Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemilihan Umum adalah suatu ajang yang dilaksanakan dalam suatu negara untuk memilih wakil
rakyat yang duduk dalam kelembagaan negara, yang dilakukan dengan cara pemilihan suara
terbanyak.
Pemilihan Umum di Indonesia dilaksanakan pertama kali pada tahun 1955 untuk memilih
anggota-anggota DPR dan Senat. Pemilihan Umum tahun 1955 diselenggarakan dalam 2 tahap,
yaitu:
a. tanggal 29 September 1955, memilih anggota-anggota DPR ;
b. tanggal 15 Desember 1955, memilih anggota-anggota Badan Konstituante.
Berdasarkan pasal 1 ayat 4 UU No.3 Tahun 1999, pemilihan umum bertujuan untuk memilih:
a. anggota Majelis Perwakilan Rakyat
b. anggota Dewan Perwakilan Rakyat
c. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I
d. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II
Sedangkan asas pemilihan umum adalah sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Sistem Pemilihan Umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya (1) pemilih
mengekspresikan preferensi politik mereka, dan (2) suara dari pemilih diterjemahkan menjadi
kursi”.
Dalam ilmu politik, dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, diantaranya:
a. Single member constituency (satu daerah pemilihan satu wakil). Biasanya disebut sistem
distrik.
b. Multi member constituency (satu daerah pemilihan beberapa wakil). Biasanya disebut
proportional representation atau perwakilan berimbang.

Permasalahan

Namun, selain membawa banyak manfaat, Pemilihan Umum juga mengundang berbagai macam
permasalahan di dalamnya. Beberapa diantaranya akan dibahas dalam makalah ini. Beberapa
contoh permasalahan yang dapat timbul diantaranya adalah:
1. Tentang berbagai macam sistem pemilihan umum itu sendiri,
2. Syarat dan kelengkapan administrasi yang harus dipersiapkan oleh pasangan capres dan
cawapres & partai yang mencalonkan,
3. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama proses Pemilihan Umum berlangsung,
4. Mengenai petugas pengawas Pemilu, yang berwenang untuk memantau jalannya Pemilihan
umum supaya berjalan lancar seperti yang diharapkan berbagai pihak,
5. Mengenai Tabulasi Nasional Pemilu atau mekanisme penghitungan suara.
Penyebab timbulnya berbagai macam jenis permasalahan seperti yang disebutkan diatas bisa saja
atas dasar anggapan bahwa Pemilihan Umum adalah suatu ajang yang besar karena melibatkan
seluruh rakyat negara tersebut. Sehingga diperlukan usaha yang sangat besar dari banyak pihak
yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung supaya Pemilihan Umum dapat berjalan
lancar seperti yang diharapkan semua pihak.

BAB II
PEMBAHASAN

Dasar hukum

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan; “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.” Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa MPR
terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Selain dalam kedua Pasal itu, di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan
bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh badan yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945 itu, dapat dipahami dengan jelas bahwa
pengisian wakil-wakil rakyat baik di MPR, DPR, maupun DPRD, harus menurut aturan yang
ditetapkan Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Sejak awal dikeluarkannya Undang-Undang Pemilihan Umum yang pertama hingga Undang-
Undang terbaru mengenai Pemilu yang terakhir, Undang-Undang Pemilihan Umum telah
mengalami perubahan beberapa kali, yaitu:
1. UU No.7 Tahun 1953. UU ini merupakan UU pertama yang dikeluarkan pemerintah mengenai
pemilu. Untuk memilih anggota DPR, dan Senat dalam Pemilu tahun 1955;
2. UU No.5 Tahun 1969 yang disahkan tanggal 17 Desember 1969 oleh Presiden sebagai
pembuat UU ini, bersama dengan persetujuan DPRGR pada masa itu. Berdasarkan UU tadi,
pemilu dilaksanakan dangan aman dan tertib pada tanggal 3 Juli 1971;
3. UU No.4 Tahun 1975 yang disahkan pada tanggal 24 November 1975, yang disahkan
bersamaan dengan UU No.5 Tahun 1975 dan UU No.3 Tahun 1975. Berdasarkan UU tadi, maka
pada tanggal 2 Mei 1977 Pemilu ketiga dilaksanakan;
4. UU No.2 tahun 1980 yang disahkan pada tanggal 20 Maret 1980. Kemudian tanggal 2 Mei
2982, digelar Pemilu keempat di Indonesia;
5. UU No.1 tahun 1985 yang disahkan bersamaan UU No.5 Tahun 1985. Pada tanggal 23 April
1987 dilaksanakan Pemilu kelima di Indonesia;
6. UU ini tetap digunakan dalam Pemilu keenam dan ketujuh, yang masing-masing pada tanggal
9 Juni 1992 dan Mei 1997;
7. Pada tanggal 7 Juni 1999, digelar Pemilu kedelapan. Namun, tidak sampai 1 tahun Presiden
Soeharto memimpin, ia harus berhenti. Atas desakan politik pada saat itu, MPR segera
menetapkan agenda pemilu secepatnya. Padahal secara konstitusional, jabatan Presiden baru
berakhir tahun 2003. Maka untuk pertama kalinya Pemilu pasca orde baru dilaksanakan secara
demokratis, luber, dan jurdil pada 7 Juni 1999 dengan UU No.3 Tahun 1999.
8. UU No.4 Tahun 2000 disahkan pada tanggal 7 juni 2000 untuk menggantikan UU No.3 Tahun
1999. Kemudian pada tanggal 5 Mei 2004 digelar Pemilu kesembilan di Indonesia. Tapi,
merupakan Pemilu pertama bagi rakyat Indonesia untuk memilih Presiden yang sesuai denagn
keinganan rakyat secara langsung, tanpa melalui perwakilan siapapun.
Pemilu 2004 yang diselenggarakan pada tahun 2004 berbeda dengan Pemilu-pemilu sebelumnya.
Dilihat dari tujuannya, Pemilu-pemilu sebelumnya yang diselenggarakan pada masa lalu adalah
sarana untuk memilih para wakil rakyat untuk memilih para wakil rakyat untuk menjadi anggota
DPR/ MPR. Selanjutnya lembaga ini yang memilih pimpinan nasional dan membuat Garis-garis
Besar Haluan Negara. Pada Pemilu 2004 tidak hanya demikian, karena pada pemilu kali ini juga
akan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Tanda waktu yang bisa dianggap sebagai awal persiapan ke arah Pemilu 2004 adalah
pembubaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 1999 dan pembentukan KPU yang
baru. KPU 1999 dibubarkan tahun 2000, tak lama setelah dikeluarkannya UU No.4 tersebut.
Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Atas dasar itu, UU No. 4
tersebut pada tahun 2004 dimasukkann dalam kelompok UU dan Peraturan Pemilu 2004.

Pembahasan

Sistem Pemilihan Umum


Istilah “Sistem Pemilihan Umum” sudah sering didengar dan dibaca di berbagai media massa.
Tidak jarang pula setiap hal yang berhubungan dengan pemilihan umum disebut sebagai ”sistem
pemilu”. Sesungguhnya istilah “sistem pemilu” memiliki definisi yang lebih sempit dan ketat.
“Sistem Pemilihan Umum” adalah rangkaian aturan yang menurutnya (1) pemilih
mengekspresikan preferensi politik mereka, dan (2) suara dari para pemilih diterjemahkan
menjadi kursi”
Sistem Pemilihan Umum mempengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilu, sehingga sistem
pemilu juga mempengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian.
Elemen dalam Sistem Pemilihan Umum adalah:
• Besar distrik
Adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik
pemilihan. Besar distrik bukan berarti berapa jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut.
Berdasarka definisi tersebut, maka kita dapat membedakan distrik menjadi distrik beranggota
tunggal (single member district) dan distrik beranggota jamak (multi member district).
• Struktur kertas suara
Adalah cara penyajian pilihan diatas kertas suara. Cara penyajian pilihan ini menentukan
bagaimana pemilih kemudian memberikan suara.
Jenis pilihan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kategorikal dimana pemilih hanya memilih satu
partai atau calon, dan ordinal dimana pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan
preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah
gabungan antara keduanya
• Electoral Formula
Adalah bagian dari system pemilihan umum yang membicarakan penerjemahan suara menjadi
kursi. Termasuk di dalamnya adalah rumus yang digunakan untuk menterjemahkan perolehan
suara menjadi kursi, serta batas ambang pemilihan.
Syarat dan Kelengkapan Administrasi

Yang dimaksud disini adalah syarat dan kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi oleh para
calon presiden dan calon wakil Presiden dan partai yang mencalonkan.
Berikut ini diantaranya sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh individu pasangan calon
Presiden-Wakil Presiden:
1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri;
3) Tidak pernah mengkhianati negara;
4) Mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden
dan wakil presiden;
5) Bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
6) Tidak memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan /atau secara badan hukum yang
menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
7) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan cita-cita
proklamasi 17 Agustus 1945;
8) Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana maker berdasarkan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
9) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI;
10) Belum pernah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan
dalam jabatan yang sama.
Sedangkan syarat parpol dan gabungan parpol untuk dapat mengajukan usulan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota
DPR sekurang-kurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 5% dari perolehan suara sah secara
nasional hasil pemilu. Dalam memenuhi persyaratan untuk mengusulkan pasangan calon, parpol
atau gabungan parpol hanya dapat menggunakan salah satu persentase perolehan kursi DPR atau
persentase perolehan suara sah Pemilu DPR.
Pelanggaran dalam Pemilu

Ada banyak jenis maupun sifat pelanggaran yang terjadi dalam proses Pemilu. Pelanggaran itu
bisa dilakukan oleh siapapun pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
proses Pemilu.
Beberapa jenis pelanggaran dalam proses Pemilu diantaranya:
Bersifat kerahasiaan;
Bersifat kerahasiaan yang dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilu;
Pengaruh yang tidak sah;
Penyuapan;
Penghasutan yang membuat kekerasan;
Membawa senjata di sekitar Tempat Pemungutan Suara;
Gangguan terhadap proses dan penghalangan terhadap petugas;
Perilaku tak terkendali di Tempat Pemungutan Suara;
Pengaruh yang tidak sah dan penyuapan terhadap petugas;
Penyamaran dll;
Pelanggaran ketentuan yang berkaitan dengan proses penghitungan suara;
Campur tangan dalam proses penghitungan;
Pengumuman yang bersifat menyesatkan atau menipu;
Siapapun boleh mengadukan atau menyampaikan keluhan kepada kepolisian berhubungan
dengan pelanggaran yang dinyatakan sesuai dengan regulasi yang sedang berlaku.
Seseorang yang melanggar ketentuan yang telah disepakati akan dikenai hukuman sesuai dengan
hukum yang berlaku atau disesuaikan dengan kesalahan yang telah diperbuat. Pengantar
Redaksi
Pemilu 1955 untuk anggota parlemen dan konstituante Republik Indonesia dilaksanakan masing-
masing pada 29 September dan 15 Desember. Dua tahun kemudian terbitlah buku yang
membahas peristiwa tersebut. Penulisnya, Herbert Feith, yang meninggal dalam usia 72 tahun di
Melbourne pada 15 November 2001, menyaksikan sendiri tidak hanya peristiwa itu, tapi juga
rangkaian peristiwa sebelum dan sesudahnya. Kebetulan waktu itu ia bekerja di Kementerian
Penerangan RI, 1951-3 dan 1954-6. Masa empat tahun itu telah mengantar Herberth Feith untuk
memperoleh gelar doktor di Cornell University, 1960.

Jadi, Herbert Feith menulis karyanya ini berdasarkan pengalaman pribadi ditambah dengan
berbagai dokumen dan berita media massa, yang dikatakannya “sangat bebas” waktu itu. Karya
ini aslinya berjudul The Indonesian Election of 1955 yang terbit pada 1957 atas permintaan
George McTurnan Kahin, waktu itu pemimpin Modern Indonesia Project, Southeast Asia
Program, Cornel University. Terbit sebagai bagian Interim Report Series (Seri Laporan
Sementara) lembaga tersebut barusan, karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang
diterbitkan pada Februari 1999 oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta.

KPG sengaja menerbitkan terjemahan karya ini dengan harapan agar pemilu ke-8, yang
direncanakan terlaksana pada 7 Juni 1999, berhasil dengan baik seperti pemilu 1955. Itu berarti
pemilu berjalan tidak hanya secara “luber” (langsung, umum, bebas, rahasia), tapi juga secara
“jurdil” (jujur dan adil). Maklum, enam kali pemilu setelah 1955, yang semuanya dilakukan
selama Orde Baru, samasekali tidak “luber”, apalagi “jurdil”. Juga maklum, meski Orde Baru
sudah tumbang dan bangsa Indonesia berjuang kembali membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara yang demokratis lewat reformasi, tiada jaminan bahwa perjuangan itu tidak akan
digagalkan oleh sisa-sisa kekuatan jahat Orde Baru. Pendek kata, terbitnya terjemahan karya ini
diharapkan dapat menjadikan Pemilu 1955 sebagai bahan pembanding, sekaligus sebagai sumber
semangat reformasi.

Ternyata memang, Pemilu 1999 tidak hanya terlaksana sebagus Pemilu 1955, tapi juga sama
malangnya. Meski pun terlaksana “luber” dan “jurdil”, dua pemilu itu dibuat memar sebelum
mekar oleh kuman penyakit yang memilih main dagang sapi lewat prosedur formal. Selama
1959-99, prosedur formal itu bernama MPR (Majelis Permusyaratan Rakyat). Cengkeraman
kuman penyakit ini tidak berkurang, malah bertambah, kendati pada 2003 kekuasaan MPR
berhasil disesuaikan dengan perubahan UUD 1945. Sejak Pemilu 2004 yang berhasil terlaksana
dengan “luber” dan “jurdil”, bukan hanya MPR, tapi seluruh UUD 1945 yang sudah beberapa
kali berubah itu dijadikan prosedur formal belaka.

Puncak cengkeraman kuman penyakit itu tampak tercapai dalam Pemilu 2009. Kali ini, bukan
hanya MPR dan seluruh UUD 1945 dijadikan prosedur formal, tapi kemungkinan besar juga
pemilu “luber” dan “jurdil” itu sendiri. Karena kuman penyakit itu bermain dalam pemilu, sudah
saatnya sekarang melihat apakah Pemilu 1955 sudah mengandung benih-benih penyakit tersebut.
Sebelum melihat secara ringkas paparan Herbert Feith mengenai Pemilu 1955, baik sekali kalau
kita membaca kembali tanya-jawab dia dengan wartawan Detak, M. Najib Azca, Februari 1999,
yang dimuat juga dalam buku terjemahan itu.

 
Wawancara Herbert Feith dan M. Najib Azca

Tanya:     Apa kunci keberhasilan Pemilu 1955 sehingga berlangsung demokratis dan


relatif   aman dan damai?

Jawab:     Salah satu kuncinya adalah diwakilinya semua partai di dalam badan penyelenggara.
Memang, ada sejumlah usaha pemaksaan kehendak oleh pejabat lokal, tetapi itu biasanya
diimbangi oleh usaha partai-partai lain yang melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi
atau kepada wartawan. Praktek intimidasi oleh pemuka partai tidak jarang terjadi, terutama di
daerah-daerah di mana satu desa atau dukuh menjadi monopoli satu partai. Tetapi, keberhasilan
partai-partai besar untuk mendirikan ranting di mana-mana menjadikan proses saling mengawasi
umumnya cukup efektif.

Tanya:     Jumlah partai pada saat itu banyak sekali. Apakah tidak terlalu membingungkan bagi
pemilih?

Jawab:     Mula-mula membingungkan, tetapi hal itu menjadi perangsang bagi aktivis paratai
untuk menjelaskan halnya. Akhirnya, pemilu menjadi sarana untuk menyaring siapa yang dapat
mengumpulkan suara pemilih dalam jumlah besar dan siapa yang kurang dapat mengumpulkan
massa pemilih, alias partai gurem.

Tanya:     Tetapi, Pemilu 1955 tidak menjamin kelanjutan sistem demokrasi parlementer. Sistem
itu malah dikuburkan hanya beberapa tahun sesudahnya. Apa sebabnya?

Jawab:     Memang besar ironinya. Kampanye pemilu yang sangat sengit itu – dan berlangsung
lama sekali  – memperuncing konflik sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang
mencolok pada masa kamanye itu menjadi jelas lagi pada masa pascapemilu, yaitu pada masa
kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (Maret 1956 – Maret 1957). Dari empat partai yang keluar
sebagai pemenang dalam pemilu 1955  – PNI, Masyumi, NU dan PKI  – semuanya, kecuali PKI,
diwakili dalam kabinet Ali itu. Tetapi, konflik PNI-Masyumi berjalan terus di dalam kabinet itu,
sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu menyuburkan lahan bagi beberapa aktor
politik yang dari dulu merasa diri dikesampingkan oleh sistem demokrasi parlementer. Yang
paling nyata Presiden Soekarno dan pimpinan tentara.

Tanya:     Proses peralihan dari sistem demokrasi parlementer ke sistem demokrasi terpimpin


bagaimana?

Jawab:     Panjang juga prosesnya. Tanda kegoyahan sistem demokrasi parlementer mulai


kelihatan pada pertengahan 1956. Ada berbagai gerakan etnis, seperti gerakan Sunda dan
gerakan Minangkabau. Selain itu ada gejolak anti-Cina, yang selama bertahun-tahun tidak
kelihatan. Namun yang terpenting adalah gerakan yang muncul di daerah-daerah seperti
Sumatera dan Sulawesi, khususnya di daerah-daerah penghasil bahan mentah seperti karet dan
kopra, yang merasa dirinya dirugikan karena kurs rupiah atas dollar makin artifisial (kurs resmi
sudah menjadi artifisial dengan meningkatnya inflasi). Di daerah-daerah itu, panglima yang putra
daerah menjadi semakin berani menolak kebijakan pemerintah pusat.

Pada bulan Oktober 1956 Presiden Soekarno mengambil prakarsa yang baru, yakni mengajukan
usul-usul mengenai perlunya sistem politik diubah menjadi “demokrasi terpimpin”. Menurutnya,
demokrasi a la Barat terbukti tidak tepat bagi Indonesia, tidak cocok dengan kepribadian bangsa.
Pada Maret 1957 dia menerima tekanan dari pimpinan angkatan darat supaya dinyatakan
“keadaan bahaya”. Kenyataan itu berarti pimpinan tentara diberi kekuasaan hukum yang baru,
begitu juga panglima-panglima di daerah.

Proses perubahan sistem politik menjadi lebih otoriter dilanjutkan setelah itu. Posisi pimpinan
pusat tentara diperkuat oleh pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada Desember
1957. Dan diperkuat lagi dengan penumpasan gerakan daerah yang mendirikan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958.

Proses pengotoriteran pemerintah itu mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya  Dekrit


Presiden pada 5 Juli 1959, yang menegakkan kembali Undang-undang Dasar 1945. Berakhirnya
masa demokrasi parlementer biasanya dihitung dari Dekrit itu.

Tanya:     Apa sebab utama demokrasi parlementer tidak bisa bertahan?

Jawab:     Satu faktor yang penting ialah kerjasama yang bisa diciptakan antara presiden dengan
pimpinan tentara, setelah Kolonel Nasution diangkat kembali sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat pada Oktober 1955. Sistem demokrasi terpimpin bisa dikatakan sebuah koalisi antara dua
kekuatan itu, yang tadinya bersaing dan saling mengimbangi.

Selain itu, ada faktor pengharapan sangat tinggi yang diciptakan oleh revolusi. Kabinet-kabinet
yang memegang pemerintahan selama masa demokrasi parlementer semua dianggap kurang
berhasil, walau pun keberhasilannya tidak sedikit. Semuanya kurang sanggup memberikan
pimpinan yang inspiratif, sehingga banyak orang mengeluh pimpinan nasional hanya cekcok
saja.

Pelaksanaan pemilihan umum diharapkan mengubah keadaan ituk tetapi ternyata tidak sanggup
mengobatinya, jadi timbul kekecewaan besar.

Tanya:     Apakah partai-partai politik yang tumbuh marak sejak Mei 1998 tepat dianggap
sebagai sambungan dari penglompokan politik pada 1955?

Jawab:     Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan cukup mudah dilihat sebagai lanjutan
PNI (Partai Nasional Indonesia). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mungkin sekali berhasil
menjadi wakil utama masyarakat NU. Ahli waris Masyumi tidak begitu mudah dilihat. Partai
Amanat Nasional (PAN) mungkin sekali akan keluar sebagai wakil utamanya, walau pun
disaingi oleh Partai Bulan Bintang dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Yang paling sulit
dilihat kelanjutannya ialah Partai Komunis Indonesia (PKI). Selama Orde Baru anak cucu orang
PKI condong berindung di bawah pohon beringin-nya Golkar. Tetapi pola itu mungkin sudah
berlalu.

Tanya:     Apakah gejala aliran akan berperan besar lagi dalam Pemilu 1999 ini?

  Jawab:     Saya kira masih kuat sekali pola aliran itu, khusus di Jawa. Dan itu bukan sesuatu
yang perlu disesalkan. Kalau pemilu diuji menurut pengetahuan yang dimiliki oleh massa
pemilih mengenai program partai-partai, saya kira itu salah. Pemilu, di mana-mana, lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor kepercayaan dan kecurigaan daripada faktor seperti program partai-
partai.

Bayangkanlah seorang petani di Jawa Timur yang dianjurkan memilih PKB oleh seorang kiai
yang menjadi pamannya, selain itu dianjurkan memilih PAN oleh seorang tetangganya yang
bekerja sebagai guru SMP, dan diajak memilih PDI Perjuangan oleh seorang keponakannya yang
menjadi tokoh mahasiswa. Pilihannya pasti banyak dipengaruhi oleh hubungan pribadi dengan
tiga orang itu, oleh tingkat kepercayaannya pada orang-orang yang menjadi wakil tiga aliran itu.
Selain itu, pasti dipenguhi juga oleh identitas budaya-agama si pemilih sendiri, yaitu apakah dia
lebih dekat pada NU atau Muhammadiyah atau pada tradisi sinkretis Marhaenis-Soekarnois.
Pemilih itu jangan dianggap bodoh atau ikut-ikutan saja kalau dia memberikan suaranya tanpa
banyak mengetahui program-program partai.

Tanya:     Pemilu 1999 diadakan di tengah-tengah krisis ekonomi yang memiskinkan banyak


orang dan meningkatkan kekerasan sosial. Dalam keadaan yang suram dan penuh
ketidakpastian itu, apakah kita bisa mengharapkan Pemilu 1999 dapat memberikan sumbangan
yang positif bagi proses reformasi dan demokratisasi?

Jawab:     Ujiannya memang berat. Tetapi saya lihat ada beberapa sumber harapan. Pertama-
tama, unsur-unsur reformasi kemungkinan besar diperkuat kedudukannya ketimbang unsur Orde
Baru sebagai akibat kampanye pemilu.  Hal itu bukan hanya tema-tema yang demokratis dan
anti-otoriter yang dibawa oleh hampir semua pimpinan partai. Selain itu, ada faktor pendidikan
yang diberikan kepada masyarakat umum mengenai lembaga-lembaga politik yang cocok dengan
prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Masyarakat sudah mulai belajar banyak mengenai
institusi demokrasi sebagai akibat dari perdebatan mengenai sistem pemilu yang tepat. Proses
belajar itu pasti dilanjutkan selama kampanye, di antaranya oleh badan penyelenggara pemilu,
oleh partai-partai sendiri, oleh LSM dan mahasiswa yang mengusahakan pendidikan pemilih
dan  pemantauan pemilu, dan oleh wartawan.

Tanya:     Bagaimana prospek demokrasi konstitusional sekarang ini dibandingkan 1955?

Jawab:     Pada 1955 lembaga-lembaga demokrasi konstitusional berdiri, tetapi berjalan lumpuh.


Tugas utama memperkuatnya. Dan tugas itu memang tidak tercapai. Tugas yang dihadapi
sekarang ialah menegakkannya kembali, setelah 40 tahun, setelah dialaminya dua macam
pemerintahan otoriter.

Perubahan yang terjadi selama 40 tahun itu banyak sekali. Ada yang membantu menegakkan
demokrasi, ada yang mempersulitnya. Masyarakat Indonesia sekarang memang lain sekali
daripada waktu itu. Lebih urban, lebih makmur, lebih banyak dipengaruhi oleh media massa,
lebih terglobalisasi. Struktur kelasnya lain sekali.

Satu hal yang sangat membantu dalam hal menegakkan kembali lembaga-lembaga demokrasi
ialah renungan mengenai unsur pahitnya dua macam pemerintahan otoriter itu. Rezim Demokra
Terpimpin dan Orde Baru, keduanya dibenarkan dengan alasan sesuai dengan kepribadian
Indonesia, dengan sejarah dan kebudayaannya. Pada zaman Orde Baru, Indonesia berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat sekali, sehingga mendapat performance
legitimacy (legitimasi berdasarkan kinerja). Tetapi, kedua rezim itu akhirnya membawa
kekecewaan besar.

Penyakit-penyakit politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme meningkatkan daya tarik cita-
cita demokrasi yang dijunjung tinggi oleh pejuang anti-penjajahan yang merintis Republik
Indonesia dan mendirikannya. Maka, pada tahun terakhir masa Orde Baru timbul banyak
tuntutan akan perlunya lembaga politik di luar pimpinan negara yang menjamin hak-hak azasi
manusia, kepastian hukum, pemerintahan yang transparan dan amanah (accountable), dan
otonomi daerah.

Penyalahgunaan kekuasaan menjadikan banyak orang sadar faedah checks and balances yang


bisa mencegah timbulnya one-man rule dan gejala kroni. Pinsip-prinsip negara integralistik
didiskreditkan karena disadari bertentangan dengan pemerintahan yang accountable.

Pemantauan Pemilu

Dengan mempertimbangkan bahwa pemilihan umum perlu diselenggaraka secara lebih


berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan dilaksanakan berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 136 ayat (4) UU
No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, anggota DPR, DPD, dan DPRD perlu memutuskan
pemantau pemilihan umum, dan tata cara pemilihan umum dengan keputusan Komisi Pemilihan
Umum.
Menurut Keputusan KPU No. 104 Tahun 2003 mengenai pemantau pemilu selengkapnya dapat
dijelaskan secara gamblang sebagai berikut:
Pemantauan adalah hal-hal yang berkaitan dengan memantau penyelenggaraan pemilu pada
setiap tahapan yang dilakukan secara objektif dan tidak memihak. Pemantau Pemilu meliputi
lembaga swadaya masyarakat dan badan hukum, baik dalam maupun luar negeri, serta
perwakilan luar negeri yang secara sukarela memantau pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Pemantau Pemilu harus memenuhi syarat:
a) Bersifat independen;
b) Mempunyai sumber dana yang jelas;
c) Memperoleh akreditasi dari KPU
Beberapa hak dan kewajiban pemantau diantaranya adalah:
Mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari pemerintah Indonesia
Mengamati dan mengumpulkan informasi jalannya proses pelaksanaan Pemilu dari tahap awal
sampai akhir
Berada di TPS pada hari pemungutan suara dan memantau jalannya proses pemungutan suara
sesuai dengan ketentuan, serta mendapatkan akses informasi dari KPU dan melaporkan setiap
pelanggaran Pemilu kepada Pengawas Pemilu
Berkewajiban mematuhi kode etik Pemantau Pemilu
Menanggung sendiri semua biaya selama kegiatan pemantauan berlangsung
Mematuhi perundang-undangan dan menghormati kedaulatan Negara Republik Indonesia
Melaksanakan peranannya sebagai pemantau secara tidak memihak dan objektif
Tabulasi Nasional Pemilu

Komisi Pemilihan Umum membuka Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) dengan tujuan agar
penghitungan suara Pemilu 2004 ini dapat lebih transparan karena dapat diketahui semua pihak
dengan mudah. TNP ini merupakan tempat tampilan data hasil pemungutan suara melalui
Teknologi Informasi (TI) yang dikirim dari Kantor Kecamatan ke Data Centre KPU.
Harapan KPU penghitungan suara dengan menggunakan TI dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden ini, lebih baik daripada yang digunakan dalam Pemilu Legislatif lalu.
Aplikasi ini merupakan sumbangan pikiran dari para peminat Teknologi Informasi. Mereka
umumnya mengkoreksi aplikasi melallui workshop maupun masukan langsung pada tim TI.
Kesiapan Vendor
Pada umumnya para vendor TI mengemukakan hal yang sama, merka telah siap untuk
penghitungan suara melalui TI. Seperti yang diungkapkan para vendor TI KPU yaitu PSN,
Integrasi, HP.
Dari pihak PT. Integrasi Teknologi mengemukakan bahwa mereka telah mempersiapkan
infrastruktur untuk Pemilu Presiden putaran I. computer telah disebarkan ke seluruh lokasi.
Untuk peralatan penginput, telah dilakukan pengecekan. Seperti infrastruktur, personal
computer, dan situs semuanya sudah siap.
Untuk Data Center telah dicek dan siap untuk dipakai. Sedangkan mengenai personal
pendukung, PT. Integrasi menyediakan help desk dan principal Data Center and Data Recovery
Centre semuanya siap.
Kemudian pihak HP selaku penyedia perangkat keras mengemukakan bahwa HP telah
menyiapkan stand by engineering dan juga call center untuk mendukung 10 hari ke depan, dan di
daerah terdapat service point.
Selanjutnya dari pihak PSN, yang dalam hal ini penyedia jaringan dari kecamatan sampai ke
kantor pusat KPU melalui satelit. Dalam hal ini, PSN menggunakan produk Pasti di 1850
kecamatan. Dan proses instalasinya telah siap sejak 2 bulan sebelumnya.

BAB III 
KESIMPULAN

Kesimpulan

Pemilihan umum adalah suatu ajang yang dilaksanakan dalam suatu negara untuk memilih wakil
rakyat yang duduk dalam kelembagaan negara yang dilakukan dengan cara pemungutan suara
terbanyak.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 4 UU No. 3 Tahun1999, pemilihan umum bertujuan untuk memilih:
a. Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
b. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
c. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I
d. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II
Sistem Pemilihan Umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya (1) pemilih mengekspresikan
preferensi politik mereka, dan (2) suara dari para pemilih diterjemahkan menjadi kursi.
Sistem Pemilihan Umum mempengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilu, sehingga sistem
pemilu juga mempengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian.
Elemen sistem Pemilihan Umum adalah:
• Besar distrik
Adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik
pemilihan. Besar distrik bukan berarti jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, maka kita dapat membedakandistrik menjadi distrik beranggota
tunggal (single member district) dan distrik beranggota jamak (multi member district)
• Struktur Kertas Suara
Yang dimaksud dengan struktur kertas suara adalah cara penyajian pilihan diatas kertas suara.
Cara penyajian pilihan ini menentukan bagaimana pemlih kemudian memberikan suara.
Jenis pilihan dapat dibedakan mejadi dua, yaitu kategorikal diamna pemilih hanya memilih satu
partai atau calon, dan ordinal dimana pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan
preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah
gabungan dari keduanya.
• Electoral Formula
Adalah bagian dari system pemilihan umum yang membicarakan penerjemahan suara menjadi
kursi. Termasuk di dalamnya adalah rumus yang digunakan untuk menerjemahkan perolehan
suara menjadi kursi, serta batas ambang pemilihan (electoral threshold)

Landasan Hukum
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD”. Kemudian Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota
DPR dan anggota-anggota DPRD. Selain kedua pasal itu, di dalam penjelasan UUD 1945
disebutkan bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang pemilihan umum mulai dari pemilu pertama hingga pemilu yang terakhir telah
mengalami perubahan beberapa kali, yaitu:
a) UU No.7 Tahun 1953 untuk Pemilu pertama pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR
dan Senat
b) UU No.5 Tahun 1969 yang disahkan tanggal 17 Desember 1969. Berdasarkan UU tadi,
pemilu kedua dilaksanakan tanggal 3 Juli 1971
c) UU No.4 tahun1975 yang disahkan tanggal 24 November 1975. Pada tanggal 2 Mei 1977
pemilu ketiga pun digelar
d) UU No.2 Tahun 1980 sebagai dasar dilaksanakannya pemilu keempat pada tanggal 2 Mei
1980
e) UU No.1 Tahun 1985 yang disahkan pada 7 January 1985 sebagai dasar digelarnya Pemilu
kelima di Indonesia. Kemudian pada 9 Juni 1992, Pemilu keenam dilaksanakan, dengan tetap
menggunakan UU Pemilu No.1 Tahun1985. demikian pula dengan pemilu ketujuh pada bulan
Mei 1997.
f) Pada 7 Juni 1999 digelar pemilu kedelapan. Namun tak sampai satu tahun Presiden Soeharto
memimpin, harus berhenti. Karena desakan politik saat itu, MPR segera menetapakan agenda
pemilu secepatnya. Maka atas dasar itu, disusunlah UU No.3 Tahun 1999
g) Kemudian untuk Pemilu 5 Mei 2004, menggunakan UU No.4 Tahun 2000 sebagai dasar
hukumnya

Saran
Guna menyempurnakan isi dari makalah Hukum Tata Negara ini, diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai Pemilu secara mendetail.
Selain itu, diharapkan adanya kritik dan saran yang dapat membangun serta membuat makalah
ini lebih bermanfaat lagi.

(http://lawartikel.blogspot.com/2010/11/pemilihan-umum.html)

Anda mungkin juga menyukai