Anda di halaman 1dari 13

Mata Kuliah Tanggal Praktikum

Ekonomi Pangan Dan Gizi 28 April 2020

REVIEW JURNAL TERKAIT KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO


DAN DAMPAKNYA TERHADAP KONSUMSI PANGAN DAN GIZI

DI SUSUN OLEH :

AULIA IS NAIDA

1713211004

DOSEN PENGAMPU :
BESTI VERAWATI, S.GZ. M.SI

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
BANGKINANG
Inflasi Makanan dan Implikasinya terhadap Kebijakan Moneter di Indonesia
Food Inflation and Monetary Policy Implication in Indonesia
Rulyusa Pratiktoa, , Mohamad Ikhsanb,
aDepartemen Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan
bFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Terdapat dua alasan mengapa inflasi makanan di Indonesia penting untuk diperhati- kan.
Pertama, (Alamsyah, 2008; Harmanta, 2009) dan Affandi (2011) menyatakan bahwa salah sa- tu
penyebabnya adalah dari persistennya inflasi makanan. Karenanya, upaya pengendalian inflasi
makanan merupakan faktor penting untuk menu- runkan total inflasi. Kedua, relatif tingginya
inflasi makanan menyebabkan upaya untuk memproteksi pendapatan rumah tangga miskin
semakin sulit dikarenakan komoditas pangan merupakan penyumbang terbesar konsumsi
masyarakat miskin dan juga pada bundel komoditas pembentuk garis kemiskinan. Peningkatan
harga pangan akan meningkatkan garis kemiskinan yang relatif cukup tinggi, yang kemudian
berdampak kepada meningkatnya angka kemiskinan.
Pada kasus Indonesia, perubahan harga kelompok komoditas bahan makanan sangat
berpengaruh besar terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat miskin. Dampaknya, inflasi
makanan akan meningkatkan kemiskinan relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok
komoditas lainnya. Penyebabnya adalah inflasi pada komoditas makanan pada periode tersebut
meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Mengingat salah satu
tujuan dari kebijakan pemerintah dalam pengendalian inflasi yang tertuang dalam Strategi
Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) adalah menjaga tingkat kesehateraan masyarakat
miskin, maka pengendali- an inflasi makanan menjadi semakin penting untuk diperhatikan. BI
memilih untuk mengadopsi kebijakan In- flation Targeting Framework (ITF) karena kebijakan
ITF ini secara teoritis mampu menurunkan inflasi pada jangka panjang, menciptakan stabilitas
makro ekonomi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Bernanke et al.,
2005).
Jika arah dari kebijakan moneter mampu memengaruhi per- gerakan inflasi makanan,
maka secara tidak lang- sung kebijakan moneter memiliki peranan penting dalam
penanggulangan kemiskinan di Indonesia melalui stabilitas inflasi makanan. Kebijakan moneter
yang diukur melalui BI rate nampaknya memiliki keterkaitan dengan tingkat inflasi. Saat terjadi
tekanan terhadap inflasi, BI meningkatkan suku bunga acuan seperti yang jelas terlihat pada
akhir tahun 2005. peningkatan BI rate ter- sebut kemudian diikuti pula oleh penurunan pada
tingkat inflasi itu sendiri, baik kelompok makanan maupun non-makanan.Inflasi pada kelompok
makanan menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi non-makanan. Dengan
demikian, pada peri- ode ini kelompok masyarakat miskin mengalami dampak negatif yang lebih
besar karena pola kon- sumsi masyarakat miskin yang secara proporsional lebih besar pada
komoditas makanan.
Jika perubahan pada stance kebijakan moneter melalui suku bunga acuan BI mampu
mengendalikan inflasi makanan, maka dapat dikatakan kebijakan moneter memiliki peran yang
penting dalam pengendalian kemiskinan di Indonesia. Jika hasil yang terjadi adalah sebaliknya,
maka jawaban atas pertanyaan pertama akan berpengaruh terhadap respons dari kebijakan
moneter saat terjadinya tekanan terhadap inflasi makanan. Perhatian terhadap bagaimana
sebaiknya kebijakan moneter merespons tekanan pada inflasi makanan salah satunya menjadi
motivasi utama dari penelitian yang dilakukan oleh Walsh (2011), Bhattacharya et al. (2013),
dan Anand et al. (2014)

BAB II
TINJAUAN LITERATUR
Affandi (2011) menyatakan bahwa inflasi makanan menjadi salah satu penyebab
mengapa inflasi di Indonesia bersifat persisten. Lebih lanjut, terdapat urgensi yang tinggi
mengenai pengendalian inflasi makanan, mengingat dampaknya terhadap penurunan
kesejahteraan masyarakat miskin yang relatif tinggi dibandingkan dengan inflasi pada komoditas
lainnya (Son dan Kakwani, 2009; Pratikto et al., 2015). Hal ini kemudian menimbulkan
tantangan bagi kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi karena adanya dugaan kuat
bahwa kebijakan moneter kurang efektif dalam mengendalikan inflasi makanan mengingat
sumber dari inflasi makanan yang umumnya bersifat struktural. Karenanya, timbul pertanyaan
mengenai bagaimana sebaiknya kebijakan moneter memberikan respons atas tekanan inflasi
makanan.
Pada periode sebelum krisis, kebijakan moneter tidak bekerja terlalu efektif dan
signifikan dalam memengaruhi inflasi, baik itu inflasi inti maupun headline. Pada saat periode
krisis berjalan, jalur harga aset dan kredit merupakan jalur yang terkuat dalam memengaruhi
inflasi. . Pada periode ini, terdapat tiga jalur transmisi yang bekerja. Pertama, jalur nilai tukar
merupakan yang paling kuat dalam memengaruhi inflasi inti melalui direct pass-through. Kedua,
jalur harga aset merupakan jalur yang paling kuat dalam memengaruhi inflasi headline. Ketiga,
jalur suku bunga memiliki peranan yang cukup signifikan namun tidak sekuat kedua jalur yang
sebelumnya disebutkan dalam memengaruhi inflasi, baik itu inflasi inti maupun headline.
Walsh menyatakan bahwa meskipun inflasi makanan memiliki volatilitas dan rata-rata
yang lebih tinggi dari inflasi non-makanan, kebijakan pengendalian inflasi sebaiknya tetap
mengikutsertakan inflasi makanan. kebijakan moneter sebaiknya merespons tekanan pada inflasi
makanan dengan melakukan kebijakan moneter yang ketat (peningkatan suku bunga). Hal ini
dilakukan semata untuk mencegah tekanan yang lebih tinggi terhadap inflasi non-makanan, yang
pada akhirnya akan meningkatkan inflasi agregat yang lebih tinggi dari peningkatan inflasi
makanan.
Untuk mengetahui bagaimana peranan kebijakan moneter terhadap inflasi makanan,
maka penulis menggunakan dasar teori yang dikembangkan oleh Kim dan Roubini (2000). Kim
dan Roubini mengembangkan model teoritis SVAR untuk menginvestigasi dampak dari
perubahan kebijakan moneter terhadap harga sekaligus untuk melihat apakah terdapat exchange
rate puzzle pada perekonomian beberapa negaranegara Eropa (Organisation for Economic Co-
operation and Development/OECD).

Tujuan
Untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan moneter terhadap pengendalian inflasi
makanan di Indonesia.

BAB II
METODE
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah SVAR. Pendekatan SVAR ini
sendiri, seperti halnya metodologi-metodologi lainnya, tidak terlepas dari keterbatasan terutama
dari sisi robustness pada hasil akhir SVAR. Meskipun penetapan restriksi pada model SVAR
didasarkan pada teori-teori ekonomi, namun perubahan pada restriksi relatif sensitif terhadap
hasil akhir dari SVAR (Brischetto dan Voss, 1999; Berkelmans, 2005. Di dalam sistem SVAR
tersebut, variabel harga minyak mentah dunia, M2, Indeks Produksi, dan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS dirubah ke dalam bentuk logaritma. Harga minyak mentah dunia, federal
funds rate, BI rate, M2, indeks produksi manufaktur, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
bersumber dari International Financial Statistics (IFS) yang dikelola oleh International Monetary
Fund (IMF).

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Dinamika Inflasi
Pergerakan dari inflasi makanan hanya ditentukan oleh kejutan dari variabel itu sendiri
tanpa terpengaruh oleh pergerakan dari inflasi nonmakanan maupun inflasi agregat. Inflasi
makanan memiliki porsi terbesar hingga mencapai kurang lebih 58% dan diikuti oleh non-
makanan sebesar kurang lebih 40%. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa inflasi
makanan memiliki sifat eksogen dalam memengaruhi komponen inflasi lainnya. inflasi makanan
memiliki porsi yang relatif besar dalam pembentukan inflasi non-makanan maupun inflasi
agregat.
Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa peningkatan inflasi makanan akan direspons
secara positif (meningkat) oleh inflasi non-makanan maupun inflasi agregat. Begitu pula dengan
dampak dari peningkatan inflasi non-makanan terhadap inflasi agregat. Hasil Impulse Response
Functions (IRF) pun menunjukkan bahwa shock inflasi makanan terhadap inflasi agregat
memiliki dampak yang relatif lebih lama dibandingkan shock inflasi non-makanan. Hasil ini
mengimplikasikan bahwa persistensi inflasi agregat lebih bersumber dari inflasi makanan.
Dengan demikian, kombinasi hasil FEVD dan IRF ini semakin mempertegas pentingnya
pengendalian inflasi makanan sebagai berikut. Pertama, seperti yang telah disebutkan dan
diperkirakan sebelumnya pada bagian pertama, inflasi makanan memiliki dampak negatif yang
lebih buruk bagi masyarakat miskin. Kedua, peningkatan inflasi makanan akan ditransmisikan
kepada inflasi non-makanan yang berefek negatif lebih besar kepada masyarakat non-miskin. Hal
ini kemudian juga akan diteruskan kepada peningkatan inflasi agregat (second round effect).
Menurut Bhattacharya et al. (2013), penyebab dari transmisi inflasi makanan ke non-makanan ini
karena adanya efek substitusi antara barang makanan dan non-makanan. Peningkatan harga
makanan akan menurunkan permintaan terhadap makanan itu sendiri, yang kemudian
disubstitusikan kepada konsumsi barang non-makanan sehingga memberikan tekanan kepada
peningkatan inflasi pada kelompok barang tersebut.
Pemenuhan konsumsi makanan untuk kebutuhan dasar yang dilakukan oleh golongan
masyarakat menengah ke bawah tidak akan mengubah pola konsumsi makanan, sehingga inflasi
makanan tidak akan menimbulkan efek substitusi kepada kelompok barang non-makanan.
Dengan kata lain, elastisitas harga terhadap kelompok barang makanan adalah rendah (inelastis)
terutama bagi mereka yang berpendapatan rendah. Transmisi inflasi makanan kepada inflasi non-
makanan salah satunya lebih dikarenakan adanya spill-over effect dari peningkatan harga
makanan terhadap harga non-makanan. Karena kelompok barang makanan memiliki porsi
terbesar dalam pembentukan harga , maka inflasi makanan dapat dipersepsikan oleh produsen,
baik itu kelompok barang makanan maupun nonmakanan, sebagai peningkatan ekspektasi inflasi
secara agregat. Penyebab lainnya dari transmisi inflasi makanan ke non-makanan seperti yang
dinyatakan oleh Anand et al. (2014) bahwa inflasi makanan dapat berperan untuk menentukan
tingkat upah (food as wage setting). Peningkatan inflasi makanan dapat menyebabkan
permintaan peningkatan upah yang lebih tinggi oleh pekerja, karena porsi konsumsi komoditas
makanan yang relatif tinggi terutama pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini
dilakukan untuk mengompensasi daya beli pekerja yang menurun atas konsumsi makanan
tersebut dan menyebabkan adanya tekanan inflasi dari sisi penawaran (cost-push). Inflasi
makanan yang lebih tinggi menyebabkan tingkat upah yang harus diberikan pun lebih tinggi.

B. PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP INFLASI MAKANAN


Jika kebijakan moneter mampu untuk mengendalikan inflasi makanan, maka tidak hanya
masyarakat golongan miskin yang diuntungkan tetapi juga seluruh golongan masyarakat.
Sebaliknya, jika inflasi makanan tidak dapat dikendalikan, maka masyarakat miskin akan jauh
lebih dirugikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pergerakan dari inflasi makanan pada jangka
waktu pendek (2 bulan) mayoritas hanya dipengaruhi oleh variabel itu sendiri. Meskipun
demikian, pada jangka panjang (1 tahun), kejutan pada variabel harga minyak mentah dan nilai
tukar secara signifikan berdampak kepada varian dari inflasi makanan. Variabel moneter yaitu
suku bunga dan jumlah uang beredar tidak memiliki peranan langsung yang cukup penting dalam
memengaruhi perubahan inflasi makanan. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa pergerakan
inflasi makanan lebih besar dipengaruhi oleh faktor non-domestik (imported inflation). Oleh
sebab itu, tidak mengherankan jika perubahan kebijakan moneter yang lebih mengendalikan
faktor domestik tidak berperan besar terhadap variasi dari inflasi makanan.
Meskipun inflasi makanan pada jangka panjang dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar,
namun perubahan kebijakan moneter BI rate bukan merupakan sumber utama dari fluktuasi nilai
tukar. Pergerakan nilai tukar rupiah lebih banyak bersumber dari perubahan pada kebijakan
moneter AS dan jumlah uang beredar. Pada suku bunga fedrate memang sebaiknya direspons
oleh BI dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih berpengaruh terhadap jumlah uang beredar,
sehingga salah satu fokus utama BI yaitu stabilitas nilai tukar dapat tercapai. Perubahan BI rate
tidak memiliki peranan signifikan terhadap varian inflasi makanan, baik itu secara langsung
maupun tidak langsung (melalui jalur suku bunga dan nilai tukar).
Inflasi pada komoditas makanan merupakan beban inflasi terbesar yang harus dipikul
oleh masyarakat miskin di negara tersebut. Respons kebijakan moneter diduga tidak berdampak
kepada inflasi makanan, namun justru dapat menimbulkan resesi kecil (penurunan pada
pertumbuhan ekonomi). Pada akhirnya, masyarakat miskin justru dirugikan dengan adanya resesi
kecil tersebut. Rosengren berpendapat bahwa merespons inflasi makanan yang bersumber dari
supply shocks dengan kebijakan disinflasi cenderung akan memiliki dampak yang lebih buruk
bagi dunia bisnis dan rumah tangga. Alasannya, pertama, kebijakan moneter cenderung tidak
akan berpengaruh terhadap inflasi makanan karena sumbernya yang berasal dari perekonomian
luar negeri. Kedua, berdasarkan pengalaman dari perekonomian AS, kejutan pada harga
makanan cenderung hanya bersifat sementara (jangka pendek) sehingga tidak berdampak kepada
peningkatan ekspektasi inflasi maupun kepada inflasi inti (core/non-food). Karena tidak adanya
transmisi tersebut, maka kebijakan disinflasi hanya menimbulkan resesi tanpa adanya efek
signifikan terhadap inflasi itu sendiri. Peningkatan suku bunga karena kebijakan moneter
disinflasi tentunya akan membuat cost of money meningkat yang menyebabkan cost of operating
business ikut meningkat

C. DETERMINAN INFLASI MAKANAN


Sbordone (2007) serta Moreno dan Villar (2010) menyatakan bahwa suatu perekonomian
dengan karakteristik inflasi yang persisten menyebabkan kebijakan disinflasi yang dapat
menimbulkan biaya yang tinggi, relatif terhadap biaya trade-off penurunan output. Kebijakan
stabilisasi inflasi melalui kebijakan sisi permintaan menimbulkan trade-off yang lebih merugikan
dibandingkan dengan pembiaran terhadap tekanan inflasi yang timbul dari sisi structural tersebut.
Konklusi dari model SVAR kebijakan moneter, yang menyatakan bahwa pergerakan jumlah
uang beredar tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan inflasi. P eningkatan permintaan total
yang melebihi penawaran yang diproksi dengan variabel output gap secara statistik signifikan
memengaruhi inflasi makanan pada estimasi Johansen Coin. Nilai koefisiennya yang sangat
rendah menunjukkan bahwa peningkatan permintaan tersebut tidak memberikan tekanan inflasi
yang tinggi (1% peningkatan output gap hanya meningkatkan inflasi makanan sebesar 0,03%).
Hal ini juga didukung oleh temuan dari Azis (2008) bahwa kurva penawaran Indonesia relatif
jauh lebih landai dibandingkan dengan kurva permintaan.
Kebijakan ekonomi yang lebih berperan untuk mendorong penurunan inflasi makanan
adalah kebijakan yang mampu untuk mendorong peningkatan output makanan dan/atau
menurunkan biaya produksi pangan. Menurut Sudaryanto (2011), salah satu kebijakan dalam
jangka pendek adalah dengan melakukan impor pangan untuk memenuhi kekurangan suplai
pangan. Kebijakan ini memiliki risiko imported inflation jika terjadi kejutan perekonomian dunia
yang mendorong peningkatan harga pangan dunia. Kebijakan yang lebih mendorong
produktivitas pangan domestik dan menjaga biaya produksi akan lebih efektif untuk
mengendalikan inflasi makanan. Kandidat dari kebijakan ini beberapa di antaranya adalah
dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur publik yang dapat memperlancar jalur
distribusi sekaligus menekan biaya distribusi, perluasan lahan agrikultur, dan investasi pada
sektor industri pangan yang dapat mendorong produktivitas pangan domestik.

KESIMPULAN
Maka, kebijakan pengendalian inflasi yang efektif terhadap kelompok barang makanan
menjadi sangat penting. Kebijakan moneter sebagai kebijakan yang diberikan kewenangan dalam
pengendalian inflasi ternyata tidak cukup efektif dalam menekan tingkat inflasi makanan. Di sisi
lain, kebijakan ini mampu mengendalikan inflasi non-makanan, yakni dengan kebijakan
disinflasi dari BI melalui peningkatan suku bunga yang akan menurunkan tingkat inflasi
kelompok barang ini. Karena adanya transmisi dari perubahan inflasi makanan ke non-makanan,
maka jika terjadi kejutan inflasi makanan, sehingga kebijakan moneter diharapkan tetap
merespons kejutan tersebut. Faktor-faktor apa saja yang menjadi determinan inflasi makanan.
Seperti hasil dari model kebijakan moneter, penelitian ini memberikan bukti bahwa inflasi
makanan lebih ditentukan oleh faktor-faktor dari sisi penawaran.
JURNAL 2
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEBUTUHAN PANGAN DI INDONESIA
1 Supardi Rusdiana, 2 Aries Maesya

Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor


Fakultas Mipa Universitas Pakuan Bogor
Received: 28 September 2016; Accepted: 04 April 2017; Published: 06 April 2017
DOI: http://dx.doi.org/10.21107/agriekonomika.v6i1.1795

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi dapat berpengaruh terhadap kebutuhan pangan, sesuai dengan
pertambahan jumah penduduk, per kapita dan nilai ekonomi di masyarakt yang meningkat.
Kebutuhan pangan di Indonesia hampir dapat dipenuhi semua dari potensi domestik, kecuali
untuk komoditas pangan asal daging impor dan kedelai yang masih mengalami defisit.
Kecukupan pangan yang berasal dari hasil pertanian dan peternakan sebagai tolak ukur
perkembangan perekonomian di Indnesia, sehingga sangat penting untuk membangunnya, karena
pangan sebagai i salah satu bagian pembangnunan bangsa Indonesia. Krisis pangan terjadi
karena komoditas pangan tidak terkelola dengan baik, setiap negara diharapkan dapat
mengupayakan penyelamatan sendiri, negara yang dikenal pengekspor hasil pertanian seperti
beras dari Thailand dan Vietnam, ternak sapi dari Australia mulai mengamankan terlebih dahulu
kebutuhan dalam negeri.
Naiknya harga pangan yang diakibatkan terjadinya iklim di Indonesia yang tidak dapat
diprediksi, sementara ini harga pangan setiap tahunnya selalu meningkat mengakibatkan
kemerosotan perekonomian dimasyarakat meningkat Menurut Rosganda (2007), bahwa sesuai
dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan bebas, beberapa komoditas
pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis. Dinamika ketidak pastian dan ketidak
stabilan produksi pangan secara nasional dan senantiasa banyak mengandalkan pada ketersediaan
pangan di pasar impor dunia.
Kebijakan pemerintah untuk pembangunan pertanian dengan rangka mewujudkan
kedaulatan pangan hewani dan nabati, salah satunya dapat diarahkan pada peningkatan produksi
pangan asal daging sapi dan tanamanm pangan beras. Berdasarkan data dari Dirjen Peternakan
dan Kesehatan Hewan tahun (2008), bahwa Indonesia hanya mampu memproduksi 70% dari
kebutuhan daging sapi nasional, dimana 30% kebutuhan lainnya dipenuhi melalui impor dalam
bentuk sapi bakalan untuk penggemukan, daging beku, jeroan, yang didominasi oleh hati dan
jantung beku. Menurut Rusono (2015), ke depan konsumsi daging sapi akan terus meningkat
karena pertumbuhan jumlah penduduk, kenaikan pendapatan riil per kapita/tahun. Berdasarkan
hasil proyeksi Bappenas terhadap permintaan dan penawaran sapi/ kerbau di indoensia tahun
2013-2020 pemerintah perlu meningkatkan populasi dasar sapi indukan dalam negeri dengan
melakukan impor sapi indukan sejak tahun 2015-2017 sebanyak 500 ribu ekor/tahun dan tahun
2018-2020 sebanyak sejuta ekor/tahun sehingga diharapkan pada tahun 2020 tingkat
swasembada daging sapi dapat meningkat menjadi 95%. Pemerintah dapat mempertahan dan
berupaya terus memacu pembangunan ketahanan pangan, melalui program yang dapat
memperkokoh ketahanan pangan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Husodo (2001), bahwa untuk itu setidaknya ada lima masalah mendasar yang
menjadi alasan penting menentukan arah pembangunan ketahanan pangan 2013, yaitu: pertama,
pangan adalah bagian dari basik human need yang tidak ada substitusinya, kedua jumlah
penduduk yang masih tinggi, disadari atau tidak, mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan
terhadap pangan (growing demand). Untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan
pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan, pelatihan di bidang pangan,
penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan pangan (Fagi,
dkk., 2002).
B. Tujuan
Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan pangan di Indonesia, yang
setiap tahunnya selalu meningkat

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEBUTUHAN PANGAN DI INDONESIA


Sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang besar dapat dimanfaatkan melalui
pemanfaatan dan pengembangan pangan sumber karbohidrat non beras, sumber protein dan gizi
mikro di masing-masing daerah dan penepan teknologi yang pesat dalam berbagai aspek. Untuk
mencapai ketahanan pangan, maka sub bidang pertanian dan sub bidnag peternakan harus
mengupayakan program jangka pendek, menengah dan panjang, tentunya dengan
memperhitungkan resiko dan dampak akan terjadi perubahan ekonomi serta dala kecukupan
pangan secara nasional. Kepentingan berskala makro (nasional) dapat berjalan seiring dengan
kepentingan berskala mikro (petani). Agroindustri komoditas pangan non beras tersebut
sebaiknya dibangun di perdesaan, dengan harapan dapat membuka kesempatan kerja bagi
masyarakat desa. Pada tahapan berikutnya, strategi ini dapat meningkatkan kualitas hidup dan
mutu gizi masyarakat. Makin meningkat daya beli masyarakat akan berpengaruh terhadap
ekmampuan daya beli masyarakat yang cukup tinggi. Kehawatiran Pangan di Indoensia
Perekonomian di Indonesia setiaknya mengalami peningkatan sesuai dengan bertambahnya
jumlah penduduk, kehawatiran semakin parahnya krisis pangan menghantui sebagian besar
negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Peningkatan jumlah (the middle class) yang bergilir
pada peningkatan konsumsi pangan yang lebih banyak. Ketiga, kerusakan lingkungan yang
diakibatkan antara lain oleh climate change yang sudah mengganggu produksi dan produktivitas
pangan nasional, keempat, kompetisi antara sumber energi (bio fuel) dan sumber pangan yang
dapat mengganggu suplai pangan, Kelima, pentingnya kemandirian pangan berkelanjutan serta
masih adanya kerentanan dan kerawanan (baca krisis) pangan di berbagai daerah.
Sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan
penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek
mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah
tangga. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka starategi dalam upaya pemenuhan kebutuhan
pangan ditingkat nasional terpenuhi dengan baik. Bidang peternakan masalah dalam mengatasi
kondisi gizi adalah masalah tingkat produksi dan produktivitas ternak yang belum mampu
memenuhi tingkat permintaan yang ada, sehingga sebagian produk peternakan masih harus
diimpor (Soedjana, 2007). Menurut Mewa (2004), bahwa pangan merupakan komoditas penting
dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang
harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama, pemerintah
menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara
penyediaan prouksi, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak
memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya
pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu
dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan. Proses peningkatan ketahanan
pangan akan berjalan dengan efisien dengan adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi
pemerintah pusat maupun daerah. Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, merta aman
dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri,
impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan.
2. KETERSEDIAAN PANGAN DARI BEBERAPA SUB SISTEM
Ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan. Menurut
Elizabeth (2007), pendukung utama terlaksananya strategi dalam pencapaian diversifikasi dan
kemandirian pangan diperlukan pula perangkat kebijakan yang memadai, teknologi dan
informasi yang dibutuhkan, difungsikannya lembaga pendukung lainnya seperti penyuluhan dan
pemasaran. Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok
alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok
alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. tetapi mengubah pola
konsumsi, sehingga masyarakat akan mengonsumsi lebih banyak jenis pangan dengan gizi yang
cukup, berimbang, dan aman. Diversifikasi pangan akan berjalan lancar bila dipadukan dengan
pengembangan agroindustri berbahan produk hasil pertanian domestik (lokal) yang dibangun di
perdesaan. Lebih mempercepat pencapaian dan pengembangan diversifikasi dan kemandirian
pangan diperlukan: strategi penyediaan teknologi dan informasi yang sesuai, perangkat kebijakan
operasional yang memadai, dan berfungsinya berbagai lembaga pendukung, seperti penelitian,
penyuluhan, dan pemasaran. Kebutuhan masyarakat dikarenakan daya beli yang rendah, dapat
mempengaruhi tidak terpenuhinya status gizi masyarakat, berdampak pada tingkat produktivitas
masyarakat Indonesia yang rendah. Namun, selain jumlah yang rawan pangan maih besar, juga
banyak anak-anak yang meninggal sebelum mencapai usia dewasa. Beberapa program utama
dalam membangun ketahan pangan di antaranya adalah untuk meningkatkan komoditas pangan
unggulan, mutu, jumlah dan diversifikasi tanaman pangan. Program ketahanan pangan yang
sangat dihawatirkan kekurangan pangan terjadi bagi penduduk Indonesia yang semakin
meningkat, dan pelaksanaan program harus jelas dan tepat sasaran. Namun demikian apabila
diamati dari indikator makro kesejahteraan rakyat, masih menunjukkan masalah pangan atau gizi
kurang dan menjadi momok bagi sebagian besar masyarakat, khususnya yang berpenghasilan
rendah (Suryana, 2004).
3. PERMASALAHAN KETERSEDIAAN PANGAN DI INODNESIA
Terdapat hubungan positif dianta keduanya, yakni semakin tinggi tingkat pengeluaran per
kapita per bulan di masyarakat, maka semakin tinggi pula pola pangan, yang sangat dipengaruhi
oleh aspek kemiskinan, hal ini dikaitkan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang dibawah
rata-rata yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan terendiri. Permasalahan yang
sering terjadi adalah mengenai aspek konsumsi diawali dengan suatu keadaan dimana
masyarakat Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang cukup tinggi terhadap bahan pangan
beras, daging, telur san susu. Berdasarkan data tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap
beras sekitar 134 kg per kapita, walaupun kita menyadari bahwa beras merupakan bahan pangan
pokok utama masyarakat Indonesia, keadaan ini dapat mengancam ketahanan pangan secara
nasional (Statistik Pertanian, 2011). Kebutuhan masyarakat dikarenakan daya beli masyarakat
yang rendah mempengaruhi tidak terpenuhinya status gizi masyarakat berdampak pada tingkat
produktivitas masyarakat Indonesia yang rendah. Kemiskinan yang dikaitkan dengan tingkat
perekonomian dari tahun ke tahun dalam perubahan yang signifikan, sehingga daya beli, dan
pendapatan masyarakat pada umumnya sangat rendah dan berpengaruh terhadap stabilitas
ketahanan pangan di Indonesia, dari berbagai aspek permasalahan di atas, sebenarnya ada
beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh bangsa kita agar memiliki ketahanan pangan yang
cukup baik.
4. PENYEDIAAN PRODUKSI PANGAN DI INDONESIA
Penyediaan Produksi Pangan Penyediaan hasil pertanian dan hasil peternakan harus
mempunyai potensi yang sangat baik, agar dapat dipergunakan sebagai bahan pangan yang
bermutu. Potensi komoditas non-pangan yang diusahakan petani di Indonesia menunjukkan
kinerja yang relatif tinggi pula. Hal ini menunjukkan potensi pertanian di pedesaan sangat besar
dan merupakan sumber income bagi sebagian besar masyarakat di pedesaan. Dukungan
penyediaan infrastruktur pertanian kewilayahan untuk memperlancar sistem distribusi dan
pemasaran hasil pertanian dan peternakan, sehingga dapat membantu meningkatkan income
petani di pedesaan, (Jabal, dkk., 2009). Kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis
sehingga tidak mendukung terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta
pemerataan konsumsi pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangga (Winarso, 2010).
Menurut Achmad (2007), mengindikasikan bahwa pada masyarakat Indonesia yang
berpenghasilan rendah, pangsa pengeluaran rumah tangganya sebagian besar (lebih dari 50%)
masih didominasi oleh pengeluaran pangan, terutama beras sebagai makanan pokok.
Diversifikasi pangan juga merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat
Indonesia terhadap satu jenis bahan pangan yakni beras dan daging, ketahanan pangan sangat
mendukung secara nyata kegiatan peningkatan pendapatan in situ (income generating activity in
situ), peningkatan pendapatan in situ bertujuan meningkatan pendapatan masyarakat melalui
kegiatan pertanian berbasis sumber daya lokal, sehingga kegiatan peningkatan pendapatan ini
dipusatkan pada daerah asal dengan memanfaatkan sumber daya lokal setempat.
Pengeluaran Pangan Untuk Konsumsi Menurut Susilowati, dkk., (2012), bahwa selama
periode 2009-2012 pengeluaran total rumah tangga secara nominal meningkat 50%, sedangkan
secara riil setara kg beras rata-rata hanya meningkat 17%. Secara agregat pangsa pengeluaran
pangan cenderung menurun, namun masih tergolong cukup tinggi, (rataan sebesar 60% total
pengeluaran). Pangsa pengeluaran karbohidrat cenderung menurun yang diimbangi dengan
meningkatnya pangsa pengeluaran untuk protein hewani.
Secara agregat pola konsumsi pangan rumahtangga contoh cenderung menurun, yang
ditunjukkan tidak tercapainya kecukupan energi dan rendahnya skor PPH (masih lebih rendah
dibanding rata-rata wilayah perdesaan secara nasional). Konsumsi protein per kapita sehari untuk
daging pada tahun 2011 sebesar 2,75 gram, meningkat sebesar 7,84% dibandingkan konsumsi
tahun 2010 sebesar 2,55 gram. Konsumsi protein per kapita sehari untuk telur dan susu sebesar
3,25 gram, atau menurun sebesar 0,61 persen dibandingkan konsumsi tahun 2010 sebesar 3,27
gram. Konsumsi kalori dan protein per kapita per hari dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita,
pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi pada tahun 2011 sebesar Rp 593.664, yang
digunakan untuk konsumsi makanan sebesar Rp 293.556 (49,45%) dan konsumsi bukan
makanan sebesar Rp 300.108 (50,55%). Dari pengeluaran untuk makanan sebesar Rp 293.556
tersebut, pengeluaran untuk konsumsi daging sebesar Rp 10.972 (3,74%). Sementara
pengeluaran untuk konsumsi telur dan susu sebesar Rp 17.106 (5,83%) (Statistik Pertanian,
2013). Meningkatkan Produksi Melalui Diversfikasi Diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan
produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan
konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal.
Kebutuhan konsumen pangan terpenuhi, tentunya harus memenuhi kualitas dan standar
yang diterapkan oleh industri serta pengembangan dan penerapan operasi prosedur standar dari
pabrik, lembaga akademisi (a) memfasilitasi pengembangan dari teknologi penanaman dan
produk berbasis lokal yang memiliki potensi pasar; (b) merekomendasikan pemecahan masalah
di dalam pengembangan industri. Kegiatan peningkatan pendapatan melalui pengembangan
kelompok industri diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkuat ketahanan pangan dalam
waktu jangka panjang, diantaranya: (a) meningkatkan nilai tambah dari komoditi lokal; (b)
menyediakan komoditi lokal yang memiliki potensi secara komersial; (c) mendorong
pengembangan desa melalui kegiatan peningkatan pendapatan berdasar padapertanian lokal; (d)
mendukung ketahanan pangan dalam jangka panjang; (e) memberikan solusi terhadap
permasalahan pengangguran dan kemiskinan terutama pada masyarakat pedesaan.
Penanaman tanaman lokal berdasar pada sistem bercocok tanam yang baik (good
agriculture practices), mengusahakan lahan kosong untuk digunakan pagar dapat menghasilkan
komoditas lokal sehingga dapat memenuhi standar kualitas yang baik, mengkoordinasi fasilitas
dan program inventarisasi yang berotasi kepada tanaman dan supervisi petani, pentingnya
bekerjasama dengan pihak akademisi untuk meningkatkan produktivitas, untuk meningkatkan
kontribusi petani di dalam program pengembangan industri.
5. PERSIAPAN PEMENUHAN PANGAN
Petani ternak memiliki ternak hanya sebagai usaha sampingan, dan lahan pertanian
banyak digunakan sebagai pemukiman. Untuk itu usaha ternak ruminansia segera didorong
kearah usaha bersifat komersial, kemduan penggunaan lahan pertanian dimanfaatkan secara
efektif dan efisien. Komoditi tersebut mengalami pertumbuhan produksi tidak tepat dikarenakan
agrosistem di Indonesia tidak stabil, sedangkan komoditi yang pertumbuhannya paling rendah
dalam kurun waktu yang sama adalah komoditi ubi jalar, komoditi dan produksi dari tanaman
pangan di Indonesia.
Menurut Rusdiana dkk. (2014) bahwa, produk hasil dalam negeri dan berasal dari hasil
pertanian maupun hasil peternakan dapat bersaing dengan produk luar inegeri, impor, baik
kulitas, kuntitas dan produktivitasnya. Berdasarkan data bahwa populasi ternak ruminansia bear
dan kecil setiap tahunya mengalami peningkatakns sekitar 5%,hal tersebut dapat memacu
peningkatan populasi ternak ruminansia terhadap kebutuhan daging. Menurut Sudjana (2011)
bahwa, berdasarkan data secara nasional, bahwa baik dalam ketersediaan distribusi dan konsumsi
daging kambing dapat memenuhi tujuan dari ketahanan pangan secara nasional, selanjutnya
dapat diuraikan lebih jauh bahwa produksi daging utama (sapi-kerbau, kambing-domba, unggas
dan babi), beberapa daging komoditas tertentu setiap tahunnya mengalami kenaikan dan ada juga
yang mengalami penurunan.
KESIMPULAN
Pertumbuhan komoditi pangan yang paling tinggi setiap tahun adalah komoditi beras
disusul komoditas jagung. Kontribusi daging sapi dalam memenuhi kebutuhan protein hewani
menduduki urutan yang kedua setelah daging unggas. Kondisi dapat terlihat dari tingkat
produktivitas masing-masing komoditi, cenderung menunjukkan trend meningkat dalam kurun
waktu satu tahun, dapat dilihat dengan menggunakan rata-rata komoditi konsumsi dan hasil
produksi oleh petani di pedesaan.

Anda mungkin juga menyukai