Anda di halaman 1dari 10

PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT TINGGI

DITINJAU DARI ASPEK EPIGENETIK DAN IMPLIKASINYA DALAM


PENDIDIKAN
Sajidan1 dan Afandi2
Kepala Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Korespondensi e-mail: sajidan@fkip.uns.ac.id

Abstrak

Berpikir tingkat tinggi ( Higher Order Thinking Skills/HOTs) merupakan keterampilan yang terbentuk sebagai
interaksi antara faktor genetik (nature) berupa intelegensi dan faktor lingkungan belajar (nurture), sehingga
HOTs cenderung bersifat dinamis dan berkembang secara eksponensial sejalan dengan pengalaman dan
kematangan usia. Interaksi antara nature dan nurture ini sering dikenal dengan istilah epigenetik. Studi terbaru
di bidang neuropsikologi menunjukkan bahwa pengaturan dinamis struktur kromatin terjadi sebagai respons
terhadap stimulasi neural yang terkait dengan pembelajaran dan memori. Modifikasi kromatin yang diinduksi
pembelajaran meliputi metilasi DNA, asetilasi histone, histone fosforilasi dan metilasi histone. Secara umum,
epigenetik menunjukkan bahwa regulasi struktur kromatin sangat penting untuk konsolidasi memori jangka
panjang (LTM), yang diketahui membutuhkan transkripsi gen baru. Formasi dan konsolidasi memori tergantung
kondisi yang diberikan selama perlakuan dan pengkodisian belajar. Pengkondisian rasa takut misalnya
menghasilkan peningkatan kadar asetilasi pada H3 lysine 14, fosforilasi pada H3 serin 10, trimethylation pada
H3K4me3 di hippocampus dan peningkatan kadar dimetilasi heterokromatin pada H3 lysine 9, H4 lysine 12
serta pan-asetilasi H2B yang akan mendorong kecemasan dan mengurangi terbentuknya LTM. Hasil-hasil riset
dibidang epigenetik inilah yang jika ditelaah lebih lanjut dapat berimplikasi terhadap pendidikan terutama terkait
dengan proses pembelajaran yang dapat melatihkan keterampilan berpikir.

Kata kunci: HOTs, Epigenetik, Memori, Kecerdasan

A. Pendahuluan
Topik yang membahas tentang memori, kecerdasan dan keterampilan berpikir selalu
menarik dan menjadi bahan diskusi yang panjang oleh para pakar dibidang psikologi dan
biologi, baik dari sisi definisi, jenis, maupun standar pengukurannya. Umumnya, terdapat
perbedaan sudut pandang antara apakah memori, kecerdasan dan keterampilan berpikir
merupakan nature (genetik) yang sifatnya menetap ataukah epigenetik yang sifatnya dinamis
dapat berubah sesuai stimulus lingkungan (nurture) (Pinel, 2000 dan Dryden dan Vos, 2016).
Perbedaan fundamental antara nature versus nurture inilah yang seringkali mengilhami
munculnya riset-riset dibidang neuropsikologi dengan menggunakan sample kembar identik
yang diuji melalui kesamaan fenotipe pada monozigotik dan dizigotik (Clark, Boutroz, &
Mendez, 2010; dan Weaver, 2011).
Jika dikaitkan dengan terminologi konseptualnya, perbedaan sudut pandang antara
nature versus nurture dapat diibaratkan seperti dua sisi mata uang. Dalam pandangan sebagai
“nature”, kecerdasan seseorang ditentukan dari gen yang diwariskan orang tua, sedangkan
dalam pandangan sebagai “nurture”, tingkat kecerdasan dipengaruhi oleh stimulasi
lingkungan pada tingkat genetik, yang diaktivasi oleh keterampilan berpikir, latihan,
tantangan, pola hidup, dan stessor lainnya (Pinel, 2000; dan Weaver, 2011). Kecerdasan
umumnya merujuk kepada potensi yang dimiliki setiap individu sesuai dengan gen yang
diwarisi yang mengaktivasi keterampilan berpikir seseorang, sedangkan keterampilan berpikir
merupakan proses pendayagunaan kecerdasan secara optimal melalui pengayaan pengalaman
(Santrock, 2011). Penghubung antara kecerdasan dan keterampilan berpikir ini terletak pada
seberapa resisten memory dari pengalaman-pengalaman dapat disimpan dalam LTM.
Untuk menjembatani perbedaan paradigma nature versus nurture, para ahli kemudian
melakukan kajian yang lebih mendalam dibidang neuropsikologi terutama bagaimana
lingkungan mempengaruhi ekspresi gen pada tingkat molekular. Epigenetik muncul sebagai
jembatan yang menghubungkan bagaimana gen terpengaruh oleh faktor lingkungan seperti
gaya hidup, kebiasaan, pengalaman belajar, pola konsumsi, dsb. Epigenetik dalam hal ini juga
bertindak sebagai penguhubung antara teori psikologi klasik dengan biologi modern yang
membahas tentang kerja memori, kecerdasan, dan keterampilan berpikir. Artikel ini akan
membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya dengan memori,
kecerdasan dan keterampilan berpikir serta implikasinya dalam dunia pendidikan.

B. Pembahasan
1. Tinjauan Mengenai Epigenetik
Penelitian neuropsikologi pada beberapa dekade terakhir ditandai dengan pesatnya
perkembangan dalam kajian epigenetik. Beberapa pertanyaan terkait kompleksitas sel dan
fungsi genetis saat ini telah dikaji dan ditemukan oleh para ilmuan. Bagaimana sebuah zigot
tunggal berkembang menjadi organisme multiseluler yang kompleks yang terdiri dari puluhan
jaringan yang berbeda dan ratusan jenis sel, yang secara genetis identik tetapi melakukan
fungsi yang sangat berbeda? Bagaimana lingkungan mempengaruhi mekanisme selular dan
mengubah fenotipe individu?. Untuk menjawab pertanyaan ini, seorang ahli perkembangan
Biologis Inggris, Conrad Waddington (1957), mengembangkan kerangka teoritis untuk
menjelaskan bagaimana genotipe yang identik dapat menghasilkan koleksi fenotip yang luas
selama proses perkembangan, mendefinisikan epigenetika sebagai proses perkembangan yang
menghubungkan sebuah genotip sel kepada genotipnya. Menurut Waddington, jawaban atas
semua pertanyaan ini terletak pada ekspresi gen yang terdapat pada DNA – rantai materi
genetik yang membawa informasi dari parental.
Kata “epigenetik” sendiri secara harfiah berarti perubahan dalam urutan genetik yang
dipengaruhi oleh faktor dari luar gen (Waddington, 1957; Kang, 2013). Konsep mengenai
epigenetic kemudian mengalami metamorphosis yang sangat cepat dari teori perkembangan
yang bersifat abstrak menuju teori perkembangan selular dalam kerangka biologi molekular
(Petronis & Mill, 2011). Konsep Waddington tentang “cakupan epigenetik” yang terkait
dengan fenotipe, telah terwujud dalam studi kombinasi yang kompleks antara DNA dan
modifikasi histone, yang secara bersama-sama bertindak untuk mengoordinasikan berbagai
fungsi genetik dalam sel. Modifikasi ini dapat diwariskan, baik secara mitosis dan miosis,
tetapi tidak melibatkan perubahan dalam urutan sekuen DNA (Petronis & Mill, 2011). Proses
epigenetik ini terutama bertujuan untuk mengatur pola ekspresi gen, mengendalikan kerja gen,
enzim dan hormon yang pada akhirnya secara bersama-sama terekspresikan dalam fenotipe
individu (Waddington, 1957; Vinci, 2012). Epigenetik kontemporer ditujukan pada kajian
metilasi DNA dan hidroksimetilasi, di samping sejumlah modifikasi histone yang bersama-
sama memainkan peran penting dalam berbagai proses pengaturan di dalam inti sel (nukleus).
Meskipun demikian, banyak jenis proses epigenetik telah diidentifikasi termasuk metilasi,
asetilasi, fosforilasi, ubiquitylation, dan sumolyation.
Diantara banyaknya mekanisme epigentik tersebut, metilasi DNA-lah yang paling
banyak dan mudah untuk dipelajari. Metilasi DNA merupakan penambahan atau
penghilangan gugus metil (CH3) di mana basa sitosin terjadi secara berurutan dan dikatalisis
oleh enzim yang dikenal sebagai methyltransferases DNA (Nakao, 2001; Mazzio & Soliman,
2012). Proses ini terjadi pada posisi 5-nukleotida-sitosin (C5) yang ditemukan di sebelah
nukleotida guanin dalam urutan DNA yang dihubungkan oleh gugus fosfat untuk membentuk
dinukleotida CpG dan membentuk 5-metil-sitosin (Haggartie, et al, 2010; Labrie, 2011; Kang,
2013). Modifikasi ini bertindak sebagai situs pengikatan untuk protein lain yang bertugas
dalam menerjemahkan informasi dari protein lain untuk memodifikasi histon. Proses
epigenetik penting lainnya adalah modifikasi kromatin dan kompleks protein (histone H3 dan
H4) serta DNA yang terikat erat di dalam nukleus (Mazzio & Soliman, 2012; Kang, 2013).
Kompleks ini dapat dimodifikasi dengan penambahan zat seperti gugus acetyl yang dilakukan
oleh histone acetyltransferases (HATs) ke asam amino lisin pada ekor histone (proses yang
disebut sebagai asetilasi), enzim, dan beberapa bentuk RNA seperti microRNAs dan RNAs.
Modifikasi ini dapat mengubah struktur kromatin untuk mempengaruhi ekspresi gen (Kang,
2013).
Pola ekspresi gen yang menunjuk jenis sel spesifik disebut “epigenotype”, yang mampu
mengubah ekspresi gen terlepas dari kode genetik yang mendasarinya. Cetak biru genomik, di
mana gen diekspresikan hanya dari salah satu alel induk yang diwariskan, menunjukkan
contoh khas dari regulasi gen selama fase epigenetik berlangsung. Meskipun genotipe
sebagian besar sel organisme identik (dengan pengecualian gamet dan sel-sel sistem
kekebalan), fenotip seluler dan fungsi genotipe antar organisme sangat berbeda, dan ini dapat
diatur oleh regulasi epigenetik yang ditetapkan selama diferensiasi sel dan morfogenesis
embrional. Regulasi ekspresi epigenotipe ini hanya dapat bekerja secara normal hanya jika
urutan DNA dan komponen epigenetik dari genom berfungsi dengan baik. Dengan kata lain,
sel membutuhkan baik DNA sebagai hardware dan epigenetik sebagai software untuk
diwujudkan dalam bentuk fenotipe. Perlu diingat pula bahwa beberapa varian dari rantai DNA
dapat mempengaruhi profil epigenetik secara lokal, misalnya, melalui proses seperti metilasi
DNA alel spesifik. Demikian juga, modifikasi epigenetik dapat mempengaruhi nukleotida
tertentu untuk menjadi lebih mutagenik daripada yang lain; misalnya, Cytosin (C) rentan
termetilasi terhadap perubahan Tymin (T) dan deaminasi spontan.

2. Regulasi Mekanisme Epigenetik Pada Pembentukan Memori


Otak merupakan pusat dimana memori dibentuk dari setiap kejadian dan pengalaman
sepanjang kehidupan (Pinel, 2000). Memori memungkinkan kita memperoleh informasi baru
dan menyimpannya di otak kita. Memori memungkinkan hewan berperilaku adaptif terhadap
lingkungan yang berubah. Memori ini ada yang bersifat resisten dan ada pula yang bersifat
sementara, tergantung pada formasi memori yang terlibat. Jika memori tersimpan dalam
ingatan jangka panjang (long term memory/LTM) maka ingatan akan berlangsung lama dan
bahkan menetap, sedangkan jika memori tersimpan dalam ingatan jangka pendek (short term
memory, STM) maka ingatan akan mudah lenyap. Perbedaan keduanya terletak pada apakah
pengalaman yang diperoleh diproses pada tingkat sellular di “engram memory” (sebuah
istilah yang diciptakan oleh Richard Semon untuk melambangkan jejak biologis LTM) sampai
kemudian di retrieval (dipanggil kembali) berdasarkan isyarat yang tepat (Tonegawa,
Pignatelli, Roy, & Ryan, 2015; Kim & Kang, 2017).
Proses pembentukan memori diawali oleh adanya stimulus yang kemudian ditangkap
oleh indra peraba untuk diteruskan di otak (korteks prefrontal). Ingatan jangka pendek akan
diterjemahkan ke dalam ingatan jangka panjang di hippocampus, daerah otak yang lebih
dalam. Setelah ingatan terbentuk, rantai reaksi biologis terjadi untuk menyimpannya dalam
jangka panjang. Roberson & Sweatt (1999) menggambarkan reaksi ini sebagai
“mnemogenik” - istilah yang didasarkan pada kata Yunani untuk pembentukan memori.
Reaksi mnemogenik, seperti sintesis protein de novo dan modifikasi DNA-histone, secara
kimia mengubah sistem biologis sehingga informasi yang diperoleh secara stabil terlindung
dari perombakan protein (Day & Sweatt, 2010).
Aspek penting lainnya dari memori adalah perubahan kekuatan koneksi sinaptik.
Fenomena ini disebut potensiasi jangka panjang (LTP), di mana koneksi sinaptik diperkuat
dan sinapsis meningkat (Estevez & Abel, 2011; Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz, 2011).
Penguatan sinaptik ini efektif selama beberapa jam dan membutuhkan sejumlah perubahan
biologis. Pada sisi postsinaptik, pensinyalan glutamat melalui asam α-amino-3-hidroksi-5-
metil-4-isoksazolepropionat dan reseptor N-metil-D-aspartat memicu aktivasi calmodulin-
dependent protein (CaMKII) (Estevez & Abel, 2011; Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz,
2011; Kim & Kang, 2017). CaMKII adalah protein terkenal yang memicu proses pensinyalan
sekunder yang memainkan peran sentral dalam mempromosikan plastisitas sinaptik.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa bloker LTP, seperti inhibitor CaMKII
dan inhibitor kinase yang diatur sinyal ekstraseluler ke dalam gangguan hippocampus
menyebabkan gangguan tugas hippocampus (Kim & Kang, 2017). Ada dua jenis utama
ingatan: ingatan jangka pendek, yang berlangsung selama beberapa jam, dan kenangan jangka
panjang, yang bertahan selama beberapa hari atau lebih lama. Pembentukan memori jangka
panjang membutuhkan proses yang diperlukan untuk menghasilkan RNAm baru dan protein
yang berhubungan dengan plastisitas sinaptik. Fakta bahwa plastisitas neuron dapat diubah
untuk waktu yang lama dapat dijelaskan oleh sintesis protein baru dalam sel somatik dimana
transkripsi aktif membantu menjaga LTP dan konsolidasi memori (Gambar 1).
Agar dapat disimpan secara permanen, memori harus dapat mengatasi rentannya
transimisi sinaptik pada tingkat selular terhadap gangguan eksternal. Untuk itu, memori akan
berubah dari keadaan transien menjadi stabil selama memori di proses. Pertanyaan kemudian
adalah bagaimana memori bisa resisten oleh mekanisme regulasi epigenetik. Saat ini, riset-
riset dibidang neuropsikologi semakin berkembang untuk menemukan bagaimana mekanisme
regulasi yang menggarisbawahi pembelajaran dan memori terjadi di otak dan bagaimana
pengalaman ditransformasikan ke dalam engram memori dan disimpan untuk waktu yang
lama (Kim & Kang, 2017). Sejak tahun 1960-an, penelitian mengenai memori telah
menemukan bukti akan pentingnya transkripsi gen dan sintesis protein dalam pembentukan
memori jangka panjang. Dalam hal ini, mekanisme epigenetik khususnya metilasi DNA,
bertanggung jawab dalam mengatur proses terjadinya LTM. Ini menunjukan bahwa
mekanisme epigenetik dapat memberikan dasar molekuler yang sesuai untuk formasi dan
regulasi memori, termasuk pemerolehan memori, konsolidasi memori dan retrieval memory
(Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz, 2011). Dengan menggunakan tikus dan mencit sebagai
sampel, para ahli neuropsikologi melakukan sejumlah test perilaku dibawah kondisi aversive
dan axiogenic untuk mempelajari pengaruh hormon penyebab stress dan rasa senang
(glucocorticoid, adrenalin dan noradrenalin) yang dihasilkan selama sesi pembelajaran (Kang,
2013).

Gambar 1. Mekanisme Selular LTP dalam Pembentukan Memori (Kim & Kang, 2017)

Mayoritas bukti yang menjadi dasar epigenetik dari hasil percobaan tersebut
menemukan fakta bahwa proses formasi dan konsolidasi memori bergantung pada
hippocampus yang terkait dengan peningkatan eurochromatin pasca modifikasi translasi
histon dari ekspresi gen. Dalam hal ini, formasi dan konsolidasi memori melibatkan
pembentukan modifikasi epigenetik yang berbeda tergantung kondisi yang diberikan selama
perlakuan. Misalnya, pengkondisian rasa takut menghasilkan peningkatan kadar asetilasi pada
H3 lysine 14 (H3K14), fosforilasi pada H3 serin 10 (H3S10), trimethylation pada (H3K4me3)
di hippocampus (Levenson et al. 2004), dan peningkatan kadar dimetilasi heterokromatin
pada H3 lysine 9 (H3K9me2), H4 lysine 12 (H4K12) serta pan-asetilasi H2B (Federman,
Fustiana, & Romano, 2009). Adanya rasa takut berlebihan tersebut menginduksi H3 lysine 4
yang berbeda di hippocampus dibandingkan dengan korteks entorhinal, dan menghambat H3
lysine 9 di korteks entorhinal, tetapi tidak di hippocampus, dan pada akhirnya mendorong
terjadinya formasi memori (Gupta, et al. 2010). Demikian pula, pengkondisian rasa takut
dapat menghasilkan pola yang berbeda dari (Pos-Tranlational Modification (PTM) histone
pada neuron hippokampus dan amigdala (Gupta, et al. 2010), menunjukkan bahwa gen yang
sama dapat diatur secara diferensial oleh rangsangan di berbagai wilayah otak (gambar 2).
Studi lainnya menggunakan berbagai paradigma perilaku otak di luar hippocampus,
terutama di amigdala, korteks prefrontal, korteks insular, dan striatum, terkait mekanisme
epigenetik dalam pembelajaran dan memori menemukan kondisi dimana pengkodisian rasa
takut dan penghargaan dapat meningkatkan terjadinya ekspresi modifikasi histopatologi
histones di amygdala (Monsey, et al. 2011). Rasa takut dapat menekan terjadinya respon
positif, sementara penghargaan dapat mendorong munculnya respon positif. Adanya
keterlibatan epigenetik dalam berbagai tugas pembelajaran dan memori tersebut
mengindikasikan perubahan yang resisten dalam fungsi dan perilaku saraf sebagai respon
terhadap berbagai rangsangan lingkungan sementara. Jika ditarik benang merah, maka
mekanisme epigenetik ini menjadi bukti kuat bahwa penghargaan dan perasaan yang
menyenangkan dapat menginisiasi terbentuknya memori jangka panjang yang positif dalam
pembelajaran.

Gambar 2. Mekanisme Epigenetik dalam Formasi Memori


Sumber: Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz, 2011
Apa yang terlibat dalam mekanisme epigenetik ini, pada dasarnya sejalan dengan teori
Lamarckism tentang epigenetik. Menger (2017) dalam artikelnya Molecular Lamarckism: On
the Evolution of Human Intelligence mengungkapkan bahwa epigenetik tidak terlibat
langsung dengan seleksi alam, tetapi diturunkan dari generasi ke generasi melalui mekanisme
adaptasi terhadap lingkungan. Dalam paparannya, Menger (2017) juga menerangkan bahwa
mekanisme epigenetik terkait kecerdasan manusia tidak selalu terkait dengan mutasi DNA,
melainkan sangat dipengaruhi oleh efek cranial feedback yang memiliki relasi dengan
aktivitas otak dan dipengaruhi oleh pendidikan dan genome. Pendidikan yang dapat
merangsang proses sinyal kimiawi diotak secara terus dapat bersifat menetap. Ini berarti
melatih keterampilan berpikir secara kontinyu dapat memunculkan mekanisme cranial
feedback yang pada akhirnya berdampak pada kecerdasan individu.
3. Dapatkah Kita Mengatur Kecerdasan? Dalam Perspective Epigenetik
Kecerdasan adalah kemampuan mental yang meliputi kemampuan untuk berpikir,
merencanakan, memecahkan masalah, berpikir secara abstrak, belajar dengan cepat dan
memahami lingkungan. Meskipun demikian, definisi sesugguhnya mengenai apa itu
kecerdasan sampai saat ini masih menjadi perdebatan pada rawa konseptual. Sebagai contoh,
Thorndike menyatakan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memberikan tanggapan yang
baik terhadap pertanyaan, sedangkan Terman menyatakan bahwa kecerdasan sebagai
kemampuan untuk berpikir abstrak. Meskipun demikian, para ahli umumnya sepakat bahwa
adaptasi terhadap lingkungan adalah kunci untuk memahami baik apa itu kecerdasan dan apa
yang dilakukannya. Untuk sebagian besar, adaptasi melibatkan membuat perubahan dalam
diri sendiri untuk mengatasi lebih efektif dengan lingkungan, tetapi juga dapat berarti
mengubah lingkungan atau menemukan yang benar-benar baru. Saat ini, terdapat empat
paradigma yang paling berpengaruh dalam teori kecerdasan, diantaranya psikometri;
psikologi kognitif, kognitivisme dan kontekstualisme, serta neuropsikologi yang mendasarkan
kecerdasan pada aspek saraf.
Teori psikometrik umumnya didasarkan pada model yang menggambarkan kecerdasan
sebagai gabungan kemampuan yang diukur dengan tes mental dan dapat dikuantifikasi.
Spearman merupakan salah seorang tokoh pencetus teori psikometrik yang melabelkan
kecerdasan dengan faktor “g” yang berarti general intelligence. Pendapat ini kemudian
dibantah oleh Thurstone yang menyatakan bahwa terdapat 7 kemampuan mental utama,
yakni: pemahaman verbal (pengetahuan kosakata dalam membaca), kelancaran verbal
(menulis dan menghasilkan kata-kata), kecerdasan angka (penyelesaian komputasi numerik
sederhana dan penalaran aritmatika), visualisasi spasial (memanipulasi objek), penalaran
induktif menyelesaikan nomor seri atau dalam memprediksi), memori (ingatan), dan
kecepatan perseptual (proofreading cepat). Untuk menjembatani debat tersebut, Cattel
mengemukakan bahwa kecerdasan general (g) dapat dibagi menjadi 2 yakni: kecerdasan
mengkristal (g) dan kecerdasan mengalir (g’). Kecerdasan mengalir merupakan kemampuan
penalaran dan pemecahan masalah yang dapat terus berkembang seiring pengalaman dan
latihan, sedangkan kecerdasan mengkristal merupakan kemampuan yang relatif stagnan
selama perkembagan kehidupan seperti kosakata, informasi umum, dan pengetahuan tentang
bidang tertentu (McGregor, 2007). Tokoh lainnya yakni Guilford (1967) memandang bahwa
kecerdasan sebagai sebuah hierarki dibandingkan subdivisi. Guilford dalam hal ini
mengajukan 120 faktor yang mempengaruhi kecerdasan.
Teori kognitif yang dimotori oleh Cronbach, memandang bahwa kecerdasan sebagai
representasi mental dari informasi yang dapat dioperasikan, seperti kemampuan representasi.
Psikologis lainnya seperti Simon dan Newell mengajukan teori umum pemecahan masalah.
Menurut keduanya, kecerdasan dapat diukur dari sejauh mana kemampuan seseorang dalam
menangani dan memecahkan masalah secara terstruktur (McGreggor, 2007). Adapun teori
konstektualisme kognitif yang dimotori oleh Gardner (1993), memandang bahwa kecerdasan
sifatnya berganda, mencakup linguistic, logical-mathematical, spatial, musik, kinestetik,
interpersonal, dan intrapersonal intelligence. Namun, baru-baru ini Gardner menambahkan 2
kecerdasan lainnya yakni emotional dan spiritual.
Meskipun terdapat perbedaaan antara para ahli tersebut, namun pada tataran aspek yang
mempengaruhi kecerdasan, mereka umumnya sepakat bahwa faktor genetik dan lingkungan
memainkan peran yang besar dalam pembentukan kecerdasan seseorang. Pertannyaanya
kemudian adalah, sejauh mana faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi kecerdasan?
Ataukah kedua faktor itu berinteraksi satu dengan lainnya dalam membentuk kecerdasan.
Salah satu jawabannya terletak pada mekanisme ekspresi gen sebagai akibat dari faktor
lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Olieviera dkk (2012) menemukan bukti
bahwa faktor usia mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang, dimana penambahan usia
sejalan dengan reduksi ekspresi gen DNA methyltransferase DNMT3a2 di hipocampus. Hasil
penelitian serupa yang dilakukan Sniekers et al (2017) yang diterbitkan pada jurnal terkemuka
Nature, menemukan bahwa setidaknya terdapat 3 gen yang signifikan genome terlibat dalam
fungsi neuronal: SHANK3 terlibat dalam pembentukan sinaps, DCC mengkodekan reseptor
netrin yang terlibat dalam memandu akson dan berhubungan dengan volume putamen, dan
ZFHX3 dikenal untuk mengatur diferensiasi miogenik dan neuronal. Hasil penelitian ini juga
menunjukan bahwa terdapat gen yang paling kuat mempengaruhi kecerdasan terkait dengan
epigenetik seperti sosial-ekonomi dan kesehatan adalah dengan rs2490272 (6q21) di wilayah
intronik FOXO3 dan SNPs dalam promotor gen yang sama. Gen ini adalah bagian dari yang
menyinyalkan jalur faktor 1 pertumbuhan insulin dan diyakini memicu apoptosis, termasuk
kematian sel saraf sebagai akibat dari stres oksidatif.
Besarnya pengaruh lingkungan seperti sosio-ekonomi status, pola asuh, gaya hidup, dan
kesehatan terhadap kecerdasan memunculkan paradigma baru bahwa gen kecerdasan yang
secara spesifik diturunkan dari parental dapat dimodifikasi oleh setiap individu. Haier (2017)
lewat bukunya yang berjudul The Neuroscience of Intelligence, menunjukan bahwa praktek
pendidikan yang baik didukung oleh peran keluarga dan lingkungan mempengaruhi
perkembangan genetik dan anatomi korteks pada otak yang pada akhirnya mendorong
pencapaian akademik yang lebih baik. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Johnson (dalam Haier, 2017) mengungkapkan peran lingkungan dalam
perubahan ekspresi genetik KNCMA1, NRXN1, POU2F3, SCRT (gen-gen yang bertanggung
jawab pada jalur neurotransmitter glutamate dan terkait dengan plastisitas otak, belajar, dan
memori). Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Hill (dalam Haier, 2017) yang
mengungkapkan peran dari protein guanylate kinase dalam mengubah potensi neural di otak
menjadi signal pemrosesan informasi.

4. Memberdayakan Keterampilan Berpikir: Implikasi Epigenetik dalam Pendidikan


Sekolah pada dasarnya mengambil peran penting dalam perkembangkan hidup peserta
didik. Lebih dari 6 jam setiap harinya, aktivitas siswa dihabiskan di sekolah, dan ini tentu saja
berpengaruh terhadap psikologi siswa. Lingkungan sekolah yang kondusif dan menyenangkan
serta kompetitif mendorong siswa menjadi aktif dan kreatif dan yang terpenting penting
adalah bagaimana membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang tepat yang dapat
digunakan dalam memecahkan berbagai permasalahan dan tantangan yang akan mereka
hadapi di masyarakat sosial (Afandi dan Sajidan, 2017), sehingga penting bagi sekolah untuk
mampu memberdayakan berbagai keterampilan berpikir dalam pembelajaran sesuai dengan
jenis dan jenjang pendidikan (gambar 3).
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana gen dipengaruhi oleh faktor
lingkungan (termasuk lingkungan sekolah). Secara genetik, anak-anak yang dilatih dengan
keterampilan berpikir akan mengalami perkembangan pada tingkat neuralnya. Melatih
keterampilan berpikir secara simultan dapat memperkuat sinapsis antar neuron dalam sistem
saraf siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Song et al (2008) misalnya terhadap 59 anak
yang diberikan WAIS IQ test dengan tugas-tugas kognitif yang simultan dan berbeda
tingkatan menggunakan MRI menunjukan pola-pola aktivitas otak yang berbeda-beda. Anak
yang diberikan tugas kognitif yang stabil hanya mengaktivasi bagian spesifik otak, berbeda
halnya dengan anak yang diberikan tugas kognitif yang rumit yang mampu mengaktivasi
secara bersamaan kerja bagian-bagian otak. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Glasher (2010) menunjukan bagian-bagian spesifik otak yang berkerja pada organisasi
percerptual, pemahaman verbal, kerja memori, dan kecepatan pemrosesan informasi (gambar
4).
PT Self-learning
SMA/ Pembelajaran yang menekankan pada aspek faktual,
konseptual dan abstraksi serta melatih konsep,
SMK berpikir kritis,.kreativitas dan pemecahan masalah
SMP Pembelajaran yang menekankan pada aspek faktual dan
konseptual, serta melatih konsep, berpikir kritis dan kreativitas
SD Pembelajaran yang menekankan pada aspek Faktual, Menyenangkan, dan
melatih konsep serta kreativitas
TK Pembelajaran yang bersifat Sederhana, menyenangkan dan melatih kreativitas

Gambar 3. Hubungan antar Lingkungan, Peran Keluarga dan Jenjang Pendidikan


dengan Keterampilan Berpikir

Gambar 4. Bagian-bagian otak yang terlibat dalam organisasi perceptual (A),


Pemahaman verbal (B), Kerja memori (C), dan kecepatan pemrosesan informasi ( D)

Beranjak dari temuan hasil-hasil penelitian diatas, maka pembelajaran yang dapat
menstimulasi keterampilan berpikir, khususnya keterampilan dalam berpikir kritis, kreatif,
dan pemecahan masalah menjadi sangat penting dalam pendidikan dewasa ini. Dryden dan
Vos (2016) mengungkapkan terdapat sembilan (9) kerangka baru pembelajaran dalam
kaitannya dengan bagaimana nature dan nurture bekerja, yakni: (1) pembelajaran harus
memperhatikan talenta siswa; (2) menekankan bagaimana neuroscience bekerja; (2) guru
bertindak sebagai stimulator; (4) menekankan pada pengetahuan science terintegrasi; (5)
mendorong kreativitas (6) memberdayakan penguasaan keterampilan; (7) memperkaya
pembelajaran dengan keterampilan hidup (lifeskills); (8) menekankan pada learning by doing;
(9) menjembatani pembelajaran dengan mendemonstrasikan hasil pengalaman belajar. Apa
yang disampaikan oleh Dryden dan Vos tersebut kiranya tidak berlebihan jika menilik bahwa
keterampilan berpikir harus senantiasa dilatihkan dan guru wajib mempertimbangkan bahwa
efek dari nature dan nurture sangat kuat dalam keberhasilan pencapaian hasil belajar siswa.
Hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Budsankorm et al (2015) menemukan keterkaitan
antara HOTs dengan karakteristik psikologi, lingkungan kelas dan kecerdasan. Menurut
Budsankorm (2015) intelektualitas dalam berpikir tingkat tinggi terkait erat dengan
lingkungan kelas dan lingkungan keluarga yang dijembatani oleh kualitas psikologi siswa
Hasil penelitian riset group IPA dan Pendidikan FKIP UNS, bahwa model-model
pembelajaran berimplikasi kuat dalam pemberdayaan keterampilan berpikir tingkat tinggi
siswa dengan Effect Size (ES) sebesar 0,78 (medium) sampai 1,096 (large) (Sajidan et al,
2017).
Kesimpulan
Jika mekanisme seluler dan molekuler pembelajaran dan memori telah lama menjadi
fokus utama neurologi dan biologi molekular, perhatian mengenai mekanisme epigenetik di
balik perubahan dinamis dalam transkripsi gen yang bertanggung jawab untuk pembentukan
dan pemeliharaan memori menjadi kajian menarik dalam beberapa dekade ini. Perlu diketahui
bahwa mekanisme epigenetik seperti metilasi DNA dan modifikasi histone (metilasi, asetilasi,
dan deasetilasi) telah terbukti memainkan peran penting dalam pembelajaran dan memori.
Kajian lebih lanjut bagaimana pembelajaran terutama terkait keterampilan berpikir tampaknya
masih menjadi topik menarik bagi para ilmuan karena kompleksitas kerja otak. Pembelajaran
perlu memperhatikan bagaimana nature dan nurture sangat mempengaruhi penguasaaan
keterampilan berpikir dan menjembatani kedua hal tersebut dalam pembelajaran menjadi
tantangan para guru sains ke depan. HOTs peserta didik tidak dapat dicapai dalam waktu
yang singkat, tetapi perlu pemberdayaan berkelanjutan seiring dengan perkembangam peserta
didik dan jenjang pendidikan ( TK sampai dengan PT).

Daftar Pustaka
Afandi & Sajidan. (2017). Stimulasi Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi: Konsep dan
Implementasinya dalam Pembelajaran Abad 21. Surakarta: UNS Press
Budsankom, P., Sawangboon, T., Damrongpanit, S., & Chuensirimongkol, J. (2015). Factors
affecting higher order thinking skills of students: a meta-analytic structural equation
modeling study. Educational Research and Reviews: 2639-2652
Clark, D., Boutroz, N., & Mendez, M. (2010). The Brain and Behaviour: An Introduction to
Behavioural Anatomy (Third Edition). New York: Cambridge University Press
Day, J. J., & Sweatt, J. D. (2010). DNA Methylation and Memory Formation. Neurosci, 13:
1319–1323
Dryden, G dan Vos, J. (2016). The New Learning Revolution: How Brain Can Lead The
World in Learning, Education, and Schooling. New Zealand: The Learning Web
Estevez, A. M., & Abel, T. (2011). Epigenetic Mechanisms of Memory Consolidation. In A.
Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer
Science+Bussiness Media
Federman, N, Fustinana, M. S., & Romano, A. (2009). Histone Acetylation is Recruited in
Consolidation as A Molecular Feature of Stronger Memories. Learn Mem, 16: 600–606
Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic Books
Guilford, J. P. (1967). The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw Hill Company
Gupta, S., Kim, S. Y., Artis, S., Molfese, D. L., Schumacher, A., Sweatt, J. D., Paylor, R.E, &
Lubin, F. D. (2010). Histone Methylation Regulates Memory Formation. J Neurosci
30:3589–3599
Haggartie, et al. (2010). Human Intelligence and Polymorphisms in the DNA
Methyltransferase Genes Involved in Epigenetic Marking. PloS One, 5(6): e11329
Haiers, J. R. (2017). The Neuroscience of Intelligence. New York: Cambridge University
Press
Kang, W. S. (2013). Epigenetics, Environment, and Genes. New Jersey: Apple Academic
Press
Kim, S., & Kang, K. B. (2017). Epigenetic Regulation and Chromatin Remodeling in
Learning and Memory. Experimental & Molecular Medicine, 49: e281
Labrie, V. (2011). Histone Deacetylase Inhibitors: A Novel Therapeutic Approach for
Cognitive Disorders. In A. Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics.
New York: Springer Science+Bussiness Media
Levenson, J. M, O’Riordan, K. J, Brown, K. D, Trinh, M. A, Molfese, D. L, & Sweatt, J. D
(2004). Regulation of Histone Acetylation During Memory Formation in The
Hippocampus. J Biol Chem, 279: 40545–40559
Mahan, A. L., Mou, L., Shah, N., Hu, J. H., Worley, P. F, & Ressler, K. J. (2012). Epigenetic
Modulation of Homer La Regulation in Amygdala and Hippocampus with Pavlonian
Fear Condinioning. J Neurosci, 32: 4651–4659
Mazzio, A. E., & Soliman, F. K. (2012). Basic Concept of Epigenetics: Impact of
Environmental Signals on Gene Expression. Epigenetics, 7(2): 119-130
McGregor, D. (2007). Developing Thinking: Developing Learning. New York: Open
University Press
Menger, M. F. (2017). Molecular Lamarckism: On the Evolution of Human Intelligence.
World Futures, 73:2, 89-103
Nakao, M. (2001). Epigenetics: Interaction of DNA Methylation and Chromatin. Gene, 278:
25–31
Oliveira, A. M. M., Hemstedt, T. J., & Bading, H. (2012). Rescue of aging Associated decline
in Dnmt3a2 Expression Restores Cognitive Abilities. Nat Neurosci, 15: 1111–1113.
Pinel, J. (2000). Biopsychology (Fourth Edition). USA: Pearson Education Company
Petronis, A., & Mill, J. (2011). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer
Science+Bussiness Media
Reul, J., Collins, A., & Guiterez-Metinaz, M. (2011). Epigenetic Mechanisms of Memory
Formation. In A. Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New
York: Springer Science+Bussiness Media
Roberson, E. D., & Sweatt, J. D. (1999). A Biochemical Blueprint for Long Term Memory.
Learn Mem, 6: 381–388
Santrock, W. J. (2011). Educational Psychology (Fifth Edition). New York: McGraw-Hill
Company
Sajidan, Handoko, Nikmah, Syafruddin, Annisa, dan Wahyuni. (2017). Keefektifan Modul
Bioteknologi Berbasis Spektrun of Inkuiri. Laporan riset (unpublished)
Sniekers, S et al (2017). Genome-Wide Association Meta-Analysis 78.308 Individuals
Identifies New Loci and Genes Influencing Human Intelligences. Nature Genetics,
49(7): 1107-1112
Song, M., Liu, Y., Zhou, Y., Wang, K., Yu, C. & Jiang, T. (2009). Default network and
intelligence difference. Conference Proceedings of the IEEE Engineering in Medicine
and Biology Society, 2009, 2212–2215.
Tonegawa, S., Pignatelli, M., Roy, D., & Ryan, T. J. (2015). Memory Engram Storage and
Retrieval. Curr Opin Neurobiol, 35: 101–109.
Vinci, M. C. (2012). Sensing the Environment: Epigenetic Regulation of Gene Expression. J
Physic Chem Biophysic, S3:001Waddington, C. (1957). The Strategy of the Genes. New
York: Macmillan
Weaver, C. G. I. (2011). Toward an Understanding of the Dynamic Interdependence of Genes
and Environment in the Regulation of Phenotype Nurturing our Epigenetic Nature. In A.
Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer
Science+Bussiness Media

Anda mungkin juga menyukai