Anda di halaman 1dari 16

Nama : Aldita Nabila Indria

Npm : 1112019039
Fakultas : Kedokteran Gigi
L.O TUTORIAL SKENARIO 2 “MALOKLUSI”

maloklusi

rencana
definisi jenis-jenis etiologi perawatan
(terapi)

maloklusi skeletal

maloklusi dental

malposisi

L.O I M.M MALOKLUSI


1.1 Definisi
Maloklusi adalah suatu penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial yang dapat mengganggu
fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah.
Maloklusi merupakan penyimpangan letak gigi kelainan hubungan antara rahang atas dan rahang
bawah ketika rahang menutup. Maloklusi memiliki dampak yang besar terhadap individu dan
lingkungan sosial dalam hal kenyamanan, kualitas hidup, keterbatasan sosial dan fungsi.
Dilihat dari segi fungsi fisik, gigi yang susunannya tidak teratur merupakan tempat akumulasi sisa
makanan, sehingga rentan terhadap tejadinya penyakit karies dan periodontal, sedangkan dari segi
psikis maloklusi juga dapat berpengaruh pada estetika, sehingga menyebabkan kurangnya
kepercayaan diri serta kurangnya kepuasan terhadap penampilan wajah.
Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat menimbulkan gangguan
pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah, yang berakibat pada gangguan
fisik maupun mental.
L.O II M.M JENIS-JENIS MALOKLUSI

2.1 Maloklusi Dental

Edward Angle memperkenalkan satu sistem untuk mengklasifikasikan maloklusi pada tahun 1899,
tetap digunakan setelah lebih dari 100 tahun karena aplikasinya mudah. Klasifikasi Angle berdasarkan
relasi pada mesio-distal gigi, lengkung gigi dan rahang.
Menurut Angle, molar pertama rahang atas dan rahang bawah adalah kunci oklusi. Klasifikasi Angle
dibagi empat, yaitu oklusi normal, Klas I , Klas II & Klas III.

1) Oklusi Normal
Pada oklusi normal, puncak tonjol Mesio-Buccal gigi Molar 1 Rahang Atas terletak pada Buccal
groove gigi Molar 1 Rahang Bawah, dan semua gigi teratur dengan baik di atas kurva oklusi.

2) Klas I Angle (Neutroklusi)


Rahang bawah terletak pada relasi mesiodistal yang normal terhadap rahang atas. Posisi cusp
mesiobukal molar satu rahang atas beroklusi dengan groove bukal molar satu permanen rahang bawah
dan cusp mesiolingual molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan fossa oklusal molar satu
permanen rahang bawah ketika rahang dalam posisi istirahat dan gigi dalam keadaan oklusi sentrik.
Angle menyatakan maloklusi angle Klas I sering terjadi dan mempunyai hubungan dentofasial yang
normal. Walaupun maloklusi Klas I Angle memiliki hubungan molar yang normal tetapi garis
oklusinya kurang tepat dikarenakan malposisi gigi, rotasi gigi, proklinasi, gigitan terbuka anterior,

crowding, spacing dan lain sebagainya.


3) Klas II Angle (Distoklusi)
Hubungan mesiodistal pada lengkung gigi tidak normal dengan seluruh gigi rahang bawah lebih
posterior menciptakan ketidakharmonisan dengan gigi insisivus atas dan garis wajah. Tonjol
mesiobukal molar satu rahang atas beroklusi dengan ruang diantara tonjol mesiobukal molar satu
rahang bawah dan dengan bagian distal premolar dua rahang bawah. Selain itu, tonjol mesiolingual
molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke mesial dari tonjol mesiolingual molar satu
permanen rahang bawah. Maloklusi Angle Klas II lebih sering terlihat, terjadi pada individu dengan

bibir atas yang menonjol dan dagu yang perkembangannya kurang baik.

Angle membagi maloklusi Klas II menjadi dua divisi berdasarkan sudut labiolingual gigi
insisivus rahang atas. Pembagiannya yaitu :
a. Klas II divisi I
Hubungan molar Klas II tetapi gigi insisivus rahang atas labioversi. Maloklusi ini memiliki
karakteristik dengan adanya proklinasi atau labioversi insisivus rahang atas sehingga overjet

meningkat. Konstruksi maksila berbentuk V, gigitan yang dalam (deep bite) dan bibir yang pendek.

b. Klas II divisi II
Maloklusi Klas II divisi 2 memiliki hubungan molar Klas II dengan karakteristik maloklusi ini adalah
adanya inklinasi lingual atau linguoversi gigi insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateral
rahang atas yang lebih ke labial ataupun mesial. Lengkung gigi rahang atas biasanya berbentuk

persegi dan memiliki overbite yang berlebihan.


c. Klas II Subdivisi
Pada maloklusi ini, relasi molar Klas II terjadi pada satu sisi dan relasi molar Klas I pada sisi yang

lain.

4) Klas III Angle (Mesioklusi)


Cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke distal terhadap groove
mesiobukal molar satu permanen rahang bawah atau sebaliknya groove bukal molar satu permanen
rahang bawah beroklusi lebih ke mesial terhadap cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas.
Selain itu, jika molar satu permanen rahang bawah memiliki posisi lebih ke anterior daripada molar
satu permanen rahang atas juga disebut sebagai maloklusi Klas III.

Klas III Angle terbagi dua, yaitu True Class III dan Pseudo Class III.

a. True Class III


Maloklusi ini merupakan maloklusi tipe skeletal yang disebabkan faktor genetik. Hal ini dapat
disebabkan oleh :
1. Ukuran mandibula yang besar
2. Mandibula yang terletak lebih ke anterior
3. Maksila yang kecil atau retroposisi
4. Inklinasi insisivus rahang bawah lebih ke arah lingual
5. Terdapat overjet normal, edge-to-edge, atau anterior crossbite

b. Pseudo Class III

Tipe maloklusi ini terjadi karena :


1. Faktor habitual, yaitu pergerakan mandibula ke depan ketika menutup rahang.
Maloklusi ini juga disebutkan sebagai ‘postural’ atau ‘habitual´class III malocclusion.

c. Class III Subdivisi


Pada maloklusi ini terdapat relasi molar Klas III pada satu sisi dan relasi molar Klas I pada sisi rahang
yang lain.

• Pada tahun 1915, Dewey memodifikasi klasifikasi Angle. Dewey memodifikasi Klas I klasifikasi
Angle ke dalam 5 tipe dan Klas III klasifikasi Angle kedalam 3 tipe. Modifikasinya adalah sebagai
berikut :
a. Modifikasi Klas I oleh Dewey
Tipe 1: Maloklusi Klas I dengan gigi anterior rahang atas berjejal (crowded).

Tipe 2: Klas I dengan insisivus maksila yang protrusi (labioversi).


Tipe 3: Maloklusi Klas I dengan crossbite anterior.

Tipe 4: Relasi molar Klas I dengan crossbite posterior.

Tipe 5: Molar permanen mengalami drifting mesial akibat ekstraksi dini molar dua desidui atau
premolar dua.

b. Modifikasi Klas III oleh Dewey


Tipe 1: Ketika rahang atas dan bawah dilihat secara terpisah menunjukkan susunan yang normal,
tetapi ketika rahang dioklusikan, pasien menunjukkan adanyagigitan edge to edge pada insisivus.
Tipe 2: Insisivus rahang bawah berjejal dan menunjukkan relasi lingual terhadap insisivus rahang

atas.

Tipe 3: Insisivus rahang atas berjejal dan menunjukkan crossbite dengan anterior rahang bawah.

• Pada tahun 1933, Lischer melakukan modifikasi terhadap klasifikasi Angle dengan mengganti nama
Klas I, II dan III Angle dengan neutro-oklusi, disto-oklusi dan mesio-oklusi. Selain itu, Lischer juga
mengklasifikasikan maloklusi gigi individual, yakni :
1. Neutro-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas I Angle
2. Disto-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas II Angle
3. Mesio-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas III Angle
Nomenklatur Lischer pada malposisi individual gigi adalah dengan akhiran ‘versi’ pada kata yang
diindikasikan penyimpangan dari posisi normal.
1. Mesioversi : lebih ke mesial dari posisi normal
2. Distoversi : lebih ke distal dari posisi normal
3. Linguoversi : lebih ke lingual dari posisi normal
4. Labioversi : lebih ke labial dari posisi normal
5. Infraversi : lebih ke inferior atau menjauh dari garis oklusi
6. Supraversi : lebih ke superior atau melewati garis oklusi
7. Aksiversi : inklinasi aksial abnormal, tipping
8. Torsiversi : rotasi gigi pada aksis panjangnya
9. Transversi : perubahan pada urutan posisi atau transposisi dua gigi

2.2 Maloklusi Skeletal


Maloklusi skeletal terjadi akibat ketidaksesuaian atau ketidakseimbangan pertumbuhan antara maksila
dan mandibula. Untuk mendiagnosis adanya ketidaksesuaian skeletal biasanya menggunakan analisis
radiografi sefalometri lateral. Maloklusi skeletal dapat disebabkan oleh tidak normalnya maksila,
mandibula, atau maksila dan mandibula. Dalam analisis sefalometri lateral, maloklusi skeletal
ditentukan berdasarkan hubungan maksila dan mandibula terhadap basis kranial. Steiner menyatakan
posisi maksila terhadap basis kranial adalah melalui sudut SNA dan posisi mandibula terhadap basis
kranial adalah sudut SNB.
Nilai rata-rata normal SNA adalah 82º ± 2º, sedangkan nilai rata-rata normal posisi mandibula
terhadap basis kranial,adalah 80º ± 2º. Untuk menentukan hubungan maksila dan mandibula terhadap
basis kranial adalah ANB, yaitu selisih antara SNA dengan SNB. Sudut ANB menunjukkan hubungan
anteroposterior antara maksila dan mandibula terhadap basis kranial. Nilai rata-rata normal ANB
adalah 2º ± 2º (Gambar 1). Maloklusi Klas I ditandai dengan hubungan skeletal yang normal dengan
nilai ANB 2º ± 2º, skeletal Klas II diindikasikan dengan sudut ANB yang lebih besar dari 4º,
sedangkan skeletal Klas III ditandai dengan sudut ANB yang kecil dari 0º.
Dengan cara tersebut di atas posisi rahang bawah dan rahang atas dalam hubungannya terhadap
bidang referensi untuk menentukan tipe skeletalnya dapat ditetapkan : Apakah termasuk relasi
skeletal Klas I (Ortognatik), Klas II (Retrognatik) atau Klas III (Prognatik).

a. Pada Relasi skeletal klas I (Ortognatik) :


- Posisi maksila dan mandibula normal
- Jika posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya semua normal (teratur rapi) maka relasi gigi
molar pertama atas dan bawah klas I Angle (neutroklusi) dan relasi gigi-gigi lainnya terhadap
antagonisnya normal maka kasus ini didiagnosis sebagai : Oklusi normal.
- Jika relasi gigi molar pertama klas I (neutroklusi) tetapi ada gigi lainnya yang malposisi atau
malrelasi maka kasus ini didiagnosis sebagai maloklusi klas I Angle tipe dental.
- Jika relasi gigi molar pertama distoklusi baik disertai maupun tanpa disertai malposisi dan malrelasi
gigi lainnya maka kasus ini di diagnosis sebagai maloklusi klas II Angle tipe dental.
- Jika maloklusi klas II Angle ini disertai dengan protrusif gigi anterior atas didiagnosis sebagi
maloklusi klas I Angle divisi 1 tipe dental , dan jika disertai dengan retrusif gigi anterior atas,
didiagnosis sebagi maloklusi klas II Angle divisi 2 tipe dental
- Jika relasi gigi molar pertama mesioklusi baik disertai maupun tanpa disertai cross bite gigi anterior
atau malposisi dan malrelasi gigi lainnya maka kasus ini di diagnosis sebagai maloklusi klas III Angle
tipe dental.
- Jika relasi molar klas II atau klas III ini hanya satu sisi (unilateral) maka klasifikasi maloklusi
dilengkapi dengan subdivisi.

b. Pada Relasi skeletal klas II (Retrognatik) :


- Posisi maksila lebih kedepan (protrusif) dan / atau posisi mandibula lebih ke belakang dari posisi
normal (retrusif).
- Jika posisi gigi-gigi terhadap masing-masing rahangnya normal maka relasi gigi-gigi bawah
terhadap gigi-gigi atas distoklusi karena gigi-gigi tersebut terletak pada rahang yang hubungannya
retrognatik, hubungan gigi molar pertama atas terhadap gigi molar pertama bawah klas II, maka kasus
ini didiagnosis sebagai : maloklusi klas II Angle tipe skeletal.
- Jika relasi klas II ini diikuti dengan malposisi gigi anterior berupa protrusif gigi anteror atas maka
kasus ini didiagnosis sebagai : maloklousi klas II Angle divisi 1, dan jika gigi-gigi anterior atas dalam
keadaan retrusif maka kasus ini adalah : maloklousi klas II Angle divisi 2.
- Jika posisi gigi molar pertama atas dan / atau bawah tidak normal terhadap masingmasing rahangnya
maka ada beberapa kemungkinan relasi gigi molar:
- Jika gigi molar pertama atas distoversi dan / atau gigi molar pertama bawah mesioversi, dapat
mengkompensasi deskrepansi hubungan rahang yang retrognatik maka relasi molar pertama menjadi
neutroklusi, maka kasus ini diagnosis sebagai : maloklusi Angle klas I tipe dentoskletal. Jika
malposisi gigi molar tersebut tidak dapat mengkompensasi diskrepansi hubungan rahangnya maka
relasi gigi molar tetap distoklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas II Angle tipe
dento skeletal.
- Jika malposisi gigi molar pertama atas mesioversi dan / atau gigi molar pertama bawah distoversi
maka hubungan gigi molar pertama atas dan bawah akan semakin ekstrem kearah maloklusi klas II
Angle tipe dentoskeletal.
c. Pada Relasi skeletal klas III (Prognatik) :
- Posisi maksila lebih ke belakang ( retrusif) dan / atau posisi mandibula lebih ke depan terhadap
posisi normalnya (protrusif).
- Jika posisi gigi-gigi terhadap masing-masing rahangnya normal, maka relasi gigi molar pertama atas
dan bawah menjadi mesioklusi pada rahang yang prognatik sehingga kasus ini diagnosis sebagai
maloklusi klas III Angle tipe skeletal.
- Jika posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya tidak normal, maka dapat terjadi beberapa
kemungkinan hubungan gigi molar pertama atas dan bawah :
- Jika posisi gigi molar pertama atas mesioklusi dan / atau gigi molar pertama bawah distoklusi dapat
mengkompensasi hubungan rahang yang prognatik maka relasi gigi molar pertama atas dan bawah
menjadi neutroklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas I Angle tipe dentoskeletal.
Jika malposisi gigi molar tersebut tidak dapat mengkompensasi diskrepansi hubungan rahannya maka
relasi gigi molar tetap mesioklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas III Angle tipe
dentokeletal.
- Jika malposisi gigi molar pertama atas distoversi dan / atau gigi molar pertama bawah mesioversi
maka hubungan gigi molar pertama atas dan bawah akan semakin ekstrem kearah maloklusi klas III

Angle tipe dentoskeletal.


d. Relasi rahang atas dan bawah keduanya tidak normal pada arah yang sama (Bimaksiler) :
- Jika maksila dan madibula ke dua-duanya pada posisi ke depan maka maloklusi ini disebut sebagai
tipe prognatik bimaksiler (bimaxillary prognatism).
- Jika maksila dan madibula ke dua-duanya pada posisi ke belakang maka maloklusi ini disebut
sebagai tipe retrognatik bimaksiler (bimaxillary retrognatism).

L.O III M.M ETIOLOGI MALOKLUSI


Maloklusi memiliki penyebab yang multifaktorial dan hampir tidak pernah memiliki satu penyebab
yang spsesifik. Graber membagi etiologi maloklusi berdasarkan faktor umum dan faktor lokal.
Pengelompokan faktor ini membantu dan membuat lebih mudah untuk memahami dan mengaitkan
maloklusi dengan faktor etiologi, hal-hal dibawah ini adalah faktor-faktor etiologi maloklusi menurut
Graber :

A. Faktor Umum, yaitu :

1. Herediter
Anak memiliki materi gen yang sama dengan orang tuanya. Faktor herediter memiliki pengaruh
terhadap sistem neuromuskular, tulang, gigi dan jaringan lunak.

2. Kongenital
Malformasi faktor kongenital terlihat pada saat mereka lahir. Malformasi paling sering terjadi adalah
mikrognasi, oligodonsia, anodonsia, celah bibir dan langit-langit.

3. Predisposisi penyakit metabolik


Kondisi yang perlu diperhatikan dalam penyakit sistemik adalah ketidakseimbangan endokrin,
gangguan metabolik, dan penyakit infeksi.

4. Malnutrisi
Ketidakseimbangan gizi pada ibu hamil telah dikaitkan dengan malformasi tertentu pada anak.
Defesiensi nutrisi pada anak selama masa pertumbuhan dapat menyebabkan pertumbuhan yang
abnormal contohnya maloklusi.
5. Kebiasaan buruk
Beberapa kebiasaan buruk yang bisa mempengaruhi terjadinya maloklusi adalah menghisap ibu jari,
menjulurkan lidah, menghisap atau menggigit bibir dan kuku, bernapas dari mulut, bruxism. Semua
kebiasaan ini memiliki satu kesamaan yang menghasilkan kekuatan yang abnormal. Suatu kebiasaan
buruk yang dilakukan berulang dari waktu ke waktu dapat membuat deformitas permanen di
musculoskeletal.

6. Postur
Kebiasaan postural abnormal atau ketidakseimbangan otot lainnya meningkatkan risiko maloklusi.

7. Trauma dan kecelakaan


Trauma dan kecelakaan dapat dibagi menjadi prenatal trauma (hipoplasia mandibular dan asimetri
wajah) dan postnatal trauma (fraktur rahang dan gigi).

B. Faktor Lokal, yaitu :

1. Kelainan jumlah gigi


Kelainan jumlah gigi terdapat dua jenis:

i. Gigi supernumerari
Gigi supernumerari didefenisikan sebagai gigi tambahan pada rangkaian normal, paling umum
ditemukan pada regio anterior rahang atas. Gigi supernumerari berbeda dalam ukuran, bentuk, dan
lokasi. Gigi supernumerari paling sering terlihat adalah mesiodens, biasanya terletak diantara gigi
insisif rahang atas dan dapat bervariasi dalam bentuk. Biasanya berbentuk kerucut dengan akar dan
mahkota yang pendek, dapat terjadi pada rahang atas atau rahang bawah.

ii. Jumlah gigi yang kurang


Jumlah gigi yang kurang lebih sering terlihat dibandingkan dengan gigi supernumerari. Istilah yang
digunakan untuk menggambarkan satu atau lebih kongenital gigi yang hilang adalah anodonsia,
hipodonsia, atau oligodonsia.

2. Kelainan ukuran gigi


Hanya dua anomali dari ukuran gigi yaitu mikrodonsia dan makrodonsia, yang melibatkan satu atau
banyak gigi. Makrodonsia merupakan predisposisi gigi berjejal sedangkan mikrodonsia merupakan
predisposisi gigi tersusun renggang. Mikrodonsia dari insisif lateral atas mempunyai hubungan
dengan impaksi kaninus atas permanen.

3. Kelainan bentuk gigi


Kelainan bentuk gigi dapat ditemukan pada gigi yang menyatu, rangkap, dan dens in dente.
Dilaserasi juga anomali bentuk gigi dimana ada lengkung di daerah akar atau mahkota. Umumnya
tidak mempengaruhi perawatan ortodonti tetapi dapat mempersulit ekstraksi gigi yang terkena.2

4. Kelainan frenulum labial


Pada saat kelahiran, frenunum labial melekat pada ridge alveolar dengan beberapa serat dan
terletak dengan papilla lingual gigi. Saat gigi erupsi, frenulum bermigrasi ke superior sehubungan
dengan ridge alveolar. Beberapa serat dapat bertahan di antara gigi insisif sentral atas. Perlekatan
frenulum yang rendah dihubungkan dengan diastema garis tengah rahang atas.
Jika papilla palatal memucat saat frenulum ditarik atau pada gambar radiograf terlihat celah alveolar
diantara gigi insisif, frenulum terlibat dalam pembentukan diastema.

5. Kehilangan dini
Kehilangan dini gigi sulung merupakan keadaan gigi sulung yang hilang atau tanggal sebelum gigi
penggantinya mendekati erupsi yang disebabkan karena karies, trauma dan kondisi sistemik.
Kehilangan dini gigi sulung dapat menyebabkan pengurangan lengkung rahang, pergerakan atau
drifting dari gigi geligi yang berada dekat daerah hilang, gangguan perkembangan dan erupsi gigi
permanen sehingga akan menimbulkan gigi berjejal, rotasi, impaksi bahkan merubah hubungan
anteroposterior gigi molar pertama permanen rahang atas dengan rahang bawah dan terjadi
penyimpangan dari oklusi normal bila tidak dikoreksi.

6. Retensi berkepanjangan gigi sulung


Apapun alasan untuk retensi berkepanjangan pada gigi sulung, mereka memiliki dampak yang
signifikan pada gigi. Defleksi palatal pada lengkung rahang atas mengakibatkan erupsi gigi permanen
menjadi crossbite yang kemungkinan sulit untuk perawatan pada tahap selanjutnya.

7. Terlambatnya tumbuh gigi tetap


Urutan erupsi gigi individu di setiap lengkung rahang terjadi secara alami. Urutan erupsi memiliki
sejumlah fleksibilitas, tetapi jika terdapat gigi supernumerari atau gigi tidak menempati posisinya,
kemungkinan akan terjadi migrasi gigi lainnya kedalam ruang yang tersedia. Dapat mengakibatkan
terjadinya impaksi pada gigi.

8. Kelainan jalan erupsi gigi


Umumnya setiap gigi mempunyai perjalanan erupsi yang berbeda sejak awal ke lokasi dimana ia
akan erupsi. Perjalanan ini dapat menyimpang dari jalan erupsi. Gigi yang paling sering erupsi di
lokasi yang tidak seharusnya erupsi adalah gigi kaninus maksilla.

9. Ankilosis
Ankilosis adalah suatu kondisi yang melibatkan penyatuan akar atau bagian dari akar langsung ke
tulang tanpa intervensi membran periodontal. Ankilosis ini ditemui relative sering selama tahap
pertumbuhan gigi bercampur. Ankilosis gigi yang terlihat lebih sering dikaitkan dengan gangguan
infeksi endokrin tertentu dan kelainan bawaan.

10. Karies gigi


Adanya karies terutama pada bagian aproksimal dapat mengakibatkan terjadinya pemendekan
lengkung gigi. Kemungkinan ini disebabkan oleh migrasi gigi yang berdekatan ke ruang yang tersedia
atau supra erupsi gigi pada lengkung berlawanan.

11. Restorasi gigi yang tidak tepat


Maloklusi dapat disebabkan oleh restorasi gigi yang tidak tepat. Restorasi proksimal yang kurang
dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dalam panjang lengkung terutama di geraham gigi
sulung. Restorasi proksimal yang berlebih seperti tonjolan ke gigi yang akan ditempati akan
mengalami pengurangan ruang.

L.O IV M.M TERAPI MALOKLUSI


Dilakukan pemasangan band dan buccal tube pada gigi molar pertama atas dan bawah, perlekatan
braket sistem Begg pada permukaan labial dan bukal gigi. Setelah itu dilakukan pemasangan busur
tanpa loop dengan ukuran kava t berdiameter , 016" Anchor sebesar kurang lebih 35 derajat dalam
arah terbalik. Empat bulan kemudian, elastik horizontal digunakan pada rahang bawah dan elastik
Klas III. Setelah 1 bulan perawatan, didapat oklusi

Anda mungkin juga menyukai