Anda di halaman 1dari 4

IJTIHAD DAN MODERNISASI ISLAM

(Dinamika Pemikiran Muhammad Abduh dan Rosyid Ridha)

Dunia islam pernah mengalami masa gemilang, dengan masyarakat yang tumbuh di bawah iklim
dialog, bersama dengan etos keilmuan yang tinggi. Dalam diskursus teologi, dunia Islam tidak
mengalami pertumbuhan berarti, usaha Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal dengan
bukunya Risalah Tauhid dan The Reconstruction Of Religious Thought kurang mengalami
penghargaan di tengah kaum Muslimin (Amin Abdullah, 1995: 37), lebih-lebih di dunia
pendidikan pesantren.

Maka dengan itu, mengkaji pemikiran tokoh-tokoh pemikiran Islam seperti Jamaluddin al-
Afgani, Muhammad Abduh dan Rosyid Ridha, tentu tidak seharusnya berhenti dalam diskusi-
diskusi yang berdurasi sangat singkat dan terbatas, namun perlu dilanjutkan dengan diskursus-
diskursus mandiri di tempat masing-masing atau membuat forum-forum kecil yang berisi
beberapa orang untuk lebih efektif dalam melakukan dialog.

A. Muhammad Abduh

Kebathilan tidak akan berubah menjadi kebenaran dengan berlalunya waktu, sesungguhnya
tetapnya kebathilan karena kelalaian pada kebenaran. (M. Abduh)

Untuk Biografi teman-teman bisa baca mandiri yaa.

Menurut H.A.R. Gibb, ada empat agenda pembaharuan yang hendak dilakukan oleh Muhammad
Abduh setelah melihat kondisi Ummat Islam yang stagnan dan tertinggal dari dunia Barat. 1)
purifikasi: yaitu usaha dalam membersihkan Islam dari tumbuh berkembangnya Bid’ah. 2)
Reformasi: Agenda ini bisa dilihat dalam usaha Abduh dalam memodernisasi pendidikan di Al-
Azhar, dengan memperjuangkan masuknya mata kuliah filsafat. Menurutnya bahwa dengan
belajar filsafat semangat intelektualisme Islam yang hilang dan terkubur diharapkan dapat
bangkit kembali. 3) Pembelaan Islam: berjuang dengan tetap memegang teguh Islam seperti
yang dilakukan melalui Rislah Tauhidnya. 4) Reformulasi: Membuka kembali pintu Ijtihad

Begitulah Muhammad Abduh berkeinginan memperjuangkan dan membangkitkan Islam dar


tidurnya. Usaha itu tentu diserap oleh Abduh melalui ruh Islam yang terdapat dalam al-Qur’an.
Seperti memaksimalkan kerja akal sebagai partner wahyu dalam beriman dan membaca realitas.
Contoh saja, dalam hal iman kepada Allah, baginya Islam bergantung pada pembuktian Rasional,
bukan pada kejadian spiritual. Bahwa urutan beriman pada Allah lebih dulu daripada iman
terhadap yang lainnya, maka tidak tepat bila dasar iman kepada Allah mengacu pada risalah
utusannya. Maka seseorang perlu beriman kepada Allah sebelum beriman pada kenabian
utusannya.

Keyakinan Abduh terhadap Islam sebagai agama yang rasional terlihat bagaimana ia
menganalogikan pertumbuhan agama-agama. Bahwa menurutnya agama tumbuh sebagaiman
fase pertumbuhan manusia, dari kana-kanak hingga dewasa. Pada masa anak-anak tentu tidak
mungkin berbicara dengan bahasa yang tinggi, zaman itu masih begitu primitif sehingga di
butuhkan bentuk ajaran yang tepat, maka muncullah agama sebagai ajaran berbentuk perintah
dan larangan sebagaimana bapak terhadap anaknya. Fase kedua ketika agama telah menginjak
remaja hadirlah agama dalam bentuk santun dan cinta kasih. Dan pada puncaknya, yaitu ketika
kemanusiaan tumbuh dewasa, maka turunlah Islam sebagai agama yang rasional.

Namun kini Islam semakin jauh dari cita-cita Abduh menurut sebagian orang, maka benarkah
demikian? Seperti maraknya orang-orang yang berjubahkan Islam berteriak kembali kepada
Salafus Sholih, bagaimana pendapat kalian, benarkah sikap itu?. Namun sejak lama Abduh telah
menyikapi hal ini. Bagi Abduh semangat aqidah Salaf ialah menemukan kembali elan progresif
Islam yang telah terkubur dalam kurun waktu yang lama. Dalam bentuk meretas taqlid yang
menggurita, dengan menggunakan dimensi dan kemampuan rasional manusia dan mendorong
Ijtihad.

Muhammad Abduh juga membedakan dua golongan manusia dari kualitas akalnya, yaitu
golongan awwam dan golongan khawas. Golongan awam ialah kebanyakan manusia, bahwa akal
orang awam tidak sanggup memahami hakikat, bagaimanapun usaha seseorang menjelaskannya,
sehingga lazim jiga banyak dari golongan awam yang bersikap taqlid. Sebaliknya golongan
khawas mampu memahami hakikat Tuhan, dan membaca tanda-tanda ketuhanan yang ada pada
alam semesta. Maka wahyu ditangan golongan khawas mempunyai dua fungsi, yaitu funsi
informasi dan konfirmasi. Sedangkan pada golongan awam hanya mempunyai fungsi informasi,
Dalam hal ini Abduh menegaskan bahwa al-Qur’an berbicara pada akal manusia bukan hanya
pada perasaannya. Sehingga agama tidak hanya bersarang dalam dimensi esoteric/bathin
seeorang, melainkan juga pada aspek rasional/materil. Agama juga dikatakan berteriak pada akal,
sehingga ia tersentak dari tidurnya yang panjang. Lebih tegas juga abduh menekankan fungsi
akal bahwa perbedaan antara manusia baginya tidak lagi ditekankan pada ketinggian taqwa,
tetapi pada kekuatan akal.

Permasalah ummat Islam tentu tidak hanya pada aspek taqlid dalam beragama, dalam bentuk
ghuluw terhadap leluhur, memformalinkan pemikiran Islam dan benci kritik. Namun ummat
Islam-pun salah dalam memahami dimensi perbuatan manusia dalam diskursus teologi, sehingga
seringkali terjadi fatalisme dalam tubuh ummat Islam.

Perbuatan manusia dalam diskursus qada’ dan qadar atau di diskusikan di sisni ya teman-teman
kalau memang dirasa penting…

Topik Politik dll nanti bisa di diskusikan lagi ya…hehehe

B. Rasyid Ridho

Seorang Murid dari Muhammad Abduh, pertama kali berinteraksi dengan Abduh ialah melalui
Majalah al-Urwah al-Wusqa’. Pertemuan itulah yang merubah Rasyid Ridha, dari pemuda Sufi
ke pemuda yang memiliki semangat perubahan (Mujaddid). Sehingga tidak sedikit ia memiliki
kemiripan dengan gurunya, kemudian semangat pembaharuan gurunya Ia bawa dan lanjutkan.
Seperti Muhammad abduh ia memiliki semangat untuk memperbaharui Islam di segala bidang,
sebab baginya Islam dinilai memiliki kecacatan di berbagai tempat sehingga mengalami
pertumbuhan yang tidak wajar.

Abduh pernah berpendapat yang nantinya memiliki pengaruh terhadap Rasyid Ridha bahwa
tidak ada jalan yang ampuh untuk tercapainya pembaharuan Islam melainkan melalui politik, dan
itu adalah jalan terpendek. Sedangkan jalan pembaharuan melalui pendidikan meskipun jauh dan
panjang, namun hasilnya menetap dan langgeng. Bagi Rasyid Ridha bahwa keduanya berkiatan,
karenanya ia menginginkan pembaharuan mutlak pada seluruh dimensi kehidupan.

Perhatian Ridha juga sama dengan Afghani dan Abduh dalam melihat problem kemunduran
Islam. Dilihat dari dimensi keagamaan, masyarakat muslim mengalami kemunduran karena tidak
lagi mengamalkan ajaran Islam dengan benar. Ada dua penyakit yang menjangkiti umat Islam
menurutnya. Yaitu 1) stagnasi dalam berpikir (Jumud) sehingga tidak memunculkan alternatif
berpikir dalam membaca dan merespon realitas. 2) mengekor dengan pendapat orang lain
(taqlid), sehingga tidak dapat bersikap kritis.

Dalam aspek penghargaan pada akal, kendati tidak setinggi penghargaan yang diberikan oleh
Abduh, namun Rasyid Ridho sepakat bahwa akal memiliki peran vital dalam menentukan
kemajuan Islam. Karenanaya bagi Ridha kedududkan akal terbatas pada memahami ayat-ayat
kauniyah khusus dalam masalah sosial kemasyarakatan, pada aspek ini dimungkinkan Ijtihad
tetapi tidak pada aspek Ibadah. Terlihat juga bahwa Ridha membatasi dengan ketat ruang lingkup
kerja akal dalam memahami wahyu, termasuk dalam penggunaa takwil dan metode qiyas.

Anda mungkin juga menyukai