Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Kode etik Asosiasi Psikologi Amerika yang sekarang ini (2002) menampikan dua bagian
yang berbeda: Prinsip-prinsip Umum dan Standar Etik. Masing masing bagian ini mengarahkan
psikolog pada perilaku etis dengan cara berbeda. Item item di bagian Prinsip Umum bersifat
aspirasional. Dengan kata lain, mereka mendeskripsikan tingkat fungsi etis ideal atau
bagaimana psikilog seharusnya berusaha memimpin dirinya sendiri. Di dalamnya tidak termusak
definisi spesifik tentang pelanggaran-pelanggaran etik;sebaliknya, mereka menawarkan deskripsi
yang lebih luas tentang contoh perilaku etis. Terdapat lina prinsip umum, dan di dalam Tabel 1,
masing-masing ditunjukkan berdampingan dengan kalimat pilihan yang dikutip dari deskripsi
yang lebih panjang di dalam kode etik.
A. Kebaikan dan tidak "Psikolog berusaha memberi manfaat pada mereka yang mereka
merugikan tangani dan bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian pada
mereka".
E. Menghormati Hak "Psikolog menghormati martabat don nilai semua orang, dan hak
dan Martabat individu atas privasi, kerahasiaan den determinasi-diri"
Manusia
Berlawanan dengan bagian Prinsip Umum, bagian Standar Etik dari kode etik mencakup
aturan-aturan perilaku yang dipaksakan. Jadi, jika seorang psikolog ditemukan bersalah atas
sebuah pelanggaran etik, sebuah standarlah (bukan sebuah prinsip) yang telah dilanggar. Standar
ini ditulis dengan cukup luas agar dapat mencakup rentang kegiatan yang luas yang melibatkan
psikolog, namun demikian lebih spesifik dibandingkan prinsip-prinsip umumnya. Meskipun
masing-masing prinsip umum dapat dipaksakan pada hampir setiap tugas yang dilaksanakan
seorang psikolog, setiap standar etik biasanya berlaku pada aspek kegiatan profesional yang
lebih tertarget.Stardar etik dibagi menjadi 10 kategori (yang didaftar di dalam Tabel 2), dan,
secara kolektif, kesepuluh kategori ini mencakup 89 standar individual.
2. Kompetensi
3. Hubungan Manusia
9. Penilaian
10. Terapi
Penting untuk dingat bahwa kode etik seharusnya dipahami bukan hanya sebagai sebuah
daftar aturan yang harus diikuti dan kesalahan yang harus dihindari, tetapi juga sebagai sumber
aspirasi untuk perilaku etis yarg setinggi-tingginya. Knapp dan VandeCreek (2006)
mendeskrirsikan kedua pendekatan etika ini masing-masing sebagai etika "remedial" dan
"positif”. Pendekatan etika remedial melibatkan bertindak dengan porsi yang cukup untuk
menghindari masalah apa pun yang mungkin timbul dari pelanggaran terhadap standar etik,
tetapi pendekatan etika positif akan melibatkan,mengerahkan segala upaya untuk memastikan
untuk berperilaku profesional sekonsisten mungkin dengan prinsip-prinsip etik. Sebagai contoh,
Knapp dan VandeCreek membahas kewajiban etis kompetensi. Psikolog dengan pendekatan
etika remedial mungkin tidak mau repot repot untuk menjadikan dirinya kompeten untuk
kegiatan tertentu (misalnya, mengambil kuliah, mendapatkan supervisi), tetapi psikolog dengan
pendekata etika positif akan berusaha menjadi sekompeten mungkin (misalnya, mengani kuliah
tambahan, supervisi ekstra, belajar sendiri, mengurus diri sendiri)
Ketika isu etik timbul, seorang psikolog klinis seharusnya dipersenjatai dengan sebuah
proses untuk memungkinkan keputusan yang paling etis. Kode etik Asosiasi Psikologi Amerika
(2002) tidak menawarkan model pengambilar keputusan apa pun, tetapi model-model tersebut
telah direkomendasikan oleh sejumlah ahli di bidang itu (misalnya, Knapp & VandeCreek, 2006;
Koocher & Keith-Spiegel, 2008; Pope, 2011; Treppa, 1998). Salah satu ahli tersebut adalah
Celia Fisher, yang menjabat sebagai ketua Satuan Tugas Kode Etik Asosiasi Psikologi Amerika,
panitia yang bertanggurg jawab untuk membuat revisi kode etik tahun 2002. Di dalam bukunya,
Dacoding the Ethies Code, Fisher (2012) mengusulkan sebuah model delapan langkah untuk
pengambilan keputusan etis. Dengan bahasa yang sedikit diadaptasi, model itu disuguhkan di
sıni:
1. Sebelum timbul dilema etik, buat komitmen urtuk mclakukan apa yang pantas secara
etik.
4. Coba pahami perspektif berbagai pihak yang terpengaruh oleh tindakan yang Anda
ambil. Berkonsultasilah dengan rekan-rekan sejawat (selalu lindungi kerahasiaan)
untuk mendapatkan masukan tambahan dan diskusi
6. Pilih dan impelementasikan rangkaian tindakan yang tampaknya paling pantas secara
etik.
8. Bilamana perlu, lakukan modifikasi dan evaluasi rencana etik secara kontinu.
Sebelum beralih ke model pengambilan keputusan etis langkah-demi-langkah, psikolog
sebaiknya menyiapkan dirinya untuk mengatasi dilema etik dengan menjadi orang yang secara
umum etis dengan nilai-nilai yang baik. Dengan kata lain, berfungsi sebagai seorang psikolog
yang etis seharusnya bukan sebagai hafalan model pengambilan keputusan yang telah ditentukan
sebelumnya, yang menjadi pedoman satu-satunya. Meskipun model semacam itu jelas dapat
meningkatkan peluang psikolog untuk membuat keputusan yang paling etis, model-model akan
bekerja dengan sebaik-baiknya jika digunakan oleh seseorang yang sadah menelaah nilai-
nilainya sendiri dan menyelaraskan dirinya dengan etika profesi (Tjeltveit & Got:lieb, 2010).
Bertahun-tahun sejak studi tahun 1987 oleh Pope dan kawan-kawan. peneliti lain telah
menggunakan metodologi serupa untuk memeriksa lebih jauh keyakinan etis psikolog, Sebuah
studi menemukan bahwa keyakinan etis psikolog mungkin bervariasi menurut titik waktu atau
wilayah negara tempat dikumpulkannya data (Tubbs & Pomerantz, 2001), sementara yang lain
menermukan bahwa keyakinan etis psikolog mungkin bervariasi menurut gender atau umur
klien, kepada siapa perilaku mereka diarahkan (Pomerantz, 2012a, Pemerantz & Pettibone,
2005). Jadi, meskipun kode etik Asosiasi Psikologi Amerika (2002) berfungsi sebagai kekuatan
pemandu, keyakinan yang benar-benar dipegang oleh psikolog, yang berhubungan erat dengan
perilaku yang mereka tunjukkan (Tope dan kawan-kawan, 1987), mungkin rentan terhadap
pengaruh pengaruh lain.
KERAHASIAAN
Salah satu karakteristik yang berkaitan paling erat dengan prakteke tis psikologi klinis
adalah kerahasiaan (M. A. Fisher, 2012). Faktanya, kerahasiaan disehutkan secara khusus
diantara prinsip-prirsip umum (di dalam Prinsip E:Menghormati Hak dan Martabat Manusia) dan
di banyak standar etis spesifik - termasuk Standar 4.01. "Menjaga Kerahasiaan", yang dimulai
dengan, "Psikolog memiliki kewajiban primer dan mergambil tindakan pencegahan yang wajar
untuk melindungi informasi rahasia" (Asosiasi Psikologi Amerika, 2002, hlm 1066).
Terdapat alasan yag kuat untuk menekankan tentang kerahasiaan di dalam profesi
psikologi: Profesi kita dipercaya oleh publik untuk memberikan pelayanan profesional tanpa
berbagi detail-detail pribadi rahasia didalam prosesnya. Akan tetapi, publik mungkin tidak
menyadari tentarg fakta bahwa kerahasizan tidak bersifat mutlak. Meskipun kebanyakan orang di
luar profesi keschatan mental mungkin berasumsi bahwa psikolog menjaga kerahasiaan semua
infor- masi (Miller & Theler, 1986), kebenarannya adalah behwa berbagai situasi tim- buldan
psikolog diwajibkan untuk membongkar rahasia. Banyak situasi sema- cam itu yang ditetapkan
oleh kasus-kasus pengadilan, termasuk kasus terkenal yang melibatkan kematian Tatiana
Tarasoff. Tarasoff dan Tugas untuk Mengingatkan Pada 1969, Prosenjit Poddar adalah seorang
mahasiswa di University of Ca- lifornia di Berkeley. Ia tertarik dengan Tatiana Tarasoff, dan
ketika hubungan mereka tidak menuju ke arah yang diinginkannya, keadaan mentalnya mem-
buruk dan ia mencari psikoterapi di pusat konseling universitas dari seorang peikolog, Dr.
Lawrence Moore. Selama sebuah sesi pada Agustus 1969, Poddar memberitahukan pada Dr.
Moore bahwa ia bermaksud membunuh Tarasoff. Dr. Moore percaya bahwa komentar Poddar
dapat dipercaya, jadi ia membongkar rahasia terapis-klien danmengentak polisi kampus. Polisi
kampus mewawan- carai Poddar tetapi tidak menahannya, karena ia berjarji akan menghindari
Tarasoff dan tampak rasional pada saat wawancara dilakukan. Poddar tidak pernah kembali ke
terapi. Pada 27 Oktober 1969, Poddar membunuh Tarasoff dengan menikam dan menembaknya.
Orang tua Tarasoff kemudlan menuntut Dr Moore dan pihak-pihak lain yang terlibat di dalam
kasus kematian yang seharusnya tidak perlu terjadi. Pengadilan menganggap bahwa psikolog
tersebut bertanggung jawab karena tidak mengingatkan Tarasoff tentang bahaya tersebut (Krapp
de VandeCreek, 2006). Dengan kata lain, meskipun Dr. Moore menbongkar rahasia dan
menghubungi polisi kampus, pengadilan memutuskan bahwa tindakannya tidak cukup-ia
seharusnya berusaha mengontak Tarasofi nengingatkan secara langsung bahwa ia dalam bahaya.
Alasan dibalik kewajiban untuk mengingatkan itu jelas: Di dalam situasi Tarasoff, nyawa
seorang perempuan muda seharusnya dapat diselamatkan jika peringatan diberikan kepadanya.
Dan jika kita menyimak tragedi-tragedi yang lebih mutakhir -pembunuhan Virginia Tech atau
serangan teroris 11 september, misalnya- kita dapat melihat bagaimana, jika pelaku telah
mengungkaplan rencana pembunuhannya kepada terapis, kewajiban untuk mengingatkan
seharusnya dapat mencegah "bahaya publik" skala-besar (Pope, 2011). Akan tetapi. di dalam
penerapannya, isu kewajiban-untuk-mengingatkan dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan sulit
bagi psikolog klinis yang diharapkan untuk menjunjung tinggi kewajiban tersebut. Sebagai
contoh, seberapa akuratkah psikologi klinis dapat menilai kredibilitas pernyataan mengancam
klien atau niat mereka untuk melaksanakan ancaman tersebut? Jenis-jenis ancaman apa yang
perlu diperingatkan -hanya ancaman yang terang-terangan mengancam jiwa atau juga termasuk
jenis-jenis ancaman lain, seperti mengemudi dalam keadaan mabuk atau kekerasan terhadap
pasangan intim (Guedj, Sastre, Mullet & Scrum. 2009, Welfel, Werth & Benjamin, 2012)? Di
titik mana terapi dan sejauh mana psikolog seharusnya lebih mempricritaskan perlindungan
terhadap calon korban daripada menangani kliennya? (Lihat Bersoff, 1976; Krapp &
VandeCreek, 2006; Tribbensee &Claiborn, 2003).
Selama beberapa dekade terakhir, psikolog klinis telah menghadapi sebuah versi
keputusan kewajiban untuk-mengingatkan tentang klien dengan HIV/ AIDS (Chenneville, 2000;
Peter, 1998). Untuk memberi contoh dilema ini, bayangkan bahwa Paul, seorang klen laki-laki
berumur 30 tahun, positif-HIV, menemui Dr. Reed, seorang psikolog klinis, untuk gejala-gejala
depresif. Selama percakapan mereka, Paul menyebutkan kepada Dr. Reed bahwa dirinya aktif
secara seksual, bahwa la tidak selalu mengikuti praktik seksual, dan bahwa ia merahasiakan dari
pasangannya bahwa dirinya positif HIV. Dr. Reed serta-merta menghadapi banyak pertanyaan
menantang: Apakah perilaku Paul merupakan ancaman yang partas diberitahukan kepada
korban-korban potensial untuk mengingatkan mereka? Bagaimana jika dibandingkan dengan
ancaman Poddar untuk membunuh Tarasoff? Jika Dr. Reed membongkar rahasia itu untuk
mengingatkan korban potensial, apa pengaruhnya pada alansi terapeutik dengan Paul dan,
utamanya, pada kesehatan Paul? Kepada siapa Dr. Reed memiliki tanggung jawab primer-Paul
atau orang-orang yang mungkin terancam bahaya karenanya? Sayangnya, bagi psikolog klinis,
tidak ada jawaban mudah untuk pertanyaan-pertanyaan semacam ini.
Jika orargtua menerima pengaturan tersebut, mereka akan cukup memercayai penilaian
psikolog. Pertimbangkan beberapa perilaku saat klien di bawah umur Anda mungkin terlibat
beberapa di antaranya adalah merokok, minum, seks, menmakai obat, tindak kejahatan dan
"memotong" (mutilasi-diri). Di titik mana atau dalam kondisi apa perilaku ini merupakan bahaya
yang membuat psikolog pantas memberitahukan hal tersebut orangtuanya? Sejauh mana umur
anak menjadi salah satu faktor?
Sebagai sebuah contoh klinis, Danica, seorang gadis 17 tahun yang menemui Dr. Terry,
seorang psikolog klinis. Orangtua Danica percaya baiwa Danica pantas menerima jaminan
kerahasiaan bersama Dr. Terry, dan mereka sepakat bahwa Dr. Terry tidak perlu mengulangi isi
konseling mereka secara lengkap: tetapi, orangtua Danica bersikeras agar mereka diberitahukan
jika ada kerugian atau bahaya yang mungkin dialami Danica, Ketika sesi-sesi bejalan. hubungan
terapeutik menguat, dan Danica mulai mengungkapkan kepada Terry tentarg detail-detail
kehidupannya, yang tidak diketahui oleh orang tuanya. Detail-detail tersebut termasuk fakta
bahwa Darica minum alkohol kira-kira seminggu sekali (tetapi tidak sampai mabuk), bahwa ia
pemah sengaja mengiris lengan bawahnya sendiri dengan silet cukur beberapa bula lalu, dan
bahwa pada suatu malam ia menumpang mobil yang dikemudikan oleh seorang temannya yang
saat itu mungkin sedang mabuk. Apakah ada di antara perilaku-perilaku atau situasi-situasi ini
yang mengharuskan Dr. Terry untuk memberitahukan orangtua Danica? Jika tidak, sampai
seberapa jauhkah perilaku itu seharusnya sebelum pantas untuk diberitahukan kepada
orangtuanya? Apa konsekuensi yang dapat diprakirakan oleh Dr. Terry jika ia tidak
memberitahukan orangtua Danica? Apakah jawabannya akan berheda jika Danica berumur 14,
atau 11 atau 8 tahun?
Sebuan isu kerahasiaan terpisah bagi klien di bawah umur adalah penganiayaan anak.
Setiap negara bagian memiliki undang-undang yang mengharuskan profesional kesehatan mental
untuk mengungkap rahasia urtuk melaporkan penganiayaan anak yang telah diketahui terjadi
atau dicurigai terjadi (Knapp & VandeCreek, 2006: Koodcher & Daniel, 2012, Tribbensee &
Claiborn, 2003). (Banyak negara bagian juga memiliki undang-undang menyangkut
penganiayaan terhadap orang dewvasa yang rentan.) Alasan di balik undang- undang tersebut
serupa dengan alasan di balik putusan Tarosoff: beberapa situasi menuntut bahwa tanggung
jawab primer psikolog klinis berubah menjadi pencegahan kerugian. Dan, seperti halnya situasi
tugas-untuk-mengingatkan, situasi penganiayaan anak sering kali mengharuskan psikolog klinis
urtuk mengambil keputusan yang sulit. Akan semakin menantang untuk menentukan dengan
penuh keyakinan apakah penganiayaar anak mungkin telah terjadi, khususnya pada anak-anak
yang tidak sepenuhnya mudah untuk berbicara cengan orang asing, yang mungkin membesar-
besarkan pernyataan melawan orangtuanya, atau yang keterampilan komunikasinya terbatas.
Tujuan umum penanganan psikolog klinis mungkin tetap sederhana -kesejahteraan anak-tetapi di
dalam kasus-kasus ketika di-curigai felah terjadi penganiayaan anak, maka untuk mencapai
tujuan tersebut akan menjadi sangat kompleks.
Sebagai catatan terakhir tentang kerahasiaan, penting untuk dicatat perbedaan antara
standar hukum dan standar etik. Meskipun mungkin berbeda di dalam situasi-situasi tertentu,
petunjuk bagi psikolog klinis yang dirinci di bagian ini -kewajiban untuk mengingatkan di dalam
situasi-situasi seperti-Tarasoff dan kewajiban melaporkan kecurigaan penganiayaan anak-sering
mempresentasikan standar hukum maupun standar etik. Artınya, undang-undang negara bagian
biasanya mewajibkan perilaku semacam itu oleh psikolog klinis, dan kode etik Asosiasi
Psikologi Amerika (2002) mencakup standar-standas yang konsisten dengan undang-undang ini.
Faktanya, salah satu standar etik (402 "Diskusi Batasan Kerahasiaan") secara spesifik
menginstruksikan kepada psikologi klinis untuk "mendiskusikan . batas-batas relevan
kerahasiaan"bersama klien (him. 1.65). Diskusi semacam itu adalah kompunen kunci dari preses
persetujuan tertulis.
PERSETUJUAN TERTULIS
Anda mungkin pemah terpapar gagasan persetujuan tertulis (informed consent) melalui
penelitian psikologi. Jika Anda pernah berpartisipasi di dalam sebuah penelitian psikologi,
mungkin pertama-tama Anda akan menerima informasi tertulis tentang penelitian tersebut, dan
penelitian baru akan dilaksanakan setelah Anda memberikan persetujuan dengan
menandatanganinya. Penelitian tentu. adalah salah satu penerapan penting standar etik yang
melibatkan persetujuan tertulis, tetapi bukan satu-satunya. Penilaian dan terapi juga
membutuhkan persetujuan tertulis menurut kode etik (Asosiasi Psikologi Amerika, 2002).
Sebenarnya, di dalam berbagai kegiatan profesional yang dilaksanakan oleh psikolog,
persetujuan tertulis adalah salah satu proses esensial, Ini memastikan bahwa orang yang
ditangani psikolog memiliki kesempatan untuk mengetahui tentang kegiatan yang melibatkan
partisipasi mereka, dan hal ini memfasilitasi keputusan yang cerdas. Di samping itu, ini
memberikan kesempatan kepada individu-indvidu untuk menolak untuk menyetujui jika mereka
menginginkannya.
Beberapa frasa standar etik ini menyoroti fakta bahwa terapi terlepas dari kegiatan
kegiatan profesional lain yang dilakukan oleh psikolog klinis. Frasa, "sedini mungkin"
menunjukkan bahwa mungkin ada titik-titik berbeda yang menyuguhkan informasi. Faktanya,
sebuah survei terhadap para psikolog yang memberikan terapi menemukan bahwa secara umum,
mereka merasa nyaman menyampaikan informasi generik tertentu, seperti kebijaksanaan tentang
biaya dan kerahasiaan, di awal terapi, tetapi informasi yang lebih spesifik, seperti lamanya,
tujuan, dan substansi psikoterapi, terapi membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengenal
kliennya. Akibatnya, persetujuan tertulis untuk terapi berbeda dengan persetujuan tertulis untuk
penelitian atau penilaian -mungkin sebaiknya dipahami sebagai sebuah proses yang
berkelanjutan dan bukan sebuah peristiwa sekali saja (Pomerantz, 2005). Frasa lain yang perlu
diperhatikan di dalam Standar 1001 adalah "keterlibatan pihak ketiga", bahkan, yang menjadi
perdebatan tepatnya adalah apa dan berapa banyak yang harus diberitahukan kepada klien
tentang pengaruh perusahaan asuransi pada proses terapi (misalnya, Cohen, Marecek & Gillham,
2006, Huber, 1997; Pomerantz, 2000). Terakhir, frasa "memberikan kesempatan yang cukup
bagi klien/pasien untuk bertanya dan mendapatkan jawaban" telah ditanggapi oleh publikasi
daftar pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditawarkan kepada klien di awal terapi dan di titik lain
mana pun yang relevan (misalnya, Pomerantz & Handelsman, 2004).Dari daftar ini, klien dapat
memilih pertanyaan pertanyaan yang menyangkut kepentingannya, yang sebagian mungkin tdak
muncul dari dirinya sendiri.
Standar Etik 3.05a (Asosiasi Psikologi Amerika, 2002) menyatakan bahwa hubungan
ganda adalah,
terjadi ketika seorang psikolog di dalam sebuah peran profesional dengan seseorang dan
(1) di saat yang sama sedang berada di dalam sebuah peran lain dengan orang yang sama,
(2) pada saat yang sama sedang berada di dalam hubungan dengan orang yang memiliki
hubungan dekat dengan seseorang yang memiliki hubungan profesional dengan psikolog,
atau (3) berjanji untuk memasuki sebuah huburgan lain di masa yang akan datang dengan
orang tersebut atau seseorang yarg memiliki hubungan dekat dengan orang tersebut.
(hlm. 1065)
Jadi, hubungan ganda bukan hanya dapat terbentuk ketika scorang peikolog mengenal
seseorang secara profesional dan nonprefesional, tetapi juga ketika seorang psikolog memiliki
hubungan dengan seseorang yang "memiliki hubungan dekat atau memiliki hubungan keluarga
dengan" seseorang yang dikenal secara professional oleh psikolog tersebut.Sebagai contoh, jika
Monique, seorang perempuan 36 tahun, adalah klien terapi Dr. Davis, seorang psikokog klinis,
maka Dr. Davis akan membentuk hubungan ganda jika ia menjadi teman, mitra bisnis, atau
pasangan asmara Monique. Di samping itu, Dr. Davis akan membentuk hubungan ganda jika ia
juga terlibat dengan pasangan asmara, saudara kandung, atau sahabat Monique. Bagi psikolog
klinis yang mempertimbangkan standar etik ini, definisi "memiliki hubungan dekat atau memliki
hubungan keluarga" akan mempunyai pertentangan, khususnya mengingat sifat "enam tingkat
perpisahan" kota kita dan masyarakat-masyarakat kita. (Enam tingkat perpisahan, merupakan
teori bahwa setiap orang di planet bumi ini dapat dihubungkan dengan orang lain melalui sebuah
mata rantai yang memiliki tidak lebih dari lima perantara. http://whetis techtarget
com/definition/six-degrees of separation.) Sebagai contoh, apakah Dr. Davis akan membentuk
sebuah hubungan ganda jika ia mengencani sepupu-tingkat-kedua Monique, memasuki bisnis
dengan tetangga Monique, atau menjadi teman dari rekan sekerja Monique?
Seperti ditunjukkan oleh conloh-contoh di atas, hubungan ganda dapat memiliki banyak
bentuk (Sommers-Flaragan, 2012). Mungkin yang palirg mencolok dan merusak adalah
hubungan ganda seksual, yang artinya psikolog klinis menjadi pasangan seksual kliennya.
Kode etik Asosiasi Psikologi Amerika (2002) memberikan standar langsung dan tidak fleksibel
tentarg perilaku semacam itu "Psikolog tidak terlibat di dalam intimasi seksual dengan klien
terapi/pasiennya saat ini" (Standar 10.05, hlm. 1073). Perilaku semacam itu merepresentasikan
pelanggaran fundamental terhadap hubungan terapis-kien yang sehat dan sering kali
mengakibatkan kerusakan psikologis atau emosional di pihak klien (Pope, 1994; Sonne, 2012).
Keterlibatan nonprofesional antara klien dan psikolog klinis tidak perlu bersifat seksual
untuk menjadi sebuah hubungan ganda atau mengakibatian kerugian di pihak klien. Psikolog
bisa memiliki banyak peluang untuk terlibat di berbagai hubungan ganda nonseksual:
pertemanan, hubungan bisnis finansial, hubungan rekan-sekerja atau supervisor, afiliasi melalui
kegiatan keagamaan, dan sebegainya (Anderson & Kitchener, 1996; Zur, 2007). Salah satu tugas
esensial bagi psikolog klinis adalah mengakui sifat tumpang-tindih hubungan semacam ini
maupun potensinya yang mungkin nengakibatkanmu salah bagi klien.
Tidak semua hubungan ganda tidak etis. Untuk membantu mengidentifikasi elemen-
elemen spesifik hubungan ganda yang membuatnya dianggap tidak etis. sekali lagi kita kembali
ke Standar Etik 3.05a:
Seorang psikolog menahan diri untuk tidak memasuki sebuah hubungan ganda jika
hubungan ganda itu dapat diperkirakan secara masuk akal akan mengganggu objektivitas,
kompetensi, atau keberhasilan psikolog yang bersangkutan dalam menjalankan fungsinya
sebagai psikolog jka tidak ini akan berisiko adanya eksploitasi atau kerugian pada orang
yang berhubungan dengan psikolog tersebut. Hubungan ganda yang tidak dapat
diperkirakan secara masuk akal akan mergakibatkan gangguan atau berisiko adanya
eksploitasi atau kerugian tidak yang bersifat tidak eits. (Ascsiasi Psikclogi Amerika,
2002, hlm. 1065).
Seperi ditunjukkar oleh standar ini, pada dasarmya ada dua kriteria untuk ketidaksesuaian
di dalam sebuah hubungan. Yang pertama, melibatkan gangguan di pihak psikolog jika peran
ganda dengan klien menyulitkan bagi psikolog untuk tetap objektif kompeten atau efektif, maka
hubungan semacam itu seharusnya dihindari. Yang kedua, melibatkan eksploitasi atau kerugian
bagi kien. Psikolog harus selalu ingat bahwa hubungan terapis-klen ditandai oleh kekuatan yang
tidak setara, sedemikian rupa sehingga peran terapis melibatkan kewenangan yang lebih besar
dan peran klien melibatkan kerentanan yang lebih besar, khususnya sebagai akibat
permasalahannya saat itu (Pope, 1994; Schank dan kawan kawan, 2033). Jadi, psikolog yang etis
tetap waspada tentang kemungkinan mengeksploitasi atau merugikan klien dengan mengaburkan
atau melintasi batas antara hubungan profesional dan nonprofesional. Di atas segalanya,
kesejahteraan klien bukan kebutuhan psikolog itu sendiri, tetap harus menjadi kepedulian utama.
Seperti ditunjukkan oleh kalimat terakhir dari standar di atas, dimungkinkan untuk
terlibat di dalam sebuah hubungar ganda yang tidak mengganggu psikolog atau bersifat
eksploitatif atau merugikan klien. (Dan dibeberapa lingkungan, seperti di dalam komunitas-
komunitas kecil, hubungan ganda semacam itu mungkin sulit dihindari). Akan tetapi, hubungan
ganda bisa menjadi wilayah yarg berbahaya secara etis, dan psikolog klinis berutang pada klien
dan dirinya sendiri untuk mempertimbangkan hubungan semacam itu dengan hati-hati dan
dengan melihat ke depan. Kadang-kadang, pelanggaran penting terhadap standar etik hubungan
ganda didahului oleh "proses pengikisan batas secara perlahan lahan" (Schank dkk., 2003, hlm.
183). Artinya, seorang psikolog klinis mungkin terlibat di dalam perilaku yang tampak tidak
berbahaya dan tidak merugikan yang tidak benar-benar berada di dalam hubungan profesional
yang oleh sebagian orang disebut "melintasi batas" (Gabbard, 20095; Zur, 2007)-dan meski- pun
perilaku ini sendiri secara umum tidak bersifat tidak etis, tetapi dapat mengawali perilaku yang
tidak etis. Perilaku nerugikan ini sering disebut "melanggar batas" dan dapat menyebabkan
kerugian serius pada klien, terlepas dari niat awalnya (Gutheil & Brodsky, 2008; Zur, 2009).
Sebagai contoh etika "lereng yang licin" semacam itu, simak Dr. Greene, seorang
psikolog klinis yang berpraktik swasta. Dr. Greene menyelesaikan sebuah sesi terapi bersama
Annie, seorang mahasiswi berusia 20 tahun, dan segera setelah sesi itu selesai, Dr. Greene
berjalan menuju ke mobilnya di tempat parkir. Di perjalanan ia melihat Annie tidak berhasil
menyalakan mesin mobilnya. Dr. Greene menawarinya tumpangan ke kelas, dan Annie
menerimanya. Selama perjalanan dan mengobrol, tiba-tiba Annie sadar bahwa ranseinya
tertinggal di mobilnya, jadi Dr. Greene meminjaminya kertas dan pena dari koperrya agar Annie
bisa mencatat kuliahnya. Dr. Greene menurunkan Annie dan tidak memikirkan kembali
tindakannya: lagi pula, ia toh hanya sekadar bermaksud menolcng. Akan tetapi, tindakannya
menciptakan preseden bersama Annie, yang dalam jumlah tertentu interaksi nonprofesioral
semacam itu masih dapat diterima. Akan tetapi, hubungan di luar terapi mereka dapat melibatkan
sosialisasi alau kencan, yang jelas merupakan keadaan tidak etis ketika Annie akhirnya mungkin
saja dieksploitasi atau dirugikan. Meskipun "erosi/pengikisan batas" semacam itu bukan tidak
dapat dihindarkan (Gottlieb & Younggren, 2009), pelanggaran batas kecil dapat mendukung
perkembangan prosesnya. Oleh sebab itu, psikolog klinis seharusnya memikirkan dengan cermat
tentang tindakan tindakan tertentu-menerima atau memberi hadiah, berbagi makanan atau
minuman, mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri, meminjam atau meminjamkan
sesuatu, memeluk-yang mungkin diharapkan dan normal di dalam kebanyakan hubungan
interpersonal tetapi dapat terbukti merusak hubungan klinis( Gabbard, 2009b: Gutheil &
Brodsky, 2008; Zur. 2000)
KOMPETENSI
Kode etik Asosiasi Psikologi Amerika (2002) menggunakan sebuah bagian standar etik
sepenuhnya untuk topik kompetensi. Secara unum. psikolog yang kompeten adalah mereka yarg
cukup mampu, terampil, berpengalaman dan ahli untuk menyelesaikan tugas tugas profesional
yang mereka jalankan secara mencukupi (Nagy. 2012).
Salah satu standar etik spesifik di bagian tentang kompetensi (2.01a) menyangkut batas-
batas kompetensi: "Psikolog memberikan pelayanan, mengajar dan melaksanakan penelitian
dengan berbagai populasi dan di bidang-bidang yang hanya ada didalam batas-batas
kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman yang disupervisi, konsultasi,
studi atau pengalaman profesional mereka" (Asosiasi Psikologi Amerika, 2002, hlm. 1063).
Salah satu implikasi penting standar ini adalah bahwa memiliki gelar doktor atau izin di
bidang psikologi tidak secara otomatis menjadikan seorang psikolog kompeten untuk semua
kegiatan profesional Sebaliknya, psikolog tersebut harus kompeten secara spesifik untuk tugas
yang ditanganinya. Sebagai contoh, simak Dr Kumar, seorang psikolog klinis yang mengikuti
program pelatihan doktoral dan ia menspesialisasikan diri di bidang psikologi klinis anak. Semua
kuliah pascasarjananya di bidang tes psikologi fokus pada tes-tes yang cocok bagi anak-anak,
dan di dalam praktiknya, ia biasanya menggunakan tes-tes tersebut. Dr. Kumar menerima
telepon dari Rick, seorang laki-laki dewasa yang menginginkan tes kecerdasan untuk dirinya
sendiri. Meskipun Dr.Kumar memiliki pelatihan dan pengalaman ekstensif dengan tes
kecerdasan anak, ia tidak memiliki pelatihan dan pengalaman dengan versi dewasa tes-tes
tersebut. Sebaliknya beralasan, "Saya adalah psikolog klinis berizin, dan psikolog klinis biasa
memberikan tes semacan ini, jadi ini ada didalam cakupan praktik saya", Dr. Kunar
menggunakan pendekatan yang lebih bertanggung jawab dan etis.la mengerti hahwa dirinya
mempunyai dua opsi: menjadi kompeten secara mencukupi (melalui kuliah, membaca, supervisi,
dan sebagainya) sebelum melakukan tes terhadap orang dewasa seperti Rick, atau merujuk orang
dewasa ke psikolog klinis lain dengan kompetensi yang lebih cocok.
Psikolog tidak hanya perlu menjadi kompeten, tetapi mereka juga harus tetap kompeten:
"Psikolog terus-menerus berusaha mengembangkan dan mempertahankan kompetensi mereka"
(Standar 2.03, Asosiasi Psikologi Amerika, 2002, hlm. 1064). Standar in konsisten dengan
peraturan pendidikan berkelanjutan badan perizinan di banyak negara bagian. Artinya, agar
layak untuk memperbarui izinnya, psikolog dibanyak Negara bagian harus mengikuti kuliah,
berpartisipasi di dalam lokakarya, menyelesaikan berbagai bacaan, atau mendemonstrasikan
dengan cara tertentu bahwa mereka mempertajam keteramplan profesional dan terus
memutakhirkan pengetahuan di bidangnya.
Di antara banyak aspek kompetensi yang harus didemonstrasikan psikolog klinis adalah
kompetensi kultural. Standar Etik 2.01b (Asosiasi Paikologi Amerika, 2002) mengatakan
bahwa,
pemahaman tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan umur, gender, identitas gender,
ras, etnisititas, budaya, negara asal, agama, orientasi seksual, disabilitas, bahasa atau
status sosial-ekonomi sangat esensial untuk implementasi efektif pelayanan atau
penelitian mereka, psikolog memiliki atau mendapatkan pelatihan, pengalaman, konsulasi
atau supervisi yang dibutuhkan untuk memastikan kompetensi pelayanan mereka. (hlm.
1063-1064)
Kode etik Asosiasi Psikologi Amerika (2002) juga mengakui bahwa masalah pribadi
psikolog sendiri dapat menurunkan kompetensi mereka: "Jika psikolog menyadari tentang
masalah-masalah pribadi yang dapat menginterferensi mereka dalam melaksanakan tugas-tugas
terkait-pekerjaan, mereka dapat mengambil langkah-langkah yang tepat-guna seperti
mendapatkan konsultasiataa bantuan profesional, dan menentukan apakah mereka seharusnya
membatasi, menangguhkan atau menghentikan tugas-tugas terkait-pekerjaan mereka" (Standar
216, him. 1064). Masalah-masalah pribadi yang menghambat kinerja psikolog mungkin saja
berasal dari berhagai aspek dan kehidupan pribadi atau profesional mereka (Barnett, 2008). Di
sisi profesional, tenomena kejenuhan di kalangan psikolog klinis telah diakui selama beberapa
dekade terakhir (misalnya, Grosch & Olsen. 1925 Morrissrre, 2004) Kejenuhan mengaca pada
keadaan kelelahan yang berkaitan dengan terus-menerus terlibat dalam pekerjaan yang banyak
menuntut secara emosional yang melampaui stres atau "erosi" psikologis pada pekerjaan (Pines
& Aronson. 1988). Karena sifat pekerjaan yang sering mereka kerjakan, psikolog klinis dapa
menemukan dirinya cukup rentan terhadap kejenuhan. Di scbuah studi terhadap lebih dari 500
psikolog berizin yang mempraktikkan terapi(Ackerley, Bumel, Holder & Kurdek, 1988), lebih
dari sepertiga melaporkan bahwa mereka teleh mengalami beberapa aspek kejenuhan tingkat
tinggi, khususnya kelelahan emosional. Di dalam studi ini, faktor-faktor yang meningkatkan
kerentanan seorang psikolog untuk mengalami kejenuhan termasuk perasaan komitmen yang
berlebihan terhadap klien, memiliki rasa kendali yang rendah atas terapi, dan mendapatkan gaji
yang relative rendah. Sebuah studi yang lebih mutakhir mengonfirmasikan bahwa keterlibatan
yang berlebihan dengan klien berkorelasi tinggi dengan kejenuhan, khususnya dalam bentuk
kelelahan emosional (Lee, Lim, Yang & Lee, 2011). (Tautan Web 5.5 Kejenuhan di antara
terapis.)
Kejenuhan dan faktor-faktor lain dapat berkontribusi pada tingkat pelemahan dalam
bentuk depresi, penggunaan substensi, atau manifestasi lain yang menginterferensi pekerjaan
klinis (Tamura, 2012; Williams, Pomerantz, Petti- bone & Segrist, 2010). Seperti disiratkan oleh
standar etiknya, psikolog seharusnya mengambil tindakan untuk mencegah atau meminimalkan
pelemahannya sendiri, termasuk kejenuhan profesional. Tindakan tersebut termasuk variasi
tanggung jawab kerja, menjaga agar ekspektasinya masuk akal, berkonsultasi dengan profesional
lain, mempertahankan kehidupan pribadi yang seimbang den sehat, atau bilamana perlu mencari
psikoterapi (Barnett, 2008; Grosch & Olsen, 1995; Smith & Moss, 2009). Di saat yang sama,
penting bagi psikolog untuk tetap mewaspadai tanda-tanda bahwa mereka sedang mengalami
pelemahan-yang, sampai tingkat tertentu, merupakan pengalaman universal bagi mereka yang
tetap bertahan di profesinya- dan mengambil langkah yang tepat ketika situasi semacam itu
terjadi (Good, Khairallah & Mintz, 2009). Usaha kolektif juga akan membantu; artinya, setiap
psikolog tidak hanya bisa mengurusi dirinya seridiri, tetapi psikolog klinis juga dapat saling
mengurusi, baik secara informal (misalnya, diantara teman-teman sejawat) maupun secara formal
melaui upaya-upaya oleh organisasi profesional untuk mempromosikan kepedulian-diri di
kalangan para anggotanya (Barnett & Cooper, 2009).
Keamanan tes merepresentasikan bidang fokus spesifik lain dari kode etik Asosiasi
Psikologi Amerika (2002). Psikolog seharusnya berusaha melindungi keamanan dan integritas
materi tes yang mereka gunakan. Dengan kata lsin, psikolog seharusnya mencegah pertanyaan,
item dan stimulus lain yang lermasuk di dalam tes psikologi agar tidak memasuki ranah publik
(Bersoff, Demalteo & Foster, 2012). Jika psikolog mengizinkan materi tes dibawa pulang oleh
klien, yang kemudian difotokopi, atau diunggah di situs Internet, maka mereka mungkin bukan
melanggar undang-undang hak cipta, tetapi juga memberikan akses yang tidak semestinya
kepada calon orang yang diuji pada tes yang akan dijalaninya. Ini dapat memungkinkan
persiapan atau latihan untuk menjalani tes psikologi yang, pada gilirannya, akan memunculkan
hasil tes yang tidak valid. Sepeti dideskripsikan oleh Knapp dan VandeCreek (2006), bergantung
pada tes yang dimaksud, hasil tes yang tidak valid dapat menempatkan siswa yang tidak berbakat
ke program anak berbakat di sekoiah, menempatkan petugas polisi yang tidak stabil secara
psikologis ke jalanan, atau menempatkan seorang anak dibawah pengasuhan orangtua yang tidak
sehat secara emosional.
Meskipun psikolog seharusnya tetap mengamankan materi tes, kode etik Asosiasi
Psikologi Amerika (2002) menjelaskan bahwa mereka secara umum wajib untuk merilis data tes
kepada klien berdasarkan permintaan. Data tes mengacu pada data kasar yang diberikan klien
selama penilaian - respors, jawaban, dan catatan-catatan lain yang mungkin telah dibuat oleh
psikolog. Meskipun edisi kode etik sebelumnya menginstruksikan psikolog untuk merilis data
hanya jika ada alasan untuk percaya bahwa data itu akan disalahgunakan atau akan merugikan
klien. Revisinya merefleksikan perubahan yang lebih global ke arah otonomi klien di bidang
perawatan kesehatan (C. B. Fisher, 2012).
Ketika psikolog kinis melaksanakan penelitian empiris untuk mengukur seberapa baik
terapi tertentu bekerja, mereka biasarya melaksanakan terapi yang dimaksud dengan salah satu
kelompok partisipan, sementara kelompok yang kedua tidak menerima terapi ini. Apa yang
seharusnya diterima olen kelompok kedua? Ini adalah pertanyaan dengan implikasi etik penting
(Imber dan kawan-kawan, 1985: Lindsey, 1984; Saks, Jeste, Granholm, Palmer & Schneider-
man, 2002). Meskipun studi-studi semacam ini pada akhirnya menguntungkan banyak klien
melalui identifikasi penanganan berbasis penelitian, psikolog seharusnya berhati-hati agar tidak
salah menangani atau merugikan sebagian klien/partisipasi penelitian kita di dalam prosesnya.
Yang paling lazim, partisipan di dalam studi efikasi terapi yang tidak menerima
penanganan yang sedang ditelici ditempatkan di salah satu diantara tiga kondisi: tanpa
penanganan (sering disebut "daftar tunggu kelompok kontrol"), penanganan plasebo (semacam
interaksi personal dengan seorang profesional, tetapi dengan teknik teknik terapi yang sengaja
ditiadakan), atau penanganan lain (yang efikasinya mungkin tidak diketahui) (Bjorrsson, 21).
Apakah etis untuk memberikan pilhan kepada orang-arang yang memiliki masalah psikologis
dan yang telah memilih urituk berpartisipasi di dalam studi tentang penanganan itu karena
mengharapkan perbaikan? Tentu sangat penting untuk memberitahukan kepada partisipan
sebelum mereka setuju untuk berpartisipasi bahwa sebagian di antara mereka mungkin tidak
akan menerima penanganan yang sedang diteliti atau penanganan yang lainnya. Bahkan, jika
partisipan menyetujui pengaturan ini, etikalitas penanganan yang mereka terima dalan studi
semacan ini telah dipertanyakan (misalnya, Arcan & Alvidrez, 2002, Street & Luoma, 200)2
Bahkan, menjadi tantangan etis yang signifikan bagi psikolog klinis untuk menentukan secara
empiris keberhasilan terapi mereka tanpa eksploitasi yang tidak wajar atau yang gagal membantu
sebagian partisipan yang mereka eksploitasi dengan terapi tersebut (Saks dan kawan-kawan,
2002)
Untuk memulai, perusahaan JPKM dapat menempatkan psikolog klinis pada posisi
loyalitas yang terbagi. Meskipun psikolog berkemitmen secara etik untuk "memperjuangkan
keuntungan" dan "melindungi kesejahteran” klien mereka (Ascsiasi Psikologi Amerika, 2002,
hlm. 1062), psikolog mungkin ditekan secara profesional untuk meminimalkan pelayanan yang
mereka berikan untak membatasi biaya perawatan kesehatan mental. Dengan kata lain, psikolog
klnis mungkin menemukan dirinya di dalam keadaan tarik-menarik antara keuntungan
perusahaan asuransi kesehatan dan kesejahteraan psikologis klien mereka (Alcaron. 2000;
Wilcoxan, Remley, Gladding & Huber, 2007). Di samping itu, sejauh klien dapat memersepsikan
bahwa psikolog klinis memiliki loyalitas yang terbagi, sejauh itu pula hubungan terapeutik
mungkin akan dikorbankan (HasS & Cummings, 1991).
Syarat yang disebutkan di atas bahwa klien harus didiagnosis dengan sebuah gangguan
DSM agar perusahaan asuransi kesehatan mau membayar perawatannya dapat menyodorkan
dilema etik lain unt uk psikolog klinis Jka seorang klien bergulat dengan masalah yang tidak
memenuhi kriteria untuk gangguan DSM apa pun, atau jika keluarga atau pasangannya memiliki
masalah yang tidak timbul secara langsung dari sebuah gangguan yang dapal diidentifikasi pada
seseorang, psikolog dapat menghadapi tekanan untuk memberikan diagnosis palsu untuk
memastikan bahwa perusahaan asuransi kesehatan akan membayar tagihannya (Kielbasa,
Pomerantz, Krohn & Sullivan, 2004, Ponmerantz & Segrist, 2006; Wilcoxon dkk., 2007). Atau
psikolog tersebut mungkin tergoda untuk melakukan "upcode" (penggunaan sebuah kode
prosedur yang merefleksikan pelayanan dengan intensitas lebih tinggi dibandingkan yang
biasanya digunakan untuk pelayanan yang diberikan.
http://medicaldictionary.thefreedictionary.com/ upcode), yaitu memberikan diagnosis yang lebih
serius dibandingkan diagnosis yang sesuai dengan gejala-gejala pasien, untuk menambah jumlah
sesi atau uang yang akan dibayarkan perusahaan asuransi kesehatan untuk penanganan (C.B.
Fisher, 2012: Parry, Furber & Allison, 2009). Bahkan jika motivasi psikolog adalah
kesejahteraan klien, tindakan semacam itu tidak etik dan dapat merupakan tindakan ilegal berupa
penipuan asuransi (Miranda & Marx, 2003).
Sebagian pertanyaan ini juga berlalu pada praktik terapi online (Misalnya Shapiro &
Schulman, 1996). Jika terapi dilakukan melalui komputer, psikolog klinis dan klien mungkin
tidak dapat sepenuhnya mengapresiasi seluruh aspek komunikasi (misalnya, komunikasi
nonverbal) Di samping itu, terapi online memunculkan pertanyaan tentang kerahasiaan dan
identitas klien yang tidak ada jika psikolog klinis menangani klien secara tatap-muka Fisher &
Fried 2003; Kraus, 2004).
Meskipun semakin banyak diakui dan diteliti selama beberapa dekade terakhir, tantangan
etik yang unik bagi masyarakat kecil jelas bukan perkembangan baru. Psikolog klinis yang
bekerja dan tinggal di masyarakat kecil pasti pernah mengalami tantangan ini (Werth, Hastings
& Riding-Malon, 2010). Daerah pedesan dan kota kecil mungkin adalah contoh paling jelas dari
masyarakat kecil, tetapi ada juga yang lain. Bahkan di dalam kota besar pun, psikolog klinis
dapat menemukan dirinya tinggal dan bekerja di masyarakat kecil yang didefinisikan
berdasarkan etnisitas, agama atau orientasi seksual, atau dibasis militer, dikampus kecil, atau
lingkungan yang serupa (Hargrove, 1986;Schank, Helbok, Haldeman & Gallardo, 2010; Schank
& Skovholt, 1997, 2006:Schank dan kawan-kawan, 2003).
Hubungan ganda mungkin adalah isu etik yang paling sulit di dalam masyarakat kecil.
Faktanya, "hubungan tumpang-tindih nonseksual lebih mengenai kapan daripada apakah
(hubungan itu terjadi atau tidak terjadi] di delam kehidupan sehari-hari psikolog di masyarakat
kecil dan mandiri" (Schank dan kawan-kawan, 2003, hlm. 191). Berbeda dengan psikolog klinis
di masyankat yang lebih besar, mereka yang tinggal di masyarakat kecil mungkin tidak dapat
tinggal di salah satu populasi dan berpraktik di populasi lain, sehingga tidak memungkinkan
aspek-aspek kelidupan pribadi dan profesional mereka sepenuhnya terpisah satu sama lain.
Perhatikan Dr. Peters, satu-satunva psikolog klinis di sebuah kota di pedalaman yang jumlah
penduduknya hanya 1.500 jiwa. Apa pun kegiatan Dr. Peter belanja di toko kelontong, olahraga
di gym, mengunjungi dokter gigi-mungkin mengharuskannya untuk berinteraksi dengan seorang
klien atau mantan klien. Dan jika kita ingat bahwa hubungan ganda dapat melibatkan mereka
yang dekat dengan klien (misalnya, keluarga teman) disamping klien itu sendiri, maka
kemungkinan interaksi semacam itu jauh lebih tinggi. Dr. Peters mungkin satu-satunya
profesional kesehatan mental yang memenuhi syarat di masyarakat itu, sehingga baginya
merujuk klien ke profesional lain mungkin bukan opsi yang tepat.
Bagi psikolog klinis seperti Dr. Peters, akan bijak untuk mendiskusikan tertang hubungan
ganda dengan klien di awal pelayanan psikologis sebagai bagian dari proses persetujuan tertulis.
Meskipun hubungan ganda murgkin agak tak terhindarkan, mengedukasi klien tentang
komplikasi yarg dapat disebabkannya, maupun kewajiban etik psikolog, dapat memperjelas
batas-batas dan mencegah kesalahpahaman. Disamping itu, psikolog klinis di masyarakat kecil
seharusnya berusaha sebaik-baiknya untuk menjalani kehidupan pribedi yang sehat dan
seimbang untuk memastikan bahwa mereka tidak menemukan dirinya bergantung pada klien
secara tidak semestinya, untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri. Dan jika tumpang-tindih
sampai tingkat tertentu tak dapat dihindari, psikolog klinis di masyarakat kecil bagaimanapun
juga harus berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari keputusan yang dilemahkan dan
mengeksploitasi klien yang dapat membuat hubungan ganda itu tidak etis dan merugikan (Curtin
& Hargrove, 2010).