Anda di halaman 1dari 19

Sari Kepustakaan ACC Supervisor Telah dibacakan tgl:

Divisi Geriatri Pimpinan Sidang

dr. Ariantho Sidasuha Purba, dr. Ariantho Sidasuha Purba,


dr. Yosua Marulitua M.Kes, Sp.PD M.Kes, Sp.PD
Manullang

DEPRESI PADA GERIATRI DAN PENATALAKSANAANNYA


Yosua Marulitua Manullang, Bistok Sihombing, Ariantho Purba
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUSU / RSUP Haji Adam Malik Medan

PENDAHULUAN
1. DEFINISI
Depresi
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/ mood
disorder), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan
tidak berguna dan putus asa. Pendapat yang lain bahwa depresi terjadi pada orang normal dan
depresi merupakan suatu kemurungan, kesedihan, kepatahan semangat, yang ditandai dengan
perasaan tidak sesuai, menurunnya kegiatan dan pesimisme menghadapi masa yang akan
datang.

Santrock mengungkapkan bahwa depresi dapat terjadi secara tunggal dalam bentuk mayor
depresi atau dalam bentuk gangguan tipe bipolar. Depresi mayor adalah suatu gangguan
suasana hati atau mood yang membuat seseorang merasakan ketidakbahagiaan yang
mendalam, kehilangan semangat, kehilangan nafsu makan, tidak bergairah, selalu
mengasihani dirinya sendiri, dan selalu merasa bosan.

Pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmampuan ekstrim untuk bereaksi terhadap
rangsangan, disertai menurunnya nilai diri, delusi, ketidaksesuaian, tidak mampu dan putus
asa. Definisi depresi yang lain adalah suatu keadaan abnormal organisme yang
dimanifestasikan dengan tanda dan simtom seperti menurunnya mood subjektif, rasa pesimis
dan sikap tidak percaya, kehilangan kespontanan dan gejala vegetatif (misalnya penurunan
berat badan dan gangguan tidur).

Ada tiga jenis depresi yang bisa dialami oleh individu, yaitu mild depression/minor
depression dan dysthimic disorder; moderate depression; dan Severe depression/major
depression. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi depresi adalah faktor kesehatan,
kepribadian, religiusitas, pengalaman hidup yang pahit, harga diri dan dukungan sosial.
Gejala depresi menurut Beck digolongkan dalam empat simtom, yaitu simtom emosional,
simtom kognitif, simtom motivasional dan simtom fisik. (Mudjaddid et al, 2013)

Lansia

Dewasa akhir (late adulthood) atau lanjut usia, biasanya merujuk pada tahap siklus kehidupan
yang dimulai pada usia 65 tahun. Ahli gerontologi membagi lanjut usia menjadi dua
kelompok: young-old, berusia 65-74 tahun; dan old-old, berusia 75 tahun ke atas. Kadang-
kadang digunakan istilah oldest old untuk merujuk pada orang-orang yang berusia 85 tahun
ke atas .
Idealnya seorang lansia dapat menjalani proses menua secara normal sehingga dapat
menikmati kehidupan yang bahagia dan mandiri. Proses penuaan yang sukses merupakan
suatu kombinasi dari tiga komponen:
(1) penghindaran dari penyakit dan ketidakmampuan
(2) pemeliharaan kapasitas fisik dan kognitif yang tinggi di tahun-tahun berikutnya
(3) keterlibatan secara aktif dalam kehidupan yang berkelanjutan .(Sadock et al, 2007) (Hoyer
et al, 2003)

2. EPIDEMIOLOGI

Saat ini depresi pada lansia di seluruh dunia di perkirakan ada 500 juta jiwa dengan usia rata-
rata 60 tahun. Pada tahun 2000 jumlah lanjut usia di Indonesia terdapat 22,3 juta jiwa dengan
umur harapan hidup 65-75 tahun. Pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,09% (29,12
juta lebih) dengan usia harapan hidup 70-75 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan
mencapai 1,2 milyar. (Blazer et al, 2003)
Gejala-gejala depresif lebih sering terjadi pada oldest old, yaitu lebih dari 20% dibandingkan
dengan kurang dari 10% pada young old. Tetapi frekuensi yang lebih tinggi tersebut
diterangkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan penuaan, seperti proporsi wanita
yang lebih tinggi, lebih banyak ketidakmampuan fisik, lebih banyak gangguan kognitif, dan
status sosioekonomik yang lebih rendah. Ketika faktor-faktor tersebut terkontrol, tidak ada
hubungan antara gejala-gejala depresi dan usia. Prevalensi depresi pada lansia berjenis
kelamin wanita lebih tinggi. Alasan untuk perbedaan ini meliputi perbedaan hormonal, efek-
efek dari melahirkan, perbedaan stressor psikososial, dan model-model perilaku dari learned
helplessness . Wanita memiliki risiko untuk depresi lebih tinggi daripada pria, bahkan di
masa tua . Pada penelitian didapati prevalensi depresi pada pria sebesar 6,9% dan sebesar
16,5% pada wanita. Pada penelitian oleh Schoever tersebut dapat dilihat pada subjek
penelitian bahwa disabilitas fungsional lebih sering terjadi pada wanita dan lebih banyak
wanita yang tidak atau tidak lagi menikah. (Sadock et al, 2007) (Gallo et al, 2001)

Penelitian lain disebutkan bahwa angka depresi per tahun paling rendah pada mereka yang
menikah yaitu sebesar 1,5%. Angka depresi tertinggi terdapat mereka yang telah bercerai
sebanyak 2 kali, yaitu sebesar 5,8%. Angka depresi pada mereka yang bercerai satu kali
adalah 4,1% sedangkan mereka yang tidak pernah menikah memiliki angka depresi tahunan
sebesar 2,4%. Angka depresi pada pasien lansia dengan penyakit medis serius adalah lebih
tinggi. Depresi dialami oleh sekitar 40% pasien dengan stroke, 35% pasien dengan kanker,
25% pasien dengan penyakit Parkinson, 20% pasien dengan penyakit kardiovaskular, dan
10% pasien dengan diabetes.(Hoyer et al, 2003) (Gallo et al, 2001)

3. ETIOLOGI

Etiologi diajukan para ahli mengenai depresi pada usia lanjut adalah:
1. Polifarmasi Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi, antara
lain: analgetika, obat antiinflamasi nonsteroid, antihipertensi, antipsikotik, antikanker,
ansiolitika, dan lain-lain.

2. Kondisi medis umum Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi
adalah gangguan endokrin, neoplasma, gangguan neurologis, dan lain-lain.

3. Teori neurobiology menyatakan, para ahli sepakat bahwa faktor genetik berperan pada
depresi lansia. Pada beberapa penelitian juga ditemukan adanya perubahan neurotransmiter
pada depresi lansia, seperti menurunnya konsentrasi serotonin, norepinefrin, dopamin,
asetilkolin, serta meningkatnya konsentrasi monoamin oksidase otak akibat proses penuaan.
Atrofi otak juga diperkirakan berperan pada depresi lansia

4. Teori psikodinamik Elaborasi Freud pada teori Karl Abraham tentang proses berkabung
menghasilkan pendapat bahwa hilangnya objek cinta diintrojeksikan ke dalam individu
tersebut sehingga menyatu atau merupakan bagian dari individu itu. Kemarahan terhadap
objek yang hilang tersebut ditujukan kepada diri sendiri. Akibatnya terjadi perasaan bersalah
atau menyalahkan diri sendiri, merasa diri tidak berguna, dan sebagainya.

5. Teori kognitif dan perilaku Konsep Seligman tentang learned helplessness menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat proses penuaan
seperti keadaan tubuh, fungsi seksual, dan sebagainya dengan sensasi passive helplessness
pada pasien usia lanjut.

6. Teori psikoedukatif. Hal-hal yang dipelajari atau diamati individu pada orang tua usia
lanjut misalnya ketidakberdayaan mereka, pengisolasian oleh keluarga, tiadanya sanak
saudara ataupun perubahan-perubahan fisik yang diakibatkan oleh proses penuaan dapat
memicu terjadinya depresi pada usia lanjut. Dukungan sosial yang buruk dan kegiatan
religius yang kurang dihubungkan dengan terjadinya depresi pada lansia. Suatu penelitian
komunitas di Hongkong menunjukkan hubungan antara dukungan sosial yang buruk dengan
depresi. Kegiatan religius dihubungkan dengan depresi yang lebih rendah pada lansia di
Eropa. “Religious coping” berhubungan dengan kesehatan emosional dan fisik yang lebih
baik. “Religious coping” berhubungan dengan berkurangnya gejala-gejala depresif tertentu,
yaitu kehilangan ketertarikan, perasaan tidak berguna, penarikan diri dari interaksi sosial,
kehilangan harapan, dan gejala-gejala kognitif lain pada depresi .(Sadock et al, 2007)

4. DIAGNOSIS

Tanda dan Gejala Ciri-ciri pokok untuk episode depresif mayor adalah suatu periode paling
sedikit 2 minggu yang mana selama masa tersebut terdapat mood terdepresi atau kehilangan
ketertarikan atau kesenangan dalam hampir semua aktivitas. Individu dengan depresi juga
harus mengalami paling sedikit empat gejala tambahan yang ditarik dari suatu daftar yang
meliputi perubahan-perubahan dalam nafsu makan atau berat badan, tidur, dan aktivitas
psikomotorik; energi yang berkurang; perasaan tidak berharga atau bersalah; kesulitan dalam
berpikir, berkonsentrasi, atau membuat keputusan; atau pemikiran-pemikiran berulang
tentang kematian atau pemikiran, rencanarencana, atau usaha untuk bunuh diri . (American
Psychiatric Association, 2000)

Gejala-gejala depresi lain pada lanjut usia:


1. kecemasan dan kekhawatiran
2. keputusasaan dan keadaan tidak berdaya
3. masalah-masalah somatik yang tidak dapat dijelaskan
4. iritabilitas
5. kepatuhan yang rendah terhadap terapi medis atau diet
6. psikosis (Gallo et al, 2001)

Manifestasi depresi pada lansia berbeda dengan depresi pada pasien yang lebih muda. Gejala-
gejala depresi sering berbaur dengan keluhan somatik. Keluhan somatik cenderung lebih
dominan dibandingkan dengan mood depresi. Gejala fisik yang dapat menyertai depresi dapat
bermacam-macam seperti sakit kepala, berdebar-debar, sakit pinggang, gangguan
gastrointestinal, dan sebagainya. Penyakit fisik yang diderita lansia sering mengacaukan
gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat badan. Inilah yang
menyebabkan depresi pada lansia sering tidak terdiagnosa maupun diterapi dengan baik.
(Mudjaddid et al, 2013) (Bonnie et al, 2011)

Penyebab lain kesulitan dalam mengenal depresi pada lansia adalah baik lansia maupun
keluarga biasanya tidak memperdulikan gejala-gejala depresif. Mereka menganggap bahwa
gejala-gejala tersebut normal bagi orang yang telah mencapai usia tua. Lansia sendiri sering
gagal mengenali depresi yang terjadi pada dirinya . Beberapa penelitian melaporkan bahwa
sampai sepertiga lansia yang menderita depresi mayor tidak menggambarkan mood mereka
sebagai mood terdepresi. Selain itu lansia sering menutupi rasa sedihnya dengan justru
menunjukkan dia lebih aktif . Para klinisi juga mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
depresi pada lansia dengan menggunakan kriteria pada DSM-IV. Kriteria diagnostik tersebut
tidak disesuaikan dengan golongan usia. Seringkali terjadi kesulitan dalam memisahkan
depresi dari perubahan fisik khas yang terkait usia, penyakit, dan gejala-gejala yang terjadi di
masa tua . (Bonnie et al, 2011) (Hoyer et al, 2003)
5. DAMPAK DEPRESI PADA LANSIA

Pada usia lanjut depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan dengan penyakit lain
hendaknya ditangani dengan sungguh-sungguh karena bila tidak diobati dapat memperburuk
perjalanan penyakit dan memperburuk prognosis.

Pada depresi dapat dijumpai hal-hal seperti di bawah ini :


-. Depresi dapat meningkatkan angka kematian pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
-Pada depresi timbul ketidakseimbangan hormonal yang dapat memperburuk penyakit
kardiovaskular. (Misal: peningkatan hormon adrenokortikotropin akan meningkatkan kadar
kortisol).
-. Metabolisme serotonin yang terganggu pada depresi akan menimbulkan efek
trombogenesis.
-. Perubahan suasana hati (mood) berhubungan dengan gangguan respons imunitas termasuk
perubahan fungsi limfosit dan penurunan jumlah limfosit.
-. Pada depresi berat terdapat penurunan aktivitas sel natural killer.
-. Pasien depresi menunjukkan kepatuhan yang buruk pada program pengobatan maupun
rehabilitasi. (Mudjaddid et al, 2013)

Skrining Depresi pada Lansia dengan Geriatric Depression Scale

Skrining depresi pada lansia pada layanan kesehatan primer sangat penting. Hal ini penting
karena frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri pada lansia adalah tinggi .
Skrining juga perlu dilakukan untuk membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan
tentang depresi, dan untuk mengikuti perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu.
Skrining tidak ditujukan untuk membuat diagnosis depresi mayor, namun untuk
mendokumentasikan gejala-gejala depresi sedang sampai berat pada lansia apapun
penyebabnya.(Blazer et al, 2003) (Gallo et al, 2001)

Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan tersendiri. Gejala-gejala depresi seperti
kesulitan-kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan libido yang menurun secara umum
ditemukan pada penderita depresi lansia . Pemikiran tentang kematian dan keputusasaan akan
masa depan mempunyai makna yang berbeda bagi mereka yang berada pada fase terakhir
kehidupan. Lagipula, kondisi medik kronik lebih umum pada pasien geriatri dan dapat
berhubungan dengan retardasi motorik dan tingkat aktivitas yang berkurang. Komorbiditas
dengan demensia dapat mempengaruhi konsentrasi dan proses kognitif.

Geriatric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes untuk skrining depresi yang
mudah untuk dinilai dan dikelola . Geriatric Depression Scale memiliki format yang
sederhana, dengan pertanyaan-pertanyaan dan respon yang mudah dibaca. Geriatric
Depression Scale telah divalidasi pada berbagai populasi lanjut usia, termasuk di Indonesia.
Selain GDS, screening scale lain yang telah terstandardisasi adalah Center for Epidemiologic
Studies Depression Scale, Revised (CES-D-R). Selain GDS dan CES-D-R, masih ada
instrumen skrining lain seperti Hamilton Rating Scale for Depression, Zung Self-Rating
Depression Scale, Montgomery-Asberg Depression Rating Scale , namun kedua instrumen
inilah yang paling sering digunakan .(Blazer et al, 2003) (Rush et al, 2000)

Geriatric Depression Scale terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang sebagai suatu self
administered test, walaupun telah digunakan juga dalam format observer-administered test.
Geriatric Depression Scale dirancang untuk mengeliminasi hal-hal somatik, seperti gangguan
tidur yang mungkin tidak spesifik untuk depresi pada lansia. Skor 11 pada GDS
mengindikasikan adanya depresi yang signifikan secara klinis, dengan nilai sensitivitas 90,11
% dan nilai spesifisitas 83,67% . Terdapat juga GDS versi pendek yang terdiri dari 15
pertanyaan saja. Pada GDS versi pendek ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan depresi yang
signifikan secara klinis.(Gallo et el, 2001)(Brink et al, 1982)

Geriatric Depression Scale menjadi tidak valid bila digunakan pada lansia dengan gangguan
kognitif. Status kognitif harus terlebih dahulu dinilai dengan Mini Mental State Examination
(MMSE), karena kemungkinan yang besar dari komorbiditas depresi dan fungsi kognitif.
(Blazer et al, 2003)
Mini Mental State Examination adalah suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang
dikelompokkan menjadi tujuh kategori: orientasi tempat, orientasi waktu, registrasi, atensi
dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan konstruksi visual. Mini Mental State
Examination didesain untuk mendeteksi dan menjejaki kemajuan dari gangguan kognitif yang
terkait dengan gangguan neurodegenerative seperti penyakit Alzheimer. Mini Mental State
Examination telah terbukti merupakan instrumen yang valid dan sangat dapat dipercaya. Nilai
MMSE 0-16 menunjukkan suatu definite gangguan kognitif.(Rush et al, 2011
6. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah relaps, rekuren dan kronisitas. Depresi pada
lansia dapat lebih efektif diobati dengan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis
disertai pendekatan interdisiplin yang menyeluruh. Penanganan depresi pada lansia
memerlukan perhatian ekstra, segala kesulitan dan keluhan perlu didengarkan dengan sabar.
Karena ketidaksabaran terapis dianggap sebagai penolakan .

Adapun strategis praktis pada individu adalah:


1. Menyusun jadwal pertemuan untuk menjaga kepatuhan dan komitmen .
2. Mengutamakan topic pembicaraan tentang kehidupan sosial yang umum untuk
membangun hubungan dokter – pasien yang baik
3. Secara fokus membicarakan masalah dan menetapkan sasaran realistis yang dapat dicapai
untuk memberikan arah yang pasti bagi pasien
4. Mendorong pasien terlibat dalam kegiatan yang berarti dan berguna untuk meningkatkan
kemampuan menikmati pengalaman yang menyenangkan
5. Menunjukkan kepedulian melalui sentuhan fisis yang wajar
6. Meninjau kembali apa yang telah dicapai dimasa lalu untuk membangkitkan rasa mampu
dan harga diri.(Soejono et al, 2014)

Indikasi Pemberian Obat Antidepresi

Secara umum indikasi pemberian obat anti depresi adalah untuk gangguan depresi sedang
sampai berat , episode depresi berulang dan depresi dengan gambaran melankolia atau
psikotik. Karena manifestasi klinis depresi pada usia lanjut seringkai tidak khas , maka
menentukan indikasi pemberian obat antidepresi pada pasien lansia seringkali merupakan
pertimbangan klinis berdasarkan pada pengalaman klinis dalam mengenali tanda dan gejala
depresi yang terselubung. (Soejono et al, 2014)

Pemilihan obat Antidepresi Pemilihan jenis obat antidepresi bagi pasien usia lanjut lebih
merujuk pada profil efek samping obat . Preparat sekunder trisiklik ( desipramin, nortriptilin )
masih cukup aman dan efektif untuk digunakan pada lansia. Antidepresi generasi baru
bekerja pada reseptor susunan saraf otak , bersifat lebih selektif dan spesifik sehingga profil
efek sampingnya lebih baik. Jenis – jenis obat antidepressant :
1. Tricyclic compound : Amitriptyline, Imipramine, Clomipramine, Tianeptin
2. Tetracyclic compound :Maprotiline, Mianserin, Amoxapine
3. Reversible MAOIs : Moclobemide
4. Serotonin Selective Reuptake Inhibitor / SSRI : Fluoxetin, Sertralin, Paroksetin,
Fluvoksamin, Sitalopram
5. Atypical Antidepresants : Trazodone, Nefazodone, Mirtazepin, Venlafaksin

Saat ini golongan SSRI merupakan obat antidepresi yang dianjurkan sebagai lini pertama
sebagai pengobatan depresi pada lansia. Dari golongan SSRI, Sitalopram dan Sertralin
dianggap paling aman karena kedua obat ini sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzym
cytochrome P450, sehingga mengurangi resiko interaksi obat yang merugikan. Namun SSRI
mempunyai efek samping yaitu keluhan serotoninergic seperti sakit kepala, mual, diare,
insomnia dan agitasi psikomotor. SSRI juga dapat menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal khususnya pada pasien depresi dengan komorbiditas penyakit syaraf. Salah
satu efek samping berbahaya darin SSRI adalah Central Serotonin Syndrom , yang dapat
timbul bila digunakan bersama obat-obat yang dapat memacu transmisi serotonin, seperti
MAOIs dan obat-obat dekongestan ( phenylpropanolamine ). Penggunaan fluvoksamin
bersama teofilin harus dihindari karena dapat menyebabkan takikardi supraventricular yang
serius.

Pasien dengan keluhan insomnia dapat dipilihkan preparat antidepresi yang bersifat sedative
kuat seperti mirtazepin atau trazodone. SSRI dan Tianeptin bersifat non sedative dan
dikatakan efektif memperbaiki keluhan gangguan kognitif pada pseudodemensia.Trazodone
baik untuk mereka dengan keluhan disfungsi seksual, tetapi dapat mengakibatkan hipotensi
ortostatik.
Pemberian antidepresi dimulai dengan dosis rendah dinaikkan perlahan-lahan ( start low and
go slow ). Pengobatan antidepresi dibedakan atas tiga fase, yaitu :

 Fase akut yang berlangsung antara 6 -12 minggu. Pada tahap ini dosis optimal obat untuk
memperbaiki gejala depresi diharapkan tercapai.
 Tahap kedua disebut sebagai fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4
sampai dengan 9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps.
 Tahap berikutnya disebut terapi rumatan yang dapat berlangsung hingga satu tahun atau
lebih. Terapi rumatan diberikan terutama untuk gangguan depresi dengan riwayat episode
berulang (Soejono et al, 2014)

Tabel 9

Terapi Elektrokonvulsi ( ECT )

Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum , intoleransi terhadap efek samping
obat antidepresi atau gagal terapi, kecenderungan tidak patuh minum obat, berniat bunuh diri
atau retardasi hebat maka ECT diberikan 1-2 kali seminggu pada pasien rawat inap, unilateral
untuk mengurangi problem memori. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood
( sekitar 5-10 kali ) dilanjutkan dengan obat antidepresi untuk mencegah kekambuhan.10

Perawatan Lanjut dan Asuhan ( Home Care )


Pelayanan kesehatan asuhan rumah bagi usia lanjut adalah salah satu unsur pelayanan
kesehatan yang ditujukan untuk kesehatan perorangan atau kesehatan keluarga ditempat
tinggal mereka dalam segi promotif , rehabilitative, kuratif dalam upaya mempertahankan
kemampuan individu untuk mandiri secara optimal. Asuhan rumah bagi para usia lanjut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perawatan dalam menghadapi kondisi tubuh
yang makin rapuh atau sakit kronis.

Kunjungan rumah oleh seorang dokter dan atau paramedic sebagai satu tim amat bermanfaat
bagi penderita karena dapat meningkatkan pemahaman menyeluruh penderita dan akan dapat
memberikan pilihan terbaik untuk penderita yang dirawat.

Idealnya asuhan rumah dilaksanakan oleh suatu tim dengan melibatkan dokter keluarga, bila
diperlukan dokter spesialis, ahli gizi, paramedic,caregiver ( pramuwerdha), relawan usia
lanjut dll. Tujuan umum nya adalah meningkatkan kualitas hidup usia lanjut, dan tujuan
khususnya adalah :
1. Menekan serendah mungkin biaya perawatan kesehatan ( penghematan biaya pemondokan
di RS )
2. Mengurangi frekuensi hospitalisasi dan memperpendek lama perawatan dirumah sakit
setelah fase akut
3. Meningkatkan usaha promotif , preventif, kuratif dan rehabilitative
4. Melakukan pencegahan primer, sekunder dan tersier misalnya pemberian imunisasi

Keuntungan / manfaat program lainnya dari asuhan rumah ini bagi pasien depresi dan
keluarganya adalah mengurangi stress akibat perawatan di RS dan pasien lebih mudah
berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya, serta memberikan suasana yang lebih nyaman
dan akrab bagi pasien. (Soejono et al, 2014)
PROGNOSIS

Depresi pada lansia yang tidak ditangani dapat berlangsung bertahun-tahun dan dihubungkan
dengan kualitas hidup yang buruk, kesulitan dalam fungsi sosial dan fisik, kepatuhan yang
buruk terhadap terapi, dan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat bunuh diri dan
penyebab lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi pada lansia
menyebabkan peningkatan penggunaan rumah sakit dan outpatient medical services .

Depresi mayor pada lansia setelah masa follow-up yang lebih lama menunjukkan perjalanan
yang kronik pada beberapa penelitian. Penelitian-penelitan menunjukkan bahwa orang-orang
yang pernah memiliki suatu episode depresi mayor cenderung memiliki episode tambahan.
Lansia mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih dari depresi dan memiliki
waktu untuk relapse yang lebih singkat daripada orang-orang yang lebih muda . (Soejono et
al, 2014)
KESIMPULAN

Depresi pada pasien geriatri sulit didiagnosa antara lain karena gejalanya tidak khas, dan
keluarga pasien maupun dokter acap kali tidak mewaspadai kondisi ini. Kondisi multipatologi
selain menyulitkan pengenalan gejala dini , juga merupakan faktor resiko penting selain
polifarmasi, obat – obat tertentu , rasa kehilangan dan berbagai faktor lain . Penatalaksanaan
meliputi psikoterapi suportif pada tahap ringan dan obat antidepresi untuk depresi sedang
sampai berat. Terapi elektrokonvulsi masih ada tempatnya terutama pada depresi berat.
Keluarga amat penting perannya jika dilibatkan pada saat yang tepat. Asuhan rumah juga
dapat memberikan alternative solusi lain yang lebih mendekatkan pasien pada suasana rumah.
(Soejono et al, 2014)
Geriatric Depression Scale: Short Form (Brink et al, 1982)

Choose the best answer for how you have felt over the past week:

1. Are you basically satisfied with your life? YES / NO


2. Have you dropped many of your activities and interests? YES / NO
3. Do you feel that your life is empty? YES / NO
4. Do you often get bored? YES / NO
5. Are you in good spirits most of the time? YES / NO
6. Are you afraid that something bad is going to happen to you? YES / NO
7. Do you feel happy most of the time? YES / NO
8. Do you often feel helpless? YES / NO
9. Do you prefer to stay at home, rather than going out and doing new things? YES / NO
10. Do you feel you have more problems with memory than most? YES / NO
11. Do you think it is wonderful to be alive now? YES / NO
12. Do you feel pretty worthless the way you are now? YES / NO
13. Do you feel full of energy? YES / NO
14. Do you feel that your situation is hopeless? YES / NO
15. Do you think that most people are better off than you are? YES / NO
Answers in bold indicate depression.
Score 1 point for each bolded answer.
A score > 5 points is suggestive of depression.
A score ≥ 10 points is almost always indicative of depression.
A score > 5 points should warrant a follow-up comprehensive assessment
DAFTAR PUSTAKA

Mudjaddid, E., 2003. Depresi dan Komorbiditasnya pada Pasien Geriatri. Dalam:
Supartondo, Setiati, S., dan Soejono, C.H., (eds). 2003. Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003
“Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin”. Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:
113-121
Sadock, B.J. and Sadock, V.A., 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Science/Clinical Psychiatry. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Hoyer, W.J. and Roodin, P.A., 2003. Adult Development and Aging. 5th ed.
NewYork: McGraw-Hill
Blazer, D.G., 2003. Depression in Late Life: Review and Commentary. J Gerontology
Med Sci 58A, No.3: 249-265. Available from:
http://focus.psychiatryonline.org/cgi/content/full/7/1/118. [acessed 25 April 2010]
Gallo, J.J. and Gonzales, J., 2001. Depression and Other Mood Disorder. In:
Adelman, A.M., Daly, M.P., and Weiss, B.D., eds. 20 Common Problems in Geriatrics. New
York: McGraw-Hill, 205-235.
Schoever, R.A., Geerlings, M.I., Beekman, A.T.F., Pennix, B.W.J.H., Deeg, D.J.H.,
Jonker, C., and Tilburg, W.V., 2000. Association of Depression and Gender with Mortality in
Old Age. Br J Psychiatry 177:336-342. Available from:
http://bjp.rcpsych.org/cgi/content/full/177/4/336. [acessed 16 April 2010]
Damping, C.E., 2003. Depresi pada Geriatri: Apa Kekhususannya. Dalam:
Supartondo, Setiati, S., dan Soejono, C.H., (eds). 2003. Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003
“Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin”. Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:
107-112
American Psychiatric Association, 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders Fourth Edition Text Revision. Washington, DC: American Psychiatric Association.
Bonnie,2011. Geriatric depression : The use of antidepressant in the elderly . 341-7.
Available from : http :// bcmj vol s3 no 7. (accessed September 2011).
Soejono, C.H., Probosuseno, dan Sari, N.K., 2014. Depresi pada Pasien Usia Lanjut.
Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 3810-3816.
Rush, A.J., et al., 2000. Handbook of Psychiatric Measures. Washington, DC:
American Psychiatric Association
Holroyd and Clayton, A.H., 2002. Measuring Depression in Elderly: Which Scale is
Best? Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/430554. [acessed 9 April 2010]
Nasrun, M.W.S., 2009. Hendaya Kognitif Non Demensia (HKND) pada Populasi
“Brain at Risk” bagi Praktisi Kesehatan. Jakarta: Interna Publishing.
Brink. TL, Yessavage JA, Lum O. Heersena.P Adey MB, Rose TL : Screening test for
geriatric depression. Clinical gerotologist 1: 37-44, 1982.

Anda mungkin juga menyukai