Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

FARMAKOTERAPI 2

“SINDROM GAGAL JANTUNG”

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3

A. MONA FATIRAH S. (F201902009)


SUCI (F201902010)
SURIA (F201902011)

Kelas : C5NR

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami diberikan kesehatan dan kesempatan
dalam meyelesaikan makalah Farmasi Kemaritiman ini yang berjudul “Sindrom
Gagal Jantung”.

Tak lupa kami mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai pihak


yang telah membantu dalam penulisan makalah ini yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.

Di dalam makalah ini kami selaku penulis menyadari banyak terdapat


kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan agar menjadikan makalah ini lebih baik lagi. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Kendari, 20 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI
Sampul ............................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar isi .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................................... 2
D. Manfaat ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3


A. Definisi Gagal Jantung ............................................................................. 3
B. Klasifikasi ................................................................................................. 4
C. Epidemologi .............................................................................................. 6
D. Etiologi .................................................................................................... 7
E. Patofisiologi .............................................................................................. 8
F. Faktor Resiko ............................................................................................ 11
G. Manifestasi Klinik .................................................................................... 12
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 14

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 29


A. Kesimpulan ............................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 30


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal jantung merupakan salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas. Akhir-akhir ini insiden gagal jantung mengalami peningkatan.
Kajian epidemiologi menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang
mendahului dan menyertai gagal jantung. Kondisi tersebut dinamakan faktor
resiko. Faktor resiko yang ada dapat dimodifikasi artinya dapat dikontrol
dengan mengubah gaya hidup atau kebiasaan pribadi dan faktor resiko yang
non modifiable yang merupakan konsekuensi genetik yang tak dapat dikontrol,
contohnya ras, dan jenis kelamin.
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama definisi gagal adalah
relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh, kedua penekanan arti gagal
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. (Abdullah,2005)
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler masih menduduki
peringkat yang tinggi, menurut data world healt organitation (WHO)
dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika menderita congestif heart
failur(CHF). Sedangkan pada tahun 2005 di jawa tengah terdapat 520 penderita
CHF. Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia 50 tahun, insiden ini
akan terus bertambah setiap tahun pada lansia berusia di atas 50 tahun.
Sebagian besar lansia yang di diagnosis CHF tidak dapat hidup lebih dari 5
tahun 2 (Angraini,2009). Gagal jantung kongestif (Congestif Heart Failure)
adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
Risiko CHF akan meningkat pada orang lanjut usia (lansia) karena penurunan
fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat menjadi kronik apabila disertai
dengan penyakit-penyakit lain, seperti: hipertensi, penyakit katub jantung,
kardiomiopati, dan lain-lain.
Di Indonesia berdasarkan data dari RS Jantung Harapan Kita,
peningkatan kasus ini dimulai pada 1997 dengan 248 kasus, kemudian melaju
dengan cepat hingga mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus.
Diperkirakan tahun ini juga akan terjadi peningkatan. Untuk itu, pihak RS telah
mengantisipasi lonjakan kasus tersebut dengan membuka klinik khusus gagal
jantung dan pelayanan One Day Care dengan system Nurse Base Care.
Mengenai kematian akibat penyakit gagal jantung. Aulia yang juga Direktur
RS tersebut, mengemukakan bahwa tahun lalu hanya 4,3% kematian yang
terjadi. Jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan insiden pada 1999
sejumlah 12,2% (Andra,2007) Sedangkan kasus CHF sendiri di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Kota Salatiga Sejak bulan September sampai dengan bulan
November tercatat ada 26 kasus. Dari banyaknya kasus tersebut maka saya
tertarik untuk mengambil kasus mengenai CHF.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari gagal jantung ?
2. Bagaimana klasifikasi gagal jantung ?
3. Bagaimana etiologi gagal jantung ?
4. Jelaskan patofisiologi gagal jantung ?
5. Bagaimana pengobatan gagal jantung ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mengerti landasan teori tentang gagal jantung
2. Mahasiswa mengerti bagaimana asuhan keperawatan gagal jantung

D. Manfaat
Dengan adanya penyusunan makalah ini mampu mempermudah
penyusun dan pembaca guna memahami materi tentang gagal jantung dan
bagaimana asuhan keperawatan gagal jantung.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Jantung adalah organ otot berongga, berongga yang memompa darah
melalui pembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang. Berarti
jantung istilah yang terkait dengan jantung, dari kata Yunani cardia untuk
jantung. Jantung adalah salah satu organ tubuh manusia yang berperan dalam
sistem peredaran darah.

Gagal jantung sering disebut dengan gagal jantung kongestif adalah


ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Istilah gagal jantung
kongestif sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan kanan.
Gagal jantung merupakan suatu keadaan patologis adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Kasron, 2012).
Gagal jantung adalah sindroma kompleks sebagai akibat dari kelainan
jantung secara struktural maupun fungsional yang mengganggu kemampuan
jantung sebagai pompa untuk mendukung sirkulasi fisiologis. Sindroma dari
gagal jantung dicirikan oleh gejala-gejala seperti sesak nafas dan mudah lelah,
dan tanda-tanda seperti retensi cairan.
Definisi lain mengenai gagal jantung yang diketahui secara luas adalah
kondisi patofisiologis dimana abnormalitas fungsi jantung bertanggung jawab
terhadap gagalnya jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Definisi ini menitikberatkan pada fisiologi sirkulasi.
Definisi yang lebih baru sudah lebih mengalami pendekatan yang pragmatis
(praktis) dan bermanfaat secara klinis meskipun sebenarnya definisi gagal
jantung masih banyak perbedaan hingga hari ini.

B. Klasifikasi
1. Klasifikasi gagal jantung
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana
seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas
pendek yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak
kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan
kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istrahat.
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung
atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.
a. Klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung
1) Stadium A Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal
jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala
2) Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang
berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat
tanda atau gejala
3) Stadium C Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan
penyakit struktural jantung yang mendasari
4) Stadium D Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal
jantung yang sangat bermakna saat istrahat walaupun sudah
mendapat terapi medis maksimal (refrakter)
b. Klasifikasi berdasarkan kapsitas fungsional (NYHA)
1) Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik.
Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas .
2) Kelas II Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan
saat istrahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
3) Kelas III Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat
keluhan saat istrahat, tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak
4) Kelas IV Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa keluhan.
Terdapat gejala saat istrahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas.

Gagal jantung sering juga diklasifikasikan sebagai gagal jantung


dengan penurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) atau dengan gangguan
fungsi diastolik (fungsi sistolik atau fraksi ejeksi normal), yang
selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with Preserved Ejection
Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial remodeling juga akan berlanjut
dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung.
2. Jenis-Jenis Gagal Jantung
a. Berdasarkan onset
1) Gagal jantung akut
2) Gagal jantung kronik / kongestif
b. Berdasarkan lokasi
1) Gagal jantung kanan
2) Gagal jantung kiri
c. Berdasarkan fungsi dan timing
1) Gagal jantung sistolik
2) Gagal jantung diastolik

Cairan juga dapat terjadi yang berujung pada kongesti paru dan
edema perifer yang disebut gagal jantung kongestif.
Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri dibedakan menurut
lokasi kelainan secara anatomis yang juga bermanifestasi klinis berbeda.
Sisi kiri dan kanan jantung merupakan satu rangkaian sirkulasi. Gejala dan
tanda dari gagal jantung kiri meliputi peningkatan tekanan dan kongesti
pada vena pulmonalis dan kapiler. Sedangkan gagal jantung kanan
bermanifes sebagai peningkatan tekanan dan kongesti vena-vena sistemik
yang dapat diperiksa pada pembesaran vena jugularis serta kongesti hepar.
Gagal jantung sistolik dideskripsikan sebagai gagal jantung dengan
kelainan dinding ventrikel berupa dilatasi, pembesaran, dan hipertrofi, di
mana output terbatas karena ejeksi yang terganggu selama sistol. Sementara
itu, gagal jantung diastolik merujuk kepada dinding ventrikel yang menebal,
ruang ventrikel mengecil, di mana pengisian selama diastol terganggu.

C. Epidemiologi
Diperkirakan terdapat sekitar 23 juta orang mengidap gagal jantung di
seluruh dunia. American Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta
orang menderita gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan
dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap tahun. Prevalensi gagal jantung
di Amerika dan Eropa diperkirakan mencapai 1 – 2%. Namun, studi tentang
gagal jantung akut masih kurang karena belum adanya kesepakatan yang
diterima secara universal mengenai definisi gagal jantung akut serta adanya
perbedaan metodologi dalam menilai penyebaran penyakit ini.
Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka survival
setelah serangan infark miokard akut akibat kemajuan pengobatan dan
penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak pasien yang hidup
dengan disfungsi ventrikel kiri yang selanjutnya masuk ke dalam gagal jantung
kronis. Akibatnya, angka perawatan di rumah sakit karena gagal jantung
dekompensasi juga ikut meningkat. Dari survei registrasi di rumah sakit
didapatkan angka perawatan pasien yang berhubungan dengan gagal jantug
sebesar 4,7% untuk perempuan dan 5,1 % untukk laki-laki. Secara umum,
angka perawatan pasien gagal jantung di Amerika dan Eropa menunjukkan
angka yang semakin meningkat.
Insidensi dan prevalensi gagal jantung meningkat secara dramatis sesuai
dengan peningkatan umur. Studi Framingham menunjukkan peningkatan
prevalensi gagal jantung, mulai 0,8% untuk orang berusia 50-59 hingga 2,3%
untuk orang dengan usia 60-69 tahun. Gagal jantung dilaporkan sebagai
diagnosis utama pada pasien di rumah sakit untuk kelompok usia lebih dari 65
tahun pada tahun 1993. Beberapa studi di Inggris juga menunjukkan adanya
peningkatan prevalensi gagal jantung pada orang dengan usia lebih tua.

D. Etiologi
Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi
gagal jantung pada pasien tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari
gagal jantung dengan penurunan EF. Terdapat pertimbangan terhadap etiologi
dari kedua keadaan tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara industri,
Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75%
pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi kontribusi
pada perkembangan penyakit gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien
dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko pada
gagal jantung, seperti pada diabetes mellitus. Emboli paru dapat menyebabkan
gagal jantung, karena pasien yang tidak aktif secara fisik dengan curah jantung
rendah mempunyai risiko tinggi membentuk thrombus pada tungkai bawah
atau panggul. Emboli paru dapat 7 berasal dari peningkatan lebih lanjut
tekanan arteri pulmonalis yang sebaliknya dapat mengakibatkan atau
memperkuat kegagalan ventrikel . Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung,
demam, takikardi dan hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang
meningkat akan memberi tambahan beban pada miokard yang sudah kelebihan
beban meskipun masih terkompensasi pada pasien dengan penyakit jantung
kronik.
Menurut beberapa penelitian penyakit jantung disebabkan oleh
beberapa hal yaitu :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Konsumsi garam berlebih
4. Keturunan
5. Hiperaktivitas system syaraf simpatis
6. Stress
7. Obesitas
8. Olahraga tidak teratur
9. Merokok
10. Konsumsi alcohol dan kopi berlebih
11. Hipertensi
12. Ischaemik heart disease
13. Konsumsi alkohol
14. Hypothyroidsm
15. Penyakit jantung congenital
16. Kardiomiopati
17. Infeksi juga dapat memicu timbulnya gagal jantung.

E. Patofisiologi
Penurunan curah jantung pada gagal jantung mengaktifkan serangkaian
adaptasi kompensasi yang dimaksudkan untuk mempertahankan homeostasis
kardiovaskuler. Salah satu adaptasi terpenting adalah aktivasi system saraf
simpatik, yang terjadi pada awal gagal jantung. Aktivasi system saraf simpatik
pada gagal jantung disertai dengan penarikan tonus parasimpatis. meskipun
gangguan ini dalam kontrol otonom pada awalnya dikaitkan dengan hilangnya
penghambatan masukan dari arteri atau refleks baroreseptor kardiopulmoner,
terdapat bukti bahwa refleks rangsang juga dapat berpartisipasi dalam
ketidakseimbangan otonom yang terjadi pada gagal jantung. dalam kondisi
normal masukan penghambatan dari “tekanan tinggi” sinus karotis dan
baroreceptor arcus aorta dan “tekanan rendah” mechanoreceptor
cardiopulmonary adalah inhibitor utama aliran simpatis, sedangkan debit dari
kemoreseptor perifer nonbaroreflex dan otot “metaboreseptor” adalah input
rangsang utama outflow simpatik. Pada gagal jantung, penghambat masukan
dari baroreseptor dan mekanoreseptor menurun dan rangsangan pemasukan
meningkat, maka ada peningkatan dalam aktivitas saraf simpatik, dengan
hilangnya resultan dari variabilitas denyut jantung dan peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer.

Gambar. Patofisiologi Gagal Jantung (StaRry, H. R., 2014)

Berbeda dengan sistem saraf simpatik, komponen dari sistem


reninangiotensin diaktifkan beberapa saat kemudian pada gagal jantung.
mekanisme untuk aktivasi RAS dalam gagal jantung mencakup hipoperfusi
ginjal, penurunan natrium terfiltrasi mencapai makula densa di tubulus distal,
dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, yang menyebabkan peningkatan
pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular. Renin memotong empat asam
amino dari sirkulasi angiotensinogen, yang disintesis dalam hepar, untuk
membentuk angiotensin I. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) memotong
dua asam amino dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II. Mayoritas
(90%) dari aktivitas ACE dalam tubuh terdapat dalam jaringan, sedangkan
10% sisanya terdapat dalam bentuk terlarut (ikatan non membran) dalam
interstitium jantung dan dinding pembuluh darah. Angiotensin II mengerahkan
efeknya dengan mengikat gabungan dua reseptor G-Protein angiotensin yang
disebut tipe 1 (AT 1) dan angiotensin tipe 2 (AT 2). Reseptor angiotensin yang
dominan dalam pembuluh darah adalah reseptor AT1. Aktivasi reseptor AT1
menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan
pelepasan katekolamin, sedangkan aktivasi reseptor AT2 menyebabkan
vasodilatasi, penghambatan pertumbuhan sel, natriuresis, dan pelepasan
bradikinin. Angiotensin II memiliki beberapa tindakan penting untuk
mempertahankan sirkulasi homeostasis jangka pendek. Namun, ekspresi
berkepanjangan dari angiotensin II dapat menyebabkan fibrosis jantung, ginjal,
dan organ lainnya. Angiotensin II dapat juga memperburuk aktivasi
neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf
simpatik, serta merangsang zona glomerulosa korteks adrenal untuk
memproduksi aldosteron. Aldosteron menyediakan dukungan jangka pendek ke
dalam sirkulasi dengan melakukan reabsorbsi natrium dalam pertukaran
dengan kalium di tubulus distal. Aldosterone dapat menimbulkan disfungsi sel
endotel, disfungsi baroreseptor, dan menghambat uptake norepinefrin, salah
satu atau semua dari kelainan tersebut dapat memperburuk gagal jantung.
Stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron. Angiotensin II adalah
vasokonstriktor kuat dari ginjal (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik, di mana
ia merangsang pelepasan noradrenalin dari terminal saraf simpatis,
menghambat tonus vagus, dan mempromosikan pelepasan aldosteron. Hal ini
menyebabkan retensi natrium dan air dan peningkatan ekskresi kalium. Selain
itu, angiotensin II memiliki efek penting pada miosit jantung dan dapat
menyebabkan disfungsi endotel yang diamati pada gagal jantung kronis.

F. Faktor resiko
Beberapa orang semakin berpotensi mengalami penyakit ini. Faktor
tersebut antara lain:

1. Serangan jantung. Mereka yang telah mengalami serangan jantung pasti


memiliki luka pada area otot jantung. Akibatnya, kekuatan jantung untuk
berkontraksi menjadi berkurang.

2. Diabetes.  Penyakit ini meningkatkan risiko hipertensi dan penyakit arteri


koroner.

3. Penggunaan obat diabetes. Obat yang mampu mengendalikan kadar gula


dapat meningkatkan risiko gagal jantung pada sebagian orang. Namun,
bukan berarti kamu harus menghentikan pengobatan yang sedang kamu
lakukan, cobalah diskusikan kepada dokter akan hal ini.

4. Sleep apnea. Akibat sleep apnea, oksigen dalam darah menjadi berkurang


sehingga ritme jantung bisa menjadi tidak normal. Kondisi ini dapat
menjadi penyebab gagal jantung kongestif.

5. Memiliki riwayat penyakit katup jantung. Akibat terganggunya fungsi


katup jantung maka darah menjadi sulit untuk dipompa dengan benar.
Sehingga mereka yang mengalami gangguan penyakit katup jantung dan
berisiko tinggi mengalami gagal jantung kongestif.

6. Infeksi Virus. Infeksi virus tertentu bisa menyebabkan kerusakan otot


jantung yang meningkatkan risiko gagal jantung kongestif.

7. Memiliki riwayat penyakit hipertensi alias tekanan darah tinggi.

8. Memiliki berat badan berlebih atau obesitas.


9. Memiliki riwayat gangguan detak jantung. Mereka yang memiliki
detak jantung yang tidak normal, terutama ketika berdetak kencang, bisa
membuat otot jantung menjadi lebih lemah dan mengakibatkan CHF.

10. Kebiasaan konsumsi alkohol terlalu banyak.


11. Merokok.

G. Manifestasi klinik
Menurut Wijaya & putri (2013), manifestasi gagal jantung sebagai
berikut :
1. Gagal jantung kiri
Menyebabkan kongestif, bendungan pada paru dan gangguan pada
mekanisme kontrol pernafasan. Gejala :
a. Dispenea
Terjadi karena penumpukan atau penimbunan cairan dalam
alveoli yang mengganggu pertukaran gas . dispnea bahkan dapat terjadi
saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atu sering.
b. Orthopnea
Pasien yang mengalami orthopnea tidak akan mau berbaring,
tetapi akan menggunakan bantal agar bisa tegak ditempat tidur atau
duduk dikursi, bahkan saat tidur.
c. Batuk
Hal ini disebabkan oleh gagal ventrikel bisa kering dan tidak
produktif, tetapi yang sering adalah batuk basah yaitu batuk yang
menghasilkan aputum berbusa dalam jumlah banyak, yang kadang
disertai dengan bercak darah.
d. Mudah lelah
Terjadi akibat curah jantung yang kurang, menghambat jaringan
dari srikulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa
hasil katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energi yang di
gunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi akibat distress
pernafasan dan batuk.
e. Ronkhi
f. Gelisah dan Cemas
Terjadi akibat gangguan oksigen jaringan, stres akibat kesakitan
berfasan dan pengetahuan bahkan jantung tidak berfungsi dengan baik.
2. Gagal jantung kanan
Menyebabkan peningkatan vena sistemik. Gejala :
a. Oedem parifer
b. Peningkatan BB
c. Distensi vena jugularis
d. Hepatomegali
e. Asites
f. Pitting edema
g. Anoreksia
h. Mual
3. Secara luas peningkatan CPO dapat menyebabkan perfusi oksigen
kejaringan rendah, sehingga menimbulkan gejala :
a. Pusing
b. Kelelahan
c. Tidak toleran terhadap aktivitas dan panas
d. Ekstrimitas dingin
4. Perfusi pada ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin seta sekresi
aldosteron dan retensi cairan dan natrium yang menyebabkan peningkatan
volume intravaskuler.
Menurut Nurhidayat, Saiful 2011 manifestasi klinis gagal jantung
secara keseluruhan sangat bergantung pada etiologinya. Namun dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Orthopnea, yaitu sesak saat berbaring.
b. Dyspnea on effert (DOE), yaitu sesak bila melakukan aktivitas
c. Paroxyimal nocturnal dyspnea (PND), yaitu sesak nafas tiba-tiba pada
malam hari disertai batuk
d. Berdebar-debar
e. Lekas capek
f. Batuk-batuk

Gambaran klinis gagal jantung kiri:


a. Sesak nafas dyspnea on effert, paroxymal nocturnal dyspnea
b. Pernapasan cheyne strokes
c. Batuk-batuk
d. Sianosis
e. Suara sesak
f. Ronchi basah, halus, tidak nyaring didaerah basal paru hydrothorax
g. Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama galop, tachycardia
h. BMR mungkin naik
i. Kelainan pada foto roengten
Gambaran klinis gagal jantung kanan :
a. Edema pretibia, edema presakral, asites dan hydrothorax.
b. Tekanan vena jugukaris meningkat ( hepato jugular refluks ).
c. Gangguan gastrointestinal, anorexia, mual, muntah, rasa kembung
diepigastrium.
d. Nyeri tekan mungkin didapati gangguan fungsi hati tetapi perbandingan
albumin dan globulin tetap, splenomegali, hepatomegali.
e. Gangguan ginjal, albuminuria, silinder hialin, glanular, kadar ureum
meninggi ( 60-100% ), oliguria, nocturia.
f. Hiponatremia, hipokalemia, hipoklorimia.

H. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi (Menurut kasron, 2012)
a. CHF Kronik
1) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan
menurunkan konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan
aktivitas.
2) Diet pembatasan natrium (<4 gr/hari) untuk menurunkan edema.
3) Menghentikan obat-obatan yang mempengaruhi NSAID karena efek
prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan natrium.
4) Pembatasan cairan (± 1200-1500 cc/hari).
5) Olahraga secara teratur.
b. CHF Akut
1) Oksigenasi (ventilasi mekanik)
2) Pembatasan cairan (1,5 liter/hari)

2. Farmakologi (Bambang Budi Siswanto, 2015)


Tujuan Tata Laksana Gagal Jantung adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas (Tabel 1). Tindakan preventif dan pencegahan
perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata
laksana penyakit jantung. Gambar 2 menyajikan strategi pengobatan
mengunakan obat dan alat pada pasien gagal jantung simtomatik dan
disfungsi sistolik. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan
mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan
non kardiovaskular yang sering dijumpai.
Tabel 1. Tujuan pengobatan gagal jantung kronik
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008

a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)


Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat
dan kadar kalium normal.

Indikasi pemberian ACEI :


1) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
2) Riwayat angioedema
3) Stenosis renal bilateral
4) Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
5) Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
6) Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ACEI
1) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
2) Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah
terapi ACEI
Naikan dosis secara titrasi
1) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
2) Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di
rumah sakit
3) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
4) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6
bulan sekali

b. PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.
Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian penyekat β :


1) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
2) Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA
3) ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
4) Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β :
1) Asma
2) Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung


1) Inisiasi pemberian penyekat β
2) Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat
Naikan dosis secara titrasi
1) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi
simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)
2) Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:
1) Hipotensi simtomatik
2) Perburukan gagal jantung
3) Bradikardia

c. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis
kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 %
dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian antagonis aldosteron :


1) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
2) Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
3) Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan
ARB).
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron :
1) Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
2) Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
3) Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
4) Kombinasi ACEI dan ARB

Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung


Inisiasi pemberian spironolakton
1) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
2) Naikan dosis secara titrasi
3) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 – 8 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
4) Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis
5) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
1) Hiperkalemia
2) Perburukan fungsi ginjal
3) Nyeri dan/atau pembesaran payudara

d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik
walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga
mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka
kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB :
1) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
2) Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
3) ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
1) Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
2) Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
3) Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI

Cara pemberian ARB pada gagal jantung


Inisiasi pemberian ARB
1) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
2) Dosis awal lihat
Naikan dosis secara titrasi
1) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
2) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi
3) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6
bulan sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
1) Sama sepertiACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk

e. Hydralazine Dan Isosorbide dinitrate (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN :


1) Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
2) Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi
3) Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI,
penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN :
1) Hipotensi simtomatik
2) Sindroma lupus
3) Gagal ginjal berat

Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung


Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
1) Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
2) Naikan dosis secara titrasi
3) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
4) Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
5) Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine
50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-
ISDN:
1) Hipotensi simtomatik
2) Nyeri sendi atau nyeri otot

f. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat
lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung
simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin
dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap
angkakelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Cara pemberian digoksin pada gagal jantung


Inisiasi pemberian digoksin
1) Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan
menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari
2) Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar
terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
3) Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
1) Blok sinoatrial dan blok AV
2) Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
3) Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan
4) gangguan melihat warna

g. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan
dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

Cara pemberian diuretik pada gagal jantung :


1) Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
2) Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
3) Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema
yang resisten.
Dosis diuretik
1) Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan
tanda kongesti
2) Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering
(tanpa retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan
dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering
dengan dosis diuretik minimal
3) Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur
dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan
Tabel 2. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 20122

3. Pendidikan Kesehatan
a. Informasikan pada pasien, keluarga dan pemberi perawatan tentang
penyakit dan penanganannya.
b. Monitoring difokuskan pada : monitoring BB setiap hari dan intake
natrium.
c. Diet yang sesuai untuk lansia CHF : pemberian makanan tambahan yang
banyak mengandung kalium seperti; pisang,jeruk, dan lain-lain.
d. Teknik konservasi energi dan latihan aktivitas yang dapat ditoleransi
dengan bantuan terapi.
I. Contoh Kasus
Identitas
Tn. S berusia 60 tahun, seorang petani, masuk ke ICCU dengan
keluhan utama yaitu sesak napas dan berkurang jika posisi setengah duduk
atau tidur dengan bantal tinggi, sesak napas kadang dirasakan pada malam
hari (batuk kadang-kadang). Nyeri pada dada. Tn. S mempunyai kebiasaan
merokok 5 tahun yang lalu, Tn. A juga mempunyai penyakit hipertensi serta
riwayat DM.
Diagnosa : Decompensasi Cordis
Terapi perawatan
1. Digoxin
2. Furosemide
3. Captopril
4. Inhalasi (ventolin, bisolvon)
Hasil pemeriksaan laboratorium
1. Foto rontgen : CTR + 75%
2. EKG : gelombang QRS membesar

1. Patofisiologi Sesak Napas


a. Oksigenasi jaringan berkurang
Penyakit yang menyebabkan kecepatan pengiriman oksigen ke
jaringan berkurang seperti perdarahan
b. Kebutuhan oksigen meningkat
Peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba-tiba akan memerlukan
oksigen yang lebih banyak untuk proses metabolisme
c. Kerja pernapasan meningkat
Otot pernapasan dipaksa bekerja lebih kuat karena adanya
penyempitan saluran pernapasan
d. Rangsangan pada sistem syaraf pusat penyakit-penyakit menyerang
sistem syaraf pusat
e. Penyakit nonmuskuler
Penyakit yang menerang diafragma
2. Hipertensi
Implikasi Keperawatan terhadap Terapi yang Diberikan Terapi Pemberian
Obat dalam Asuhan Keperawatan
Menyiapkan dan memberikan obat / pngobatankepada pasien sesuai
dengan program terapi meliputi :jenis obat,dosis,waktu dancara – cara
pemberiannyadengan jalan memasukkan obat tertentu ke dalam jaringan
tubuh.
a. Tujuan Pemberian Obat
1) Mempercepat reaksi dari cairan obat.
2) Mendapatkan reaksi setempat.
3) Membantu menegakkan diagnosa.
4) Mendapat kekebalan.
b. Prinsip Enam Benar
1) Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa atau
ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien
tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat
dipakai, misalnya pasien mengangguk.
2) Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat
dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya)
harus diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk
menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum
memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya
harus diperiksa tiga kali.
3) Benar Dosis
Sebelum memberi obat, harus berkonsultasi dengan dokter
yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien.
4) Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda.
Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh
keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat
kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat
dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal,
inhalasi.
5) Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya
tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang
memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk
memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum
makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan
bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu
sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum setelah
makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung
misalnya asam mefenamat.
6) Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis,
rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak
meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat
alasannya dan dilaporkan.

1. Digoxin
Komposisi : Tiap tablet mengandung digoksin 0,25 mg.
Kemasan : Botol berisi 100 tablet Kotak berisi 10 strip @ 10 tablet
Mekanisme Kerja Obat :
Digoksin merupakan prototipe glikosida jantung yang berasal dari
Digitalis lanata. Mekanisme kerja digoksin melalui 2 cara, yaituefek
langsung dan tidaklangsung. Efek langsung yaitu meningkatkan kekuatan
kontraksi otot jantung (efek inotropik positif). Hal ini terjadi berdasarkan
penghambatan enzim Na+, K+ -ATPasedan peningkatan arus masuk
ionkalsium keintra sel. Efektidak langsung yaitu pengaruh digoksin
terhadap aktivitas saraf otonom dan sensitivitas jantung terhadap
neurotransmite
Indikasi :
Untuk payah jantung kongestif, fibrilasi atrium, takikardia atrium
proksimal dan flutter atrium.
Kontra indikasi :
Dewasa: Dosis digitalisasi rata-rata 3-6 tablet sehari dalam dosis terbagi.
Untuk digitalisasi cepat dimulai2 - 3 tablet, diikuti 1 -2 tablet tiap 6-8 jam
sampai tercapai digitalisasi penuh. Untuk digitalisasi lambat dan dosis
penunjang 1/2-2 tablet sehari (1/2 -  1 tablet   pada usia   lanjut), 
tergantung   pada berat   badan  dan kecepatan bersihan kreatinin.
Dosis harus dikurangi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
h. Dosis lebih rendah pada pasien dengan berat badan rendah.usia lanjut,
hipokalemia dan hipotiroid. Setelah  pemberian  selama   14 hari,
dosis  hams diturunkan dan disesuaikan dengan respon pasien. Hati-
hati pemberian pada ibu hamil dan menyusui
i. Hati-hati pemberian pada penderita gagal jantung yang menyertai
glomerulonefritis akut, karditis berat, gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat, hipokalsemia, hipomagnesemia, aritmia atrium yang
disebabkan keadaan hipermetabolik, penyakit nodus SA, Sindroma
Wolff - Parkinson - White, perikarditis konstriktif kronik, bayi
neonatus dan bayi prematur. Blok AV tidak lengkap pada pasien
dengan serangan Stokes - Adams dapat berianjut menjadi Blok AV
lengkap. Jangan digunakan untuk terapi obesitas atau takikardia sinus,
kecuali jika disertai gagal   jantung.
j. Digoksin dapat menimbulkan perubahan ST-T yang pgsitjf semu pada
EKG selama testlatihan. Anoreksia, mual, muntan dan aritmia dapat
merupakan gejala penyerta gagal jantung atau gejala-gejala keracunan
digitalis. Bila timbul keracunan digitalis maka pemberian obat digitalis
dandiuretik dihentikan.
Efek Samping :
Dapat terjadi anoreksia, mual, muntah dan sakitkepala.
Gejala toksik pada jantung, Gejala neurologik dan Gangguan pada mata.
Interaksi Obat :
Kuinidin, verapamil, amiodarondan propafenon dapat
meningkatkan kadar digitalis. Diuretik, kortikosteroid, dapat menimbulkan
hipokalemia, sehingga mudah terjadi intoksikasi digitalis. Antibiotik
tertentu menginaktivasi digoksin melalui metabolisme bakterial di usus
bagian bawah. Propantelin, difenoksilat, meningkatkan absorpsi digoksin.
Antasida, kaolin-peptin, sulfasalazin, neomisina, kolestiramin, beberapa
obat kanker, menghambat absorpsi digoksin. Simpatomimetik,
meningkatkan resiko aritmia. Beta - bloker, kalsium antagonis, berefek
aditif dalam penghambatan konduksiAV.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Gagal jantung merupakan suatu keadaan patologis adanya kelainan fungsi jantung
berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan.
2. Klasifikasi jantung yaitu berdasarkan kelainan struktural jantung (Stadium A,
Stadium B, Stadium C dan Stadium D) dan berdasarkan kapsitas fungsional
(NYHA) (Kelas I, Kelas II, Kelas III dan Kelas IV).
3. Penyakit jantung disebabkan oleh beberapa hal yaitu : Usia, Jenis kelamin,
Konsumsi garam berlebih, Keturunan, Hiperaktivitas system syaraf simpatis,
Stress, Obesitas dll.
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Budi Siswanto. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. PERKI :


Jakarta.

Bui, L.B., Horwich, T.B & Fonarow, G.C., 2011, Epidemiology and risk profile
of heart failure, Nature Reviews Cardiology, vol 8, 30-41

Arroll, B., Doughty, R. & Andersen V., 2010, Investigation and Management of
Congestive Heart Failure, BMJ, 341, 190-195

Cole, J.A., Norman, H., Weatherby, L.B. & Walker, A.M., 2006, Drug
Copayment and Adherence in Chronic Heart Failure: Effect on Cost and
Outcomes, Pharmacotherapy, 26 (8), 1157–1164

Dahlstrom, 2005, Frequent Noncardiac Comorbidities in Patients with Chronic


Heart Failure, Europe J, 7, 309-316

Davis, R.C., Hobbs, F.D.R. & Lip, G.Y.H., 2003, ABC of heart failure: History
and epidemiology, British Medical Journal, 320, 39-42

Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis


and treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J
2008;29:2388442.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G. & Posey, L.M.,
2008, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, Seventh Edition,
New york: Appleton and Lange
Dosh, S.A., 2004, Diagnosis of Heart Failure in Adults, American Family
Physician, 70 (10), 2145-2152.

Dr. Starry H. R. 2014. Kardiologi. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia: Jakarta. ISBN 978-979-496-836-9

Fakultas Kedokteran UI, 2000, Kardiologi; Gagal Jantung, In: Mansjoer, A.,
Triyanti, K., Savitri, R., Wardhan, W.I. & Setyowulan, W., edisi ketiga,
Kapita Kedokteran, Yogyakarta

Figueroa, M.S & Peters, J.I., 2006, Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology, Therapy and Implication, Respiratory Care, 51 (4),
403-412

Francis, G.S & Tang, W., 2003, Pathophysiology of Congestive Heart Failure.

McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the


diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012 of the European Society of Cardiology. Developed in
collaboration with the Heart. Eur Heart J [Internet] 2013;32:e1–641 – e61

Anda mungkin juga menyukai