Anda di halaman 1dari 42

CLINICAL SCIENCE SESSION

PSIKOFARMAKOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai agen farmakologis yang digunakan untuk terapi berbagai gangguan


psikiatrik disebut dengan tiga istilah umum yang dapat saling menggantikan: obat
psikotropik, obat psikoaktif, dan obat psikoterapeutik. Dahulu agen tersebut dibagi dalam
empat kategori, yaitu:
1. Obat antipsikotik atau neuroleptik, digunakan untuk terapi psikosis.
2. Obat antidepresan, digunakan untuk terapi depresi.
3. Obat antimanik dan penstabil mood, digunakan untuk terapi gangguan bipolar.
4. Obat antiansietas dan antiansiolitik, digunakan untuk menerapi keadaan ansietas.

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf
kualitas hidup. Lebih luas lagi, obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan,
diantaranya: antipsikosis, antidepresi, antimania, antiansietas, antiinsomnia, antipanik,
dan antiobsesif-kompulsif. Berbagai golongan tersebut mempunyai derivat beserta
sediaannya masing-masing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anti Psikosis

Obat anti psikosis mempunyai beberapa sinonim antara lain; neuroleptik


dan tranquilizer mayor. Obat anti psikosis terbagi menjadi dua kategori, yaitu
tipikal dan atipikal.1

II.1.1 Antagonis Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal

Istilah lain yang digunakan untuk menyebut obat ini adalah tradisional,
konvensional, anti psikotik generasi pertama atau klasik. Obat ini digunakan di
dalam terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lain.1

II.1.1.1 Farmakokinetik

Waktu paruh obat ini berkisar 10 hingga 20 jam. Konsentrasi plasma


puncak biasanya dicapai 1 hingga 4 jam setelah pemberian oral dan 30 hingga 60
menit setelah pemberian parenteral. Obat anti psikotik mengurangi gejala psikotik
dengan menghambat pengikatan dopamine pada reseptor dopamine D2. Terdapat
beberapa jalur utama dopamin di otak, antara lain :
A. Jalur Dopamin Nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi
jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan
terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal
symptoms (EPS). Gejala yang terjadi antara lain tardive dyskinesia.2
B. Dopamin Mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbik. Jalur
dopamin mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi
menyenangkan, euphoria yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur
ini hiperaktif dapat menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam
timbulnya gejala positif psikosis.2
C. Jalur Dopamin Mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks
limbik. Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamin mesolimbik.
Jalur ini selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan
negatif psikosis, juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang
mempunyai gejala pada emosi dan sistem kognitif.2
D. Jalur Dopamin Tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofisis bagian
anterior. Jalur ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin,
sehingga jika diblok dapat terjadi hiperprolaktinemia.2

II.1.1.2 Efek pada Organ dan Sistem Spesifik


Sebagian besar antagonis reseptor dopamin memiliki efek yang signifikan
pada reseptor lain termasuk reseptor adrenergik, kolinergik, dan histaminergik.
Aktivitas antagonis alfa 1 adrenergik dapat mengakibatkan vasodilatasi dan
hipotensi ortostatik (postural). Efek utama pada sistem gastrointestinal
diperantarai oleh blokade obat pada reseptor kolinergik muskarinik yang
mengakibatkan mulut kering serta konstipasi, terutama clozapine dan obat
potensi rendah.2

II.1.1.3 Indikasi Terapeutik


Indikasi terapeutik antagonis reseptor dopamin adalah sebagai berikut:

- Gangguan psikotik primer


Skizofrenia jangka panjang maupun jangka pendek, skizoafektif, gangguan
waham, gangguan psikotik singkat, episode manik, dan gangguan depresif
berat dengan ciri psikotik.
- Skizofrenia
Umumnya obat ini dianggap lebih efektif pada terapi gejala positif (halusinasi,
waham, dan agitasi) dibandingkan terapi gejala negatif (penarikan diri secara
emosional). Obat ini sendiri juga dapat menimbulkan gejala negative.
- Gangguan bipolar
Antipsikotik sering digunakan dalam kombinasi dengan obat antimanik untuk
menerapi psikosis atau manik pada gangguan bipolar. Obat standar untuk terapi
bipolar umumnya memiliki onset kerja lebih lambat dibandingkan dengan
antipsikotik di dalam terapi gejala akut.
- Psikosis sekunder
Umumnya efektif di dalam terapi gejala psikotik akibat penyebab organik
(tumor). Agitasi dan psikosis akibat keadaan neurologis seperti demensia tipe
Alzheimer juga berespon terhadap terapi antipsikotik.
- Agitasi berat dan perilaku kekerasan1

II.1.1.4 Efek Samping


Efek samping non neurologis pada penggunaan antagonis reseptor
dopamin, antara lain:
- Efek pada jantung
Antagonis reseptor dopamin potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik
dibandingkan potensi tinggi. Obat chlorpromazine memperpanjang interval
PQ dan QT , menumpulkan gelombang T dan terkait aritmia.
- Hipotensi ortostatik
Terjadi pada penggunaan chlorpromazine, thiorizadin, chlorprotixene dan
clozapine
- Efek hematologis
Agranulositosis merupakan masalah yang mengancam nyawa dan palig sering
terjadi pada chlorpromazine, tetapi dapat ditemukan pada hampir semua
antagonis reseptor dopamin. Sering terjadi pada 3 bulan pertama terapi pada
1:10.000 pasien yang diterapi.
- Efek antikolinergik perifer
Mulut dan hidung kering, penglihatan kabur, konstipasi, retensi urin, midriasis
dan mual muntah.
- Efek endokrin
Blokade reseptor dopamin di jaras tuberoinfundibular mengakibatkan
peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menimbulkan pembesaran
payudara, galaktorea, dan impotensi pada laki laki serta amenore dan
hambatan orgasme pada perempuan. Penggunaan antipsikotik tipikal maupun
atipikal jangka panjang juga dilaporkan dapat menyebabkan diabetes tipe 2.
- Penambahan berat badan
Molindone dan loxapine tidak disertai dengan gejala ini dan dapat
diindikasikan jika penambahan berat badan menjadi gangguan kesehatan
yang serius.
- Efek dermatologis
Dermatitis alergi dan fotosensitivitas paling lazim pada pasien yang
mengonsumsi potensi rendah terutama chlorpromazine
- Efek oftamologis
Thioridazine dapat menyebabkan pigmentasi retina yang ireversibel jika
diberikan lebih dari 800 mg per hari.
Sedangkan efek samping neurologis penggunaan antagonis reseptor dopamine
adalah parkinsonisme, tremor, akatisia, dan dystonia.1
II.1.1.5 Dosis dan Metabolisme
Antagonis reseptor dopamin dapat memiliki efek sedasi dan
menenangkan dalam 1 jam setelah pemberian obat. Tetapi perbaikan dalam
kisaran penuh gejala psikotik positif biasanya timbul dalam 1 hingga 2 minggu
setelah terapi dimulai.1

No Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran


1 Fenotiazin Chlorpromazin Tablet 25 dan 100 150-600
mg, mg/hari
Injeksi 25 mg/ml

Thioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150-600


mg/hari
Trifluoperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10-15 mg/hari
Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12-24 mg/hari
Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10-15 mg/hari
2 Butifenon Haloperidol Tablet 0,5 mg, 1,5 mg 5-15 mg/hari
5 mg
Injeksi 5 mg/ml
Droperidol Amp 2.5 mg/ ml 7,5 -15 mg/hari

3 Difenilbutil Piperidin Pimozide Tablet 1 dan 1-4 mg/hari


4 mg

4 Atypical Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2.6 mg/hari

Golongan Fenotiazin
 Farmakokinetik
Pada umumnya semua fenotiazin diabsorbsi dengan baik bila diberikan
peroral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar
tertinggi di paru-paru, hati, dan limfa. Sebagian fenotiazin mengalami hidroksilasi
dan konjugasi, sebagian lain diubah menjadi sulfoksid yang kemudian diekskresi
dalam feses maupun urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih
ditemukan ekskresi CPZ atau metabolitnya selama 6-12 bulan.1
 Efek Samping
Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan obat antipsikotik, yaitu:
 Sedasi dan inhibisi psikomotor
 Gangguan otonom (hipotensi, antikolinergik berupa mulut kering, kesulitan
miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur dan tekanan intra okular
meninggi serta gangguan irama jantung).
 Efek samping lain adalah perluasan dari farmako dinamiknya. Gejala
idiosinkrasi mungkin timbul seperti ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi
ini disertai eosinofilia dalam darah perifer.
 Gangguan ekstrapiramidal (diskodia akut, akatisia dan sindrom parkinson)
 Gangguan endokrin (amenore dan ginekomastia), biasanya untuk pemakaian
jangka panjang.
 Efek samping yang ireversibel; tardive dyskinesia (gerakan involunter
berulang pada lidah, wajah, mulut atau rahang dan anggota gerak dimana saat
tidur keluhan tersebut menghilang).1
 Indikasi
Indikasi utama fenotiazin adalah skizofrenia gangguan psikosis yang
sering ditemukan. Gangguan yang sering diatasi oleh fenotiazin dan golongan
antipsikotik lain adalah: ketegangan, hiperaktivitas, halusinasi, delusi akut,
anoreksia, negativism, dan menarik diri. Pengaruhnya terhadap insight,
judgement, daya ingat, dan orientasi kurang. Pemberian antipsikotik sangat
memudahkan perawatan pasien.1
 Kontra Indikasi
Kontra indikasi untuk obat ini adalah penyakit hati, penyakit darah,
epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol, penyakit
susunan saraf pusat dan gangguan kesadaran.1
Golongan Butirofenon
 Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam 2-6 jam setelah menelan obat, menetap sampai 27 jam dan
masih ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun
dalam hati dan 1% obat diekskresikan lewat empedu. Ekskresinya lambat melalui
ginjal. Kira-kira 40% diekskresi dalam 5 hari setelah pemberian dosis tunggal.1
 Indikasi

Indikasi utama butirofenon adalah untuk psikosis. Butirofenon merupakan


obat pilihan untuk mengobati sindrome Gilles dela tourette, suatu kelainan aneh
yang ditandai dengan kejang otot hebat grimace.1
 Efek Samping
Efek samping penggunaan butirofenon adalah menimbulkan rekasi
ekstrapiramidal dengan insidensi yang tinggi terutama pada penderita usia muda.
Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati. Dapat terjadi
depresi akaibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping yang
sebenarnya. Perubahan hematologik sering dilaporkan yaitu leukopenia dan
agranulositosis. Ikterus juga merupakan efek samping namun angka kejadiannya
rendah. Sebaiknya obat ini tidak diberikan pada wanita hamil karena sifatnya
yang teratogenik.1

II.1.2 Anti Psikotik Atipikal


Antagonis serotonin dopamin (SDA) juga disebut sebagai generasi kedua
SDA memiliki resiko gejala ekstrapiramidal yang lebih kecil dibandingkan dengan
antagonis reseptor dopamin.2
II.1.2.1 Indikasi Terapeutik
Indikasi terapeutik penggunaan antipsikotik atipikal adalah sebagai
berikut:
- Gangguan psikosis
SDA efektif untuk menerapi psikosis akut dan kronis seperti skizofrenia dan
gangguan skizoafektif pada orang dewasa dan remaja.
- Gangguan mood
SDA berguna untuk pengendalian awal agitasi selama episode manik, tetapi
kurang efektif pada pengendalian jangka panjang gangguan bipolar
dibandingkan penstabil mood tradisional.
- Indikasi lain
SDA digunakan untuk terapi AIDS, demensia, gangguan spektrum autistik,
dan penyakit Huntington.1

II.1.2.2 Interaksi Obat


Depresan SSP, alkohol atau obat trisiklik yang diberikan bersama SDA
dapat meningkatkan resiko bangkitan, sedasi, dan efek pada jantung. Obat anti
hipertensif dapat menguatkan hipotensi ortostatik akibat SDA. Pemberian
bersamaan dengan benzodiazepin dapat menyebabkan meningkatnya insiden
ortostatis, sinkop, dan depresi pernafasan.1
II.1.2.3 Dosis
Dosis obat antipsikotik atipikal tercantum pada table berikut:
No Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
1 Risperidone Tablet 1, 2, 3 dan 4 mg serta Dosis awal biasanya 1 – 2 mg pada
larutan oral 1 mg/ ml malam hari. Kemudian dosis
ditingkatkan secara bertahap ( 1 mg per
dosis setiap 2-3 hari) sampai 4hingga 6
mg per hari. Dosis di atas 6 mg sehari
dapat menyebabkan efek samping yang
lebih tinggi dan jika dibawah 6 mg per
hari akan menyebabkan gejala
ekstrapiramidal.
2 Olanzepine Tablet 2,5 mg , 5mg , 7,5mg Dosis awal untuk terapi psikosis
10 mg dan 15 mg. biasanya 5 atau 10 mg dan untuk mania
akut biasanya 10 hingga 15 mg ,
diberikan sekali sehari.
3 Clozapine Tablet 25 dan 100 mg Dosis awal 25 mg sekali atau 2 x sehari.
Kemudian dosis dapat ditingkatkan
secara bertahap ( 25 mg per hari setiap 2
atau 3 hari) hingga 300 mg per hari
dalam dosis terbagi, biasanya 2 atau 3
kali sehari, maksimal 900 mg per hari.
4 Quetiapine 25, 100, 200 mg tablet Dosis awal 25 mg dua kali sehari lalu
ditingkatkan sebesar 25 hingga 50 mg
per dosis setiap 2 atau 3 hari sampai
target 300 atau 400 mg per hari dibagi
dalam 2 atau 3 dosis harian
5 Ziprasidone 40 mg 80 hingga 160 mg per hari dibagi dalam
2 dosis
6 Aripiprazole 10, 15, 20 , 30 mg tablet 10 – 30 mg per hari
Risperidone
Kerja farmakologis obat ini antara 70-85 % diabsorpsi dari saluran
gastrointestinal dan menjalani metabolisme hepatik menjadi 9
hydroxyrisperidone. Gabungan waktu paruh risperidone dan 9
hydroxyrisperidone adalah 20 jam, sehingga efektif dengan dosis sekali sehari.
Efek samping risperidone adalah penambahan berat badan, ansietas, mual,
muntah , rinitis, disfungsi ereksi, dan disfungsi orgasmik. Risperidone paling
berpotensi menyebabkan hiperprolaktinemia diikuti oleh olanzepine dan
ziprasidone.1

Olanzapine
Kerja farmakologis olanzapine sebanyak 85% diabsorpsi dari
gastrointestinal. Konsentrasi puncak dicapai dalam 6 jam, waktu paruh rata–rata
30 jam. Efek samping olanzepine adalah mulut kering, pusing, konstipasi,
dispepsia, meningkatnya nafsu makan, dan tremor.1

Clozapine
Kadar plasma puncak clozapine dicapai dalam 1 hingga 4 jam. Waktu
paruh stabil selama 10-16 jam dan biasanya dicapai dalam 3–4 hari jika
penggunaan dosis sebanyak dua kali sehari. Efek samping clozapine adalah
sedasi, pusing, sinkop, takikardi, hipotensi, perubahan EKG, mual, muntah, dan
sialorea. Leukopenia, granulositopenia, dan agranulositosis serta demam terjadi
pada 1% pasien. Clozapine dan quetiapine tidak meningkatkan sekresi prolaktin.
Clozapine menyebabkan hipertensi paradoksal pada 4% pasien. Clozapine tidak
boleh diberikan pada orang dengan hasil hitung sel darah putih dibawah 3.500 dan
riwayat gangguan sumsum tulang. Clozapine dan olanzapine dapat meningkatkan
15-25 kg pada penggunaan jangka pendek sedangkan ziprasidone dan
aripripazole tidak menimbulkan penambahan berat badan.1
II.2 Anti Depresi
Obat antidepresan mempunyai beberapa sinonim antara lain, timoleptik
atau psychic energizer. Dalam makalah ini akan dibahas obat antidepresi
golongan penghambat MAO, antidepresi trisiklik, dan SSRI. Penggolongan obat,
sediaan, dan dosis anjuran dapat dilihat pada tabel berikut:
II.2.1 Penghambat Mono Amin Oksidase

II.2.1.2 Farmakokinetik
Penhelzyn, tranylcyplomin, dan isocarboxazid mudah diabsorbsi di saluran
pencernaan dan mencapai konsentrasi puncak dalam 2 jam. Waktu paruh dalam
plasma berkisar antara 2-3 jam; waktu paruh dalam jaringan lebih lama. Karena
obat ini menonaktifan MAO secara reversibel, efek terapuetik dosis tunggal
MAOI bersifat ireversibel dan dapat berlangsung selama 2 minggu. Golongan
penghambat reversibel monoamin (RIMA) meclobemide cepat diabsorbsi dan
memiliki waktu paruh selama 0,5-3,5 jam, yang artinya memiliki efek yang
lebih singkat daripada MAOI.1

II.2.1.3 Indikasi
Indikasi MAOI serupa dengan obat anti depresi trisiklik dan tetrasiklik.
MAOI terutama efektif pada gangguan panik dengan agorafobia, stress pasca
trauma, gangguan makan, fobia social, dan gangguan nyeri. Sejumlah penelitian
mencatat bahwa obat MAOI banyak digunakan sebagai pilihan untuk terapi
depresi dengan gejala hipersomnia, hiperfagia, ansietas, dan tidak adanya gejala
vegetatif.1

II.2.1.4 Kontra Indikasi


Penggunaan MAOI harus sangat hati-hati pada orang dengan penyakit
ginjal, kardiovaskular, dan hipotiroidisme. Obat ini juga dikontra indikasikan
bagi pasien dengan kehamilan walaupun sedikit sekali dilaporkan bahwa obat
ini bersifat teratogenik.1

II.2.1.5 Efek Samping


Efek samping MAOI adalah hipotensi ortostatik, insomnia, berat badan
bertambah, edema, dan disfungsi seksual. Efek simpang MAOI yang jarang
terjadi antara lain krisis hipertensi spontan yang dicetuskan oleh bukan tiramin,
terjadi pertama setelah pajanan dengan obat. Parestesia, mioklonus, dan nyeri
otot kadang-kadang ditemukan pada orang yang diterapi dengan MAOI.
Parestesia disebabkan oleh adanya defisiansi piridoksin yang dicetuskan oleh
MAOI yang dapat berespon dengan penambahan piridoksin 50-150 mg per oral
per hari. Sedangkan efek samping RIMA moclobemide antara lain mual, pusing,
dan gangguan tidur.1

II.2.2 Antidepresan Trisiklik

II.2.2.1 Farmakokinetik
Konsentrasi plasma puncak dari antidepresan trisiklik terjadi dalam 2-8
jam dan waktu paruh TCA bervariasi antara 10-70 jam dan diperlukan 5-7 hari
unutk mencapai konsentrasi plasma yang stabil. TCA menyekat ambilan
kembali serotonin dan norepinefrin serta merupakan antagonis kompetitif pada
reseptor muskarinik asetilkolin, histamin H1, reseptor alfa 1, dan beta 2
adrenergik.1

II.2.2.2 Indikasi
Indikasi penggunaan antidepresan trisiklik antara lain gangguan depresi
berat, gangguan mood akibat keadaan medis umum dengan ciri depresif,
gangguan panik dengan agorafobia, gangguan anxietas menyeluruh, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan makan, gangguan nyeri, dan gangguan lain seperti
narkolepsi, gangguan mimpi buruk, serta gangguan stres paska trauma.1

II.2.2.3 Kontra Indikasi


TCA harus dihindari selama kehamilan. Obat ini juga diekskresikan
melalui asi dan berpotensi untuk menimbulkan efek samping yang serius pada
bayi yang menyusui. Obat harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
penyakit ginjal dan hati. TCA tidak boleh diberikan selama terapi
elektrokonvulsi, terutama karena risiko terjadinya efek samping yang serius
pada jantung.1
II.2.2.4 Efek Samping
Efek samping utama semua TCA dan antidepresan lain adalah
kemungkinan untuk mencetuskan episode manik pada pasien dengan dan tanpa
riwayat gangguan bipolar. Efek antikolinergik lazim terjadi tetapi pasien bisa
mengalami toleransi terhadap efek ini dengan berlanjutnya terapi. Efek
antikolinergik mencakup mulut kering, konstipasi, penglihatan buram, dan
retensi urin. Amytripiline, imipramine, trimipramine, dan doxepine merupakan
obat yang paling bersifak antikolinergik. Efek sedasi badalah efek TCA yang
lazim terjadi dan dapat diterima dengan baik jika tidak dapat tidur merupakan
suatu masalah. Efek otonom adalah hipotensi ortostatik yang dapat
mengakibatkan jatuh serta cedera pada pasien yang mengalaminya. Efek
otonom yang lain seperti keringat berlebih, palpitasi, dan peningkatan tekanan
darah juga mungkin terjadi. TCA juga berefek pada jantung yaitu takikardia,
mendatarnya gelombang T, interval QT yang memanjang, dan depresi segmen T
pada EKG. Kedutan mioklonik serta tremor lidah dan ekstrimitas atas lazim
terjadi (efek neurologis). Efek hematologis dan alergi seperti ruam
eksantematosa juga dapat terjadi. Efek samping lain seperti penambahan berat
badan lazim ditemukan. Amoxapine dapat menyebabkan hiperprolaktinemia,
galaktorea, anorgasmia, dan gangguan ejakulasi.1

II.2.3 Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)


SSRI adalah agen lini pertama untuk terapi depresi, gangguan obsesif-
kompulsif, dan gangguan panik. Obat ini memiliki farmakodinamik yang sama
yaitu secara spesifik menghambat ambilan kembali neuron presinaps, dengan
efek yang relatif sedikit pada ambilan kembali norepinefrin dan hampir tanpa
efek pada ambilan kembali dopamin.1

II.2.3.1 Farmakokinetik
Semua SSRI diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dan mencapai
konsentrasi puncak dalam 4-8 jam. Semua SSRI dimetabolisme di hati.1
II.2.3.2 Indikasi
Indikasi penggunaan SSRI adalah depresi, gangguan ansietas, bulimia
nervosa dan ganguan makan lainnya, gangguan disforik premenstruasi, ejakulasi
dini, parafilia, gangguan defisit atensi, gangguan autistik, sindrom nyeri kronik,
dan keadaan psikosomatik.1
II.2.3.3 Efek Samping
Efek samping penggunaan SSRI antara lain disfungsi seksual, efek
samping pada gastrointestinal, efek samping pada sistem saraf pusat (ansietas,
insomnia dan sedasi, mimpi buruk, bangkitan, gejala ekstrapiramidal), efek
antikolinergik, efek hematologis, gangguan elektrolit dan glukosa, serta reaksi
alergi dan endokrin.1

II.3 Anti Obsesif-kompulsif


II.3.1 Klasifikasi Obat
Obat-obat anti obsesif-kompulsif digolongkan mejadi dua:
- Obat anti obsesif-kompulsif trisiklik: clomipramine
- Obat anti obsesif-kompulsif SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors):
sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluoxetine, citalopram
Sediaan obat anti obsesif-kompulsif dan dosis anjurannya tercantum pada tabel
berikut:
No Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
1 Clomipramine Tab 25 mg 75-200 mg/hari
2 Fluvoxamine Tab 50 mg 100-250 mg/hari
3 Sertraline Tab 50 mg 50-150 mg/hari
4 Fluoxetine Cap 20 mg 20-80 mg/hari
5 Paroxetine Tab 20 mg 40-60 mg/hari
6 Citalopram Tab 20mg 40-60 mg/hari

II.3.2 Indikasi
Obat anti obsesif-kompulsif diindikasikan untuk pasien dengan gejala
sindrom obsesif-kompulsif, yaitu paling sedikit dua minggu pasien mengalami
gejala-gejala sebagai berikut:
- Disadari sebagai pikiran, bayangan, atau impuls dari individu sendiri.
- Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak bisa dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
- Melaksanakan tindakan sesuai dengan pikiran tersebut tidak memberikan
kepuasan atau kesenangan melainkan sekedar perasaan lega dari ketegangan
atau ansietas.
- Gagasan, bayangan, pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Gejala tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu
aktifitas sehari-hari (disability).3

II.3.3 Mekanisme Kerja


Obat anti obsesif-kompulsif bekerja dengan cara menghambat reuptake
neurotransmitter serotonin (serotonin re-uptake blockers), sehingga
hipersensitivitas tersebut berkurang. Berdsarkan penelitian terdapat kaitan erat
antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif dengan gejala depresi.2

II.3.4 Aturan Pemakaian


Obat-obat dari golongan SSRI seperti sertraline, paroxetine, fluvoxamine,
fluoxetine, dan citalopram merupakan first line drug pada pengobatan obsesif-
kompulsif. Clomipramine dari golongan trisiklik merupakan obat yang juga
banyak diteliti dan digunakan namun memiliki efek samping yang lebih besar
dibandingkan golongan SSRI.
Penggunaan obat anti obsesif-kompulsif golongan SSRI maupun trisiklik
dapat diawali dengan dosis rendah yaitu 60-80 mg per hari. Dosis pemeliharan
umumnya agak tinggi dan bersifat individual, yaitu klomipramin sekitar 100-200
mg/hari dan sertralin 100 mg per hari. Sebelum dihentikan, lakukan pengurangan
dosis secara tappering off. Meskipun respon dapat terlihat dalam 1-2 minggu,
untuk mengetahui efektivitas obat setidaknya diperlukan waktu 3 bulan dengan
dosis antara 75-225 mg per hari. Batas lama pemberian obat bersifat individual
(bulanan-tahunan) dan kemudian dihentikan secara bertahap. Penggunaan obat
tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui.2

II.3.5 Efek Samping


Efek samping obat anti obsesif-kompulsif, antara lain:
- Efek antihistaminergik: sedasi, mengantuk, kewaspadaan menurun, kerja
psikomotor menurun, dan kemampuan kogitif menurun.
- Efek antikolinergik: mulut kering, keluhan lambung, retensi urin, disuria,
penglihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi seksual, dan sinus takikardia.
- Efek antiadrenergic alfa: perubahan EKG dan hipotensi ortostatik.
- Efek neurotoksis : tremor halus, kejang epileptik, agitasi, dan insomnia.4

II.4 Anti Insomnia


Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan untuk
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan satu gejala
tidak khas, dan bukan satu gangguan spesifik. Insomnia dapat merupakan satu
gejala dari berbagai gangguan psikiatrik, termasuk gangguan depresi, mania,
cemas, psikotik, penyalahgunaan za,t dan insomnia primer. Pada lansia, keluhan
insomnia dapat merupakan gejala sekunder dari perubahan pola tidur yang normal
yang terkait dengan usia lanjut. Suatu keluhan insomnia tidak penting secara klinis
kecuali terkait dengan gangguan fungsi seperti kantuk di siang hari.
Sindroma insomnia dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu :
- Transient insomnia hanya berlangsung 2-3 hari.
- Shortterm insomnia berlangsung sampai tiga minggu.
- Longterm insomnia berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama dan
biasanya disebabkan oleh kondisi medik atau psikiatrik tertentu.
Ditinjau dari penyebabnya, sindroma insomnia dapat dibagi menjadi:
- Sindroma insomnia psikis seperti gangguan afektif bipolar dan unipolar
(episode mania atau depresi) dan gangguan ansietas (panik atau fobia).
- Sindroma insomnia organik seperti hipertiroid, putus obat penekan SSP
(benzodiazepin, fenobarbital, dan narkotika), dan zat perangsang SSP (kafein,
efedrin, dan amfetamin).
- Sindroma insomnia institusional seperti gangguan penyesuaian dengan
ansietas atau depresi, sleep-wake schedule (jet lag atau workshift), dan stress
psikososial.
- Sindroma insomnia penyerta seperti gangguan fisik dengan insomnia (pain
producing illness, paroxysmal nocturnal dyspnoe) atau gangguan jiwa dengan
insomnia (skizofrenia atau gangguan paranoid).
- Bila penyebab tidak ditemukan disebut primary insomnia.
Dalam mengatasi insomnia, hal yang pertama dilakukan adalah
menanggulangi penyebab utama dengan obat yang tepat, bukan dengan obat tidur.
Misalnya, dengan analgetika, relaksan otot, vasodilator, antidepresiva, atau
tranquillizers. Obat tidur baru dapat digunakan bila semua tindakan itu tidak
berhasil dan pada insomnia yang selewat, misalnya pada keadaan stress ringan,
seperti perubahan status pekerjaan, meninggalnya anggota keluarga, dan bila perlu
juga pada jet lag. Penggunaan sebaiknya dibatasi hingga 1-3 malam dan tidak lebih
lama dari 1-2 minggu untuk memperkecil risiko toleransi dan ketergantungan.
Pemberian obat secara bertahap dihentikan setelah pasien dapat tidur kembali
dengan nyenyak.1

II.4.1 Indikasi Penggunaan Anti Insomnia


Indikasi penggunaan obat anti insomnia adalah adanya gejala sindroma
insomnia dengan kriteria diagnostik sebagai berikut:
- Membutuhkan waktu lebih dari setengah jam untuk tertidur (trouble in falling
a sleep) atau tidur kembali setelah terbangun (sleep continuity
interution)sehingga siklus tidur tidak utuh dan menimbulkan keluhan
gangguan kesehatan.
- Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala
penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial, dan melakukan kegiatan
rutin.
- Lama tidur tidak bisa dijadikan acuan karena bersifat sangat individual, misal
pada long sleeper mempunyai waktu tidur 7-8 jam sehari, sedangkan short
sleeper 3-4 jam sehari.
- Indikasi penggunaan obat insomnia biasanya pada kasus transient dan
shortterm insomnia, sangat berhati-hati pada kasus dengan longterm insomnia.
Selalu diupayakan mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan
pengobatan ditujukan pada penyebab dasar tersebut.1

II.4.2 Klasifikasi Obat


Secara umum, penggolongan obat anti insomnia adalah sebagai berikut:
- Benzodiazepin: Nitrazepam, Triazolam, Estazolam
- Non-Benzodiazepin: Chloralhydrat, Phenobarbita2

II.4.2.1 Benzodiazepin
Benzodiazepin terbagi menjadi 2 golongan, yaitu hipnotik (quazepam,
midazolam, estazolam, flurazepam, temazepam, dan triazolam) dan ansiolitik
(alprazolam, klordiazepoksid, klonazepam, klorazepat, diazepam, dan lorazepam).
Benzodiazepin efektif untuk mempercepat tidur, memperpanjang waktu tidur
dengan mengurangi frekuensi terbangun, serta memperbaiki kualitas (dalamnya)
tidur. Obat-obatan ini pada umumnya kini dianggap sebagai obat tidur pilihan
pertama karena toksisitas dan efek sampingnya yang relatif paling ringan. Obat ini
juga menimbulkan lebih sedikit interaksi dengan obat lain, lebih ringan menekan
pernafasan dengan kecenderungan penyalahgunaan yang lebih sedikit.2

II.4.2.1.1 Mekanisme Kerja


Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada
membran sel akan membuka saluran klorida, meningkatkan efek konduksi klorida.
Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan
potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja-
potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari
membran sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepin
terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Pengikatan
benzodiazepin memacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang
bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka.
Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron.
Efek klinis berbagai benzodiazepin tergantung pada afinitas ikatan obat masing-
masing pada kompleks saluran ion, yaitu kompleks GABA reseptor dan klorida.

Benzodiazepin bukan antipsikotik atau analgetik dan tidak mempengaruhi


SSP. Pada hakikatnya, semua senyawa benzodiazepin memiliki khasiat ansiolitik,
sedatif-hipnotik, antikonvulsi, dan daya relaksasi otot. Obat-obat ini dibandingkan
dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hampir tidak merintangi
tidur-REM. Benzodiazepin merupakan hipnotika pilihan pertama yang relatif aman
jika digunakan hanya beberapa minggu.2

Penggunaan Dalam Terapi Insomnia


Tiga benzodiazepin yang paling banyak digunakan untuk gangguan tidur
adalah flurazepam yang bekerja lama, temazepam kerja menengah, dan triazolam
kerja singkat.
- Flurazepam : benzodiazepin yang kerja panjang ini sangat mengurangi waktu
induksi tidur, jumlah bangun dan dapat meningkatkan lama tidur. Flurazepam
mempunyai efek jangka panjang dan menyebabkan insomnia rebound ringan.
Untuk pengobatan jangka panjang, sangat efektif jika dikonsumsi selama 4
minggu. Flurazepam dan metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh sekitar 85
jam yang dapat menyebabkan mengantuk siang hari dan penumpukan obat. Selain
flurazepam, klordiazepoksida, diazepam,dan nitrazepam juga merupakan
benzodiazepin yang bekerja panjang.
- Temazepam : obat ini berguna pada pasien yang sering bangun. Efek sedatif
paling tinggi terjadi 2-3 jam setelah minum obat dan karenanya perlu diberikan
beberapa jam sebelum tidur. Selain termazepam, oksazepam, lorazepam,
lormetazepam, loprazolam, dan zopiclon adalah benzodizepin yang mempunyai
masa kerja menengah.
- Triazolam : benzodiazepin ini mempunyai masa kerja yang relatif singkat dan
digunakan untuk memacu tidur pada pasien dengan insomnia berulang.
Temazepam digunakan untuk insomnia dalam bentuk tidak dapat tidur nyenyak,
triazolam efektif dalam mengobati individu yang mengalami kesulitan tidur.
Toleransi biasanya terjadi setelah beberapa hari dan waktu putus obat sering
menimbulkan insomnia ulangan (rebound), sehingga pasien akan kembali
berobat. Dengan demikian, obat ini akan bermanfaat bila digunakan secara
berkala bukan setiap hari. Umumnya, hipnotika harus diberikan dalam waktu
terbatas, biasanya kurang dari 2-4 minggu. Selain triazolam, midazolam, dan
estazolam juga merupakan benzodiazepin dengan kerja yang singkat.5

II.4.2.1.2 Farmakokinetik
Berkat sifat lipofiliknya, resorpsi benzodiazepin di usus berlangsung baik
(80-90%) dan cepat, sedangkan kadar maksimum dalam plasma tercapai dalam
waktu 0,5-2 jam. Klordiazepoksid, oksazepam dan lorazepam bersifat kurang
lipofilik, sehingga baru mencapai puncaknya dalam plasma setelah 1-4 jam.
Distribusinya dalam tubuh juga baik, terutama di otak, hati, otot jantung,
dan lemak. Beberapa diantaranya mengalami siklus enterohepatis, misalnya
diazepam, nitrazepam, dan bromazepam. Resorpsinya melalui supositoria agak
lambat, tetapi bila diberikan sebagai larutan dalam suatu bentuk rektal khusus
(rektiole), penyerapannya pesat sekali, yaitu lebih kurang 10 menit. Oleh karena
itu rektiole banyak digunakan untuk keadaan darurat, misalnya kejang pada anak.
Benzodiazepin dimetabolisme oleh sistem metabolik mikrosomal hati
mejadi senyawa yang juga aktif. Benzodiazepin dikeluarkan dalam urin sebagai
metabolit glukoronat atau metabolit oksidasi.2

II.4.2.1.3 Efek Samping


Ataksia terjadi pada dosis tinggi dan menghambat aktivitas yang
memerlukan koordinasi motorik halus seperti mengendarai mobil. Gangguan
kognitif (penurunan daya ingat jangka panjang dan penerimaan pengetahuan baru)
dapat terjadi. Perlu kewaspadaan jika menggunakan benzodiazepin untuk pasien
yang mengalami gangguan hati. Obat ini dapat memperkuat alkohol dan depresan
SSP lain. Namun, benzodiazepin tidak berbahaya dibandingkan obat ansiolitik
dan hipnotik lain.5

II.4.2.2 Barbiturat
Obat-obat yang termasuk golongan barbiturat antara lain amobarbital,
fenobarbital, pentobarbital, sekobarbital, dan tiopental. Dahulu barbiturat
digunakan sebagai obat penenang atau untuk menidurkan pasien. Sekarang
sebagian besar telah digantikan oleh benzodiazepin karena barbiturat
menyebabkan toleransi, enzim metabolik obat, dependensi fisik, dan gejala putus
obat yang berat bahkan dapat menyebabkan koma dalam dosis toksik.2

II.4.2.2.1 Mekanisme Kerja dan Dosis


Barbiturat mengganggu reseptor natrium dan kalium melewati membran
sel. Ini mengakibatkan inhibisi aktivitas sistem retikuler mesensefalik. Transmisi
polisinaptik SSP dihambat. Barbiturat juga meningkatkan fungsi GABA
memasukkan klorida ke dalam neuron, meskipun obatnya tidak terikat pada
reseptor benzodiazepin.
Fenobarbital dalam dosis 15-30 mg bekerja sebagai sedativum (penenang)
dan 100 mg atau lebih sebagai obat tidur. Penggolongan barbiturat disesuaikan
dengan lama kerja. Misalnya, tiopental yang bekerja dalam beberapa detik
berfungsi hanya sekitar 30 menit, digunakan untuk induksi intravena anestesia.
Sebaliknya, fenobarbital yang lama kerjanya lebih dari satu hari digunakan dalam
pengobatan kejang. Pentobarbital, sekobarbital, dan amobarbital adalah barbiturat
kerja pendek yang efektif sebagai sedatif dan hipnotik.2

II.4.2.2.2 Farmakokinetik
Barbiturat diabsorpsi oral dan beredar luas ke seluruh tubuh. Obat tersebar
dalam tubuh dari otak sampai ke darah splaknikus, otot skelet dan akhirnya ke
jaringan lemak. Barbiturat dimetabolisme dalam hati, dan metabolit yang tidak
aktif dikeluarkan dalam urin.2

II.4.2.2.3 Efek Samping


Efek samping barbiturat sebagai obat anti-insomnia antara lain:
- Penghentian barbiturat secara mendadak menyebabkan tremor, ansietas, lemah,
gelisah, mual dan muntah, kejang, delirium, dan jantung berhenti. Gejala putus
obat lebih berat jika dibandingkan opiat dan dapat menimbulkan kematian.
- Stadium-REM (dengan mimpi) dipersingkat, yang berefek pasien mengalami
tidur kurang nyaman.
- Efek paradoksal dapat terjadi dalam dosis rendah pada keadaan nyeri, yaitu
eksitasi dan kegelisahan.
- Overdosis barbital menimbulkan depresi sentral, dengan distress pernafasan,
koma, dan kematian.
- Barbiturat dalam dosis hipnotik menimbulkan perasaan lesu setelah pasien
bangun kembali (hangover). Hal ini menyebabkan beberapa fungsi tubuh yang
normal terganggu beberapa jam setelah pasien terbangun. Kadang-kadang
terjadi mual dan pusing.
- Barbiturat menurunkan efek obat yang dimetabolisme oleh enzim hati.
- Overdosis menyebabkan depresi pernafasan yang hebat bersamaan dengan
depresi kardiovaskuler pusat, menimbulkan syok dengan pernafasan dangkal
dan lambat.5

II.4.2.3 Kloralhidrat
Secara kimiawi zat ini adalah aldehida (kloral) yang terikat dengan air,
menjadi alkohol. Kloralhidrat efektif bagi pasien-pasien yang gelisah, juga sebagai
obat pereda pada penyakit saraf histeria. Berhubung cepat terjadinya toleransi dan
resiko akan ketergantungan fisik dan psikis (serupa barbital), obat ini hanya
digunakan untuk waktu singkat (1-2 minggu). Penggunaannya kini sudah sangat
berkurang.
Efek sampingnya ringan, hampir tidak merintangi tidur-REM dan tidak
menimbulkan REM-rebound, juga efek-sisa pada keesokan harinya (hangover)
tidak seberapa. Dosis yang digunakan yaitu per oral 0,6-1 gram sebelum tidur atau
per rektal dalam basis hidrofil. Dengan dosis 10 gram, zat ini bisa menjadi sangat
berbahaya.5

II.4.3 Aturan Pemakaian


Pemberian dosis obat dianjurkan 15-30 menit sebelum tidur. Dosis awal
dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2
minggu, kemudian tapering off. Pada usia lanjut dosis harus lebih kecil dan
peningkatan dosis perlahan-lahan untuk menghindari oversedasi dan intoksikasi.
Kesulitan penghentian obat seringkali karena habituasi sebagai rasa nyaman
setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi. Daftar obat antiinsomnia tercantum
dalam tabel berikut:
No Nama Obat Golongan Sediaan Dosis
1 Nitrazepam Benzodiazepin Tab 5 mg 2 x 5 mg
2 Triazolam Benzodiazepin Tab 0,125 mg 2 x 0,125 mg
Tab 0,25 mg 2 x 0,25 mg
3 Estazolam Benzodiazepin Tab 1 mg 1-2 mg/malam
Tab 2 mg
4 Fenobarbital Barbiturat Tab 15 mg 3-4 x 15 mg
Tab 30 mg 3-4 x 30 mg
5 Kloralhidrat - Cap 500 mg 1-2 x 500 mg

II.4.4 Kontra Indikasi


Kontra indikasi penggunaan obat antiinsomnia adalah sebagai berikut:
-Sleep apnoe syndrome, congestive heart failure, chronic respiratory syndrome,
dan chronic respiratory disease.
-Penggunaan golongan benzodiazepin pada wanita hamil mempunyai efek
teratogenik, misalnya abnormalitas cleft palate khususnya pada trimester
pertama. Selain itu, benzodiazepin juga diekskresi melalui ASI sehingga berefek
pada penekanan fungsi SSP bayi.5

II.4.5 Interaksi Obat


Penggunaan anti-insomnia dengan CNS depressan (alkohol dan lain-lain)
akan berpotensi pada efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedasi dan
respiratory failure. Overdosis jarang menimbulkan kematian, kecuali bila disertai
alkohol atau CNS depressan.5

II.5 Anti Panik


Penggolongan obat anti panik dibagi atas beberapa golongan, yaitu:
- Golongan trisiklik (contoh : imipramin, klomipramin)
- Golongan benzodiazepin (contoh : alprazolam)
- Golongan RIMA (contoh: mokoblemid)
- Golongan SSRI (contoh : sertalin, fluoksetin, paroksetin, dan fluoksamin)
No Nama Obat Sediaan Dosis
1 Imipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hari
2 Klomipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hari
3 Alprazol Tab 0,5 mg 2-4 mg/hari
Tab 1 mg
4 Sertralin Tab 50 mg 50-100 mg/hari
5 Fluoksetin Cap 20 mg 20-40 mg/hari
6 Parosetin Tab 20 mg 20-40 mg/hari
7 Fluvoksamin Tab 50 mg 50-100 mg/hari

II.5.1 Farmakodinamik
Sindrom panik berkaitan dengan hipersensitivitas dari reseptor serotonin
di SSP. Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat reuptake serotonin
pada celah sinaptik antar neuron.

II.5.2 Aturan Pemakaian


Semua jenis obat meiliki efektivitas yang sama dalam mengatasi panik
pada taraf ringan maupun sedang. Penggunaan obat antipanik dimulai dengan
dosis rendah kemudian ditingkatkan secara perlahan dalam beberapa minggu.
Dosis efektif biasanya dicapai dalam 2-3 bulan. Lamanya pemberian obat bersifat
individual, umumnya selama 6-12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 3 bulan bila kondisi penderita sudah memungkinkan. Dalam waktu 3
bulan bebas obat, 75% penderita menunjukkan gejala kambuh. Dalam keadaan ini
maka pemberian obat dengan dosis semula diulangi selama 2 tahun. Setelah itu
dihentikan secara bertahap selama 3 bulan.

II.5.3 Kontra Indikasi


Penggunaan obat antipanik tidak dianjurkan pada anak-anak dan ibu
hamil.

II.5.4 Efek Samping


Efek samping obat antipanik golongan trisiklik antara lain sebagai berikut:
- Efek antihistamin: sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, dan kemampuan kognitif yang menurun.
- Efek anti kolinergik: mulut kering, keluhan lambung, retensi urin sampai
disuria, penglihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi seksual dan takikardi.
- Efek anti adrenergik alfa: perubahan EKG dan hipotensi ortostatik.
- Efek neurotoksik : tremor halus, kejang epileptik, agitasi dan insomnia.2
II.6 Mood Stabilizer
Pada awalnya, mood stabilizer adalah obat yang digunakan untuk mengobati
mania dan pencegah terjadinya rekurensi dari mania itu sendiri. Saat ini cakupan
pengobatan dari mood stabilizer semakin meluas, mulai dari obat yang bekerja
seperti lithium, antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar,
sampai antipsikotik atipikal yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar.
Oleh karena itu, saat ini disetujui bahwa mood stabilizer adalah obat yang digunakan
untuk mengobati gangguan bipolar yang dapat bekerja “mania-minded” dan “treat
from above” untuk fase mania, “depression minded” dan “treat from below” untuk
fase depresi. Namun tidak semua obat terbukti memiliki keempat kerja tersebut.
Lithium dijadikan acuan sebagai mood stabilizer atau disebut juga dengan mood
stabilizer klasik, terutama untuk mengobati fase mania pada gangguan bipolar.2

No Nama Obat Sediaan Dosis


1 Lithium Carbonat Tab 300 mg 250-500 mg
2 Carbamazepine Tab 200 mg 400-600 mg/hari
2-3 kali/hari
3 Asam valproate Kapsul 250 mg

II.6.1 Lithium karbonat

II.6.1.2 Farmakokinetik
Lithium adalah ion monovalent, termasuk dalam grup IA logam basa pada
tabel periodik. Lithium diabsorpsi keseluruhan setelah dikonsumsi secara oral.
Puncak konsentrasi plasma 1-1,5 jam pada sediaan standar dan 4-4,5 jam pada
sediaan lepas terkendali. Ekskresi dan metabolisme di ginjal (ekskresi
meningkat pada saat kehamilan dan akan menurun pada saat melahirkan).
Waktu paruh 1 sampai 3 hari. Litium melewati sawar darah otak dengan lambat.
Waktu paruh eliminasi adalah 18-24 jam pada dewaa muda dan akan lebih cepat
pada anak-anak dan orang tua.2

II.6.1.3 Farmakodinamik
Lithium tidak bersifat sedatif, depresif, ataupun euforian. Sebagai mood
stabilizer, mekanisme kerja lithium belum diketahui. Mekanisme kerja yang
paling khas dari lithium adalah kemampuannya dalam menembus membran
biologik dan dapat menggantikan peranan sodium (Na+) dalam membangkitkan
aksi potensial pada neuron.2
Selain itu, lithium juga menghambat secara langsung dua jalur tranduksi
sinyal yaitu menghambat sinyal inositiol (melalui deplesi pada inositol
intraselular) dan glycogen snythase kinase-3 (GSK-3) yang merupakan salah
satu komponen dari berbagai jalur sinyal. Penghambatan kedua sinyal tersebut
terjadi melalui penghambatan kerja enzim yang terlibat dalam kedua sinyal
tersebut, salah satunya adalah inositol monophosphatase.

Dalam suatu percobaan, litium kadar rendah dapat membantu metabolisme


monoamin biogenik yang berperan dalam patofosiologi terjadinya gangguan
mood.6

II.6.1.4 Indikasi
Kira-kira 80% pasien manik berespon terhadap lithium meskipun respon
lithium sendiri membuthkan waktu 1-3 minggu terapi konsentrasi terapuetik.
Untuk mengatasi periode mania dengan segera, sebelum efek tercapai diobati
dulu dengan golongan benzodiazepin (klonopin) dan lorazepam pada 1-3
minggu pertama. Gejala pada seperlima hingga setengah pasien skizofrenia
berkurang setelah diberikan litium bersamaan dengan antipsiokotik.

II.6.1.5 Kontraindikasi
Litium tidak boleh diberikan pada perempuan hamil pada trimester
pertama karena risiko terjadinya defek lahir. Malformasi adalah kejadian
tersering terutama anomali Eibstein pada katup trikuspid. Pada perempuan
pasca melahirkan yang diterapi dengan obat ini, mempunyai risiko toksisitas
pada bayi dan ini dapat dikurangi risikonya dengan hidrasi saat persalinan. 2

II.6.1.6 Efek Samping dan Peringatan


Lebih dari 80% pasien yang mengonsumsi lithium mengalami berbagai
efek samping. Berikut efek samping yang dapat terjadi:
- Neurologis  tremor, disforia, gangguan memori, ataksia, dan disartria.
- Endokrin  hipotiroidisme dan goiter.
- Kardiovaskular  bradikardia dan disfungsi sinus node.
- Renal  poliuria, GFR menurun, dan renal tubulus asidosis.
- Dermatologik  (bergantung dosis) erupsi akneiformis, folikular,
makulopapular, psoriasis, dan alopesia.
- Gastrointestinal  mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan diare.
- Lain-lain  peningkatan berat badan dan retensi cairan.
Pada saat pemakaian lithium bias menimbulkan terjadinya toksisitas atau
keracunan. Faktor risiko yang mendukung adalah adanya gangguan pada renal,
makanan rendah sodium, adanya interaksi obat, dehidrasi, dan dosis obat
melebihi dari yang dianjurkan. Semakin besar dan lamanya durasi peningkatan
konsentrasi lithium, semakin parah gejala toksisitas lithium yang ditimbulkan.
Sempitnya indeks terapeutik pada litium dan banyaknya faktor yang dapat
mengganggu keseimbangan antara konsentrasi lithium yang dapat ditoleransi
dan yang menimbulkan efek samping, edukasi yang baik kepada pasien sangat
dianjurkan.1

II.6.2 Asam valproat


Asam valproat adalah obat antikonvulsan yang memiliki efek antimanik.
Mekanisme kerja asam valproat masih belum jelas. Namun ada 3 pendapat yang
mengatakan mengenai cara kerja asam valproat, yaitu :
- Menghambat voltage-sensitive sodium channel  ion Na+ yang masuk sedikit
 pengeluaran glutamate menurun  neurotransmisi eksitasi menurun.
- Meningkatkan kerja neurotransmitter GABA (-aminobutyric acid) melalui
peningkatan pelepasan, menurunkan pengambilan kembali, dan
memperlambat inaktivasi GABA.
- Mengatur penrunan kaskade sinyal transduksi  mendukung terjadinya
neuroproteksi, memperpanjang plastisitas, dan efek antimanik.2
II.6.3 Carbamazepine
Carbamazepine juga termasuk obat antikonvulsan sama seperti asam
valproat. Meskipun cara kerjanya sama dengan asam valproat, carbamazepine
memiliki beberapa perbedaan dengan asam valproate. Carbamazepine terbukti
efektif untuk mengobati nyeri neuropatik, sedangkan valproate untuk mengobati
migraine. Selain itu, efek samping yang ditimbulkan juga berbeda.
Carbamazepine memberikan efek supresi pada sumsum tulang dan dapat
menyebabkan toksisitas seperti defek neural tube.2

II.7 Anti Ansietas


Obat anti ansietas disebut juga ansiolitik, psikoleptik, atau transquilizer
minor. Obat ini pada umumnya bersifat sedatif. Anti ansietas utama yang dipakai
adalah golongan benzodiazepine.
No Nama Obat Golongan Sediaan Dosis
1 Diazepam Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10 mg/hr

2 Klordiazepoksoid Benzodiazepin Cap 5-10mg 2-3 x 5 mg/hr


3 Lorazepam Benzodiazepin Tab 0,25-0,5-1 mg 3 x 0,25-0,5 mg/hr
4 Clobazam Benzodiazepin Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hari
5 Brumazepin Benzodiazepin Cap 50 mg 100-200 mg/hari
6 Oksazolom Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10 mg/hari
7 Klorazepat Benzodiazepin Cap 5-10mg 2-3 x 5 mg / hari
8 Alprazolam Benzodiazepin Tab 0,25-0,5-1 mg 3 x 0,25-0,5 mg/hr
9 Prazepam Benzodiazepin Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hari
10 Sulpirid Non Benzodiazepin Cap 50 mg 100-200 mg/hari
11 Buspiron (SSRI) Non Benzodiazepin Tab 10 mg 15-30 mg/hari
12 Fluoxetine (SSRI) Non Benzodiazepin Tab 10 mg 20-80 mg/hari
13 Venlafaxine Non Benzodiazepin Tab 25; 37,5; 50; 75.225/hari
(SSNRI) 75; 100 mg

II.7.1 Benzodiazepin
Benzodiazepin yang pertama kali diperkenalkan adalah chlordiazepoxide,
yaitu pada tahun 1959, kemudian diikuti dengan diazepam pada tahun 1963.1
II.7.1.1 Farmakodinamik
Pada umumnya, obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kerja GABA
pada amygdala dan korteks prefrontal pada alur cortico-striato-thalamo-cortical
(CSTC) untuk meredakan kecemasan. Reseptor yang dijadikan target dari
benzodiazepine adalah reseptor GABAA yang berada di postsinaps.
Benzodiazepine-sesnsitive GABAA receptor dengan subunit α2 yang diduga
sebagai target utamanya, penting dalam meregulasi kecemasan.2
Cara benzodiazepin meningkatkan kerja GABA, adalah dengan cara
menjadi positive allosteric modulator (PAM) : Benzodiazepin menempel pada
reseptor GABAA + GABA menempel pada sisi agonis GABA  kanal Cl- menjadi
lebih sering terbuka.2

II.7.1.2
Farmakokinetik
Semua benzodiazepine kecuali clorazepate (tranxene), diabsorpsi dengan
sempurna setelah dikonsumsi secara oral dan mencapai puncak level serum
dalam 30 menit sampai 2 jam. Diazepam, chlordiazepam, clonazepam,
clorazepate, flurazepam, dan quazepam memiliki waktu paruh di plasma 30 jam
hingga lebih dari 100 jam (secara teknis, obat ini termasuk dalam benzodiazepine
kerja panjang). Semua obat yang termasuk dalam golongan benzodiazepine akan
larut dalam air. Kelarutan benzodiazepine dalam lemak inilah yang menentukan
distribusi, onset, dan terminasi kerja dari obat. Benzodiazepin diekskresikan
melalui ginjal secara lambat.1

II.7.1.3 Indikasi
Derivat benzodiazepin digunakan untuk meimbulkan sedasi,
menghilangkan rasa cemas dan keadaan psikosomatik yang ada hubungannya
dengan rasa cemas. Selain sebagai anti ansietas, derivat benzodiazepin juga
digunakan sebagai anti konvulsi, pelemas otot, hipnotik dan induksi anestesi
umum. Biasanya benzodiazepine diberikan pada penderita insomnia, gangguan
kecemasan, gangguan bipolar, katatonik, dan sebagian kecil penderita
Parkinson.1

II.7.1.4 Kontraindikasi
Penderita dengan penyakit hepar akan memiliki lebh tinggi kemungkinan
terjadinya efek samping dan toksisitas dari penggunaan derivat benzodiazepine.
Salah satu yang dapat ditimbulkan adalah hepatic coma (terutama pada
penggunaan dosis yang tinggi). Pemberian benzodiazepine dapat menyebabkan
gangguan pernapasan yang signifikan jika diberikan pada pasien COPD.
Beberapa data mengindikasikan bahwa benzodiazepin bersifat teratogenik. Oleh
karena itu tidak boleh diberikan pada pasien yang sedang hamil.1

II.7.1.5 Efek Samping


Efek samping yang paling sering ditimbulkan adalah kantuk (10% dari
seluruh pasien yang mengonsumsi). Selain kantuk, efek samping yang dapat
ditimbulkan adalak ataksia (<2%) dan pusing (<1%). Efek samping yang paling
parah dari benzodiazepin terjadi jika substansi sedatif lainnya dikonsumsi secara
bersamaan menyebabkan kantuk luar biasa bahkan sampai depresi pernapasan.1

II.7.2 Non-benzodiazepin
Selain dengan benzodiazepin, kecemasan dapat juga diobati dengan obat
lain seperti SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) dan SNRI (Serotonin
Norepiephrine Reuptake Inhibitor).2

II.7.2.1 SSRI
Pada gangguan kecemasan, pengeluaran serotonin yang termasuk dalam
neurotransmiter penting pada jalur CSTC terganggu ketika meregulasi
kekhawatiran dan rasa takut. Pemberian SSRI dapat meningkatkan pengeluaran
serotonin dengan cara menghambat transporter serotonin (SERT). Salah satu
jenis obat SSRI adalah buspirone, yang merupakan 5HT1A agonis. Buspirone
bekerja pada reseptor 5HT1A yang ada di presinap dan postsinap, yang kemudian
meningkatkan aktivitas serotonergik yang berproyeksi ke amigdala, korteks
prefrontal, striatum, dan thalamus.2

II.7.2.2 SNRI
Norepinefrin atau noradrenergik juga neurotransmitter lain yang sangat
penting peranannya dalam mengatur input ke amigdala, korteks prefrontal, dan
thalamus dalam jalur CSTC. Berlebihnya pengeluaran norepinefrin tidak hanya
menimbulkan manifestasi peripheral otonom yang berlebihan, dan dapat juga
memicu munculnya gejala cemas dan takut seperti mimpi buruk, serangan
panik, hyperarousal state. Gejala seperti mimpi buruk dapat dikurangi dengan
α1- adrenergic blocker seperti prazocin; gejala takut dan cemas dapat
dihilangkan dengan norepinephrine reuptake inhibitor (NET).2

REFERENSI
1. Sadock, Benjamin J. Kaplan and Sadock’s Sypnosis of Psychiatry: Behavioral Science/ Clinical Psychiatry. 11 th ed.
Lippincot William & Wilkins; 2015.
2. Stahl, Stephen M. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and Practical Application. 4 th ed.
Cambridge; 2013.
3. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2013.
4. Mansjoer, Arif dkk. Terapi Farmakologis Psikiatri dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta;
2000. Pp 237-46.
5. Chamey, Mihic, Harris. Hypnotics and Sedative in Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics.
North America. The McGraw-Hill Companies, Inc; 2001.

6. Katzung, Bertram G et al. Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed. Mcgraw-hill; 2009.

Anda mungkin juga menyukai