Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu
oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan
alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya,
efek lanjut gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara
hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik
langsung maupun tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu
memiliki indeks kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati
gangguan alergi.(1)

Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap jika
disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai, atau ingestan
dalam diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang dapat ditelan terbukti
memiliki sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi terhadap sejumlah agen dan
daripada hanya satu inhalan saja.(1)

Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik.
Suatu penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika memperlihatkan bahwa
17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma, namun 56 sampai 74 persen pasien
asmatik ternyata menderita rinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap
kondisi-kondisi ini.(1)

Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik
dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.(1)

Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung, yaitu :
reseptor histamine H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2, kolinoreseptor, reseptor
histamine H2, dan reseptor iritan. Dari semua ini, yang terpenting adalah reseptor histamine
H1, dimana bila terserang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung,
menyebabkan bersin-bersin, gatal dan rinore.(1)

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI HIDUNG

a. Anatomi Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan
yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung
luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung
(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan
3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.(2)

Anatomi Hidung Luar


b. Anatomi Hidung Dalam

2
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.(2)

Anatomi Hidung Dalam

1. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista
sfenoid.(2)

2. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari : (2)
3
 Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
 Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior.
 Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.
 Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media
berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
3. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.(2)

4. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,

4
sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media
yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan
sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah
satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai
ostium tersendiri di depan infundibulum.(2)
5. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.(2)
6. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam
oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh
lamina pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus
yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke
arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga
di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak
hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung
hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut
terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.(2)
7. Kompleks ostiomeatal (KOM)

5
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret
akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media.(2)

Kompleks Ostiomeatal

c. Vaskularisasi Rongga Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis
anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki
nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach
merupakan anyaman pembuluh darah pada septum nasi bagian anterior.(3)
Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior &
posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexus
Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior.(3)

6
d. Persarafan Rongga Hidung
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari
nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung
bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan
parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior
cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion
cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus
dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang
dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia
olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga
hidung.(3)

B. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air

7
conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi
suara; 6) proses bicara; 7) refleks nasal.(4)
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara
ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.(4)

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : (4)
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh : (4)
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat. (4)
8
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
(4)

6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.(4)
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.(4)

C. RINITIS ALERGI

A. DEFINISI


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)

9
B. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari
2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan
Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan
Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)

10
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL
4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC). (5)
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular
Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1
pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah

11
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang
tinggi.(5)

MEKANISME TERJADINYA NASAL ALLERGY SYNDROME PADA RINITIS


ALERGI
Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili
gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa
hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf
sensoris menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks
parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid.(5,6)

MEKANISME HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN ASMA

12
Meskipun terdapat bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi asma, tetapi mekanisme
yang menghubungkan disfungsi saluran napas atas masih dalam perdebatan. Berbagai teori
diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis alergi dan asma antara lain Nasopulmonary
Reflex yaitu refleks sentral yang berasal dari ujung saraf sensorik berjalan menuju susunan
saraf pusat melalui saraf trigeminus, masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus dan
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus. Lalu meningkatnya inhalasi melalui mulut
terhadap udara dingin, kering atau alergen inhalan akibat dari sumbatan hidung
mengakibatkan mengeringnya sekret dan terjadi spasme bronkus. Drenase post nasal bahan
inflamasi ke saluran napas bawah mengakibatkan penyebaran sel-sel inflamasi melalui
sirkulasi.(7)

C. GAMBARAN HISTOLOGIK
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.(5)
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal.(5)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (5)
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang
(kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).(5)
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(5)
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.(5)
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.(5)

13
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi.(5)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari : (5)
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons sekunder.(5)
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.(5)
3. Respons tertier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.(5)

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5)
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah
tipe 1 yaitu rinitis alergi.(5)

14
D. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
(5)

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah
polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).(5)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.(5)

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi(5):
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.(5)
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.(5)

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi(5):
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(5)
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(5)

E. Etiologi
Rinitis menggambarkan penyakit yang melibatkan inflamasi epitel hidung dan
mempunyai ciri-ciri bersin, gatal, rinore, dan kongesti. Rhinitis alergi, yang biasanya

15
dikenal sebagai Hay Fever, disebabkan oleh respon alergi tipe I, yang diperantarai oleh
IgE. Pada fase awal alergi, sel mast mengalami degranulasi dan mengeluarkan mediator
kimia yang sudah ada sebelumnya, seperti histamine dan triptase, serta mediator kimia
yang terbentuk kemudian, seperrti leukotrien prostaglandin dan platelet-activating factor.
Setelah suatu periode tertentu dengan semua sel telah direkrut, fase lambat akan terjadi,
yaitu sekitar 4-8 jam kemudian Eosinofil, basophil, sel T CD4, monosit, dan neutrophil
akan melepaskan mediator kimia yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi nasal
kronik.
Rhinitis alergi dapat bersifat musiman, persisten atau episodik bergantung pada
alergen tertentu dan paparannya. Rinitis alergi musiman disebabkan oleh pollen yang
sifatnya airborne, yang mempunyai pola musiman. Rhinitis alergi persisten biasanya
disebabkan oleh alergen didalam rumah, seperti tungau debu rumah, bulu hewan, jamur,
dan kecoa. Rhinitis alergi episodik terjadi apabila terdapat paparan alergen secara
intermiten, seperti berkunjung kerumah teman yang mempunyai hewan peliharaan.
Predisposisi genetic dan paparan alergen yang berulang berperan dalam terjadinya
rhinitis alergi. Biasanya perlu waktu beberapa minggu, bulan, atau tahun untuk
mensensitasi sistem imun untuk produksi IgE spesifik alergen dalam jumlah yang cukup.
Apabila anak atopi menghirup alergen airborne, protein ini akan penetrasi ke epitel
mukosa hidung dan berinteraksi dengan IgE spesifik antigen pada jaringan sel mast.

F. Manifestasi klinis
Gejala utama rhinitis alergi adalah sedikit pilek dengan cairan jernih, kongesti
nasal, bersin yang paroksismal dan gatal pada mata, hidung, telinga dan palatum. Post
nasal drip akan menyebabkan aktivitas pembersihan tenggorok yang sering, batuk pada
malam hari, dan tenggorokan yang kasar. Penting sekali untuk mencari hubungan onset,
durasi dan beratnya gejala dengan paparan musiman atau persisten, perubahan
lingkungan rumah atau sekolah, dan paparan terhadap iritan non spesifik seperti asap
rokok.
Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan hidung menyeluruh dan evaluasi pada
mata, telinga, tenggorok, dan kulit. Temuan fisik bisa saja sangat ringan. Pemeriksaan
fisik klasik antara lain konka hidung yang berwarna merah muda pucat atau abu-abu
kebiruan dan bengkak dengan sekret hidung yang jernih. Alergik salut- merupakan suatu
kondisi gatal pada hidung yang menyebabkan penderita sering menggosokan telapak

16
tangan pada hidung, dapat menimbulkan guratan transversal pada hidung bagian bawah.
Anak-anak dapat mengeluarkan suara clucking akibat gosokan palatum molle dengan
lidah. Pemeriksaan orofaring dapat memperlihatkan adanya mukus atau adanya
hiperplasi limfoid pada palatum molle dan faring posterior atau keduanya. Kelainan
ortodontik dapat terlihat pada anak yang secara kronis bernafas melalui mulut. Allergic
shiner adalah suatu kondisi periorbital yang berwarna gelap akibat kongesti vena, sering
terjadi bersama pembengkakan kelopak mata dan peradangan selaput lendir mata.
Retraksi membran timpani akibat disfungsi tuba eustachius atau otitis media serosa juga
dapat terjadi. Penyakit atopi lain, seperti asma atau eksim juga dapat terjadi yang akan
membantu klinisi untuk menegakan diagnosis yang tepat.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5). Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan
gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang
pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya
riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-
anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)

17
2.Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik
lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu
sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).(5)

3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio
Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan

18
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. (5)

In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.(5)
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). (5)
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
“Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.(5)

H. PENATALAKSANAAN

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.(5)
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.(5)
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)
dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin,

19
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical
adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai
efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin
diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada
respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala
obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2
golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi
jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.(5)
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical.
Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rhinitis medikamentosa.(5)
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat,
dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit
pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi
aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis. (5)
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
(5)

Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien


(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. (5)

20
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.(5)
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sub-lingual.(5)

I. KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(5) :


1. Polip hidung(5)
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.(5)
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.(5)
3. Sinusitis paranasal.(5)

21
BAB III
KESIMPULAN

 
Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh
interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan.
Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor
alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini. Pengobatan paling efektif dari rinitis
alergi adalah menghindari faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila
tidak dapat dihindari dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan.
Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan
memiliki prognosis baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7.
2. Marcdante K J, et al. 2011. Rinitis Alergi in Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi
keenam. Elsevier. IDAI; Vol 79 page 350-353. 2.
3. Irawati Nina et al. 2012. Rhinitis Alergi ini Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. FKUI. Page 106-111. 3.
4. Sundaru Heru, Winulyo Erwanto Budi. 2014. Rhinosinusitis In Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi VI. Interna Publishing; vol 66 page 504-507. 4.
5. Aziza Atika et al. 2016. Effectiveness of Allergic Rhinitis Management Related to WHO
Guideline on Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). Althea Medical
Journal; 3(4). 5.
6. Diana Fatma, Haryuna Siti Hajar. 2017. Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Otitis
Media Supuratif Kronik. MKB volume 49 No.2
7. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching and
Sneezing
in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University Hospital Mannheim,
Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p 35-40.

23

Anda mungkin juga menyukai