi kebocoran protein atau albuminuria yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal (Anita, 2016, dalam
Rochmaningsih & Anita, 2018).
2) Hipertensi
13

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan perlukaan pada


arteriol aferen ginjal sehingga mengakibatkan adanya penurunan
filtrasi yang progresif (Rahman, et al , 2013 dalam Divanda, 2019).
3) Glomerulonefritis Kronis
Glomerulonefritis adalah terjadinya inflamasi nefron, terutama
pada bagian glomerulus. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan atau
penurunan fungsi gromerulus dan membuat ginjal bekerja dengan
beban berat. Inflamsi ini dapat diakibatkan oleh infeksi streptokokus,
tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain
(Divanda, 2019).
4) Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan adanya kista multipel,
bilateral, dan berekspansi yang secara progresif akan mengganggu
dan menghancurkan parenkim ginjal normal. Hal ini disebabkan
karena adanya proses penekanan parenkim ginjal oleh massa (Price &
Wilson, 2012, dalam Divanda, 2019).
5) Obstruksi Infeksi Saluran Kemih
Obstruksi ini disebabkan oleh adanya batu ginjal atau kalkuli
urinaria yang terbentuk dari pengendapa garam kalsium, magnesium,
asam urat, atau sistein di saluran kemih sehingga menyebabkan
infeksi (Divanda, 2019).
6) Obesitas
Obesitas merupakan faktor yang menjadi pencetus atau
meningktkan faktor resiko GGK seperti DM dan hipertensi. Pada
orang yang obesitas, ginjal harus bekerja lebih keras menyaring darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat
badan. Peningkatan fungsi ini dapat menurunkan fungsi atau merusak
ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya GGK dalam jangka
panjang.
14

7) Tidak Diketahui
Selain faktor pencetus diatas, terdapat pula kasus GGK yang
terjadi tanpa diketahui pasti penyebabnya (Infodatin, 2017).

d. Patofisiologi
Beberapa penyakit dan kondisi yang mendasari seperti DM,
hipertensi, cedera ginjal, obesitas dan infeksi dapat mengakibatkan
terjadinya GGK. Saat ginjal telah mengalami kerusakan yang
irreversible, laju filtrasi glomerulus akan mengalami penurunan yang
progresif (Suwitra, 2014, dalam Aisara, Azmi & Yanni, 2018). Hal
tersebut akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang mengarah
pada glomerulosklerosis (Sudoyo, 2009, dalam Divanda, 2019).
Penurunan laju filtrasi tersebut akan mengganggu keseimbangan
glomerulotubular ginjal, sehingga terjadi peningkatan kadar air dan
natrium dalam tubuh. Hal tersebut akan menyebabkan retensi natrium
dan meningkatkan volume cairan ekstrasel.
Adapun rabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis air dari
lumen tubulus menuju kapiler peritubular dan menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah ini akan
menyebabkan kerja jantung meningkat dan merusak pembuluh darah
terutama di ginjal sehingga mengakibatkan gangguan filtrasi dan
peningkatan produk sampah metabolisme di tubuh. Sampah
metabolisme tersebut akhirnya akan terus tertimbun dan menjadi racun
sehingga menimbulkan berbagai gejala yang merugikan tubuh (Rahman,
et al, 2013 dalam Divanda, 2019).

e. Tanda dan Gejala GGK


15

Pada pasien GGK awal yaitu stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30


mL/menit/1,73 m²) biasanya terjadi asimtomatik. Pada stadium-stadium
ini masih belum ditemukan adanya gangguan elektrolit dan metabolik.
Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pada GGK stadium 4
dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73 m²) disertai dengan gejala
poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga uremia yang
ditandai dengan peningkatan sampah nitrogen di dalam darah, gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh (Rahman, et
al, 2013 dalam Divanda, 2019).
Sedangkan menurut Aisara, Azmi dan Yanni (2018), gambaran
klinis pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis yaitu :
1) Oliguria (Penurunan Urine Output)
Oliguria terjadi karena terganggunya fungsi ginjal untuk
mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume
cairan, sehingga terjadi penumpukan cairan didalam tubuh. Efek
medikasi yang dilakukan terhadap kelebihan cairan juga bisa
mempengaruhi pengeluaran urin, seperti pemberian diuretik.
2) Kelebihan Cairan
Kelebihan cairan yang terjadi dapat berupa asites, efusi pleura
dan edema perifer. Kelebihan cairan pada pasien GGK disebabkan
oleh terganggunya fungsi ginjal untuk menjalankan fungsi
ekskresinya. Kejadian asites dan efusi pleura dapat pula disebabkan
oleh terapi hemodialisis. Hal ini terjadi karena pada mesin dialisis
dilakukan penarikan cairan sampai tercapai berat badan kering, yaitu
berat badan dimana sudah tidak ada cairan berlebihan dalam tubuh.
Kelebihan cairan tersebut dialirkan ke dalam mesin dialyzer
yang alirannya dikontrol oleh pompa. Lalu cairan tersebut akan
dikeluarkan dari sirkulasi sistemik secara simultan selama proses
hemodialisis (Hsu et al, 2011, dalam Aisara, Azmi & Yanni, 2018).
16

Sedangkan edema perifer merupakan akibat dari penumpukan


cairan karena berkurangnya tekanan osmotik plasma serta retensi
natrium dan air. Cairan yang berlebih tersebut akan lebih mudah
menumpuk di tubuh bagian perifer seperti kaki karena adanya
peranan dari gravitasi. Hal ini menyebabkan edema perifer akan lebih
cepat terjadi dibanding gejala kelebihan cairan lainnya.
3) Regulasi Tekanan Darah
Penurunan GFR pada ginjal menyebabkan retensi natrium dan
meningkatnya volume cairan ekstrasel. Ekstra cairan dalam
pembuluh darah menyebabkan tekanan darah meningkat (Supadmi,
2011, dalam Aisara, Azmi & Yanni, 2018).
4) Asidosis Metabolik
Hilangnya fungsi ginjal yang terjadi secara progresif
menyebabkan berkurangnya kemampuan tubulus untuk
memanfaatkan amonia dalam mengekskresikan sekitar 1 mmol/kgBB
hidrogen yang diproduksi setiap hari pada keadaan fisiologis . Hal ini
mengakibatkan adanya kelebihan amonia dalam tubuh sehingga
terjadi asidosis metabolik (Ashurst, 2014, dalam Aisara, Azmi &
Yanni, 2018).
5) Gangguan Gastrointestinal
Gangguan sistem gastrointestinal yang terjadi dapat berupa
keluhan mual, muntah, dan tidak nafsu makan (anoreksia). Mual dan
muntah yang terjadi diduga karena gastroparesis atau keterlambatan
pengosongan lambung (Pardede, 2012, dalam Aisara, Azmi & Yanni,
2018).

6) Penurunan Status Gizi


17

Penurunan keadaan gizi pada pasien GGK dapat diakibatkan


oleh rendahnya asupan makanan yang merupakan efek langsung dari
gangguan gastrointestinal seperti anoreksia, mual dan muntah.
Penurunan status gizi juga dapat disebabkan oleh penurunan
kadar albumin yang terjadi karena kehilangan protein melalui urin.
Kadar albumin yang rendah dapat menimbulkan malnutrisi
(Rochmaningsih & Anita, 2018).
7) Gatal (Pruritus)
Pruritus biasanya lebih sering terjadi pada pasien yang telah
menjalani hemodialisis lebih dari 3 bulan, namun kejadian ini
diperkirakan bukan karena pengaruh dari proses hemodialisis (Pisoni
et al, 2006, dalam Aisara, Azmi & Yanni, 2018).
8) Kulit Kering
Pada dasarnya ureum yang bertumpuk karena terganggunya
fungsi ginjal akan dikurangi oleh mesin dialisat. Namun apabila
jumlah penumpukan urea (urea frost) atau ureum dalam tubuh terlalu
banyak, maka akan tetap menimbulkan gejala kulit kering.
9) Kelemahan Otot
Kelemahan otot yang terjadi kemungkinan disebabkan karena
kondisi tubuh yang menurun akibat penyakit yang sudah berat, atau
sudah mengalami komplikasi ensefalopati uremikum. Keterlambatan
pengobatan juga dapat menyebabkan lebih cepatnya mengalami
komplikasi penyakit.
10) Komplikasi Neurologis
Komplikasi neurologis biasanya terjadi berupa gangguan pada
sistem saraf pusat ataupun perifer. Namun komplikasi ini biasanya
jarang terdiagnosis sehingga tidak sempat mendapatkan pengobatan.
Ensefalopati uremikum adalah salah satu manifestasi klinis yang
18

diakibatkan oleh penumpukkan uremia yang paling berat (Rizzo et al,


2012, dalam Aisara, Azmi & Yanni, 2018).
11) Insomnia
Insomnia terjadi karena peningkatan osteodistrofi ginjal pada
hemodialisis jangka lama yang menyebabkan nyeri pada anggota
gerak, keadaan nyeri inilah yang menyebabkan tidur pasien
tegganggu pada malam hari (Malaki et al, 2012, dalam Aisara, Azmi
& Yanni, 2018).
12) Anemia
Kejadian anemia pada pasien GGK ditunjukkan dengan keluhan
berupa lemah, letih, lesu, konjungtiva anemis, dan penurunan kadar
hemoglobin.

f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian GGK


Berdasarkan hasil penelitian Pranandari dan Supadmi (2015)
didapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
GGK antara lain :
1) Jenis Kelamin
Secara klinik laki-laki mempunyai resiko mengalami GGK 2 kali
lebih besar daripada perempuan. Hal ini terjadi karena sebagian besar
perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup
sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena
gagal ginjal kronik (Pranandari, 2015). Selain itu, sebagian laki-laki
memiliki pola makan yang tidak teratur dan mengkonsumsi minuman
beralkohol (Fahmia, 2012, dalam Rochmaningsih & Anita, 2018).
2) Usia
Secara klinik pasien usia >60 tahun memiliki risiko 2 kali lebih
besar mengalami GGK dibandingkan dengan pasien usia <60 tahun.
Hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin
19

berkurang fungsi ginjal serta penurunan kecepatan ekskresi


glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus.
3) Riwayat Penyakit Hipertensi
Secara klinik pasien dengan riwayat penyakit hipertensi
mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 3,2 kali lebih besar
daripada pasien tanpa riwayat penyakit tersebut. Hipertensi dapat
memperberat kerusakan ginjal melalui peningkatan tekanan
intraglomeruler yang menimbulkan gangguan struktural dan
gangguan fungsional pada glomerulus. Tekanan intravaskular yang
tinggi tersebut selanjutnya dialirkan melalui arteri aferen ke dalam
glomerulus, dimana arteri aferen mengalami konstriksi akibat
hipertensi.
4) Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus
Secara klinik riwayat penyakit DM mempunyai resiko terjadinya
GGK 4,1 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat
penyakit tersebut. Komplikasi DM dapat menyebabkan penyakit
mikrovaskuler, di antaranya nefropati diabetika yang merupakan
penyebab utama gagal ginjal terminal.
5) Riwayat Penggunaan Analgetika dan Obat Anti Inflamasi Non-
Steroid (OAINs)
Mekanisme kerja obat analgetik dan OAINs yang digunakan
untuk menghilangkan rasa nyeri dan menekan radang (inflamasi)
adalah dengan menekan sintesis prostaglandin. Penghambatan
sintesis prostaglandin tersebut selanjutnya akan menyebabkan
vasokonstriksi renal, menurunkan aliran darah ke ginjal, dan
potensial menimbulkan iskemia glomerular.
6) Riwayat Merokok
Akibat dari merokok fase akut yaitu meningkatkan pacuan
simpatis yang akan berakibat pada peningkatan tekanan darah,
20

takikardi, dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase


akut beberapa pembuluh darah juga sering mengalami vasokonstriksi
misalnya pada pembuluh darah koroner, sehingga sering diikuti
dengan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi
filter.
7) Riwayat Penggunaan Minuman Suplemen Energi
Beberapa psikostimulan seperti kafein dan amfetamin yang
terdapat dalam minuman suplemen energi terbukti dapat
mempengaruhi fungsi ginjal. Amfetamin dapat mempersempit
pembuluh darah arteri ke ginjal, akibatnya darah yang menuju ke
ginjal berkurang. Hal tersebut menyebabkan ginjal akan kekurangan
asupan makanan dan oksigen sehingga sel ginjal mengalami iskemia
dan memacu timbulnya reaksi inflamsi yang dapat berakhir dengan
penurunan kemampuan sel ginjal dalam menyaring darah.

g. Komplikasi GGK
Komplikasi yang dapat muncul dari penyakit GGK menurut
Prabowo (2014, dalam Hutagaol, 2017) yaitu :
1) Penyakit Tulang
2) Penyakit Kardiovaskuler
3) Anemia
4) Disfungsi seksual

h. Penatalaksanaan GGK
Penatalaksanaan penyakit GGK difokuskan pada memperlambat
penurunan fungsi ginjal yang mana pada tahap tertentu dibutuhkan
terapi hemodialisis dan transplantasi ginjal (Infodatin, 2017).
21

Menurut NIDDK (2018) penatalaksanaan GGK dibagi menjadi 4


pilihan perawatan yaitu :
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah terapi yang berfungsi untuk menyaring
limbah dan cairan berlebih dalam darah. Mesin dializer akan
menarik darah dalam tubuh untuk selanjutnya melalui tahap filterasi
dan memompa kembali darah yang telah difilter ke dalam tubuh.
Hemodialisis ini biasanya dilakukan sebanyak 3 kali dalam
seminggu.
2) Dialisis Peritonial
Dialisis peritoneal merupakan jenis terapi dialisis yang
menggunakan lapisan perut sebagai jalur untuk proses penyaringan
limbah dan cairan ekstra dari tubuh. Setelahnya, proses dialisis
peritoneal memiliki mekanisme kerja yang sama dengan
hemodialisis.
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan penggantian ginjal dengan
menempatkan ginjal yang sehat dari donor ke dalam tubuh melalui
proses bedah. Setelah transplantasi, diperlukan pemantauan dan
konsumsi obat setiap hari sampai dipastikan sistem kekebalan tubuh
tidak menolak ginjal yang baru.
4) Manajemen Konservatif
Manajemen konservatif bertujuan untuk menjaga fungsi ginjal
dan kualitas hidup selama mungkin serta merencanakan perawatan
akhir hidup seperti manajemen diet dan aktivitas fisik.
22

i. Pencegahan GGK
Menurut World Kidney Day (WKD) (2020), langkah-langkah yang
dapat dilakukan untuk pencegahan GGK adalah sebagai berikut :
1) Meningkatkan pendidikan dan kesadaran akan risiko penyakit ginjal
2) Tetap aktif dan bugar
3) Melakukan pemeriksaan tekanan darah secara rutin
4) Konsumsi makanan bernutrisi dan kontrol kadar gula darah
5) Periksa berat badan secara rutin
6) Jaga asupan cairan tubuh
7) Jangan merokok
8) Jangan mengkonsumsi obat tanpa resep dokter secara reguler

2.1.3 Tekanan Darah


a. Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah suatu tekanan yang berasal dari dalam
pembuluh nadi arteri. Jantung normalnya berdetak dalam jumlah 60-70
kali dalam 1 menit. Pada kondisi tersebut darah dipompa menuju
seluruh tubuh melalui arteri (Kowalski, 2010, dalam Fitriani &
Nilamsari, 2017).
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan dari kegiatan
jantung ketika memompa untuk mengisi darah. Jantung memompa darah
ke seluruh tubuh melewati pembuluh darah, yaitu melalui bilik kiri
jantung yang memompa darah dari pembuluh darah aorta ke pembuluh
darah yang lebih kecil ke seluruh tubuh. Kegiatan jantung ini
menimbulkan tekanan tertentu dan dapat diperiksa dengan alat yang
dinamakan tensimeter (Pakpahan, 2014, dalam Anggraenny, 2019).
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan darah digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik
terhadap tekanan diastolik dengan nilai normal pada dewasa berkisar
23

dari 100/60 mmHg sampai 140/90 mmHg. Rata-rata tekanan darah


normal biasanya berada pada angka 120/80 mmHg (Smeltzer & Bare,
2012, dalam Hardiyanti, 2017).

b. Klasifikasi Tekanan Darah


Menurut Anggara dan Prayitno (2012), berdasarkan aktivitas
dinding arteri tekanan darah dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Tekanan Sistolik
Tekanan sistolik (systolic pressure) yaitu tekanan darah pada
saat jantung berdetak dan memompakan darah.
2) Tekanan Diastolik
Tekanan diastolik (diastolic pressure) yaitu tekanan darah pada
saat jantung beristirahat diantara dua detakan (B. Setiawan, 2017).
Sedangkan klasifikasi kriteria nilai tekanan darah menurut The
sevent report of the joint national committee on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure (JNC VII) seperti pada
tabel di bawah ini (Toulasik, 2019) :

Tabel 2.2 Pedoman Praktik Klinis Tekanan Darah Tinggi


Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal < 120 <80
Tinggi/ Elevated 120-129 <80
Hipertensi stage 1 130-139 80-89
Hipertensi stage 2 ≥140 >90
(Sumber : Whelton, et al, 2017)

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah


24

Menurut Subekti (2014), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi


tekanan darah yaitu :
1) Nutrisi
Nutrisi yang dikonsumsi dapat memberikan efek yang beragam
pada tubuh. Konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi dapat
mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung harus memompa lebih
keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang
yang semakin sempit, akibatnya tekanan darah menjadi meningkat
(Subekti, 2014).
2) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik dapat menenangkan sistem saraf simpatik yang
mengakibatkan terjadinya penurunan denyut jantung (Subekti, 2014).
Susilo & Wulandari (2011, dalam Subekti, 2014) menyatakan
bahwa aktivitas fisik atau olahraga banyak dihubungkan dengan
hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah, serta melatih
otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus
melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu.
Kurangnya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan risiko tekanan
darah tinggi karena bertambahnya risiko obesitas.
3) Kualitas Tidur
Durasi tidur yang pendek atau kualitas tidur yang buruk dapat
mengakibatkan hormon pengaturan keseimbangan tekanan darah
tidak bekerja optimal, sehingga kehilangan waktu tidur dapat
membuat sistem saraf menjadi hiperaktif dan mempengaruhi fungsi
jantung dan pembuluh darah (Calhoun & Harding, 2012, dalam
Subekti, 2014).

4) Psikologis
25

Faktor psikologis seperti ansietas, nyeri, takut, stres dan emosi


dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan stimulasi simpatik
sehingga terjadi peningkatan frekuensi darah, curah jantung serta
tahanan vaskuler perifer dan menyebabkan tekanan darah meningkat
(Hardiyanti, 2017).
Stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan
curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis.
Aktivitas saraf ini akan merangsang reaksi motorik tubuh termasuk
meningkatnya ketegangan otot, meningkatnya denyut jantung dan
meningkatnya tekanan darah (Saputri 2010, dalam Subekti, 2014).
Hal tersebut sejatinya memberikan pernyataan bahwa kondisi
fisik atau kesehatan dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologis
seseorang, tidak terkecuali tekanan darah. Kondisi ini menyebabkan
individu membutuhkan penatalaksanaan yang sesuai dengan masalah
yang ada. Pemenuhan kebutuhan sosio-spiritual dapat menjadi salah
satu pilihan penatalaksanaan yang dibutuhkan sebagai koping yang
adaftif. Yang mana faktor sosio-spiritual tersebut dapat diberikan
baik berupa pemberian dukungan sosial maupun spiritual.
Dukungan keluarga yang baik dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisa dengan
tekanan darah yang terjaga dalam batas stabil (Siregar, 2014).
Sedangkan Faridah (2016) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
domain spiritual maka tekanan darah semakin normal.

d. Teknik Mengukur Tekanan Darah


26

Tehnik pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter raksa


dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti di bawah ini (Familia,
2012, dalam Setiawan, 2017) :
1) Pasien duduk tenang dengan lengan rileks di atas meja, telapak
tangan menghadap ke atas, dan otot lengan tidak boleh menegang.
2) Letakan tensimeter didekat lengan yang diperiksa dengan skala meter
menghadap ke pemeriksa. Pemeriksa bisa duduk atau berdiri
dihadapan pasien.
3) Pasang kain pembalut (cuff) tensimeter di lengan atas dengan bagian
bawah pembalutnya berada sekitar 3 cm diatas lipat siku. Tekanan
atau bebatan hendaknya tidak terlalu ketat atau terlalu longgar.
4) Letakan ujung stetoskop pada lipat siku sejajar dengan jari kelingking
tempat denyut nadi paling keras teraba dengan tangan kiri. Pasangkan
stetoskop dikedua liang telinga.
5) Pegang bola karet tensimeter dengan tangan kanan. Buka katup
dengan gerakan memutar di pangkal bola pemompa dengan ibu jari
dan telunjuk searah jarum jam.
6) Letakan 3 jari tangan kiri (jari telunjuk, jari tengah dan jari manis) di
daerah pergelanagn tangan pasien yang di pasang cuff diatas nadi
yang paling kuat sejajar dengan ibu jari untuk merasakan denyut
nadi. Pompa bola karet sehingga air raksa tampak berangsur naik
dengan terus merasakan denyut nadi. Pompa dihentikan setelah
denyut nadi menghilang. Lalu pompa kembali sampai 30 mmHg dari
batas bunyi denyut nadi menghilang.
7) Perlahan-lahan putar kembali pemutar katup dengan arah berlawanan
dengan jarum jam menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kanan.
Atur laju turunnya air raksa sekitar 3 milimeter per detik.
8) Perhatikan turunnya air raksa pada skala saat bunyi detak jantung
pertama kali terdengar. Detakan tersebut ditetapkan sebagai nilai
27

tekanan atas atau sistolik. Sementara itu biarkan air raksa tetap turun
secara perlahan dan perhatikan pula skala air raksa saat bunyi jantung
terakhir atau menghilang. Detakan tersebut ditetapkan sebagai nilai
diastolik.
9) Apabila ragu atau gagal mendengar bunyi detak jantung, ulangi
kembali langkah diatas setelah memastikan skala meter air raksa
sudah berada pada angka nol sebelum kembali mulai memompa
ulang.

2.1.4 Dukungan Keluarga


a. Definisi Keluarga
Friedman (2010, dalam Rahmawati, 2016) mengungkapkan bahwa
keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kedekatan
emosional dan kebersamaan serta dapat menempatkan dirinya sebagai
bagian dari keluarga untuk memperoleh fungsi dan tujuan keluarga.
Menurut Andarmoyo (2012, dalam Efendi & Larasati, 2017)
keluarga adalah dua atau lebih yang yang hidup bersama dalam satu
rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai tugas dan
peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu
budaya.
Keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar
perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis. Atau seorang
laki-laki atau perempuan yang hidup sendiri tanpa ikatan perkawinan
lagi dengan atau tanpa anak, baik anak sendiri atau adopsi, dan tinggal
dalam sebuah rumah bersama (Muklisin, 2012, dalam Efendi &
Larasati, 2017).
Keluarga adalah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih
yang terdiri dari bapak, ibu, adik, kakak dan nenek dan masing-masing
28

memiliki hubungan kekerabatan (Jhonson & Lenny, 2010, dalam Efendi


& Larasati, 2017).
Keluarga adalah suatu kelompok terkecil dalam suatu komunitas,
yang mana berperan penting menurunkan tingkat stresor (Efendi &
Larasati, 2017).

b. Tipe Keluarga
Menurut Muklisin (2012, dalam Efendi & Larasati, 2017) tipe
keluarga terdiri dari dua yaitu :
1) Tipe Keluarga Tradisional
a) Nuclear Family (Keluarga Inti)
Suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan anak
baik anak kandung atau anak adopsi.
b) Extended Family (Keluarga Besar)
Keluarga inti yang ditambah dengan keluarga lain yang
mempunyai hubungan darah, seperti kakek, nenek, bibi dan
paman.
c) Dyad Family
Keluarga yang terdiri dari suami dan istri yang tinggal dalam
satu rumah tanpa memiliki atau adanya anak.
d) Single Parent Family
Keluarga yang terdiri dari satu orang tua (ayah atu ibu) dan
anak, baik anak kandung atau adopsi. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh kematian atau perceraian.
e) Single Adult
Satu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewasa baik
perempuan ataupun laki-laki.
f) Keluarga Usia Lanjut
29

Keluarga yang terdiri dari suami dan istri yang sudah lanjut
usia.

2) Tipe Keluarga Non Tradisional


a) Communy Family
Keluarga yang berkumpul dan hidup dalam satu rumah tanpa
pertalian darah.
b) Orang tua baik ayah atau ibu yang tidak ada ikatan perkawinan,
beserta anak baik kandung ataupun adopsi, hidup bersama dalam
satu rumah tangga.
c) Homo Seksual dan Lesbian
Individu berjenis kelamin sama yang hidup bersama dalam
satu rumah dan berperilaku layaknya suami istri.

c. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (2010, dalam Rahmawati, 2016) menjelaskan
bahwa fungsi keluarga adalah fungsi dasar untuk memenuhi kebutuhan
keluarga itu sendiri. Terdapat lima fungsi keluarga, yaitu :
1) Fungsi Afektif
Fungsi afektif merupakan fungsi internal keluarga dalam
memenuhi kebutuhan psikososial anggota keluarga. Fungsi ini
berhubungan dengan persepsi keluarga dan kepedulian terhadap
kebutuhan sosio-emosional semua anggota keluarganya termasuk
upaya mempertahankan moral (Friedman, 2010, dalam Rahmawati,
2016).
Melalui pemenuhan fungsi ini, keluarga memberikan
kenyamanan emosional, membantu membentuk identitas atau
kepribadian serta memberikan koping saat terjadi stres pada anggota
keluarga (Susanto, 2012, dalam Rahmawati, 2016).
30

2) Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi merupakan sebuah bentuk pengalaman belajar
yang diberikan dalam keluarga untuk mengajarkan dan melatih
anggota keluarga mengemban peran orang dewasa dalam masyarakat.
Keluarga mengajarkan tentang norma sosial, budaya, dan harapan
mengenai apa yang benar dan salah (Friedman, 2010, dalam
Rahmawati, 2016).
Dalam hal ini keluarga juga mengajarkan mekanisme koping,
memberikan feedback dan memberikan petujuk dalam memecahkan
suatu masalah (Susanto, 2012, dalam Rahmawati, 2016).
3) Fungsi Perawatan Kesehatan
Keluarga memiliki peran dalam memberikan keamanan dan
kenyamanan lingkungan untuk proses perkembangan, istirahat serta
untuk penyembuhan sakit (Friedman, dalam Susanto, 2012, dalam
Rahmawati, 2016).
Menurut Prat (dalam Rahmawati, 2016) keluarga merupakan
suatu sistem dasar tempat mengatur, menjalankan dan dijalankannya
perawatan serta perilaku kesehatan dengan memberikan promosi
kesehatan, upaya pencegahan serta perawatan bagi anggota keluarga
yang sakit.

d. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan


31

Menurut Supriyana (2010, dalam Efendi & Larasati, 2017)


kemampuan keluarga dalam melaksanakan perawatan atau pemeliharaan
kesehatan dapat dilihat dari pemenuhan tugas kesehatan keluarga
sebagai berikut :
1) Mengenal Masalah Kesehatan Keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang sangat penting.
Orang tua harus mampu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-
perubahan yang dialami oleh anggota keluarganya. Perubahan sekecil
apa pun yang dialami anggota keluarga, harus dapat disadari dan
diperhatikan. Keluarga perlu mencatat jenis dan bentuk perubahan,
kapan terjadinya, serta seberapa besar perubahannya. Hal ini akan
mempermudah keluarga untuk memantau dan menyikapi perubahan
kesehatan yang ada.
2) Membuat Keputusan Tindakan Kesehatan yang Tepat
Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk memilih
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan
pertimbangan di antara anggota keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan sebuah tindakan. Tindakan kesehatan yang
dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan
yang sedang terjadi dapat dikurangi kerugiannya atau bahkan teratasi.
Apabila keluarga mempunyai keterbatasan dalam mengambil
keputusan, maka keluarga dapat meminta bantuan kepada orang lain
di lingkungan tempat tinggalnya yang dianggap dapat dipercaya dan
memiliki pengetahuan yang sesuai dengan masalah yang ada.
3) Memberi Perawatan Pada Anggota Keluarga yang Sakit
Apabila terdapat masalah kesehatan pada anggota keluarga,
maka keluarga harus memiliki kemampuan untuk memberikan
perawatan yang sesuai dengan masalah tersebut. Perawatan dapat
dilakukan di rumah baik dengan cara perawatan sederhana,
32

tradisional atau sesuai tehnik pertolongan pertama pada gangguan


kesehatan.
4) Mempertahankan Suasana Rumah yang Sehat
Rumah adalah tempat berlindung dan bersosialisasi bagi anggota
keluarga. Sehingga anggota keluarga akan memiliki waktu yang lebih
banyak untuk berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal. Oleh
karena itu, kondisi rumah harus dapat menunjang derajat kesehatan
bagi seluruh anggota keluarga.
5) Menggunakan Fasilitas Kesehatan yang Ada di Masyarakat
Apabila terdapat anggota keluarga yang sakit dan keputusan atau
perawatan yang diberikan keluarga tidak cukup memberikan hasil
yang baik maka keluarga dapat berkonsultasi atau memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang ada di wilayah sekitarnya untuk
memecahkan masalah yang dialami anggota keluarganya, sehingga
keluarga dapat bebas dari segala masalah kesehatan.

e. Definisi Dukungan Keluarga


Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara
keluarga dengan lingkungan sosialnya yang bersifat mendukung dan
memberikan pertolongan kepada anggota keluarga (Friedman, 2010,
dalam Rahmawati, 2016). Tujuannya agar permasalahan yang dialami
oleh anggota keluarga dapat berkurang dan tidak menjadikan masalah
tersebut sebagai beban bagi anggota keluarga. Dukungan keluarga dapat
berupa dukungan penilaian, emosional, instrumental, dan informasi
(Setiadi, 2008, dalam Rahmawati, 2016).
Menurut Taylor (dalam Rahmawati, 2016) dukungan keluarga
merupakan bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga yang lain
sehingga dapat memberikan keyamanan fisik dan psikologis pada
anggota keluarga yang dihadapkan pada situasi stres.
33

Dukungan keluarga merupakan upaya yang diberikan kepada


anggota keluarga baik moril maupun materiel berupa motivasi, saran,
informasi dan bantuan yang nyata. Dukungan keluarga dapat diperoleh
dari anggota keluarga (suami, istri, anak, dan kerabat), teman dekat atau
relasi (Karunia, 2016).
Dukungan keluarga adalah salah satu bentuk dari terapi keluarga.
Melalui keluarga berbagai masalah kesehatan bisa muncul atau bahkan
dapat diatasi (Handayani & Wahyuni, 2012). Dukungan keluarga juga
merupakan bentuk koping keluarga dalam menghadapi masalah salah
satu anggota keluarganya, sehingga keluarga dapat meningkatkan
semangat dan motivasi untuk berperilaku sehat (Ningrum, 2018).

f. Bentuk Dukungan Keluarga


Menurut Harnilawati (2013, dalam Sari, 2015), bentuk dukungan
keluarga terdiri dari empat macam, antara lain :
1) Dukungan Penilaian
Dukungan penilaian adalah suatu dukungan sosial yang berasal
dari keluarga atas kemampuan dan keahlian anggota keluarganya.
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator
identitas bagi anggota keluarga, diantaranya dengan memberikan
pengakuan, penghargaan, bimbingan, serta penilaian positif dan
negatif (Sari, 2015).
Menurut Friedman (dalam Rahmawati, 2016) dukungan
penilaian berarti keluarga bertindak sebagai pemberi bimbingan,
umpan balik atas pencapaian serta menengahi pemecahan masalah.
Penilaian tersebut bisa positif dan negatif. Walaupun demikian,
penilaian yang sangat membantu tetaplah penilaian yang bersifat
positif yaitu dengan cara memberikan support, pengakuan,
34

penghargaan, dan perhatian sehingga dapat menimbulkan


kepercayaan diri pada anggota keluarganya.
2) Dukungan Instrumental
House (dalam Rahmawati, 2016) mengungkapkan bahwa dalam
dukungan istrumental, keluarga berperan sebagai sumber pemberi
pertolongan secara praktis dan nyata baik dalam bentuk bantuan
ekonomi, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan, maupun
menolong dengan pekerjaan ketika mengalami masalah. Manfaat dari
dukungan ini adalah individu merasa mendapat perhatian atau
kepedulian dan dukungan penuh dari keluarga.
Dukungan instrumental (peralatan atau fasilitas) yang dapat
diterima oleh anggota keluarga yang sakit melibatkan penyediaan
sarana yang mencakup bantuan langsung, biasanya berupa bentuk-
bentuk kongkrit yaitu berupa uang, peluang, waktu dan lain-lain.
Bentuk dukungan ini dinilai dapat mengurangi stres karena individu
dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan
materi (Friedman, 2010, dalam Toulasik, 2019).
3) Dukungan Informasional
Bentuk dukungan informasional yang diberikan oleh keluarga
menurut Kaakinen et al (2010, dalam Rahmawati, 2016) yaitu
sebagai pemberi semangat, pemberian nasehat, pemberian informasi
dari berbagai sumber yang didapat keluarga serta mengawasi
rutinnya melakukan perawatan diri dan pengobatan.
4) Dukungan Emosional
Bentuk dukungan emosional yang dapat diberikan keluarga
menurut Kaakinen et al (2010, dalam Rahmawati, 2016) meliputi
mendengarkan dengan seksama, memberi pujian dan berusaha ada
disaat anggota keluarga membutuhkan. Menurut Friedman (2010,
dalam Rahmawati, 2016) adanya dukungan emosional di dalam
35

keluarga secara positif akan mempengaruhi pertumbuhan dan


perkembangan setiap anggotanya. Dukungan emosional dapat
membuat individu merasa lebih baik, mendapatkan kembali
keyakinannya, merasa dimiliki dan dicintai oleh orang lain.

g. Tujuan Dukungan Keluarga


Tujuan pemberian dukungan keluarga kepada anggota keluarganya
menurut Friedman (2010, dalam Rahmawati, 2016) yaitu sebagai
strategi koping keluarga dalam masa stres.
Dukungan keluarga bertujuan untuk mengurangi stres dan akibat
negatifnya dengan berbagai strategi pencegahan. Hal tersebut dilakukan
agar permasalahan yang dialami oleh anggota keluaraga dapat
berkurang (Roth, dalam Friedman, 2010, dalam Rahmawati, 2016).
Tujuan lain dari dukungan keluarga adalah memberikan bantuan
secara langsung baik secara finansial maupun perawatan fisik sebagai
bentuk bantuan praktis selama masa kritis. Pada penyakit kronis, bentuk
dukungan keluarga secara langsung baik berupa bantuan ekonomi, sosial
atau psikologis yang adekuat sangat dibutuhkan (Taylor, dalam Yusra,
2011, dalam Rahmawati, 2016).

h. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga


Menurut Rahayu (2008, dalam Sari, 2019), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi dukungan keluarga yaitu :
1) Faktor Internal
a) Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan
Keyakinan individu terhadap adanya dukungan terbentuk oleh
variable intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang,
pendidikan dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan
membentuk cara berfikir individu termasuk kemampuan untuk
36

memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan


menggunakan pengetahuannya tentang kesehatan untuk menjaga
kesehatan dirinya dan anggota keluarga lain.
b) Faktor Emosi
Respon emosional yang diungkapkan seseorang yang
mengalami kondisi stres cenderung berdampak terhadap berbagai
tanda sakit, misalnya dengan cara mengkhawatirkan bahwa
penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang
yang secara umum memiliki sikap yang tenang mempunyai respon
emosional yang kecil selama sakit. Seseorang individu yang tidak
mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman
mungkin dapat memiliki respon emosional yang tinggi dan dapat
berpengaruh terhadap penyakit.
c) Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana individu
menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang
dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, serta
kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

2) Faktor Eksternal
a) Praktik dalam Keluarga
Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya
mempengaruhi individu dalam perilaku kesehatannya. Misalnya,
individu memiliki kemungkinan besar akan melakukan tindakan
pencegahan suatu penyakit jika keluarga melakukan hal yang
sama.

b) Sosio-ekonomi
37

Faktor sosial dapat mempengaruhi cara seseorang


mendefinisikan dan bereaksi terhadap masalah atau penyakitnya.
Variabel sosial meliputi stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan
lingkungan kerja. Individu biasanya mencari dukungan dan
persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi
keyakinan dan cara pengendalian kesehatannya.
Adapun espek ekonomi dapat mempengaruhi kecepatan
keluarga dalam mengambil suatu keputusan. Semakin tinggi
tingkat ekonomi keluarga maka semakin cepat pula tanggap dalam
mencari pertolongan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan ketika
merasa ada gangguan kesehatan pada anggota keluarganya.
c) Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya merupakan sumber keyakinan, nilai
dan kebiasaan keluarga dalam setiap perilaku kehidupannya,
sehingga akan berpengaruh terhadap kesediaan dalam memberikan
dukungan kepada anggota keluarga lain.

2.1.5 Spiritualitas
a. Definisi Spiritualitas
Spiritualitas adalah keyakinan dalam diri seseorang terhadap
kekuatan yang lebih tinggi yang kemudian menimbulkan kecintaan
terhadap adanya Tuhan serta menyesali atas segala kesalahan yang
pernah dilakukan (Hidayat, 2009, dalam Qurana, 2012, dalam Wilujeng,
2019).
Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan,
rohani, batin (Ndruru, 2019). Spiritualitas diyakini sebagai sumber
harapan dan kekuatan dari dalam diri seseorang serta merupakan
kebutuhan dasar bagi setiap individu (Sari, 2019).
38

Spritualitas memiliki dimensi antara individu dengan Tuhan,


individu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang dipercaya
sebagai sumber kekuatan yang dapat memberi makna pada kehidupan
serta merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu dalam setiap usia
(Sari, 2017, dalam Wilujeng, 2019).
Menurut Ivtzan et. al (2013, dalam Wilujeng, 2019) spiritualitas
digunakan untuk menggambarkan pengalaman batin yang dapat
mendorong individu, atau sebagai motivasi untuk mendekatkan diri pada
Tuhan dan untuk mendapatkan pengalaman yang lebih bermakna dalam
kehidupan.
Spiritualitas adalah suatu keadaan prikologis tersendiri sebagai
upaya untuk meningkatkan hubungan dengan Tuhan tanpa menghakimi
individu sebagai seseorang yang baik atau buruk. Spiritualitas ditandai
dengan adanya kesadaran diri akan kekuatan yang lebih besar yang
dapat mengendalikan alam semesta sehingga semua makhluk hidup
bergantung kepada-Nya (Novitasari et. al, 2017, dalam Wilujeng, 2019).
Spiritualitas dikatakan sebuah proses untuk menemukan makna dan
tujuan kehidupan yang dicari oleh seseorang dengan cara
mengandalikan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan alam
semesta dan kedamaian (Graham et. al, 2011, dalam Tyas, 2019).
Praktik dan keyakinan spiritualitas jugan menjadi sebuah
mekanisme yang dapat meringankan stres fisiologis dan psikologis pada
individu seperti sakit dan ketidakberdayaan. Sehingga penyakit dapat
dikelola dengan menggunakan praktik dan keyakinan spiritualitas.
(Harvey & Silverman, 2013, dalam Adyatma, 2019).
Kehidupan spiritual yang baik akan membantu seseorang untuk
lebih sabar, pasrah, tenang, damai dan ikhlas dalam menghadapi
persoalan, sehingga dapat menekan stres (Kasih, 2012, dalam Adyatma,
2019). Pasien menggunakan keyakinan dan agama agar dapat menerima
39

kenyataanata penyakitnya untuk mengelola kondisinya dengan sabar,


toleran, mengharap dengan tenang, dan percaya diri demi mewujudkan
kualitas hidup dan masa depan yang baik (Shahrbabaki et al, 2017,
dalam Adyatma, 2019).

b. Aspek Spiritualitas
Menurut Underwood (2006, dalam Wilujeng, 2019) spiritualitas
memiliki beberapa aspek. antara lain :
1) Hubungan
Meliputi hubungan antara individu dengan Tuhan dan
lingkungannya. Individu yang memiliki hubungan dengan Tuhan
akan merasa lebih kuat dan tidak merasa sendiri. Hubungan individu
dengan lingkungan sekitar memiliki makna bahwa adanya hubungan
yang nyata antara individu dengan lingkungan atau alam sekitarnya
dalam proses kehidupan.
2) Kebahagiaan dan Rasa Transendensi Diri
Menjelaskan tentang kebahagiaan dan rasa transendensi diri.
Rasa transendensi diri adalah perasaan yang berhubungan dengan
sesuatu di luar batas kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman
individu yang bersifat spiritual dan religius.
3) Kekuatan dan Kenyamanan
Menjelaskan tentang pengalaman, kekuatan dan kenyamanan
spiritualitas individu. Kekuatan membuat individu lebih berani dalam
menghadapi segala kondisi dalam kehidupannya. Sedangkan
kenyamanan adalah rasa aman serta terhindar dari kondisi yang
membahayakan.
40

4) Kedamaian
Kedamaian adalah ketenangan batin yang dirasakan individu saat
berada dalam keadaan baik maupun buruk sehingga individu tetap
merasa aman.
5) Bantuan Tuhan
Menjelaskan bahwa individu dengan spiritualitas tinggi akan
meminta pertolongan pada Tuhan sebagai bentuk koping saat
mengalami kondisi atau masalah sulit sehingga kesejahteraan
psikologis tetap tercapai.
6) Bimbingan Tuhan
Menjelaskan bahwa individu dengan spiritualitas tinggi akan
merasa dibimbing oleh Tuhan setelah meminta pertolongan, serta
keyakinan dapat menghadapai segala kondisi diluar batas
kemampuannya.
7) Persepsi dan Merasakan Cinta Tuhan
Menjelaskan bagaimana persepsi kasih sayang akan dirasakan
individu secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
yaitu saat individu akan merasakan situasi yang berkesan dalam
hidupnya sendiri. Secara tidak langsung saat individu akan
merasakan kasih sayang melalui orang lain disekitarnya.
8) Kekaguman
Menjelaskan bahwa individu yang memiliki spiritualitas tinggi
akan merasakan kekaguman dengan segala keindahan ciptaan Tuhan
baik suatu fenomena, peristiawa maupun keindahan alam semesta.
41

c. Karakteristik Spiritualitas
Menurut Wulan (dalam Wilujeng, 2019) spiritualitas memiliki
beberapa karakteristik khusus, antara lain :
1) Hubungan dengan Tuhan
Hubungan dengan Tuhan dapat dilihat dari keagamisan
seseorang seperti bagaimana melaksanakan perintah agama baik
berupa sembahyang, berdoa, meditasi, melaksanan kewajiban agama
maupun menyatu dengan alam.
2) Hubungan dengan Diri Sendiri
Hubungan dengan diri sendiri dapat dilihat dari sejauh mana
seseorang mengerti akan dirinya sendiri, seperti pengetahuan tentang
dirinya (siapa, apa yang dapat dilakukan) maupun sikap yang dimiliki
(kepercayaan pada diri sendiri, kehidupan atau masa depan, serta
keselarasan dengan diri sendiri).
3) Hubungan dengan Orang Lain
Hubungan dengan orang lain dapat dilihat dari kemampuan
seseorang untuk berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang
lain secara harmonis, serta kesediaan untuk dapat berbagi dengan
orang lain.
4) Hubungan dengan Alam
Hubungan dengan alam yaitu dengan menjaga dan memahami
alam, seperti tanaman, hewan, dan iklim serta cara seseorang
mengabadikan dan menghargai alam sekitarnya.
42

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas


Menurut Adyatma (2019) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
spiritualitas yaitu sebagai berikut :
1) Tahap Perkembangan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak yang
mempunyai empat kepercayaan yang berbeda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mereka memiliki pandangan tentang Tuhan dan
bentuk ibadah yang berbeda-beda dilihat dari agama, umur, jenis
kelamin, dan kepribadian masing-masing.
2) Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama kali dan tempat yang paling
dekat dalam memandang kehidupan sehari-hari. Peran keluarga
menjadi hal penting yang sangat menentukan perkembangan
spiritualitas anggota keluarganya.
3) Agama
Agama sangat mempengaruhi tingkat spiritual individu. Agama
merupakan suatu sistem keyakinan individu dalam pemenuhan
kebutuhan spiritualnya. Agama berperan sebagai sumber kekuatan
dan kesejahteraan pada individu.
4) Pengalaman Hidup Sebelumnya
Pengalaman hidup individu dapat mempengaruhi tingkat
spiritualitas, baik pengalaman yang baik maupun buruk. Spiritualitas
juga dipengaruhi oleh bagaimana cara seseorang dalam memaknai
pengalaman hidup secara spiritual.
5) Krisis dan Perubahan
Krisis dan perubahan dalam kehidupan membuat tingkat spiritual
individu semakin kuat. Kondisi krisis biasa dialami individu pada
saat menderita suatu penyakit, kehilangan, kemalangan, proses
menua, penyakit terminal atau prognosis yang buruk dan bahkan
43

kematian. Pada umumnya individu yang didiagnosis suatu penyakit


khususnya penyakit terminal akan timbul sebuah pertanyaan
mengenai kepercayaan spitualnya. Apabila seseorang dihadapkan
dengan kematian maka biasanya keyakinan spiritual dan keinginan
dalam ibadah dan berdoa akan lebih meningkat dibandingkan
seseorang dengan penyakit non terminal.
6) Terpisah Ikatan Spiritual
Individu yang terlepas dari ikatan spiritual akan berisiko
mengalami perubahan pada fungsi spiritualnya. Misalnya pada
individu yang sedang sakit dan merasa terisolasi, kehilangan sistem
dukungan sosial dan kebebasan pribadi dalam menghadiri suatu acara
atau aktivitas keagamaan.
7) Isu Moral Terkait dengan Terapi
Proses penyembuhan penyakit dinilai sebagai cara Tuhan dalam
menunjukkan kebesaran-Nya, meskipun ada beberapa yang menolak
untuk melakukan program pengobatan. Dalam hal ini, setiap individu
memiliki persepsi mandiri dalam setiap prosedur pengobatan yang
dipengaruhi oleh pengajaran agama.
8) Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai
Hal ini berkaitan dengan proses pelayanan keperawatan untuk
pemenuhan kebutuhan spiritual pasien. Seharusnya perawat mampu
memenuhi dan memfasilitasi kebutuhan spiritualitas pasien, namun
kadangkala perawat menghindar untuk memberi asuhan spiritual.
Perawat dapat merasakan kurang nyaman dengan kehidupan
spiritualnya, menganggap spiritualitas kurang penting, atau
pemenuhan kebutuhan spiritual klien bukan menjadi tugasnya
merupakan beberapa alasan perawat bersikap tak acuh pada
kebutuhan spiritualitas pasien (Ambarwati, 2012, dalam
Widiariastuti, 2019).
44

e. Tahap Perkembangan Spiritualitas


Spiritualitas dapat berkembang seiring dengan bertambahnya usia
individu, tahap perkembangan spiritual menurut Hamid (2008, dalam
Wilujeng, 2019), antara lain :
1) Usia Bayi dan Todler (Usia 0-2 Tahun)
Awal proses kehidupan individu dimulai dari lingkungan
keluarga sehingga rasa percaya mulai timbul dari keluarga atau
pengasuh karena rasa aman dan hubungan interpersonal. Pada tahap
ini individu cenderung hanya meniru kegiatan lingkungannya
termasuk kegiatan spiritual karena belum memahami makna kegiatan
tersebut dan belum memiliki rasa salah dan benar.
2) Usia Prasekolah
Pada tahap ini keluarga mulai mengajarkan hal yang dianggap
baik atau buruk. Namun anak prasekolah cenderung mengikuti apa
yang mereka lihat dari pada apa yang diajarkan kepada mereka,
sehingga masalah akan muncul apabila apa yang telah diajarkan
orang tua tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang tua,
termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan spiritual. Mereka akan
mulai banyak bertanya mengenai hal-hal kecil kepada orang tuanya
karena masih belum mengerti akan keberadaan Tuhan.
3) Usia Sekolah
Pada masa ini anak akan lebih kritis dalam berfikir, mereka
mulai mencari alasan dari suatu hal dan tidak menerima suatu
keyakinan begitu saja. Mereka akan sering mengalami kekecewaan
karena doanya tidak selalu direalisasikan.
Saat remaja anak akan mulai mengambil keputusan sendiri
apakah meneruskan agama yang dianutnya atau tidak. Selain itu
mereka akan membandingkan aturan dan keyakinan dalam
keluarganya dengan keluarga lain kemudian membuat aturan sendiri
45

dalam hidupnya. Serta mencoba menyatukan pandangan agama dan


pandangan ilmiah dalam kehidupan sehari-hari.
4) Dewasa
Pada usia dewasa muda, individu akan menyadari bahwa hal
yang ditanamkan saat kecil lebih bermanfaat saat menginjak usia
dewasa. Individu berusaha untuk lebih memperdalam spiritualitas
sebagai sumber koping terhadap stres dan kesulitan yang dihadapi.
Walaupun kadang mengalami kesulitan karena terbatas waktu oleh
pekerjaan.
5) Usia Pertengahan
Pada usia ini, tingkat spiritualitas individu akan lebih matang dan
memiliki waktu yang lebih banyak untuk kegiatan ibadah.
Kematangan spiritual ini dapat membantu orang tua untuk
menghadapi kenyataan, menjadikannya merasa berharga, serta
berperan aktif dalam lingkungannya. Akan tetapi masa pensiun dan
kehilangan karena kematian akan membuat mereka merasa kesepian
dan mawas diri.

f. Dimensi Spiritualitas
Dimensi spiritualitas menurut Hardt et al (2012, dalam Prasetyawati
& Virlia, 2019) terbagi menjadi empat, yaitu :
1) Belief in God
Dimensi ini menjelaskan tentang rasa percaya individu kepada
Tuhan, dimana rasa percaya tersebut dijadikan sebagai salah satu cara
untuk meminimalisir kecemasan yang muncul akibat masalah yang
terjadi. Permasalahan yang dialami oleh individu seringkali
memunculkan ketidakpastian dan kecemasan akan jalan keluar yang
diharapkan, dan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meminimalisir hal tersebut adalah dengan berdoa kepada Tuhan.
46

2) Search for Meaning


Dimensi ini menjelaskan tentang usaha individu untuk dapat
memahami, menanggapi dan mencari makna yang dapat diambil dari
setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, baik peristiwa
positif maupun negatif. Newman, Nezlek dan Thrash (2017, dalam
Prasetyawati & Virlia, 2019). menyatakan bahwa search for meaning
adalah motivasi dasar manusia, yang artinya individu akan terus
berusaha mencari makna hidupnya.
Individu dilatih untuk dapat menerima dengan ikhlas penderitaan
yang telah terjadi pada dirinya dan memandang permasalahan bukan
sebagai sesuatu yang negatif melainkan positif. Hal tersebut sesuai
dengan konsep adversity quotient yang memiliki makna untuk
memandang permasalahan bukan sebagai sesuatu beban melainkan
sebagai tantangan yang menarik untuk diselesaikan (Prasetyawati &
Virlia, 2019).
3) Mindfulness
Dimensi ini menjelaskan tentang bagaimana individu secara
sadar memahami setiap hal dan peristiwa yang terjadi di dalam
kehidupannya, baik dalam bentuk pikiran, perasaan, maupun kognitif
(Prasetyawati & Virlia, 2019). Menurut Wood (2013, dalam
Prasetyawati & Virlia, 2019), konsep mindfulness menekankan pada
kesadaran individu terhadap peristiwa yang terjadi saat ini, bukan
pada pikiran tentang kejadian di masa lalu atau rencana di masa
depan, sehingga individu dapat benar-benar hadir dalam situasi saat
itu.
Hal tersebut membantu individu untuk dapat memandang
aktivitas yang dikerjakannya secara lebih jernih, sehingga
memudahkan individu untuk menerima sudut pandang baru dalam
setiap melihat masalah atau solusi yang sedang dikerjakan. Sehingga
47

dapat memilih koping stres yang positif. (Brown, Ryan & Weinstein,
2008, dalam Prasetyawati & Virlia, 2019).
4) Feeling of Security
Dimensi ini menjelaskan tentang kebebasan yang dimiliki
individu dari perasaan takut dan cemas. Menurut Demir (2008, dalam
Prasetyawati & Virlia, 2019), feeling of security dapat menjadi
karakteristik kuat untuk menilai kebahagiaan seseorang terutama
pada perasaan aman secara emosional. Selain itu, perasaan aman
dapat menimbulkan suatu ikatan interpersonal yang menyenangkan.
Individu yang memiliki feeling of security tinggi akan bersikap
optimis dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi masalah, hal
ini terjadi karena individu merasa bahwa situasi di sekitarnya baik-
baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan (Iskandar, 2016,
dalam Prasetyawati & Virlia, 2019).

g. Konsep Kesejahteraan Spiritualitas


Menurut O’Brien (2011 dalam Widiaristuti, 2019) dimensi
kesejahteraan spiritual dapat diukur dari beberapa konsep kehidupan,
yaitu :
1) Iman Pribadi
Iman pribadi sebagai konsep spiritual yang baik telah
digambarkan sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan yang pada
kekuatan dan kepastiannya seseorang dapat benar-benar menaruhkan
kehidupannya. Iman pribadi merupaka cerminan dari nilai-nilai
transenden individu dan filosofi kehidupan.
2) Praktik Keagamaan
Praktik keagamaan dapat berupa kegiatan-kegiatan yang religius
seperti kehadiran di pengajian, doa, meditasi, membaca buku-buku
dan artikel spiritual serta melaksanakan kerja sukarela atau sedekah.
48

3) Kepuasan Spiritual
Kepuasan spiritual merupakan sebuah konsep yang
menggambarkan hidup dalam cinta Tuhan, menerima kekuatan
tertinggi Tuhan, berpengetahuan bahwa semua adalah makhluk
Tuhan, mengetahui bahwa Tuhan mengendalikan dan memberi
kedamaian dalam kasih serta mengampuni. Ketika seorang individu
melaporkan tidak ada gangguan dalam pemenuhan kebutuhan
spiritualnya, maka individu tersebut dapat dianggap berada dalam
keadaan kepuasan spiritual.

h. Spiritualitas Dalam Kesehatan


Spiritualitas dibutuhkan pasien untuk tetap dapat bertahan
menghadapi kondisi kesehatannya. Seringkali permasalahan kesehatan
fisik berakibat pada masalah spiritual. Saat pasien mengalami penyakit
atau stres, kekuatan spiritual mampu membantu pasien menuju
penyembuhan secara holistik (Wiadiariastuti, 2019).
Menurut Nasution (2012, dalam Ambarwati dan Wiadiariastuti,
2019) keyakinan spiritual dapat memberikan pengaruh pemulihan
dengan cara :
1) Menuntun kebiasaan hidup sehari-hari, misalnya praktik keagamaan
tertentu yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan dan mungkin
memiliki makna spiritual bagi pasien.
2) Menjadi sumber dukungan, yaitu saat mengalami stres, dukungan
spiritual diperlukan untuk menerima dan menguatkan keadaan
fisiknya.
3) Menjadi sumber kekuatan dan penyembuhan, yang mana pengaruh
spiritual dapat memacu pasien untuk dapat menahan distres fisik
yang luar biasa karena memiliki keyakinan yang kuat.
49

4) Menjadi sumber mengatasi konflik, yaitu pada situasi tertentu


terdapat perbedaan pendapat antara keyakinan dan praktik kesehatan.
Sakit fisik dianggap akibat dosa, sehingga mereka melakukan
pendekatan spiritual untuk mengurangi sakitnya.

2.1.6 Kajian Penelitian Sebelumnya


a. Penelitian yang dilakukan oleh Cholina Trisa Siregar (2014) berjudul
“Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tekanan Darah Pasien
Hemodialisa Di Medan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk. melihat
hubungan dukungan keluarga dengan penurunan tekanan darah pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani haemodialisa. Desain penelitian yang
digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan uji korelasi
spearman. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 109 responden.
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 responden dengan
menggunakan teknik random sampling. Hasil analisis uji Chi Square
terbukti ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan
tekanan darah pasien gagal ginjal kronis yang mejalani terapi
hemodialisa dimana kekuatan hubungannya lemah (koefisien korelasi
(r) = 0,011 dengan tingkat signifikasi (P) = 0,005). Persamaan dengan
penelitian ini adalah mengambil tema tentang hemodialisis, dengan
variabel yang sama yaitu dukungan keluarga dan tekanan darah, serta
penggunaan desain penelitian korelasional. Sedangkan perbedaan
dengan penelitian diatas yaitu terkait tujuan, waktu, tempat, variable
(spiritualitas) dan tanpa penggunaan pendekatan uji korelasi spearman.

b. Penelitian yang dilakukan oleh Darmawati (2015) berjudul “Hubungan


Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tekanan Darah Pada Pasien
Hemodialisis Di Unit Hemodialisis RSUD Taman Husada Bontang
2015”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
50

tingkat spiritualitas dengan tekanan darah pada pasien Hemodialisis di


Unit Hemodialisis RSUD Taman Husada Bontang. Desain penelitian
yang digunakan adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 27 responden dan
menggunakan teknik total sampling. Hasil analisis uji statistik Fisher
Exact Test terbukti tidak ada hubungan bermakna antara tingkat
spiritualitas dengan tekanan darah, dengan nilai P value = 0,257 yang
lebih besar dari alfa (P<0,05). Persamaan dengan penelitian ini adalah
mengambil tema tentang hemodialisis, pemilihan variabel spiritual dan
tekanan darah, serta menggunakan desain penelitian korelasional
dengan pendekatan cross sectional. Sedangkan perbedaan dengan
penelitian diatas yaitu terkait tujuan, waktu, tempat dan variabel
(dukungan keluarga).

c. Penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Sari (2019) berjudul “Dukungan


Keluarga dan Tingkat Spiritualitas pada Pasien Kanker Stadium
Terminal di RSUP H Adam Malik”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi dukungan keluarga dan tingkat spiritualitas pada
pasien kanker stadium terminal di RSUP H Adam Malik. Desain
penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Populasi dalam penelitian
ini berjumlah 50 responden dan menggunakan teknik total sampling.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian besar dukungan
keluarga pada pasien kanker stadium terminal di RSUP H Adam Malik
berada dalam kategori cukup yaitu 58% (29 orang) sedangkan tingkat
spiritualitas berada dalam kategori tinggi sebanyak 98% (49 orang).
Persamaan dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel dukungan
keluarga dan spiritualitas sebagai variabel independen. Sedangkan
perbedaan dengan penelitian diatas yaitu terkait tujuan, waktu, tempat,
51

variabel dependen (bukan tekanan darah), tema penelitian (bukan


hemodialisis), sampel dan desain penelitian.

d. Penelitian yang dilakukan oleh Inas Mudrika Almarwah, Sri Utami, dan
Sofia Rhosma Dewi (2016) berjudul “Hubungan Spiritualitas Dengan
Tekanan Darah Pada Lansia Penderita Hipertensi Di Wilayah Kerja
Ambulu Kabupaten Jember”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan spiritualitas dengan tekanan darah tinggi pada
lansia penderita hipertensi. Desain penelitian yang digunakan adalah
korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini berjumlah 73 responden. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 60 responden dengan menggunakan teknik purposiv
sampling. Hasil analisis uji statistik Pearson terbukti ada hubungan
yang signifikan antara spiritualitas dengan tekanan darah pada lansia
penderita hipertensi degan nilai ρ value 0,000 (α=0,05) serta nilai r yaitu
0,519 yang berarti kekuatan hubungan antar variabel adalah sedang.
Persamaan dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel
spiritualitas dan tekanan darah, serta menggunakan desain penelitian
korelasional dengan pendekatan cross sectional. Sedangkan perbedaan
dengan penelitian diatas yaitu terkait tujuan, waktu, tempat dan variabel
(dukungan keluarga), tema penelitian (bukan hemodialisis), dan sampel
penelitian.
52

2.2 Kerangka Teori

Gagal Ginjal Kronis Pentalaksanaan GGK : Hemodialisis (HD)

(GGK) Hemodialisis
Dialisis peritonial
Transplantasi ginjal Komplikasi HD :
Komplikasi GGK : Manajemen konservatif Regulasi tekanan darah
Penyakit tulang Emboli udara
Penyakit kardiovaskuler Nyeri dada
Tekanan Darah
Anemia Pruritus
(TD)
Disfungsi seksual Gangguan keseimbangan dialisis
(kejang)
Kram otot
Dukungan Bentuk dukungan Mual dan muntah
Keluarga keluarga :
Faktor-faktor yang
Dukungan penilaian
Dimensi spiritualitas : mempengaruhi TD :
Dukungan instrumental
Belief in God Nutrisi
Dukungan informasional
Search for Meaning Aktivitas fisik
Dukungan emosional
Mindfulness Kualitas Tidur
Feeling of Security Psikologis

Spiritualitas

Fungsi keluarga : Faktor-faktor yang mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi


Fungsi afektif dukungan keluarga : spiritualitas :
Fungsi sosialisasi Faktor internal Tahap perkembangan
Fungsi perawatan Pendidikan/ tingkat pengetahuan Keluarga
kesehatan Faktor emosi Agama
Spiritual Pengalaman hidup sebelumnya
Faktor Eksternal Krisis dan perubahan
Praktik di keluarga Terpisah ikatan spiritual
Sosio-ekonomi Isu moral terkait dengan terapi
Latar belakang budaya Asuhan keperawatan yang kurang
sesuai

Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian


Sumber : modifikasi dari konsep Hirmawati (2014), Prabowo (2014 dalam Hutagaol, 2017), NIDDK
(2018), Subekti (2014), Friedman (2010, dalam Rahmawati, 2016), Rahayu (2008, dalam Sari, 2019),
Harnilawati (2013, dalam Sari, 2015), Siregar (2014), Adyatma (2019), Hardt et. al (2012, dalam
Prasetyawati & Virlia, 2019), Faridah (2016).

Anda mungkin juga menyukai