Anda di halaman 1dari 7

Analisis Edukasi Dokter kepada Pasien Dermatitis Atopik

Nadya Windi Hapsari


Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
nadyawindi01@student.uns.ac.id

Abstract. Atopic Dermatitis (AD) is a heredity disease that present more IgE. Patient with
AD may present pruritus, xerosis, and skin infection. So they need to educate clearly about
their disease and educate how to consume their drug. Risk factor of AD is both heredity
and environmental factor. This paper use qualitative analytic by deep interview to two
doctor which have handle patient with AD. Some question was clearly answered by
doctor. Doctor have a little bit different method to educate the patient but their goal was
same. Patient with AD often don’t understand that AD cannot be heal. So it is important to
educate patient. There were many develop research which discover new treatment of AD.
We can conclude both patient and caregivers must be educate about AD, individual
treatment should be develop in Indonesia. Obedience of the patient is the key to reduce
clinical manifestation of DA.

Keywords: Atopic Dermatitis, patient education, heredity, obedience, new treatment

1. PENDAHULUAN

Dermatitis Atopik (DA) atau dalam istilah awam dikenal dengan Eksim Atopik
merupakan penyakit kulit yang ditandai dengan inflamasi kronik pada kulit. Penyakit ini
disebabkan karena keturunan, artinya dapat menyerang satu keluarga penuh karena penyakit ini
berkaitan dengan gen yang menurunkan sifat dari ayah dan atau ibu ke anaknya. Sehingga
apabila ayah, ibu, kekek, atau nenek terkena DA maka kemungkinan besar akan menurun ke
anak cucunya, sehingga DA akan mengurangi kualitas hidup pasien (Avena-Woods, 2017).
Dermatitis dapat dengan mudah timbul pada pasien dengan kulit Atopik dikarenakan
pasien memiliki IgE yang tinggi sehingga apabila terpapar sedikit saja zat yang dapat
merangsang IgE maka akan muncul manifestasi klinis berupa Dermatitis atau eksim (Osada-Oka
et al., 2018).
Faktor lain yang dapat menyebabkan DA adalah faktor lingkungan. Pada penelitian in
vivo DA sering dikaitkan dengan mutasi gen filaggrin yang merupakan gen epidermal (Eyerich
et al., 2019). DA yang juga disebut dengan Eczema Atopik ini dapat diperparah karena adanya
suatu alergen dan iritan, misalkan alergi terhadap beberapa makanan, rhinitis dan asma. Pasien
dengan DA memiliki sensitivitas kulit yang tinggi dan Dermatitis dapat muncul dalam berbagai
kondisi (Avena-Woods, 2017). Dermatitis Atopik ini dapat diikuti dengan adanya pruritus,
xerosis, dan infeksi kulit (Craddock et al., 2018).
Dermatitis Atopik dapat menyerang berbagai usia, mulai dari bayi, anak-anak, hingga
dewasa. Prevalensi DA di Indonesia meningkat pada akhir dekade meliputi 10-20% pada bayi
dan anak, 1-3% pada dewasa dan pada tahun 2012 pasien DA berumur 13-14 tahun sebanyak
1,1% (Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia PERDOSKI, 2014). DA lebih banyak
terjadi pada laki-laki karena onset penyakit yang lama (Avena-Woods, 2017).
Faktor risiko DA meliputi herediter yaitu adanya keluarga sedarah yang DA misalkan
ayah, ibu, kakek dan atau nenek. Selain itu faktor lingkungan yang meningkatkan risiko DA,
meliputi stres saat hamil (faktor sosioekonomi, merokok, dan perbedaan pola makan), iritan
(misalkan sodium lauryl sulfate), jarak tempat tinggal yang jauh dari garis ekuator, daerah hujan
dan salju, NO2, SO2 dan SO3, ventilasi yang kurang, reactive oxygen species (ROS), rokok, air
yang mengandung mineral tinggi, dan makanan cepat saji. Temperatur tinggi akan melindungi
seseorang tanpa DA dari faktor risiko DA, tetapi pasien DA tidak dapat mentoleransi temperatur
tinggi. Kelembaban berhubungan dengan filaggrin, apabila kelembaban baik maka filaggrin yang
merupakan gen untuk melembabkan kulit akan bertambah sehingga rasa gatal berkurang. UVB
dari sinar matahari akan meningkatkan vitamin D dalam tubuh sehingga menurunkan faktor
risiko DA (Kantor & Silverberg, 2017).
Terdapat dua teori mengenai patofisiologi DA yaitu sawar darah kulit yang rendah
sehingga apabila terpapar sedikit alergen dengan segera muncul reaksi inflamasi. Kedua
dikarenakan adanya disfungsi gen misalnya gen filaggrin (FLG) sehingga kelembaban kulit
rendah kemudian kulit menjadi kering dan mudah merasa gatal. Sebagai diagnosis terdapat
marker tertentu pada pasien DA yaitu adanya ekspresi IgE 80%, terdapat subset T-lymphocyte
baru, novel cytokines dan chemokines, macrophage-derived chemoattractant (MDC), interleukin
(IL-12, IL-16, IL-18, IL-31), dan thymus and activation-regulated chemokine (TARC) (Avena-
Woods, 2017).
Manifestasi klinis yang terjadi pada pasien DA meliputi lesi akut berupa eksoriasi dan
berskuama dan lesi kronik berupa plak tebal. Manifestasi ini dapat terjadi berdasarkan tingkat
keparahan pasien DA (Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia PERDOSKI, 2014).
Pengobatan terbaru sudah banyak dikembangkan melalui berbagai penelitian. Beberapa
diantaranya dengan penggunaan ekstrak ginseng merah dan probiotik. Target obat biasanya
merupakan IgE yang merupakan sistem imun utama yang berkaitan dengan munculnya
Dermatitis (Choi et al., 2016; Litus, Derkach, Litus, Bisyuk, & Lytvynenko, 2019; Osada-Oka et
al., 2018).
Edukasi yang diberikan sebaiknya berkaitan dengan faktor risiko, pengurangan
manifestasi klinis, tata cara pengobatan lama maupun baru yang sedang berkembang. Dalam hal
ini sifat long-life-learner harus dimiliki seorang dokter supaya pengetahuannya selalu luas
mengenai penelitian pengobatan terbaru DA yang sedang berkembang. Kepatuhan pasien DA
terhadap edukasi dokter juga akan berpengaruh kepada kualitas hidup pasien.
Dalam jurnal ini akan dibahas mengenai penyebab Dermatitis Atopik, edukasi yang harus
diberikan kepada pasien, serta pengobatan atau edukasi terbaru yang mungkin efektif diberikan
kepada pasien. Diharapkan kasus Dermatitis Atopik dapat ditangani dengan tepat setelah
membaca jurnal ini.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif berupa deskriptif
analitik. Penelitian dilaksanakan dengan cara wawancara kepada dokter mengenai edukasi yang
dilakukan kepada pasien dengan Dermatitis Atopik. Wawancara direkam kemudian hasil dari
wawancara tersebut dianalisis dan dipaparkan pada pembahasan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Wawancara dilakukan kepada dua dokter. Pertama, kepada Dokter I yang telah
menangani banyak pasien DA yang datang ke Kliniknya. Pasien yang datang biasanya orang
dewasa. Berdasarkan data yang diperoleh, Dermatitis Atopik dapat terkena pada anak-anak
maupun orang dewasa (Avena-Woods, 2017). Kedua, kepada Dokter II yang merupakan dokter
spesialis kulit dan kelamin yang sesuai menjadi narasumber mengenai DA.
Transkrip wawancara terdapat dalam lampiran. Sedangkan hasil wawancara secara
singkat dapat dilihat dari tabel berikut :
TABEL HASIL WAWANCARA MENGENAI EDUKASI DOKTER KEPADA PASIEN
DERMATITIS ATOPIK

No Jawaban dari narasumber


Pertanyaan Dokter II (Dokter spesialis kulit dan
Dokter I (Dokter Umum)
kelamin)
Penyebab Autoimmune disease karena bawaan Karena bawaan dari orang tua.
1. tersering dari lahir yang menurun dari orang
Dermatitis Atopik tua.

1. Menghindari alergi dengan mencatat


1. Menggunakan pelembab dan sabun yang
alergi makanan dan barang lain mengandung pelembab.
yang dikonsumsi. Disarankan
Edukasi dokter 2. Penjelasan bahwa DA adalah kasus
melakukan tes alergi apabila
2. kepada pasien musiman (kambuh-kambuhan).
mampu.
2. Menjelaskan bahwa DA merupakan
penyakit yang tidak bisa sembuh
(kambuh-kambuhan).
Kepada pasien. Jika keluarga ikut Pasien bayi dan anak : kepada orang
Subjek yang mendengarkan lebih baik. tua.
3.
diberikan edukasi
Pasien dewasa : kepada pasien.

Edukasi terbaru Mencatat alergen masing-masing Prinsipnya apabila muncul diobati dan
yang efektif yang individu (pengobatan berdasarkan selalu dijaga dengan pelembab.
4. individual).
dapat diberikan
kepada pasien

Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar Dermatitis Atopik disebabkan karena faktor
herediter atau keturunan. Tetapi keadaan dapat semakin buruk karena faktor lingkungan, cuaca,
maupun benda yang dipakai atau dikonsumsi. Misalkan penggunaan kaos kaki dengan bahan
yang kurang cocok, gatal karena perubahan musim atau iklim, gatal karena label baju,
mengonsumsi makanan dan kosmetik tinggi protein. Makanan yang tinggi protein misalkan telur,
susu, ikan menjadi makanan yang biasanya berkaitan dengan penyakit ini. Kedua narasumber
juga menjelaskan bahwa Dermatitis Atopik sesuai dengan nama belakangnya ‘Atopik’ pada
dasarnya merupakan autoimmune disease yang sifatnya diturunkan dari ayah ibu atau bahkan
kakek nenek. Terdapat mutasi gen filaggrin yang merupakan gen pelembab alami kulit, apabila
kulit menjadi kering maka akan lebih mudah gatal dan terjadi Dermatitis.
Letak lesi pada pasien DA bergantung pada umur pasien. Pasien bayi biasanya terdapat
lesi di bagian wajah, pasien anak-anak biasanya pada bagian fleksura (lipatan lutut, lupatan siku),
sedangkan pasien DA dewasa biasanya terdapat lesi di bagian ekstensor. Hal ini sesuai dengan
sumber yang menulis temukan (Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia PERDOSKI,
2014).
Terdapat 5 pilar tatalaksana DA menurut Perdoski, yaitu :
1. Edukasi pasien dan pemberdayaan tenaga kesehatan berupa pengetahuan segala hal
mengenai DA, tatalaksana, cara pemberian obat, dan dosis.
2. Faktor pencetus (faktor lingkungan dan gaya hidup) pasien perlu dihindari maupun
dimodifikasi. Misalkan menghindari alergen, iritan, makanan, suhu ekstrem dan stres.
3. Fungsi sawar kulit harus diperkuat. Hal ini dapat dilakukan dengan pembersih, pelembab
dan berendam dengan air hangat kuku 1-2x/hari.
4. Penanganan baik inflamasi kulit menggunakan anti inflamasi kortikosteroid topikal
berdasarkan finger tip unit dan inhibitor kalsineurin topikal, kompres basah, antibiotik dan
immunosupresan sistemik.
Dalam suatu penelitian, tenaga kesehatan belum begitu terampil menggunakan finger tip
unit sesuai panduan yang tersedia (Oishi, Iwata, Kobayashi, Fujimoto, & Yamaura, 2019).
Sehingga edukasi kepada tenaga kesehatan juga perlu ditingkatkan supaya dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien DA.
5. Sikap pasien berupa penggarukan bagian yang gatal perlu dikurangi. Pasien disarankan
mengonsumsi anti histamin (Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia PERDOSKI,
2014).
Pengobatan yang dilakukan pada pasien DA adalah anti inflamasi steroid atau non steroid
topikal maupun oral, antihistamin, dan antibiotik. Penggunaan obat tersebut tergantung stage
(tingkat keparahan) DA yang diderita pasien meliputi tingkat mild, moderate dan severe.
Antibiotik diberikan saat terjadi inflamasi.
Edukasi merupakan hal terpenting dimana seorang dokter dapat memberikan saran-saran
kepada pasien demi menunjang kesembuhan pasien. Berdasarkan hasil wawancara, edukasi yang
tepat diberikan seorang dokter kepada pasien DA adalah sebagai berikut :
1. Larangan mengonsumsi makanan atau kosmetik yang menimbulkan Dermatitis Atopik.
Dalam hal ini Dokter I menyarankan untuk mencatat hal-hal yang setelah dikonsumsi
oleh pasien menimbulkan munculnya Dermatitis. Sehingga pasien dapat belajar dari
pengalaman berupa tidak mengonsumsi lagi barang yang membuat sistem imunnya
merespon berupa Dermatitis yang terlihat secara fisik.
2. Mengedukasi bahwa penyakit Dermatitis Atopik tidak dapat sembuh. Banyak pasien
yang mengeluh bahwa ia tidak kunjung sembuh walaupun sudah berobat ke berbagai
tempat tetapi Dermatitis tetap kambuh-kambuhan. Dermatitis Atopik karena semula
merupakan autoimmune disease sehingga akan muncul apabila ada faktor pemicu
berupa alergen atau iritan. Jadi, diberi obat apapun jika pasien masih mengonsumsi
makanan dan kosmetik yang dapat direspon oleh tubuhnya maka Dermatitis akan tetap
muncul.
3. Menggunakan pelembab dan sabun yang mengandung pelembab supaya tidak
memperparah Dermatitis. Dalam hal ini Dokter II mengatakan bahwa kulit kering
merupakan penyebab tersering gatal, dengan penggunaan pelembab diharapkan dapat
menghindari kulit kering sehingga gatal tidak bertambah parah.
Edukasi yang baik adalah edukasi yang diberikan kepada pasien secara langsung jika
pasien tersebut adalah orang dewasa yang sudah mengerti. Jika pasien masih anak-anak bahkan
bayi maka edukasi sebaiknya diberikan kepada orang tua. Pada pasien DA kepatuhan sangat
berpengaruh terhadap kambuh atau tidaknya DA yang sudah ada di gen pasien.
Edukasi terbaru yang mungkin lebih efektif adalah dengan menghindari alergen yang
biasanya berupa konsumsi tinggi protein dengan memperhatikan data alergi setiap individu.
Bukan melarang semua pasien DA mengonsumsi berbagai makanan tinggi protein misalkan
tidak boleh makan telur, susu, udang, kepiting daln lainnya. Karena masing-masing individu
berbeda dalam hal alergi dan dampak yang akan timbul pada tubuhnya. Maka dari itu edukasi
dengan mencatat dan menghindari hal yang semula membuat Dermatitis bertambah parah
merupakan cara yang efektif dilakukan oleh seorang individu dengan Dermatitis Atopik. Selain
itu jika Dermatitis tidak muncul dilakukan fase maintenance dengan tetap menggunakan
pelembab dengan rutin.
Craddock et al telah mengembangkan cara belajar dokter spesialis kulit dan kelamin serta
dokter anak dengan membuat aplikasi yang terdapat berbagai soal di dalamnya yang telah diuji
oleh para ahli. Residen maupun dokter dapat menjawab soal tersebut dan untuk mengukur
kemampuannya. Cara ini dirasa pembaruan yang efektif dan menarik untuk menambah
pengetahuan tenaga kesehatan mengenai DA (Craddock et al., 2018).
Terdapat banyak penelitian mengenai pengobatan terbaru DA, diantaranya dengan
menggunakan ginseng merah dan probiotik. Berdasarkan penelitian konsumsi buah dan sayur,
probiotik dan omega 3 yang terkandung dalam ikan saat hamil, konsumsi prebiotik oligosakarida
saat anak-anak dapat mengurangi faktor risiko DA (Kantor & Silverberg, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Litus et al, probiotik (Lactobacillus
acidophilus, LA-5 dan Bifidobacterium animalis subsp. lactis, ВВ-12) dapat menurunkan IL-4
dan meningkatkan of TGF-ß sehingga menurunkan manifestasi klinis DA (Litus et al., 2019).
RGE (Red Ginseng Extract) mengenai perannya pada pasien DA telah diteliti oleh Osada et al
bahwa RGE dapat menurunkan reaksi inflamasi melalui singnaling pathway pada p70S6K
(Osada-Oka et al., 2018). Heat-killed Enterococcus faecalis EF-2001 yang merupakan salah satu
probiotik dapat menurunkan Dermatophagoides farinae extract yang diinduksikan kepada tikus
betina BALB (Choi et al., 2016). Plasebo diduga dapat memberi efek pada pasien DA. Pasien
DA akan lebih tidak merasa gatal saat konsumsi plasebo bersamaan dengan obat topikal, tetapi
dosis penggunaan placebo yang memberi manfaat dan efek samping belum bisa dipastikan
karena gatal dan batuk dapat bermakna subjektif (Leshem et al., 2019).
Penanganan pasien DA di RSUD dr.Soetomo Surabaya adalah dengan memberi anti
histamin, steroid topikal dan oral, antibiotik oral, kompres PZ, bedak salisil, urea, biocream,
vaselin dan Natriun fusidat. Dalam penelitian ini penggunaan pelembab pada pasien DA masih
dirasa kurang sehingga perlu ditingkatkan (Herwanto & Hutomo, 2016). Dilute bleach baths
tidak dapat dijadikan treatment untuk pasien DA karena tidak terbukti dapat menurunkan jumlah
bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan penyebab utama infeksi kulit dan memperburuk
DA (Sawada et al., 2019).
Fenomena yang ada sekarang ini terkait dengan obat anti histamin yang dianggap dapat
meredam reaksi alergi. Misalkan seseorang yang ingin memakan alergen sebelumnya minum anti
histamin. Hal itu sebenarnya hanya akal cerdik saja. Perlu diketahui bahwa reaksi alergi tidak
hanya dermatitis. Reaksi alergi lain yang dapat muncul adalah asma, susah menelan, gatal,
timbul bercak merah di kulit dll.

4. SIMPULAN

Setelah dilakukan wawancara dan analisis, didapatkan banyak pasien DA yang salah
mengartikan DA sebagai penyakit yang dapat sembuh sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
DA membutuhkan edukasi yang mendalam. Kepatuhan pasien terhadap edukasi dokter juga
penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien supaya DA tidak sering kambuh. Berbagai
penelitian mengenai pengobatan terbaru DA sedang berkembang dengan baik sehingga dapat
menjadi sarana penting bagi dokter dan tenaga kesehatan lain untuk menemukan obat yang
efektif untuk mengurangi manifestasi klinis DA.

5. SARAN

Masyarakat disarankan lebih pandai dalam mengelola penyakit kulit terutama Dermatitis
Atopik yang merupakan penyakit menurun yang seringkali dianggap sepele. Dokter hendaknya
memberi edukasi yang baik kepada pasien supaya pasien mengerti mengenai penyakit yang
dideritanya dengan menggunakan pengobatan secara individual. Untuk para peneliti sebaiknya
merealisasikan penelitian berbagai jurnal dengan membuat obat yang siap konsumsi oleh pasien
dengan memanfaatkan ginseng merah dan probiotik, hal ini bertujuan supaya pasien DA tidak
sering kambuh.

6. DAFTAR PUSTAKA

Buku
Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia PERDOSKI. (2014). Panduan Diagnosis dan
Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia.pdf. (January), 59.

Jurnal
Avena-Woods, C. (2017). Overview of atopic dermatitis. The American Journal of Managed Care,
23(8 Suppl), S115–S123. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28978208
Choi, E. J., Iwasa, M., Han, K. Il, Kim, W. J., Tang, Y., Hwang, Y. J., … Kim, E. K. (2016). Heat-
killed enterococcus faecalis EF-2001 ameliorates atopic dermatitis in a murine model.
Nutrients, 8(3). https://doi.org/10.3390/nu8030146
Craddock, M. F., Blondin, H. M., Youssef, M. J., Tellefson, M. M., Hill, L. F., Hanson, J. H., &
Bruckner, A. L., (2018). Online Education Improves Pediatric Residents' Understanding of
Atopic Dermatitis: Author Manuscript. Pediatr Dermatol, 35(1), 64-69.
https://doi.org/10.1111/pde.13323
Eyerich, K., Brown, S. J., Perez White, B. E., Tanaka, R. J., Bissonette, R., Dhar, S., … Reynolds,
N. J. (2019). Human and computational models of atopic dermatitis: A review and
perspectives by an expert panel of the International Eczema Council. Journal of Allergy and
Clinical Immunology, 143(1), 36–45. https://doi.org/10.1016/j.jaci.2018.10.033
Herwanto, N., & Hutomo, M. (2016). Studi Retrospektif : Penatalaksanaan Dermatitis Atopik.
BIKKK-Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 28(1), 45–54.
Kantor, R., Silverberg, J. I., (2017). Environmental Risk Factors and Their Role in The
Management of Atopic Dermatitis: Author Manuscript. Expert Rev Clin Immunol. 13(1), 15-
26. https://doi.org/10.1080/1744666X.2016.1212660
Leshem, Y. A., Bissonnette, R., Paul, C., Silverberg, J. I., Irvine, A. D., Paller, A. S., … Guttman-
Yassky, E. (2019). Optimization of placebo use in clinical trials with systemic treatments for
atopic dermatitis: an International Eczema Council survey-based position statement. Journal
of the European Academy of Dermatology and Venereology, 33(5), 807–815.
https://doi.org/10.1111/jdv.15480
Litus, O., Derkach, N., Litus, V., Bisyuk, Y., & Lytvynenko, B. (2019). Efficacy of Probiotic
Therapy on Atopic Dermatitis in Adults Depends on the C-159T Polymorphism of the CD14
Receptor Gene - A Pilot Study. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 7(7),
1053–1058. https://doi.org/10.3889/oamjms.2019.242
Oishi, N., Iwata, H., Kobayashi, N., Fujimoto, K., & Yamaura, K. (2019). A survey on awareness
of the “finger-tip unit” and medication guidance for the use of topical steroids among
community pharmacists. Drug Discoveries & Therapeutics, 2–6.
https://doi.org/10.5582/ddt.2019.01007
Osada-Oka, M., Hirai, S., Izumi, Y., Misumi, K., Samukawa, K., Tomita, S., … Iwao, H. (2018).
Red ginseng extracts attenuate skin inflammation in atopic dermatitis through p70 ribosomal
protein S6 kinase activation. Journal of Pharmacological Sciences, 136(1), 9–15.
https://doi.org/10.1016/j.jphs.2017.11.002
Sawada, Y., Tong, Y., Barangi, M., Hata, T., Williams, M. R., Nakatsuji, T., & Gallo, R. L.
(2019). Dilute bleach baths used for treatment of atopic dermatitis are not antimicrobial
in vitro. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 143(5), 1946–1948.
https://doi.org/10.1016/j.jaci.2019.01.009

Anda mungkin juga menyukai