Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan landasan dasar untuk mewujudkan sumber


daya manusia yang berkualitas. Namun, tidak semua orang dapat
memperoleh pendidikan yang seharusnya, hal tersebut di karenakan
mahalnya biaya pendidikan. Faktor tersebut melandasi terbentukya aturan
tentang pendidikan dalam amandemen UUD 1945. Pendidikan sebagai
salah satu elemen yang sangat penting dalam menciptakan generasi
penerus bangsa. Selain itu pendidikan merupakan hak bagi setiap warga
negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD RI
Tahun 1945 bahwa tujuan Negara yaitu “mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi Negara yaitu untuk
memfasilitasi seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh pendidikan
yang layak.
Sekolah sebagai satuan pendidikan memiliki tenaga yang terdiri
dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, tenaga administratif,
laboran, pustakawan, dan teknisi sumber belajar, sarana dan prasarana
yang meliputi tanah, bangunan, laboratorium, perpustakaan, lapangan
olahraga, serta biaya yang mencakup biaya investasi. Hal yang mengatur
bagaimana sekolah tersebut melaksanakan kegiatan belajar adalah dengan
adanya kurikulum, program Pendidikan, dan program pembelajaran.
Untuk mengetahui kekurangan program pendidikan dan program
pembelajaran, perlu dilakukan ekplorasi. Menurut Koesoemadinata
( 2000), Eksplorasi adalah kegiatan teknis ilmiah untuk mencari tahu suatu
area, daerah, keadaaan, ruang yang sebelumnya tidak diketahui keberadaan
akan isinya. Eksplorasi yang ilmiah akan memberikan sumbangan
terhadap khazanah ilmu pengetahuan. Eksplorasi tidak hanya dilakukan
disuatu daerah, dapat pula di kedalaman laut yang belum pernah dijelajah,
ruang angkasa, bahkan wawasan alam pikiran (eksloration of the mind).

1
Penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih
banyak (tentang keadaan), terutama sumber-sumber alam yang terdapat di
tempat itu. Setelah di lakukan penyelidikan selanjutnya di lakukan proses
evaluasi terhadap kurikulum dan program pendidikan serta program
pembelajaran.
Evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang
harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum.
Evaluasi menjadi bagian dari sistem manajemen, yaitu perencanaan,
organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Melalui evaluasi dapat
diketahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan,
pelaksanaan serta hasilnya.
Pendidikan dan program pembelajaran juga perlu dievaluasi agar
tercipta kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif. Melalui evaluasi
pendidikan dan program pembelajaran akan diketahui hal-hal yang telah
dicapai serta hal yang tidak tercapai,. Setelah itu diambil keputusan
apakah program tersebut diteruskan, direvisi, dihentikan, atau
dirumuskan kembali sehingga dapat ditemukan tujuan, sasaran dan
alternatif baru.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis termotifasi untuk membuat
sebuah makalah dengan judul “ Konsep Evaluasi Kurikulum, Konsep
Evaluasi Program Pendidikan Dan Program Pembelajaran”.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:

1. untuk mengetahui konsep evaluasi kurikulum.

2. Untuk mengetahui konsep evaluasi program pendidikian dan program


pembelajaran fisika .

3. Untuk mengetahui eksplorasi hasil evaluasi kurikulum pada negara –


negara asean untuk mata pelajaran fisika/sains.

4. Untuk mengetahui eksplorasi hasil evaluasi kurikulum pada negara –


negara oceania untuk mata pelajaran fisika/sains.

2
5. Untuk mengetahui eksplorasi hasil evaluasi kurikulum pada negara –
negara asia timur untuk mata pelajaran fisika/sains.

6. Untuk mengetahui eksplorasi hasil evaluasi kurikulum pada negara –


negara asia selatan untuk mata pelajaran fisika/sains.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.6 Eksplorasi hasil evaluasi kurikulum pada negara – negara asia


selatan untuk mata pelajaran fisika/sains.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks dan
melibatkan berbagai komponen yang saling terkait dalam suatu sistem pendidikan,
kurikulum itu sifatnya dinamis serta harus selalu dilakukan perubahan dan
pengembangan agar dapat mengikuti perkembangan dan tantangan zaman.
Meskipun demikian perubahan dan pengembangannya harus dilakukan secara
sistematis dan terarah tidak asal berubah titik perubahan dan pengembangan
kurikulum tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas mau dibawa kemana
sistem pendidikan nasional dengan kurikulum tersebut(Ansyar,2015:85).
Dalam penyusunannya, kurikulum mempunyai komponen-komponen yang
saling mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
titik komponen komponen tersebut berupa komponen tujuan komponen isi dan
struktur program atau materi komponen media atau sarana dan prasarana
komponen strategi belajar mengajar, komponen proses belajar mengajar, dan
komponen evaluasi atau penilaian(Kusumawati dan Rulviana,2017:75).
Ketika proses pembelajaran dipandang sebagai proses perubahan tingkah
laku siswa, peran evaluasi dan penilaian dalam proses pembelajaran menjadi
sangat penting. Penilaian dalam proses pembelajaran merupakan suatu proses
untuk mengumpulkan, menganalisa dan menginterpretasi informasi untuk
mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran. untuk mengetahui apakah
proses yang dilakukan itu sudah sesuai dengantujuannya maka harus dilakukan
umpan balik (Wulan dan Rusiana, 2013:21).

Eksplorasi penyelidikan; penjajakan; penjelajahan lapangan dengan tujuan


memperoleh pengetahuan lebih banyak ( keadaan), terutama sumbersumber alam
yg terdapat di tempat itu; kegiatan untuk. memperoleh pengalaman-pengalarnan
baru dari situasi yg baru (Sugono,2008:379).

4
Setiap program, kegiatan-kegiatan atau sesuatu yang lain yang
direncanakan selalu diakhiri dengan suatu evaluasi. Evaluasi dimaksudkan untuk
melihat kembali apakah suatu program atau kegiatan telah sesuai dengan
perencanaan atau belum. Dari kegiatan evaluasi akan diketahui hal-hal yang telah
dan akan dicapai sudahkah memenuhi kriteria yang ditentukan. Berdasarkan hasil
evaluasi tersebut kemudian diambil keputusan apakah program tersebut akan
diteruskan ataukah direvisi atau bahkan diganti seluruhnya (Adnan,2017:108).

Menurut Suharsimi (2002:11) dalam Asrul (2014:7), ada beberapa ciri


evaluasi dalam pendidikan seperti, penilaian dilakukan secara tidak langsung.
Sebagai contoh mengetahui tingkat inteligen seorang anak, akan mengukur
kepandaian melalui ukuran kemampuan menyelesaikan soal-soal. Dengan acuan
bahwa tanda-tanda anak yang inteligen adalah anak yang mempunyai:

a. Kemampuan untuk bekerja dengan bilangan.

b. Kemampuan untuk menggunakan bahasa yang baik.

c. Kemampuan untuk menanggap sesuatu yang baru (cepat mengikuti


pembicaraan orang lain).

d. Kemampuan untuk mengingat-ingat.

e. Kemampuan untuk memahami hubungan (termasuk menangkap kelucuan).

f. Kemampuan untuk berfantasi.

According to Smi t(2S009:3), every program, activity or something else


planned always ends with an evaluation. Evaluation is meant to see return
whether a program or activity is in accordance with the plan or not yet. From the
evaluation activities will be known things that have been and will be achieved has
met the specified criteria. Based on the results of the evaluation then a decision is
made on whether the program will continue or not revised or even completely
replace).
Artinya Setiap program, kegiatan atau hal lain yang direncanakan selalu
berakhir dengan evaluasi. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat kembali apakah
suatu program atau kegiatan sudah sesuai dengan rencana atau belum. Dari

5
kegiatan evaluasi akan diketahui hal-hal yang telah dan akan dicapai telah
memenuhi kriteria yang ditentukan. Berdasarkan hasil evaluasi maka keputusan
dibuat apakah program akan berlanjut atau tidak direvisi atau bahkan sepenuhnya
diganti.
Menurut Widiastutu (2004:56), melihat pentingnya peranan pemerintah di
bidang pendidikan, bisa kita lihat dari segi penawaran dan segi pemerintahan.
Keseluruhan jasa dan fasilitas di bidang pendidikan yang disediakan oleh
pemerintah dari segi penawaran biasanya dibatasi oleh kemampuan dari suatu
negara yang bersangkutan melalui anggaran yang disediakan untuk sektor
pendidikan. Sedangkan kalau dilihat dari segi pemerintahan, Hal ini berkaitan
dengan individu yang menjelaskan titik adanya dua hal yang diharapkan dari
pihak individu dari apa yang ditawarkan selama ini oleh pemerintah, dan Hal itu
merupakan faktor yang paling mendasar antara lain:
1. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan asumsi
nantinya mendapatkan penghasilan yang tinggi di masa yang akan datang.
2. Biaya biaya pendidikan sekolah yang ditanggung selama ini nantinya
mendapatkan timbal balik sesuai yang sudah dikeluarkan.

Keterlibatan masyarakatpun ikut andil mengambil bagian penting dalam


manajemen kurikulum dimaksudkan agar dapat memahami, membantu, dan
mengontrol implementasi kurikulum, mendesain kurikulum, menentukan prioritas
kurikulum, melaksanakan pembelajaran, menilai kurikulum, mengendalikan serta
melaporkan sumber dan hasil kurikulum, baik kepada masyarakat maupun
pemerintah (Sista,2017:34).
Menurut Gumrowi (2016) dalam Wahyudi (2017:187), berdasarkan hasil
prapenelitian beberapa penyebab rendahnya hasil belajar di asia selatan yaitu,
pemilihan metode dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru pada proses
pembelajaran sangat kurang tepat dan pengelolaan kegiatan pembelajaran yang
masih belum dapat membangkitkan motivasi belajar siswa secara optimal.
Asia selatan terdiri dari bebrapa negara yang memiliki sistem pendidikan
masing – masing, adapun negara – negara asia selatan yaitu sebagai berikut :

6
2.1.6.1. Negara Bangladesh
According to Shohel (2011:5), the Bangladeshi
education system is heterogeneous and very complex in nature as
many forms of education have been permitted to develop and co-
exist. Mainstream formal education takes three forms - Bangla
medium general education, English medium British education and
religion-base education. Along with these three, there is another
form of formal education called vocational education. Formal
education is divided into three tiers- primary, secondary and
higher education. In parallel with formal primary education, non-
government organisations (NGOs) have developed a nonformal
primary education sub-system to promote access to education for
disadvantaged young children in Bangladesh. The primary
objective of nonformal primary education is to prepare students to
enter or re-enter into the formal education sector. After completing
nonformal primary education, the graduates move to formal high
schools to carry on their further formal education. In this way
nonformal education is complementary to formal education for
disadvantaged children in the country.
Artinya, sistem pendidikan Bangladesh bersifat heterogen dan sangat
kompleks karena banyak bentuk pendidikan diizinkan untuk berkembang dan
hidup berdampingan. Pendidikan formal arus utama mengambil tiga bentuk -
pendidikan umum menengah , pendidikan bahasa Inggris menengah Inggris dan
pendidikan berbasis agama. Seiring dengan ketiganya, ada bentuk lain dari
pendidikan formal yang disebut pendidikan kejuruan. Pendidikan formal dibagi
menjadi tiga tingkatan - pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Sejalan dengan
pendidikan dasar formal, organisasi non-pemerintah (LSM) telah
mengembangkan sub-sistem pendidikan dasar nonformal untuk mempromosikan
akses ke pendidikan untuk anak-anak muda yang kurang beruntung di
Bangladesh. Tujuan utama dari pendidikan dasar nonformal adalah untuk
mempersiapkan siswa untuk masuk atau masuk kembali ke sektor pendidikan
formal. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar nonformal, para lulusan pindah

7
ke sekolah menengah formal untuk melanjutkan pendidikan formal selanjutnya.
Dengan cara ini nonformal

Acording to Noor(2010:8), the education sector in Bangladesh


is divided into four different segments namely Primary Level (years 1 to
5), Secondary Level (years 6 to 10), Higher Secondary Level, (years 11
and 12), Tertiary Level. There are a total of 80397 numbers of primary
school, 13224 numbers of Secondary school and 125 institutes at
tertiary level . This necessitates different requirements of educational
resources (hardware, software, study materials etc) for each of these
levels of users. Recently the government is giving maximum priority to
human resource development through education and tries to percolate
education for all people over the country.

Although the government of Bangladesh allocates maximum budget for the


development of its educational arena in the recent decades but still the literacy
rate is not increasing commensurately. The main reason is the improper
distribution of educational resources such as teaching tools, teaching stuffs and
lack of monitoring as well as inefficient 8 IJCSNS International administrative
procedure. In addition this is not an easy way to implement the governmental
policy in regard of educational course curriculum due to lack of communication.
As cloud computing technology binds the resources into a single domain, we
believe this technology can be a prominent solution for solving the educational
problems in Bangladesh.
Artinya, sektor pendidikan di Bangladesh dibagi menjadi empat segmen
yang berbeda yaitu Tingkat Dasar (tahun 1 hingga 5), tingkat Menengah (tahun 6
hingga 10), Tingkat Menengah Lebih Tinggi, (tahun 11 dan 12), Tingkat Tersier.
Ada total 80397 angka sekolah dasar, 13224 angka. Sekolah menengah pertama
dan 125 institut di tingkat tersier. Ini memerlukan persyaratan pendidikan yang
berbeda sumber daya (perangkat keras, perangkat lunak, bahan studi, dll.) untuk
masing-masing level pengguna ini. Baru-baru ini pemerintah memberikan
prioritas maksimum untuk pengembangan sumber daya manusia melalui

8
pendidikan dan mencoba meresap pendidikan untuk semua orang di seluruh
negeri.
Meskipun pemerintah Bangladesh mengalokasikan anggaran
maksimum untuk pengembangan arena pendidikannya dalam beberapa dekade
terakhir tapi tetap saja tingkat melek aksinya tidak meningkat sepadan. Alasan
utama adalah distribusi yang tidak tepat sumber daya pendidikan seperti alat
pengajaran, pengajaran barang-barang dan kurangnya pemantauan serta tidak
efisien 8 IJCSNS prosedur administrasi. Selain itu ini tidak mudah cara untuk
menerapkan kebijakan pemerintah dalam hal kurikulum pendidikan karena
kurangnya komunikasi. Sebagai teknologi komputasi awan mengikat sumber daya
ke dalam satu domain, kami percaya teknologi ini bisa menjadi solusi yang
menonjol untuk menyelesaikan pendidikan masalah di Bangladesh.

2.1.6.2. Negara Pakistan


According to Halai (2008 :115), through a huge effort
Pakistan has enhanced its education sector, and there are now more
than 100 institutions of higher education (Isani, 2002) and a literacy
rate of more than 50% (World Bank, 2007). From the outset, science
and technology were seen as a way to allow the young Muslim state to
enter the twentieth century, and a concerted effort was made to
improve the teaching and learning in science through the use of
innovative strategies (Warwick & Reimers, 1995). Until the 1950s
science was taught only in post-secondary institutions, and very little
science was taught at the primary and secondary school levels (Iqbal
& Mamood, 2000). The topic nature study was introduced into
primary classes in 1959 and, in principle, general science and
mathematics were compulsory for Grades 1 to 8. But the
implementation of science remained difficult, and the thrust of
education in general focused more on the liberal arts.
Artinya, melalui upaya besar yang dimiliki Pakistan meningkatkan sektor
pendidikannya, dan sekarang ada lebih dari 100 institusi di Indonesia pendidikan
tinggi (Isani, 2002) dan tingkat melek huruf lebih dari 50% (Bank Dunia, 2007).

9
Sejak awal, sains dan teknologi dipandang sebagai cara untuk memungkinkan
negara Muslim muda untuk memasuki abad kedua puluh, dan upaya bersama
dilakukan untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran dalam sains melalui
penggunaan inovatif strategi (Warwick & Reimers, 1995). Sampai tahun 1950-an
sains diajarkan hanya di lembaga-lembaga pasca-sekolah menengah, dan sangat
sedikit ilmu yang diajarkan di tingkat sekolah dasar dan menengah (Iqbal &
Mamood, 2000). Topik studi alam diperkenalkan ke dalam kelas primer di
Indonesia 1959 dan, pada prinsipnya, sains umum dan matematika adalah wajib
untuk Kelas 1 hingga 8. Tetapi penerapan sains tetap sulit, dan dorongan
pendidikan pada umumnya lebih berfokus pada seni liberal.

According to Saeed (2007 : 45), of Education, Curriculum


Wing, Islamabad. In each province there is a Curriculum Bureau or
Curriculum Research and Development Centre (CRDC) which
provides academic support to the Ministry of Education, Islamabad.
Curriculum formulation is a lengthy process, as the ministry has to
take expert opinions from all regions of the country. The curriculum
draft is finalized by the National Curriculum Review Committee,
Islamabad. Thus Saeed 47 uniform curriculum of each subject is
followed all over the country; although textbooks in different subjects
may vary across the provincial text book boards (PTB). The higher
education curriculum in Pakistan is the function of the respective
departments of the universities or colleges. The title of courses and
broader framework are usually discussed in the faculty, and then each
teacher plans in his/her own way to impart instructions in the
classrooms.
Artinya, di Pakistan, kurikulum sekolah untuk kelas 1-12 adalah tanggung
jawab sekolah Departemen Pendidikan, Sayap Kurikulum, Islamabad. Di setiap
provinsi ada Biro Kurikulum atau Pusat Penelitian dan Pengembangan Kurikulum
(CRDC) yang memberikan dukungan akademik kepada Departemen Pendidikan,
Islamabad. Perumusan kurikulum adalah proses yang panjang, karena
kementerian harus mengambil pendapat ahli dari semua wilayah negara. Draf

10
kurikulum diselesaikan oleh Komite Peninjauan Kurikulum Nasional, Islamabad.
Dengan demikian kurikulum yang seragam dari setiap mata pelajaran diikuti di
seluruh negeri, meskipun buku teks dalam mata pelajaran yang berbeda dapat
bervariasi di seluruh papan buku teks provinsi (PTB). Kurikulum pendidikan
tinggi di Pakistan adalah fungsi dari masing-masing departemen universitas atau
perguruan tinggi. Judul program dan kerangka kerja yang lebih luas biasanya
dibahas di fakultas, dan kemudian masing-masing guru berencana dengan caranya
sendiri untuk memberikan instruksi di ruang kelas.
Attitude is an important component of science education and
its thorough understanding is very necessary to enhance students‟
achievement and success and their participation in science related
careers but this aspect is neglected badly in Pakistan. This study was
thus an attempt to explore the attitudes towards science among
Pakistani students. The major aim of the study was to find out the
levels of students attitude towards science and to investigate the
attitude towards different subscales of TOSRA regarding gender and
locale (Iqbal, 2012 : 5).
Artinya, sikap adalah komponen penting dari pendidikan sains dan itu
pemahaman menyeluruh sangat di perlukan untuk meningkatkan siswa prestasi
dan kesuksesan serta partisipasi mereka dalam sains terkait karir tetapi aspek ini
diabaikan dipakistan. Pelajaran ini merupakan upaya untuk mengeksplorasi sikap
terhadap sains diantara siswa pakistan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui tingkat sikap siswa terhadap sains dan untuk menyelidiki sikap
terhadap berbagai sub skala TOSRA terkait gender dan lokal (Iqbal, 2012 : 5).
According to Halai (2008 :117),the problems facing science
education in Pakistan are two-pronged. One is the ‘deficiency’
problem that dominates many developing countries with limited
resources. This results in consequential problems that include: (a) a
shortage of science teachers, (b) poor training of science teachers, (c)
poor quality of textbooks, (d) a system of examinations that
encourages rote memorization, and (e) a lack of laboratories,
equipment, and other resources needed to teach science. However,

11
there is a deeper problem in Pakistan that I call the
‘conceptualization problem’. The conceptualization of science
education Pakistan requires us to ask questions such as, ‘What kind of
science education is needed for Pakistan?’, ‘What kind of practical
work is needed for Pakistani students?’ and ‘What are the skills that
we need to teach students through practical work in science?’. These
have been left largely unanswered.
Artinya, masalah yang dihadapi pendidikan sains di Pakistan adalah dua
sisi. Satu adalah masalah 'kekurangan' yang mendominasi banyak negara
berkembang dengan keterbatasan sumber daya. Ini menghasilkan masalah
konsekuensial yang meliputi: (a) kekurangan guru sains, (b) pelatihan guru sains
yang buruk, (c) kualitas guru yang buruk buku teks, (d) sistem pemeriksaan yang
mendorong menghafal, dan (e) kurangnya laboratorium, peralatan, dan sumber
daya lainnya yang dibutuhkan untuk mengajarkan sains. Namun, ada masalah
yang lebih dalam di Pakistan yang saya sebut konseptualisasi ‘ masalah'.
Konseptualisasi pendidikan sains Pakistan mengharuskan kita untuk bertanya
pertanyaan seperti, 'Pendidikan sains seperti apa yang dibutuhkan untuk
Pakistan?', 'Apa enis pekerjaan praktis diperlukan untuk siswa Pakistan? ’dan‘
Apa keterampilannya bahwa kita perlu mengajar siswa melalui kerja praktik
dalam sains? ' Ini sudah sebagian besar tidak terjawab.

2.1.6.3. Negara Sri Lang


According to Little (2011:502), in the international
development community Sri Lanka has been hailed for her
achievements in literacy, educational enrolment and equality of
educational opportunity. In the run-up to, and in the years following,
independence in 1948 access to education was high, in comparison
with other countries in Asia, and it Journal of Education Policy 501
CE: SL QA: PM 5 has continued to increase. Major policies for EFA
have been introduced periodically throughout Sri Lanka’s history,
even if they have been labelled with different terms. In the 1940s the
Free Education Bill was based on the concept of the right to

12
education and enacted tuition-free education from basic education to
university.
With its focus on the entire education system the bill was more
inclusive than the interna10 tional declarations of EFA at Jomtien
and Dakar, which have tended to focus more on basic education.
From the 1980s, policies for free textbooks, school uniforms, meals
and transport have made Sri Lanka’s education one of the most, if not
the most, accessible in the developing world. And although a net
enrolment rate of 97% in Grade 1 for boys and girls and completion
rates of 81% and 84%, respec15 tively at the end of Grade 9 (World
Bank 2005) suggest that EFA has already been achieved in Sri Lanka,
challenges remain: in inter alia, the retention of all children through
the compulsory stage of education (Grades 1–9) and in the provision
of equitable opportunities for good-quality teaching and learning
experiences.
Artinya, dalam komunitas pembangunan internasional, Sri Lanka dipuji
untuka prestasinya dalam melek huruf, pendaftaran pendidikan dan kesetaraan
pendidikan. Menjelang, dan pada tahun-tahun berikutnya, kemerdekaan pada 1948
akses ke pendidikan tinggi, dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, dan
itu terus meningkat. Kebijakan utama untuk PUS telah diperkenalkan secara
berkala sepanjang sejarah Sri Lanka, bahkan jika mereka telah diberi label dengan
istilah yang berbeda. Pada 1940-an, RUU Pendidikan Gratis didasarkan pada
konsep hak atas pendidikan dan memberlakukan pendidikan bebas biaya kuliah
dari pendidikan dasar hingga universitas.
Dengan fokusnya pada keseluruhan sistem pendidikan RUU ini lebih
inklusif daripada deklarasi internasional PUS di Jomtien dan Dakar, yang
cenderung lebih fokus tentang pendidikan dasar. Dari tahun 1980-an, kebijakan
untuk buku teks gratis, seragam sekolah, makanan dan transportasi telah
menjadikan pendidikan Sri Lanka salah satu yang paling baik dari sebagian besar,
dapat diakses di negara berkembang dan meskipun tingkat pendaftaran bersih
sebesar 97% di Kelas 1 untuk anak laki-laki dan perempuan dan tingkat
penyelesaian 81% dan 84%, masing-masing pada akhir Kelas 9 (Bank Dunia

13
2005) menunjukkan bahwa EFA telah Diraih di Sri Lanka, tantangan tetap ada di
antaranya, retensi semua anak melalui tahap wajib pendidikan (Kelas 1-9) dan
dalam ketentuan peluang yang adil untuk pengalaman belajar mengajar yang
berkualitas baik.

2.1.6.4. Negara India


According to Munsi (2014:96), In India there is one year B.
Ed. programme for preparing teachers at secondary level of school
education where the knowledge domain appropriate for a particular
age group are only included. The National Curriculum Framework-
2005 was framed for the secondary level of Indian school education
and accordingly National Curriculum Framework for Teacher
Education-2009 was formulated, keeping close liaison with national
secondary school education and global need of the time. NCFTE
considered subject knowledge, pedagogical knowledge, and
competence to implement the knowledge in specific contexts of
teaching in structuring the secondary teacher education programme
in India. But in operationalisation of the same, the NCFTE viewed
that certain courses in the curriculum may be kept as optional in the
secondary level which may be effectively implemented through co-
curricular and curricular activities.
Adolescence Education and Life Skills linked to health,
consumer rights and legal literacy have been acknowledged by the
NCF, 2005 as important areas in school education and included
accordingly in secondary school curriculum.7 After 2005, over
country-wide debate, sex education was restructured as the
Adolescence Education Program (AEP) which focused on enhancing
life skills among the adolescents, so that they can be responsive to
the real life situations. The NCF, 2005 clearly outlined that the AEP
should not be practiced separately rather be included in school
education. It was also decided that responsibility of implementing
life skill based education to the secondary school students should be

14
assigned to nodal teachers. Nodal teachers trained in cascade
manner will provide guidelines and materials to facilitate the
transaction process through interactive methodologies. The method
used in teaching of Life Skills is based upon the social learning
theories.
Artinya, di India ada program satu tahun untuk mempersiapkan guru di
tingkat sekolah menengah pendidikan di mana domain pengetahuan yang sesuai
untuk kelompok umur tertentu hanya dimasukkan. Kerangka Kurikulum
Nasional-2005 dibingkai untuk tingkat sekolah menengah pendidikan India dan
Kerangka Kurikulum Nasional untuk Pendidikan Guru-2009 dirumuskan,
menjaga hubungan erat dengan pendidikan sekolah menengah nasional dan
kebutuhan global saat itu. NCFTE mempertimbangkan pengetahuan mata
pelajaran, pengetahuan pedagogis, dan kompetensi untuk mengimplementasikan
pengetahuan dalam konteks pengajaran tertentu dalam penataan program
pendidikan guru menengah di India. Tetapi dalam operasionalisasi yang sama,
NCFTE memandang bahwa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum dapat
disimpan sebagai pilihan di tingkat sekunder yang dapat diterapkan secara efektif
melalui kegiatan kurikuler dan kurikuler.
Pendidikan Remaja dan Kecakapan Hidup yang terkait dengan kesehatan,
hak-hak konsumen, dan literasi hukum telah diakui oleh NCF, 2005 sebagai
bidang-bidang penting dalam pendidikan sekolah dan dimasukkan sesuai dengan
itu dalam kurikulum sekolah menengah.7 Setelah 2005, melalui debat di seluruh
negeri, pendidikan seks direstrukturisasi sebagai Program Pendidikan Remaja
(AEP) yang berfokus pada peningkatan keterampilan hidup di kalangan remaja,
sehingga mereka dapat responsif terhadap situasi kehidupan nyata. NCF, 2005
dengan jelas menguraikan bahwa AEP tidak boleh dipraktikkan secara terpisah
melainkan dimasukkan dalam pendidikan sekolah. Juga diputuskan bahwa
tanggung jawab menerapkan pendidikan berbasis kecakapan hidup kepada siswa
sekolah menengah harus ditugaskan ke guru-guru . Guru yang dilatih secara
kaskade akan memberikan panduan dan materi untuk memfasilitasi proses
transaksi melalui metodologi interaktif. Metode yang digunakan dalam
pengajaran Kecakapan Hidup didasarkan pada teori pembelajaran sosial.

15
2.1.6.5. Negara Nepal
According to Munsi (2014:96), teacher Education Programme
started its journey in Nepal in 1948 with the set up of Basic Teacher
Training Centre. In 1997 Curriculum Development Centre (CDC) was
established in Nepal to design the curriculum, text books and different
instructional materials in order to achieve national goals of
education. On behalf of Ministry of Education (MoE), CDC framed
the National Curriculum Framework-2005 (which was revised in
2007) for professional development of teachers. A Teacher Education
Project (2002-2008) was also administered by the MoE for betterment
of professional teaching in the country. Provisions of life skill-based
education are kept in the secondary curriculum and corresponding
teacher preparing curriculum. They may be integrated in a specific
subject.
Artinya, program Pendidikan Guru memulai perjalanannya di Nepal pada
tahun 1948 dengan didirikannya Pusat Pelatihan Eacher Dasar. Pada tahun 1997
Pusat Pengembangan Kurikulum (CDC) didirikan di Nepal untuk merancang
kurikulum, buku teks dan bahan pengajaran yang berbeda untuk mencapai tujuan
nasional pendidikan. Atas nama Departemen Pendidikan (KLH), CDC
membingkai Kerangka Kerja Kurikulum Nasional-2005 (yang direvisi pada 2007)
untuk pengembangan profesional guru. Proyek Pendidikan Guru (2002-2008) juga
dikelola oleh Kementerian Pendidikan untuk perbaikan pengajaran profesional di
negara ini. Ketentuan pendidikan berbasis kecakapan hidup disimpan dalam
kurikulum sekunder dan kurikulum persiapan guru yang sesuai. Mereka dapat
diintegrasikan dalam subjek tertentu.
Nepal National Life Skills Education Programmes are
integrated into its health curriculum. According to National
Curriculum Framework 2005, life skills incorporated in the present
curriculum by CDC are of generic in nature, related to all aspects of
life. So stress should be given on all learning areas of school
education to attain these skills optimally through cross-curricular
provision. These must be utilized across a range of content areas.

16
Before implementation of life skill education in secondary grade, the
same has been integrated to the secondary teacher education
curriculum and the teachers are being trained accordingly. National
Centre for Educational Development (NCED) has tried to address this
challenge of incorporating life skills in traditional school education
system. NCED is also trying to develop a package on ‘training of
trainers on life skill based active learning and learning through
games’.
Artinya, program Pendidikan Keterampilan Hidup Nasional Nepal
diintegrasikan ke dalam kurikulum kesehatannya. Berdasarkan Kerangka
Kurikulum Nasional 2005, kecakapan hidup yang dimasukkan dalam kurikulum
saat ini oleh CDC bersifat generik di alam, terkait dengan semua aspek kehidupan.
Jadi tekanan harus diberikan pada semua bidang pembelajaran untuk mencapai
pendidikan sekolah keterampilan ini secara optimal melalui penyediaan lintas-
kurikuler. Ini harus digunakan di berbagai area konten. Sebelum pelaksanaan
pendidikan kecakapan hidup di kelas menengah, hal yang sama telah
diintegrasikan ke sekolah menengah kurikulum pendidikan guru dan para guru
sedang dilatih sesuai. Pusat Pendidikan Nasional Pembangunan (NCED) telah
mencoba mengatasi tantangan ini dengan menggabungkan kecakapan hidup dalam
pendidikan sekolah tradisional sistem. NCED juga mencoba mengembangkan
paket pelatihan ‘pelatih tentang pembelajaran aktif berbasis kecakapan hidup dan
belajar melalui permainan ’.
2.1.6.6. Negara Maladewa
According to Musi (2014:96), In 1978 Maldives saw the
major historical development in the field of education with the
decision to move to a unified national educational system and to
promote more equitable distribution of facilities throughout the
atolls. Ministry of Education, Maldives has formulated their
Education Strategic Action Plan (2004-2006). A New Education
Master Plan (2006-2015) was proposed in 2008. The new
Government of Maldives has also prepared a National
Development Plan (2009-2013) keeping pace with the modern

17
global educational progress in all level. Institute for Teacher
Education (ITE) and Educational Development Centres (EDCs)
have shared the responsibility of Teacher Education in Maldives
over the years which have been working within the newly
established Maldives College of Higher Education since 1999. In
2004 United Nations Population Fund (UNFPA) took the initiative
to promote Life Skills Education Project in Maldives as a co-
curricular sector and the projects were practiced in several
schools.
Artinya, pada tahun 1978 Maladewa melihat perkembangan sejarah utama
di bidang pendidikan dengan keputusan untuk pindah ke sistem pendidikan
nasional terpadu dan untuk mempromosikan distribusi fasilitas yang lebih adil di
seluruhnya. Departemen Pendidikan, Maladewa telah merumuskan Rencana Aksi
Strategis Pendidikan mereka (2004-2006). Sebuah Master Plan Pendidikan Baru
(2006-2015) diusulkan pada tahun 2008. Pemerintah baru Maladewa juga telah
menyiapkan Rencana Pembangunan Nasional (2009-2013) sejalan dengan
kemajuan pendidikan global modern di Indonesia semua level. Institut Pendidikan
Guru (ITE) dan Pusat Pengembangan Pendidikan (EDC) telah berbagi tanggung
jawab Pendidikan Guru di Maladewa selama bertahun-tahun yang telah bekerja di
kalangan yang baru mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Maladewa sejak
1999. Pada tahun 2004 Dana Populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA)
mengambil inisiatif untuk mempromosikan Proyek Pendidikan Kecakapan Hidup
di Maladewa sebagai sektor ko-kurikuler dan proyek-proyeknya dipraktekkan di
beberapa sekolah.
In those projects different age-specific resource materials
were developed for several age groups and teachers were trained
accordingly to implement the LSBE packages. A review in 2008
recommended considering the Life Skills Based Education into the
secondary curriculum. The National Institute of Education (NIE), a
division of Ministry of Education is responsible for developing the
National Curriculum. It has felt the need to integrate different life
skills into the curriculum to achieve the overall objectives of the

18
curricular reform. As a part of revision of existing curriculum, the
National Curriculum Framework was framed in 2012 which pointed
out a wide range of key life skills like understanding and managing
self, thinking critically and creatively, involving with people, and
living a healthy lifestyle.
Artinya, dalam proyek-proyek itu berbagai bahan sumber daya usia
spesifik dikembangkan untuk beberapa kelompok umur dan guru dilatih sesuai
untuk mengimplementasikan paket-paket LSBE. Ulasan di tahun 2008
direkomendasikan mempertimbangkan Pendidikan Berbasis Kecakapan Hidup ke
dalam kurikulum sekunder. Institut Nasional of Education (NIE), sebuah divisi
dari Departemen Pendidikan bertanggung jawab untuk mengembangkan
Kurikulum Nasional. Itu telah merasakan kebutuhan untuk mengintegrasikan
berbagai kecakapan hidup ke dalam kurikulum untuk mencapai tujuan
keseluruhan reformasi kurikuler. Sebagai bagian dari revisi kurikulum yang ada,
Kerangka Kurikulum Nasional dibingkai dalam 2012 yang menunjukkan berbagai
keterampilan hidup utama seperti memahami dan mengelola diri, berpikir kritis
dan secara kreatif, terlibat dengan orang-orang, dan menjalani gaya hidup sehat.
2.1.6.7. Negara Bhutan
According to Musi (2014:95), Bhutan has broadly followed
India in structuring their formal and innovative education system. A
considerable portion of teachers from neighboring countries
particularly from India are still there at the secondary and higher
levels. A Strategic Plan (2004-2012) was framed by the Royal
University of Bhutan and a National Education Framework 2010
was set up by the Ministry of Education (MoE), Royal Government
of Bhutan to direct the educational system of the country in right
way. Now National Curriculum 2010, based on the National
Education Framework-2010 is followed in the country. The current
status of secondary teacher education has been marked out in the
10th Five Year Plan (2008-2013). 6 Now in the secondary school
curriculum, areas related to personal development, including value
education, scouts programme, career guidance and orientation to

19
vocational skills, physical education, and games and sports are
being expanded and strengthened. Accordingly, stresses have been
given in the initial teacher education programmes on mastery of
different life skills education along with mastery in the core subjects.
Artinya , Bhutan secara luas mengikuti India dalam menyusun sistem
pendidikan formal dan inovatif mereka. Sebuah sebagian besar guru dari negara-
negara tetangga terutama dari India masih ada di sekolah menengah dan tingkat
yang lebih tinggi. Rencana Strategis (2004-2012) dibingkai oleh Royal University
of Bhutan dan National Kerangka Kerja Pendidikan 2010 dibentuk oleh
Departemen Pendidikan (KLH), Pemerintah Kerajaan Bhutan untuk mengarahkan
sistem pendidikan negara dengan cara yang benar. Sekarang Kurikulum Nasional
2010, berdasarkan Nasional Kerangka Pendidikan-2010 diikuti di negara ini.
Status pendidikan guru menengah saat ini adalah ditandai dalam Rencana Lima
Tahun ke 10 (2008-2013). 6 Sekarang dalam kurikulum sekolah menengah,
bidang yang berkaitan dengan pengembangan pribadi, termasuk pendidikan nilai,
program pramuka, bimbingan dan orientasi karier keterampilan kejuruan,
pendidikan jasmani, dan permainan serta olahraga sedang diperluas dan diperkuat.
Demikian,tekanan telah diberikan dalam program pendidikan guru awal tentang
penguasaan pendidikan keterampilan hidup yang berbeda bersama dengan
penguasaan dalam mata pelajaran inti.

20

Anda mungkin juga menyukai