Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI PANGAN

“SAUERKRAUT, YOGURT, KEJU”

DISUSUN OLEH :

1. DEWI PUTRI ABSIYATI (182500005)


2. PUTRI JAUHARO T.I (182500018)
3. NISA NOVI AFINA (182500021)

PROGAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA

SURABAYA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kubis termasuk sayuran yang banyak ditanam dengan jumlah produksi melimpah.
Namun demikian kubis sering ditemukan tidak habis terjual di pasar-pasar tradisional dan
akan dibuang. Perlu penanganan pasca panen kubis untuk menghindari kerugian dan
pembuangan kubis. Sauerkraut (asinan kol) atau asinan Jerman merupakan produk
fermentasi yang bertujuan untuk pengawetan kubis sehingga nilai gizi bahan pangan.
Produk fermentasi sayuran yang hampir sama seperti kimchi (Korea), sauerkraut
(Jerman), pikel, acar dan sayur asin. Sauerkraut dapat dibuat dari berbagai jenis sayuran
seperti genjer, sawi, kol atau kubis, kangkung, dan rebung. Pembuatan sauerkraut
menggunakan garam dengan konsentrasi tertentu dan tidak perlu ditambahkan
mikroorganisme lain sebagai starter (inoculum) atau ragi, karena bakteri asam laktat
sudah ada pada kol (Koswara, 2014).
Pertumbuhan dan aktivitas bakteri asam laktat dapat dirangsang secara selektif
dengan adanya penambahan garam sebelum proses fermentasi berlangsung. Sauerkraut
masih belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sehingga konsumsi terbatas,
tetapi di luar negeri seperti Korea dalam bentuk “kimchi”, Jepang dalam bentuk
“tsukemono”, Eropa dalam bentuk “sauerkraut” merupakan konsumsi sehari-hari. Selain
dimakan langsung sebagai tambahan di roti lapis (sandwich/hotdog/burger), sauerkraut
dapat diolah dengan cara ditumis bersama dengan sosis, soup, pendamping steak
daging/ikan, pendamping ayam/bebek panggang, dll.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan sauerkraut?
2. Bagaimana karakteristik organoleptik sauerkraut yang tepat?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui proses pembuatan sauerkraut.
2. Dapat mengetahui karakteristik organoleptik sauerkraut yang tepat.
1.4 Manfaat
1. Mengetahui cara pembuatan sauerkraut.
2. Mengetahui bahan-bahan pada pembuatan sauerkraut.
3. Mengetahui karakteristik organoleptik sauerkraut yang tepat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Saeurkraut
Salah satu sifat sayuran adalah cepat layu dan busuk akibat kurang cermatnya
penanganan lepas panen. Untuk memperpanjang masa simpannya dapat dilakukan
dengan berbagai pengolahan, misalnya acar, sauerkraut, sayuran asin, kerupuk, dan
lain-lain. Sayuran ini diolah dengan cara peragian dan menggunakan garam sebagi zat
pengawetnya. Proses pembuatannya sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dengan
sayur asin, hanya saja sayurannya setelah layu diiris tipis-tipis. Tujuan pengolahan ini
selain mengawetkan sayuran juga dapat meningkatkan rasa sayuran itu. Kol atau
kubis merupakan sayuran yang paling umum diolah menjadi sauerkraut, karena jenis
sayuran ini banyak ditanam di Indonesia. Selain kubis, sayuran lain yang dapat diolah
menjadi sauerkraut atntara lain : sawi, kangkung, genjer, dan lain-lain ( Manegristek,
2000 ).
Sauerkraut merupakan kubis yang difermentasi secara alami. Saat garam
ditambahkan pada irisan kubis, menyebabkan cairan sari kubis keluar dari irisan
kubis. Sari ini mengandung gula hasil fermentasi. Mikroorganisme yang secara alami
tumbuh pada daun kubis pada kondisi anaerob akan menggunakan gula ini untuk
menghasilkan asam laktat. Dimana asam laktat tersebut akan mengawetkan kubis.
Sangatlah penting untuk menentukan konsentrasi garam yang ditambahkan agar
fermentasi dapat berlangsung dengan baik ( Dinstel, 2008 ).
Dalam pembuatan Sauerkraut, kubis diiris tipis-tipis dan dibiarkan terjadi
fermentasi alamiah dengan adanya garam 2 sampai 2,5% . Seperti pada fermentasi
sayuran alamiah lainya dengan adanya garam. Garam disini akan menghambat
organisme pembusuk dan memungkinkan pertumbuhan berikutnya dari penghasil-
penghasil asam utama seperti Leuconostoc mesenteroides, Pediococus cerevisae,
Lacobacillus brevis, dan Lactobacillus Plantarum. Keluarnya karbondioksida yang
cepat selama tahap permulaan dari fermentasi memberikan kondisi anaerobik untuk
organisme-organisme yang diinginkan. Kadar asam antara 1,5-1,7% sudah cukup
dilihat dari segi organoleptik, tetapi pasteurisasi dengan pemanasan dibutuhkan untuk
stabilitas terhadap mikrooganisme selama penyumpanan (misalnya dalam kaleng atau
botol tertutup) (Buckle et al, 1985)
Asam laktat merupakan bahan kimia serbaguna yang digunakan sebagai : 1)
asidulan, aroma, dan pengawet dalam industri makanan, obat-obatan, industri kulit
dan tekstil ; 2) untuk produksi bahan kimia dasar ; 3) dan untuk polimerisasi bahan
yang mudah dirombak poly lactic acid (PLA) (Nur Hidayat dkk., 2006).
2.2 Fermentasi
Fermentasi adalah suatu aktivitas mikroorganisme baik aerob maupun anaerob
untuk mendapatkan energi diikuti terjadinya perubahan kimiawi substrat organik.
Proses fermentasi dapat menggunakan perlakuan penambahan inokulum dan ada yang
secara alami (Rahman,1989 dalam Suprihatin).
Prinsip utama pembuatan asam laktat dengan proses fermentasi adalah
pemecahan karbohidrat menjadi bentuk monosakaridanya dan dari monosakarida
tersebut dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh Lactobacillus sp. akan diubah
menjadi asam laktat. Bakteri ini secara alami banyak terdapat pada permukaan
tanaman (sayur) dan produk-produk susu (Buckle et al.,1987 dalam Suprihatin).
Proses fermentasi asam laktat berlangsung ditandai dengan timbulnya gas dan
meningkatnya jumlah asam laktat yang diikuti dengan penurunan pH. Sifat bakteri
laktat tumbuh pada pH 3 – 8 serta mampu memfermentasikan monosakarida dan
disakarida sehingga menghasilkan asam laktat (Stamer, 1979 dalam Suprihatin).
Reaksi kimia dalam fermentasi Asam laktat adalah sebagai berikut:
Lactobacillus sp.
C6H12O6 CH3CHOHCOOH
Gula Asam laktat
Fermentasi merupakan salah satu teknologi pengawetan yang umum dilakukan
pada buah dan sayuran untuk memperpanjang umur simpan dan menghasilkan produk
dengan citarasa dan aroma yang khas. Fermentasi buah dan sayur berlangsung secara
spontan dan selektif. Organisme yang memfermentasi bahan pangan paling penting
adalah bakteri pembentuk asam laktat, bakteri pembentuk asam asetat dan beberapa
jenis khamir pembentuk alkohol. Jenis-jenis kapang tertentu juga berperan utama
dalam fermentasi bahan pangan (Buckle et al, 1985)
2.3 Kubis
Kubis adalah salah satu tanaman yang banyak dan mudah dijumpai di
Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2012) hasil panen kubis cukup
banyak jika dibandingkan dengan hasil panena sayuran yang lain itu 20,88 ton/ hektar.
Oleh sebab itu, kubis banyak dijumpai di pasar modern maupun tradisional dengan
berbagai varietas. Kubis dapat tumbuh di ketinggian 800-2000 meter dari permukaan
laut. Berdasarkan hal tersebut maka, Bandungan daerah Gedongsongo dapat
digunakan untuk daerah pengambilan kubis, karena ketinggian Bandungan yaitu 800
meter dari permukaan laut. Kubis putih (Brasicca oleracea) merupakan tanaman jenis
sayur yang memiliki daun berbentuk bulat. Kubis banyak mengandung protein,
vitamin B1, vitamin A, serta vitamin C. Swain et al. (2014) menambahkan bahwa
kandungan nutrisi pada kubis putih terdiri atas karbohidrat 5,8%, gula 3,2%, protein
1,28%, lemak 0,1% serta serat 2,5 gram. Oleh karena kubis mengandung banyak
komponen gizi, kubis dapat dijadikan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme
seperti bakteri asam laktat dalam proses fermentasi.
Pada proses fermentasi kubis yang dilakukan secara spontan dengan
ditambahkan garam untuk menyeleksi mikroorganisme yang dapat tumbuh (Wiander
& Palva, 2011). Penambahan garam juga berfungsi untuk menarik nutrisi kubis yang
akan digunakan oleh bakteri asam laktat untuk dapat tumbuh (Thakur & Kabir, 2015).
Penggunaan kadar garam yang terlalu tinggi pada proses fermentasi akan
menghambat proses fermentasi serta menimbulkan warna kecoklatan pada sauerkraut,
sedangkan kadar garam yang terlalu rendah akan menyebabkan tumbuhnya bakteri
proteolitik dan selulotik yang nantinya juga akan menghambat proses fermentasi dan
menimbulkan aroma yang tidak dikehendaki. Kadar garam yang umumnya digunakan
untuk proses fermentasi sayuran adalah 2-10% (Swain et al., 2014)
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat
1. Pisau
2. Talenan/Cutting board
3. Baskom
4. Toples berpenutup erat
3.2 Bahan
1. 2,5 kg kubis pilih yang segar (kelopak daun bagian luar masih keras tidak layu)
2. 100 g garam
3. Bahan tambahan (boleh divariasi sesuai selera dan kreativitas)
 2 Siung bawang putih
 1 sendok teh biji jintan
 1 sendok teh merica
3.3 Prosedur Kerja
1. Kubis dicuci bersih dalam air mengalir dan tiriskan.
2. Kubis dibelah menjadi 4 bagian dan buang bagian tengahnya.
3. Tiap bagian kubis diiris tipis ± 2-3 mm (tulang daun serta hatinya sedapat
mungkin tidak disertakan) dan dimasukkan dalam baskom besar
4. Irisan kubis ditaburi garam dan bahan tambahan
5. Campuran irisan kubis, garam dan bahan tambahan diaduk, remas-remas kubis
sampai layu dan airnya keluar dengan tangan yang bersih.
6. Kubis hasil remasan dimasukkan ke dalam toples kaca secara bertahap sambil di
tekan-tekan atau dipadatkan dengan punggung jari-jari. (airnya jangan di buang
dan dibiarkan).
7. Kubis dalam toples dibiarkan untuk difermentasi selama 2-3 hari dalam suhu
ruang. Kemasaman dan jumlah baktri semakin meningkat dengan
meningkatkannya lama masa fermentasi
8. Setelah difermentasi, sauerkraut yang diperoleh dilakukan uji indrawi/
organoleptik terhadap rasa, aroma, warna, tekstur dan penerimaan keseluruhan.
Penilaian uji indrawi dengan skala : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= suka,
4 = sangat suka.
9. Setiap tahapan pembuatan sauerkraut didokumentasi dalam bentuk foto dan
video.
10. Buat laporan dijadikan satu dengan materi praktikum lain.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan Pembuatan Sauerkraut

Gambar 4.1 Sauerkraut

Setelah dilakukan pembuatan sauerkraut dengan metode yang telah dibahas


sebelumnya, dilakukanlah sebuah uji organoleptik dengan menilai rasa, warna,
aroma, dan tekstur saurkraut. Uji organoleptik dilakukan oleh 4 panelis (anggota
kelompok 20) dengan memberikan penilaian terhadap rasa, warna, aroma, dan tekstur
saurkraut yang telah disediakan kriteria penilaiannya, yaitu dengan cara memilih satu
yang paling sesuai dengan kriteria. Adapun hasil dari pengujian organoleptik tersebut
termuat dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 4.1 Pengujian organoleptik sauerkraut
Indikator Kriteria penilaian Nilai Sauerkraut
Rasa Sangat asam 0
Asam 3
Agak asam 0
Tidak asam 0
Warna Sangat keemasan 0
Keemasan 3
Agak keemasan 0
Tidak keemasan 0
Aroma Sangat khas sauerkraut 1
Khas sauerkraut 2
Agak khas sauerkraut 0
Tidak khas sauerkraut 0
Tekstur Sangat lunak 0
Lunak 3
Agak lunak 0
Tidak lunak 0

4.2 Pembahasan Pengamatan Pembuatan Sauerkraut


Garam biasa ditambahkan pada proses pengolahan pangan tertentu.
Penambahan garam tersebut bertujuan untuk mendapatkan kondisi tertentu yang
memungkinkan enzim atau mikroorganisme yang tahan garam ( halotoleran ) beraksi
menghasilkan produk makanan dengan karakteristik tertentu. Kadar garam yang
tinggi menyebabkan mikroorganisme yang tidak tahan terhadap garam mati. Kondisi
selektif ini memungkinkan mikroorganisme yang tahan garam dapat tumbuh. Pada
kondisi tertentu penambahan garam berfungsi mengawetkan karena kadar garam yang
tinggi menghasilkan tekanan osmotik yang tinggi dan aktivitas air rendah. Kondisi
ekstrem ini menyebabkan kebanyakan mikroorganisme tidak dapat hidup ( Astuti,
2006 ).
Sauerkraut merupakan kubis yang difermentasi secara alami. Saat garam
ditambahkan pada irisan kubis, menyebabkan cairan sari kubis keluar dari irisan
kubis. Sari ini mengandung gula hasil fermentasi. Mikroorganisme yang secara alami
tumbuh pada daun kubis pada kondisi anaerob akan menggunakan gula ini untuk
menghasilkan asam laktat. Dimana asam laktat tersebut akan mengawetkan kubis.
Sangatlah penting untuk menentukan konsentrasi garam yang ditambahkan agar
fermentasi dapat berlangsung dengan baik ( Dinstel, 2008 ).
Pada pengamatan pembuatan sauerkraut dari wortel didapatkan hasil seperti
Tabel 1. Dan mengacu pada hasil pengamatan tersebut pembahasan tiap parameternya
sebagai berikut :
a. Analisis terhadap rasa
Sebagian besar produk hasil fermentasi memiliki cita rasa yang asam,
begitupun dengan sauerkraut. Sauerkraut yang diperoleh memiliki rasa asam
sesuai dengan hasil uji organoleptik sauerkraut oleh kelompok kami. Rasa asam
ini dihasilkan oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides. Spesies ini menghasilkan
karbondioksida dan asam yang dengan cepat menurunkan pH sehingga
mengambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dan aktivitas enzim
yang dapat menyebabkan pelunakan sayur-sayuran. Penilaian panelis terhadap
rasa sauerkraut bersifat relatif tergantung pada tingkat kesukaan panelis terhadap
rasa sauerkraut.
b. Analisis terhadap warna
Warna yang menunjukan bahwa sauerkraut telah terfermentasi adalah
keemasan, awal mulanya kol yang berwarna hijau akan menjadi putih dan
kemudian menjadi berwarna keemasan.
Hasil dari pembuatan sauerkraut yang telah dibuat sesuai dengan
karakteristik standar fermentasi sauerkraut yaitu keemasan. Warna keemasan
ini diperoleh dari serangkaian proses pada saat fermentasi. Hal ini sesuai
dengan karakteristik keberhasilan dari fermentasi sauerkraut.
c. Analisis terhadap Aroma
Aroma yang dihasilkan pada proses fermentasi mempunyai
karakteristik bau asam, begitupun aroma yang ditimbulkan dari hasil
fermentasi sauerkraut yaitu bau asam, aroma asinan sayur pada umumnya.
Namun, yang menjadi ciri khas aroma dari sauerkraut sendiri yaitu aroma dari
bahan baku untuk pembuatan sauerkraut masih ada. Saurkraut yang telah
dibuat berbahan baku kol, sehingga aroma sayur kol masih ada pada produk
hasil fermentasi ini.
d. Analisis terhadap Tekstur
Tekstur yang dihasilkan dari pembuatan sauerkraut ini adalah lunak.
Hal ini terjadi karena kandungan air yang ada dalam sayur kol terdorong
keluar, sehingga menghasilkan air walaupun sedikit dan membuat tekstur
renyah kubis menjadi lunak. Konsistensi lunak yang dihasilkan sauerkraut
sesuai dengan karakteristik keberhasilan pembuatan sauerkraut yaitu lunak.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari hasil uji organoleptik dan membandingkan dengan teori yang ada, dapat
ditarik kesimpulan bahwa sauerkraut kelompok kami termasuk berhasil. Hasil
Sauerkraut yang dibuat memiliki rasa asam sesuai dengan kriteria keberhasilan
pembuatan sauerkraut. Rasa asam ini dihasilkan oleh bakteri Leuconostoc
mesenteroides. Warna sauerkraut adalah keemasan. Warna keemasan ini diperoleh
dari serangkaian proses pada saat fermentasi.
Aroma dari hasil fermentasi sauerkraut yaitu bau asam seperti aroma asinan
sayur pada umumnya, namun masih mengandung aroma kol sebagai bahan bakunya.
Tekstur sauerkraut adalah lunak, karena kandungan air yang ada dalam kol terdorong
keluar, sehingga menghasilkan air walaupun sedikit dan membuat tekstur renyah
kubis menjadi lunak.
5.2 Saran
Penambahan bahan tambahan pada pebuatan sauerkraut diharapkan sesuai
dengan takaran. Apabila bahan tambahan ditambahkan secara berlebihan maka akan
mempengaruhi aroma dari sauerkraut sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Dinstel, Roxie R. 2008. Sauerkraut. University of Alaska Fairbanks Cooperative Extension


Service FNH-00170.
Fadhilah, Eva et al. 2013. “Sauerkraut”. Laporan. Semarang:Universitas Diponegoro
Fauzan Iskandar Nur. 2014. “Acara : Pembuatan Sauerkraut”. Laporan. Purwokerto.
Universitas Jendral Soedirman
Ram Kumar Pundir, Pranay Jain. Change in Microflora of Sauerkraut During Fermentation
and Storage. World Journal of Dairy & Food Sciences 2010, 5 (2): 221-225.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai