Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PRATIKUM KEPERAWATAN JIWA I “DISCHARGE PLANNING”

“untuk memenuhi tugas mata pratikum kuliah keperawatan jiwa”

Dosen pengampu :
Ns. ERRICK ENDRA CITTA, M.Kep

Disusun oleh :
Syahvaz Rosalfi Azra ( M18010005)

Program Studi S1 Ilmu Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Madani Yogyakarta
2020/2021
❖ Rencana Pemulangan pasien dengan diagnose medis skrizofenia

Pada hakikatnya pelayanan sosial seharusnya diberikan kepada semua orang tanpa
membedakan masalah yang mereka alami (Neukrug, 1999). Oleh sebab itu seorang eks
penderita gangguan mental juga berhak mendapatkan pelayanan. Menurut Davies & Meier
(2000), eks penderita gangguan mental berhak memperoleh layanan terutama dalam
pemulihan kesehatan mentalnya di rumah sakit maupun dalam keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa perencanaan program bagi eks penderita
gangguan mental untuk dapat kembali ke dalam masyarakat. Perencanaan program tersebut
harus dapat disusun terlebih dahulu agar eks penderita gangguan mental dapat hidup dan
berfungsi sosial secara penuh dalam masyarakat. Beberapa program tersebut di antaranya;

Penyesuaian dengan Dunia Luar


Masyarakatmasihmelihatpenderitagangguan mental sebagai orang yang tidak memiliki
masa depan. Mereka menganggap penderita gangguan mental susah untuk hidup
bermasyarakat. Hidupnya di kawasan perumahan orang miskin dan biasanya ada NGO
yang membantu mereka. Eks penderita gangguan mental biasanya tidak memiliki
keyakinan diri akibat pandangan masyarakat terhadapnya (Jeger & Slotnick, 1982).
Namun demikian, terdapat juga masyarakat yang berpandangan positif kepada eks
penderita gangguan mental. Kebanyakan eks penderita gangguan mental menghadapi
masalah dalam menyesuaikan diri mereka di masyarakat. Mereka hidup dalam
ketidakpastian dan kehampaan di luar masyarakat, terutama mereka yang pernah
berada di rumah sakit jiwa dalam jangka waktu yang panjang. Akibat lama dalam
rumah sakit jiwa, saat mereka keluar, tidak ada lagi anggota keluarga atau teman yang
bisa mereka hubungi. Mereka telah kehilangan kontak dan akhirnya menjadi
sebatangkara. Keadaan ini menyebabkan mereka terasing dalam menghadapi masalah,
kecuali dengan bantuan dari pada program-program kesehatan mental masyarakat dan
institusi kesejahteraan sosial. Dengan adanya program-program dan institusi-institusi
ini, eks penderita gangguan mental akan dapat dilindungi dan belajar bagaimana
menghadapi masalah. Eks penderita gangguan mental yang masih mengalami
kesusahan dalam menghadapi kehidupan keseharian mereka di luar institusi mendapat
bantuan dari masyarakat dan pemerintah. Untuk membantu golongan ini telah dibentuk
rumah dengan sistem halfway house yaitu semacam rumah singgah (rumah
pertengahan) sebelum eks penderita gangguan mental dikembalikan kekeluarganya.
Selain itu ada juga pusat-pusat kesehatan mental masyarakat, program-program
pelayanan day care, pusat krisis dan organisasi-organisasi sosial.
Peran Masyarakat
Menurut Katz (1979), masyarakat seharusnya tidak mengelompokkan (stereotipe)
sakit mental. Pelabelan yang diberikan berdasarkan stereotipe dan kita dapat
menghindari pengekalan pemberian label tersebut dengan menentang dan menghapus
ketidaktepatan informasi dan menghapus stereotipe negatif serta belajar dengan lebih
teliti dan mendalam mengenai realitas sakit mental. Selain itu, masyarakat juga harus
menjaga penggunaan bahasanya. Kebanyakan daripada kita, menggunakan bahasa
istilah dan penyataan seperti gila atau tidak waras untuk memperolok mereka yang kita
tidak sukai, tetapi perkataan-perkataan ini justru mempermudah untuk
mempertahankan dan mengekalkan pelabelan tersebut. Oleh karena itu, dalam
mengatasi masalah ini kita harus mengontrol percakapan kita dan menghilangkan
penyataan tersebut akan dapat membantu mengurangi pelabelan.

Peran Keluarga
Keluarga sendiri memainkan peranan yang penting dalam memastikan
keharmonisan dan kesejahteraan eks penderita gangguan mental (Fahrudin, 2015).
Keluarga seharusnya dengan hati yang terbuka dan senang dalam menerima anggota
keluarga yang merupakan eks penderita gangguan mental. Mereka harus menganggap
dia sebagai seorang yang normal dan menerimanya seperti sediakala. Keluarga yang
dapat hidup berdampingan dengan eks penderita gangguan mental akan membantu dia
mendapat kembali keyakinan dan kehormatannya. Selain itu, keluarga harus
mempunyai pegangan yang kuat dan tidak mudah dipengaruhi, contohnya pelabelan
yang diberi oleh orang lain. Dengan hati yang tidak mudah dipengaruhi, maka keluarga
itu tidak akan terasa dihina, malah mempunyai keinginan untuk membantu eks
penderita gangguan mental (Cockerham, 2005). Selain itu, sesama saudara kandung
juga memainkan peranan yang penting. Mereka harus menerimanya dengan hati yang
terbuka dan melayaninya seperti orang yang normal. Melakukan yang dahulunya selalu
mereka lakukan bersama seperti menceritakan hal yang gembira dan sama-sama
membagi kesusahan dan kesedihan, ini akan membantu eks penderita gangguan mental
merasa dirinya dihargai dan dihormati, maka keyakinannya juga akan terbangun
kembali.
Peran Teman Sebaya
Selain daripada keluarga, orang yang paling dekat dengan eks penderita
gangguan mental adalah teman sebaya. Oleh karena itu, teman sebaya mempunyai
juga pengaruh yang besar dalam kehidupan eks penderita gangguan mental. Teman
sebaya harus mempunyai pandangan positif dan dengan hati yang terbuka menerima
kawan mereka yang merupakan eks penderita gangguan mental. Mereka harus
secara ikhlas menganggap dia sebagai kawan dan bukan seorang penderita
gangguan. Perhatian teman sebaya harus seperti melayani seorang yang normal dan
bukan yang tidak waras serta tidak harus mempunyai perasaan yang takut.
Hubungan yang erat antara teman sebaya dan eks penderita gangguan mental akan
membuat eks penderita gangguan mental mempunyai keyakinan diri dan dapat
menyesuaikan dirinya untuk kembali ke dalam masyarakat sehingga mereka tidak
merasa terasing dan terabaikan.
Umumnya orang tidak mengetahui dengan jelas tentang gangguan mental dan
selalu berpandangan negatif terhadap gangguan ini. Oleh karena itu, pendidikan
memainkan peranan yang penting dalam memberi pengetahuan kepada masyarakat
mengenai gangguan mental dan menyadarkan masyarakat bahwa eks penderita
gangguan mental adalah orang yang normal dan harus diterima dengan hati yang
terbuka. Selain itu, media massa juga memainkan peranan dalam membantu eks
penderita gangguan mental. Melalui media massa elektronik maupun cetak dapat
digunakan untuk mensosialisasikan pengetahuan tentang gangguan mental,
penderita gangguan mental dan eks penderita gangguan mental. Media massa dapat
memaparkan sisi baik yang memang terjadi pada eks penderita gangguan mental
dan juga menyadarkan masyarakat bahwa eks penderita gangguan mental adalah
orang yang normal dan harus dilayani secara adil.
Mechanic (1999) mengatakan bahwa pemerintah dapat menyusun peraturan
dasar dan program bagi eks penderita gangguan mental. Pemerintah juga bisa
mengadakan kampanye, ceramah dan sebagainya dalam menyadarkan masyarakat
tanggung jawab bersama dalam memastikan hak dan kewajiban eks penderita
gangguan mental tidak diabaikan dan ditindas. Melalui kampanye dan ceramah,
dapat menyarankan masyarakat awam untuk menerima eks penderita gangguan
mental dengan hati yang lebih terbuka. Selain itu, baik pihak pemerintah atau pihak
swasta, mereka dapat membangun institusi atau pusat latihan kepada eks penderita
gangguan mental sebagai pra-persiapan kepada dunia luar. Dengan adanya institusi
ini, eks penderita gangguan mental akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam
menghadapi dunia luar.
Di samping itu, institusi atau organisasi sosial yang dapat membantu eks
penderita gangguan mental harus diperbanyak. Dalam usaha membantu eks
penderita gangguan mental, peluang pekerjaan yang sesuai juga harus disediakan.
Alasannya karena mendapat pekerjaan merupakan dukungan bagi mereka. Dengan
kata lain mereka memperoleh perlakuan sama dengan orang-orang yang tidak
mengalami gangguan mental, dimana mereka juga bisa mendapat pemutusan dalam
kerja yang mereka lakukan. Semua ini dapat membangun kembali keyakinan dan
perhargaan dirinya.

❖ Perencanaan Pulang / discharge planning pasien dengan gangguan deficit


perawatan diri
Proses discharge planning mencakup kebutuhan fisik pasien, psikologis, sosial
budaya, dan ekonomi. Penyusunan format discharge planning meliputi:
1. Pengkajian
Proses discharge planning dilakukan sejak awal pasien masuk rumah
sakit. Hal-hal yang perlu di kaji dalam menyiapkan discharge planning adalah
sebagai berikut:
a. Kaji kebutuhan pemulangan pasien dengan menggunakan riwayat
keperawatan, berdikusi dengan pasien dan Care Giver, fokus pada
pengkajian berkelanjutan terhadap kesehatan fisik pasien, status fungsional,
sistem pendukung sosial, sumber-sumber finansial, nilai kesehatan, latar
belakang budaya dan etnis, tingkat pendidikan serta rintangan terhadap
perawatan.
b. Kaji kebutuhan pasien dan keluarga terhadap pendidikan kesehatan
berhubungan dengan bagaimana menciptakan terapi di rumah, penggunaan
alat-alat medis di rumah, larangan sebagai akibat gangguan kesehatan dan
kemungkinan terjadinya komplikasi. Kaji cara pembelajaran yang lebih
diminati pasien.
c. Kaji bersama-sama dengan pasien dan keluarga terhadap setiap faktor
lingkungan di dalam rumah yang mungkin menghalangi dalam perawatan
diri seperti ukuran ruangan, kebersihan jalan menuju pintu, lebar jalan,
fasilitas kamar mandi, dan ketersediaan alat-alat yang berguna.
d. Berkolaborasi dengan dokter dan staf pada profesi lain dalam mengkaji
kebutuhan untuk rujukan kepada pelayanan perawatan rumah yang terlatih
atau fasilitas perawatan yang lebih luas.
e. Kaji persepsi pasien dan keluarga terhadap keberlanjutan keperawatan
kesehatan di luar rumah sakit.
f. Kaji penerimaan pasien terhadap masalah kesehatan berhubungan dengan
pembatasan.
g. Konsultasikan tim pemberi layanan kesehatan yang lain tentang kebutuhan
setelah pemulangan. Tentukan kebutuhan rujukan pada waktu yang berbeda.

2. Perencanaan
Hasil yang diharapkan jika seluruh prosedur telah lengkap dilakukan
adalah sebagai berikut :
a. Evaluasi Pasien atau keluarga sebagai Care Giver mampu menjelaskan
bagaimana keberlangsungan pelayanan kesehatan di rumah (atau fasilitas
lain), penatalaksanaan atau pengobatan apa yang dibutuhkan, dan kapan
mencari pengobatan akibat masalah yang timbul.
b. Pasien mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan diri (anggota
keluarga mampu melakukan aturan perawatan).
c. Rintangan kepada pergerakan pasien dan ambulasi telah diubah dalam
setting rumah. Hal-hal yang dapat membahayakan pasien akibat kondisi
kesehatannya telah diubah.
NIC: Perencanaan Pulang
✓ Bantu pasien/ keluarga/ orang terdekat lainnya untuk mempersiapkan
kepulangan
✓ Tentukan kemampuan pasien untuk pulang
✓ Kolaborasi dengan dokter, pasien/ keluarga/ orang terdekat lainnya, dan
anggota tim kesehatan lainnya dalam merencanakan kelanjutan perawatan
kesehatan
✓ Koordinasikan upaya dari berbagai penyedia layanan kesehatan untuk
memastikan kepulangan tepat waktu
✓ Identifikasi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pasien dan care
giver utama setelah kepulangan
✓ Dokumentasikan rencana pemulangan pasien di dalam catatan keperawatan
✓ Rumuskan rencana perawatan pemeliharaan untuk tindak lanjut setelah
pemulangan
✓ Susun rencana evaluasi setelah kepulangan, dengan tepat
✓ Motivasi pasien untuk melakukan perawatan diri, yang tepat
✓ Atur pemberian dukungan kepada care giver, dengan tepat
✓ Diskusikan sumber daya finansial jika perawatan kesehatan diperlukan
setelah kepulangan
✓ Koordinasikan rujukan yang relevan kepada penyedia layanan kesehatan.

3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu
penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari pemulangan dan penatalaksanaan
yang dilakukan pada hari pemulangan.
a. Persiapan sebelum hari pemulangan
1) Menganjurkan cara untuk merubah keadaan rumah demi memenuhi
kebutuhan pasien.
2) Mempersiapkan pasien dan keluarga dengan memberikan informasi
tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan komunitas. Rujukan dapat
dilakukan sekalipun pasien masih di rumah.
3) Setelah menentukan segala hambatan untuk belajar serta kemauan untuk
belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan pasien dan keluarga
secepat mungkin selama di rawat di rumah sakit (seperti tanda dan gejala
terjadinya komplikasi, kepatuhan terhadap pengobatan, kegunaan alat-
alat medis, perawatan lanjutan, diet, latihan, pembatasan yang di
sebabkan oleh penyakit atau pembedahan). Pamflet, buku-buku atau
rekaman video dapat di berikan pada pasien. Pasien juga di beritahu
tentang sumber- sumber informasi yang ada di internet.
4) Komunikasikan respon pasien dan keluarga tehadap penyuluhan dan
usulan perencanaan pulang kepada anggota tim kesehatan lain yang
terlibat dalam perawatan pasien.

b. Penatalaksanaan pada hari pemulangan pasien


1) Biarkan pasien dan keluarga bertanya dan diskusikan isu-isu yang
berhubungan dengan perawatan di rumah. Kesempatan terakhir
untuk mendemonstrasikan kemampuan juga bermanfaat.
2) Periksa intruksi pemulangan dokter, masukkan dalam terapi atau
kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus. Instruksi harus di
tuliskan sedini mungkin.
3) Tentukan apakah pasien dan keluarga telah dipersiapkan dalam
kebutuhan transportasi menuju rumah.
4) Tawarkan bantuan untuk memakaikan baju pasien dan mengepak
semua barang milik pasien, jaga privasi pasien sesuai kebutuhan.
5) Periksa seluruh ruangan dan laci untuk memastikan barang- barang
pasien. Dapatkan daftar pertinggal barang-barang berharga yang
telah di tandatangani oleh pasien dan instruksikan penjaga atau
administrator yang tersedia untuk menyampaikan barang- barang
berharga kepada pasien.
6) Persiapkan pasien dengan resep pengobatan pasien sesuai dengan
yang diinstruksikan oleh dokter. Lakukan pemeriksaan terakhir
untuk kebutuhan informasi atau fasilitas pengobatan yang aman
untuk administrasi diri.
7) Berikan informasi tentang rencana kontrol
8) Bantu transfer pasien sesuai kebutuhan, misal diantar dengan
menggunakan kursi roda.
9) Bantu pasien menuju kursi roda atau usungan dan gunakan sikap
tubuh dan tehnik pemindahan yang sopan. Dampingi pasien
memasuki unit dimana transportasi yang dibutuhkan sedang
menunggu. Kunci roda dari kursi, bantu pasien pindah ke mobil
pribadi atau kendaraan untuk transportasi. Bantu keluarga
menempatkan barang-barang pribadi pasien ke dalam kendaraan.
10) Kembali ke ruangan dan dokumentasi waktu pemulangan. Ingatkan
bagian kebersihan untuk membersihkan ruangan pasien.

4. Evaluasi discharge planning


a. Minta pasien dan anggota keluarga menjelaskan tentang penyakit,
pengobatan yang dibutuhkan, tanda-tanda fisik atau gejala yang harus di
laporkan kepada dokter.
b. Minta pasien atau anggota keluarga mendemonstrasikan setiap tindakan
perawatan diri yang akan dilanjutkan di rumah.
c. Perawat yang melakukan perawatan rumah memperhatikan keadaan
rumah, mengidentifikasikan rintangan yang dapat membahayakan bagi
pasien dan menganjurkan perbaikan.
❖ Discharge Plannig pasien dengan gangguan sensorik halusisani

Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang
mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting dilakukan
dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh
sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah
mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa
mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien
pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga
tentang cara penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu
klien kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
1. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang biasanya
terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan personalitas,
psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler. Dosis
permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga mencapai
300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat
dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila
gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan – lahan
sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang hipersensitif terhadap
derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut
kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita, hiperpireksia atau
hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa
dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena
depresi susunan syaraf pusat, hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan
perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali
menimbulkan intoksikasi.
2. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette pada anak
– anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat pada anak – anak.
Cara pemberian:
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk
keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg intramuskuler setiap 1 – 8
jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson, hipersensitif
terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang adalah nausea,
diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek
samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis. Intoksikasinya
adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis terapeutik dapat timbul
kelemahan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi
pernapasan.
3. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5 mg )
diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg dan
interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan, tergantung dari
respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya
peningkatan perlahan – lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap fluphenazine
atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi gejala
– gejala sesuai dengan efek samping yang hebat. Pengobatan over dosis ; hentikan
obat berikan terapi simtomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol
hindari menggunakan ephineprine.
❖ Discharge planning pasien resiko bunuh diri

Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien isyarat bunuh diri


a. Tujuan : keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri.
b. Tindakan keperawatan:
1. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri
2. Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang penah
muncul pada pasien.
3. Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul pada
pasien berisiko bunuh diri.
4. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri
a. Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila pasien
memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
b. Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain:
1. Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien di tempat
yang mudah diawasi, jangan biarkan pasien mengunci diri di
kamarnya atau jangan meninggalkan pasien sendirian di rumah
2. Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri.
Jauhkan pasien dari barang-barang yang bisa digunakan untuk
bunuh diri, seperti: tali, bahan bakar minyak / bensin, api, pisau
atau benda tajam lainnya, zat yang berbahaya seperti obat nyamuk
atau racun serangga.
3. Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan pengawasan
apabila tanda dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah
melonggarkan pengawasan, walaupun pasien tidak menunjukan
tanda dan gejala untuk bunuh diri.
5. Menganjurkan keluarga untuk melaksanakan cara tersebut di atas.
6. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila
pasien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain :
1. Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat
untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut
2. Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas
mendapatkan bantuan medis
7. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia
bagi pasien
8. Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan
9. Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol
secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya.
10. Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai
prinsip lima benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya,
benar cara penggunakannya, benar waktu penggunaannya

Anda mungkin juga menyukai