Anda di halaman 1dari 13

Belajar dan Perkembangan Psikososial, Sosial.

OLEH :

Ferdi Setiawadi
M.Hafiz
Bima Sulistia
Juan Feri Vincencius Simamora
Rif”at

DOSEN PENGAMPU :
MISWANTO., S,Pd., M.Pd

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMATIKA DAN KOMPUTER
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya sampai saat

ini, sehingga penulis dapat menyusun tugas rutin ini dan dapat terselesaikan tepat pada

waktunya. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Miswanto., S.Pd., M.Pd yang

telah memberikan tugas yang sangat bermanfaat kepada mahasiswa Pendidikan Teknik

Informatika Dan Komputer.

Dan harapan saya semoga makalah tugas rutin ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca.

Saya juga menyadari bahwa dalam penyajian tugas ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu saya berharap saran dan kritik untuk membangun kesempurnaan
tugas ini.

Medan, 16 Februari 2020


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seorang guru memiliki peran yang kompleks dalam pendidikan, tidak hanya sebagai
mediator dalam proses belajar akan tetapi juga turut andil dalam pengembangan potensi anak
didik. Oleh karena itu guru merupakan tenaga profesional yang memiliki profisiensi
(berpengetahuan dan berkemampuan tinggi). Tidak hanya memiliki penguasaan yang mumpuni
di bidang mata pelajarannya tetapi juga memiliki pengaplikasian proses belajar mengajar yang
baik, sehingga pengajar dapat mengembangkan kepribadian anak didik menjadi lebih tinggi dari
tingkat sebelumnya.
Dalam proses belajar diperlukan adanya kesiapan. Menurut Thorndike (Slameto,
2003:133) kesiapan adalah prasyarat untuk belajar berikutnya. Selain itu dengan adanya kesiapan
belajar seorang peserta didik akan lebih termotivasi sehingga untuk mengembangkan potensinya
secara maksimal peserta didik harus memiliki kesiapan. Oleh karena itu seorang guru harus
memahami betul bagaimana perkembangan psiko-fisik peserta didik pada proses-proses
perkembangan dan hubungannya sebagai bentuk kesiapan dalam kegiatan belajar siswa.
Perkembangan-perkembangan yang dimaksudkan yaitu perkembangan fisik, kognitif dan sosial
peserta didik. Sehingga diharapkan seorang guru akan mampu memberikan gambaran tentang
bagaimana proses pembelajaran yang tepat sesuai dengan tahapan perkembangan peserta didik.
Sedangkan bagi peserta didik dapat melalui proses pembelajaran dengan pengetahuannya
berdasarkan tahap perkembangan yang di milikinya.
Dalam tugas rutin ini membahas mengenai penerapan belajar dalam konteks
perkembangan fisik, kognitif dan sosial peserta didik dan bagaimana keterpaduan ketiga konteks
tersebut dalam belajar peserta didik serta bagaimana hubungan konsep perkembangan dengan
kesiapan dan proses belajar peserta didik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Belajar?
2. Apa itu perkembangan sosial dan belajar?
3. Apa itu perkembangan Moral?
C. Tujuan
Dalam penyusunan Tugas Rutin dengan materi Penerapan belajar dalam konteks fisik,
kognitif dan sosial ini penulis berharap dapat memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri
maupun pembaca dan masyarakat luas.
Adapun tujuan penyusunan Tugas Rutin ini bagi Penulis makalah ini adalah agar penulis
lebih memahami materi penerapan belajar dalam konteks fisik, kognitif dan sosial. Bagi
pembaca dan masyarakat luas, makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu referensi untuk
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai materi ini.
BAB II
PEMBAHASAN

1.Belajar adalah mendapatkan sesuatu yang baru dan menghasilkan perubahan tingkah
laku.Perubahan tersebut dapat berupa pengetahuan yang baru. Proses Belajar diibaratkan seperti
menyebrangi jurang dari tebing yang satu ke tebing yang lain.Seseorang memerlukan jembatan
untuk menyebranginya. Seseorang yang belajar berarti sedang membangun jembatan. Sealama
proses tersebut berlangsung, berbagai persoalan yang dapat menghambat pekerjaan
tersebut.Namun dengan usaha dan tekad yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan, pada
akhirnya jembatan dapat diselesaikan. Demikian pula dengan belajar. Diawali dengan
membangun jembatan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya.

a. Belajar vs kematangan
Berbagai perubahan terjadi pada diri individu selama rentang kehidupannya. Namun
tidak semua perubahan diri ini disebabkan proses belajar, melainkan ada juga yang
disebabkan oleh kematangan (maturation).
Proses perkembangan di dalam diri individu pada hakikatnya menyatu, namun secara
konsep ada ahli yang mengelompokkannya atas dimensi fisik, kognitif, bahasa, pribadi,
sosial, dan moral.Dalam kondisi demikian, proses belajar juga menyatu dalam semua
perkembangan, meskipun secara konsep para ahli menekankan teorinya pada satu atau
beberapa dimensi tertentu.
b. Otak Belajar
Kendali seluruh saraf yang ada di dalam diri manusia adalah otak. Oleh karena itu dalam
belajar otak adalah penentu utamanya. Selain itu belajar berarti juga mengembangkan
otak. Sejak lahir otak manusia sudah memiliki 100-200 milyar sel.Setiap sel
dikembangkan untuk memproses berbagai informasi.
Pertama, otak reptil. Terletak di dasar batang otak yang terhubung dengan tulang
belakang.Bagian otak ini berfungsi untuk koordinasi sensori motorik tubuh.
Kedua, otak mamalia. Adalah pintu gerbang menerima informasi.Bagian otak ini
berperan penting pada proses pembelajaran karena berkaitan erat dengan emosi dan
memori jangka panjang. Pada bagian otak ini terdapat amygdala yang berfungsi sebagi
memori semua perasaan baik yang positif dan negative yang pernah dialami seseorang.
Bagian otak ini juga menyediakan memori pengetahuan.
Yang terakhir adalah otak neo-cortex yang merupakan 80% dari total otak manusia. Otak
ini merupakan topi yang menutupi otak mamalia dan otak reptil, dan berfungsi ketika
seseorang dalam keadaan tenang, bahagia dan relaks. Bila dalam keadaan tegang dan
stres, takut atau marah, maka informasi akan dilanjutkan ke otak reptil.

2.Perkembangan Sosial dan Belajar.


Perkembangan sosial mengacu kepada perubahan jangka panjang di dalam
konteks membina hubungan,interaksi pribadi, teman sebaya dan keluarga.Termasuk di
dalamnya cara membina persahabatan dan perubahan negative seperti agresifitas dan
kekerasan. Perkembangan sosial yang relevan dibahas dalam konteks sosial di sekolah
adalah (1) perubahan konsep diri (self concept) dan dalam konteks hubungan antara guru
dan peserta didik, (2) perubahan kebutuhan dasar dan motif personal, (3) perubahan pada
sense tentang hubungan tanggung jawab.
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan sosial dapat di jelaskan melalui
teori ekologi yang dikembangkan Bronfenbrenner (1917-2000). Fokus utama teori ini
adalah konteks sosial dimana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi
perkembangan anak. Pada teori ini dikemukakan lima system lingkungan yang merentang
interaksi interpersonal sampai pada kultur yang lebih luas. Sistem tersebut adalah
mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem.
Mikrosistem adalah system lingkungan individu menghabiskan waktu paling
banyak seperti keluarga, tetangga, guru, teman sebaya dan orang lain.
Meosistem adalah kaitan antar system. Contohnya adalah hubungan antara
pengalaman di rumah dengan pengalaman di sekolah. Pengalaman antar keluarga dengan
teman antar sebaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program yang dilakukan
bersama antara sekolah dan keluarga setelah membantu menjembatani kesenjangan antar
kelas sosial yang berbeda di sekolah. Sehingga anak-anak yang berasal dari kelas sosial
yang lebih rendah dapat merasa terbantu dan berharap dengan tujuan moral yang lebih
baik untuk melakukan sesuatu bagi perbaikan kondisi masyarakat.
Ekosistem adalah system yang terjadi ketika pengalaman pada situasi lain
mempengaruhi pengalaman siswa dan guru dalam konteks mereka sendiri. Misalnya
penjaga taman, fasilitas rekreasi, perpustakaan. Keputusan mereka yang berada di
lingkungan ini dapat membantu atau menghambat perkembangan anak.
Makrosistem adalah kultur yang lebih luas, mencakup etnis, adat istiadat, faktor
sosial ekonomi dan perkembangan anak.
Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Peserta didik
sekarang ini merupakan generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik
yang dipenuhi dengan komputer dan di dalam kota yang semrawut yang tidak kenal batas
desa dan kota.
Kelima system ini menurut Bronfenbrenner memberi pengetahuan terhadap
perkembangan individu. Oleh karena itu dalam belajar peserta didik perlu menyadari
dirinya sebagai sosok yang terlibat di dalam system sekolah (formal) dan masyarakat
(informal).Menyadari, bahwa komunitas, status sosial ekonomi, kultur mempengaruhi
perkembangan dan proses belajarnya.
Hubungan-keluarga-sekolah. Dalam teori Bronfenbrenner, hubungan antara
keluarga dan sekolah adalah meosistem yang penting. Juga, menurut studi Hetherington
lingkungan sekolah yang otoritatif akan menguntungkan anak-anak dari beragam
keluarga yang berbeda. Guru berpengalaman tahu pentingnya melibatkan orang tua
dalam pendidikan anak.
Pada tahap berikutnya teori ekologi Bronfenbrenner dikembangkan Eric Ericson
menjadi teori psikososial.Teori ini menekankan konteks sosial di sekolah pada perubahan
konsep diri (self concept) dan dalam konteks hubungan antara guru dan peserta didik.
Teori kebutuhan Maslow digunakan untuk menjelaskan perubahan kebutuhan dasar dan
motif personal. Perubahan pada sense tentang hubugan dan tanggung jawab akan
dijelaskan melalui teori perkembangan moral oleh kolberg.
Erikson mengemukakan di dalam teorinya delapan tahapan yang harus dilalui
seseorang dalam rentang kehidupannya. Masing-masing tahap terdiri dari tugas
perkembangan yang dihadapi individu yang mengalami krisis. Masing-masing tahap
memiliki sisi positif dan negatif.
Tahap psikososial yang pertama adalah kepercayaan versus ketidak percayaan.
Pengasuhan yang hangat dan nyaman akan menumbuhkan kepercayaan dan sebaliknya
pengasuhan yang negative atau pengabauan akan menimbulkan ketidak percayaan.
Tahap yang kedua adalah otonomi versus malu dan ragu. Tahap ini terjadu pada
masa bayi akhir, ketika anak mulai dapat berjalan. Setelah anak mempercayai orang yang
mengasuhnya maka berikutnya bayi mulai menemukan bahwa tindakannya adalah
tindakan sendiri. Mereka menegaskan indepensi dan menyadari kehendaknya sendiri.
Jika bayi dibatasi terlalu banyak atau dihukum terlalu keras akan mengembangkan rasa
malu dan ragu.
Tahap psikososial ketiga adalah inisiatif versus rasa bersalah, berlangsung sekitar
usia tiga hingga lima tahun. Anak mulai memasuki lingkungan yang lebih luas dan mulai
dibertanggung jawab sederhana. Hal ini menumbuhkan sifat inisiatig pada diri anak, jika
mereka merasa tidak mampu akan muncul perasaan bersalah.Perkembangan berikutnya
adalah upaya versus inferioritas. Hal ini berlangsung kira-kira diusia enam tahun hingga
pubertas. Setelah mereka diberi tanggung jawab muncul semangat pada diri peserta didik
untuk berbuat banyak, semangat dalam belajar, menambah pengetahuan dan kemampuan.
Bahaya pada masa ini adalah anak merasa rendah diri, tidak produktif dan inkompetensi,
Tahap psikososial yang kelima adalah identitas versus kebingungan yang tejadi
pada usia remaja. Remaja merasa ingin tahu makna dirinya, jati dirinya, kemana mereka
akan menuju. Mereka berhadapan dengan berbagai peran baru.Mereka diberi kesempatan
bereksplorasi berbagai cara untuk memahami jati dirinya. Jika mereka tidak
menemukannya mereka akan tetap bingung akan identitasnya.
Pada perkembangan identitas diri ada dua makna yang berhubungan yaitu
eksplorasi dan komitmen. Eksplorasi adalah pencarian identitas sedangkan komitmen
adalah penerimaan personal terhadap satu identitas dan menerima apapun implikasi
identitas tesebut. Seseorang dapat mengidentifikasikan perkembangan identitasnya
melalui empat status identitas yang dikemukakan Marcia (1998). Pertama,identity
diffusion). Pada saat ini individu belum mengalami krisis, belum mengeksplorasi
alternative yang bermakna atau membuat komitmen. Belum memutuskan pilihan
pekerjaan, ideology dan mungkin tidak tertarik dengan hal seperti itu. Kedua,identity
foreclosure. Pada saat ini individu membuat komitmen tetapi belum mengalami krisis.
Biasanya terjadi ketika remaja tidak diberi kesempatan untuk
mengeksplorasi.Ketiga,identity moratorium. Pada kondisi ini individu berada di tengah
krisis tetapi komitmen mereka masih samar-samar.Keempat, identity achievement yaitu
ketika individu telah mengalami krisis dan telah mengambil komitmen.
Tahap berikutnya adalah intimasi versus isolasi . Tahap ini terjadi pada masa
dewasa awal. Tugas perkembangannya adalah membentuk hubungan positif dengan
orang lain. Bahaya dalam tahap ini adalah gagal membina hubungan dan terisolasi secara
sosial dan dapat menyebabkan kesepian dalam kehidupannya. Tahap berikutnya dari
perkembangan Psikososial adalah generevitas versus stagnasi. Terjadi pada usia lima
puluhan. Generavitas berarti mentransmisikan sesuatu yang positif kepada generasi
selanjutnya. Hal ini dapat berkaitan dengan peran sebagai pengasuh dan pengajar.
Perasaan stagnasi akan dirasakan jika seseorang merasa tidak berbuat apa-apa untuk
generasi selanjutnya.Tahap teakhir adalah integritas versus putus asa, berlangsung pada
saat dewasa akhir hingga meninggal. Jika evaluasi terhadap dirinya positif maka mereka
mengembangkan sikap integritas, hidupnya utuh dan layak dijalani. Sebaliknya akan
merasa putus asa jika renungannya banyak mengandung hal-hal negative.

3.Perkembangan Moral
Sejalan dengan perkembangan Theory of mind and intensi pada anak, maka
berkembang juga di dalam diri mereka perkembangan perasaan benar dan salah. Hal ini
berhubungan dengan penalaran moral (moral reasoning) yaitu pikiran tentang benar dan
salah serta kontruksi aktif pertimbangan moral (moral judgment).
Damon 1995 mengemukakan bahwa perkembangan moral yang paling awal
berlangsung di dalam kelas-kelas sekolah adalah moral untuk berbagi dalam
menggunakan bahan-bahan ataupun perlengkapan sekolah secara bersama-sama
(distributive justice). Pada perkembangan berikutnya baru mereka mampu mengenali
bahwa sebagian orang mestinya mendapatkan lebih banyak berdasarkan kepantasan,
misalnya orang bekerja lebih baik sehingga pantas mendapatkan lebih banyak.
Bidang lain yang memerlukan pertimbangan moral adalah pemahaman tentang
aturan. Bagi anak-anak usia 5-6 tahun aturan tentang tingkah laku misalnya dalam
bermain bersifat mutlak dan tidak dapat diubah. Bila satu aturan dilanggar, anak percaya
bahwa hukuman harus sebanding dengan kerusakan yang diakibatkannya. Misalnya,
hukuman untuk anak yang memecahkan tiga gelas harus lebih besar daripada anakyang
memecahkan satu gelas. Konsep moral ini disebut Piaget (1965) dengan relasi moral.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berhubungan dengan aturan dan
konvensi dari interaksi yang adil antar orang. Perkembangan moral dapat dikaji melalui
domain kognitif, behavioral dan emosional. Pada domain kognitif kuncinya adalah
bagaimana siswa menalar atau memikirkan aturan untuk perilaku etis. Dalam domain
behavioral bagaimana murid berperilaku secara actual, bukan pada moralitas dari
pemikiran dan dalam domain emosional penekanannya pada bagaimana siswa merasakan
secara moral.
Piaget mengemukakan tahapan perkembangan moral yang pertama adalah
heteromonus morality. Hal ini berlangsung sekitar usia empat sampai tujuh tahun dimana
keadilan dan aturan dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, di luar kontrol
manusia. Tahap yang kedua adalah autonomus morality. Tahap ini dimulai sekitar usia 10
tahun atau lebih, anak mulai menyadari bahwa aturan dan hukum adalah buatan manusia
dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat pelaku dan konsekuensinya perlu
dipikirkan.
Perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg berlangsung dalam tahapan
sebagai berikut :
1) Preconventional reasoning. Pada level ini belum berlangsung internalisasi
nilai-nilai moral. Penalaran moral di kontrol oleh hukuman dan ganjaran
eksternal.
2) Conventional reasoning. Pada tahap ini interalisasi masih setengah-setengah.
Anak patuh secara internal pada standar tertentu, tetapi standar itu pada
dasarnya ditetapkan oleh orang lain seperti orang tua, guru atau aturan sosial.
3) Postconventional Reasoning. Pada tahapan ini moralitas sepenuhnya
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar eksternal. Siswa
mengetahui aturan-aturan moral alternative,mengeksplorasi pilihan dan
kemudian memutuskan sendiri kode moral apa yang terbaik untuk dirinya.
Carol Giligan mengkritisi teori penalaran moral Kohlberg dengan mengatakan
bahwa perkembangan individu bergerak dari fokus kepentingannya ke penalaran
moral yang didasarkan komitmen terhadap individu-individu dan hubungan-
hubungan tertentu dan setelah itu naik ke tingkat tertinggi moralitas yang
didasarkan pada prinsip tanggung jawab dengan kepedulian pada semua orang.
Satu bentuk positif perkembangan moral adalah proposial. Perilaku
proposial adalah perilaku yang dianggap bersifat alturistik, adil, berbagi perhatian
dan empatik. Beberapa strategi yang ditempuh untuk meningkatkan proposial
siswa adalah sebagai berikut :
1) Menghargai dan menekankan tugas untuk membantu orang lain.
2) Menjadi contoh keteladanan tentang perilaku proposial
3) Memberi label dan mengidentifikasikan perilaku sosial dan antisosial
4) Mengungkapkan kepada siswa niat positif kepada tindakan positif
5) Memberi perhatian dan dorongan perilaku secara sosial secara positif tetapi
jangan terlalu banyak menggunakan ganjaran eksternal.
6) Membantu anak umum mengambil sikap dan memahami perasaan orang lain.
7) Menggunakan strategi disiplin yang positif
8) Memimpin diskusi tentang interaksi proposial
9) Mengembangkan proyek atau kegiatan kelas dan sekolah untuk meningkatkan
altruism.
BAB III
KESIMPULAN

Melalui belajar peserta didik akan berkembang dan mampu mempelajari hal-hal yang
baru. Perkembangan adalah tahapan perubahan psiko-fisik manusia yang progresif sejak lahir
hingga akhir hayat. Perkembangan akan dicapai karena adanya proses belajar, sehingga anak
memperoleh pengalaman baru dan menimbulkan perilaku yang baru juga. Ada beberapa konteks
perkembangan, yaitu : Perkembangan Fisik, Perkembangan Kognitif dan Perkembangan Sosial.
Proses belajar merupakan hal yang kompleks. Peserta didiklah yang menentukan terjadi
atau tidak terjadi belajar. Maka menjadi tugas seorang guru untuk memberikan gambaran tentang
bagaimana proses pembelajaran yang tepat sesuai dengan tahapan perkembangan peserta didik.
Sedangkan bagi peserta didik dapat melalui proses pembelajaran dengan pengetahuannya
berdasarkan tahap perkembangan yang di milikinya. Sehingga kesemuanya itu dapat menjadi
wujud realisasi atau penerapan proses belajar dalam konteks perkembangan Fisik, Kognitif dan
Sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Milfayetty, Sri. 2018. Psikologi Pendidikan. Medan : Unimed Press.

Anda mungkin juga menyukai