Kelas : 1B
NIM : 1901277050
Dalam menjalankan profesi kedokteran/kesehatan, ada satu hal yang jarang disadari dokter,
yaitu bahwa saat ia menerima pasien untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang
kuratif, preventif, rehabilitatif, maupun promotif, sebetulnya telah terjadi transaksi atau
persetujuan antara dua pihak dalam bidang kesehatan.
Menurut ketentuan hukum,hubungan demikian berlaku sebagai undang-undang. Artinya tiap-
tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati. Bila salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat menuntut atau menggugat pihak
lain.Untuk melihat atau mendudukkan hubungan dokter dengan pasien yang mempunyai
landasan hukum, dapat dimulai dengan pasal 1313 KUH Perdata:
“Suatu nya adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.”
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir
dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan
yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian
didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat
perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin
tidak dikehendaki oleh nya pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan
oleh undang-undang.DalamDalam bidang pengobatan, jelas ada hubungan atau persetujuan
antara pasien atau keluarga pasien dan satu orang dokter atau beberapa dokter.
Terdapat beberapa bentuk hubungan kontrak dokter-pasien, yaitu:
1. Kontrak yang nyata (expressed contract)
Dalam bentuk ini sifat atau luas jangkauan pemberian pelayanan pengobatan sudah
ditawarkan oleh sang dokter yang dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis
maupun secara lisan.
2. Kontrak yang tersirat (implied contract)
Dalam bentuk ini adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para pihak.
Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh hukum berdasarkan
pertimbangan akalsehat, kebiasaan dan keadilan.
Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang
merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasarnya hak-hak pasien adalah
sebagai berikut:
1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi
kedokteran.
3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya.
4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari
kontrak terapeutik.
5. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.
6. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran.
7. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikankepada dokter yang
merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau
tindak lanjut.
8. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi.
9. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit. 10. Berhubungan dengan keluarga,
penasihat, atau rohaniawan, dan lain-lain yang diperlukan selama perawatan di rumah
sakit.
10. Memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap.
Menjaga rahasia pasien tersebut mestinya berlaku terhadap hal-hal sebagai berikut
1. Jika ada persetujuan dari pasien untuk dibuka informasi tersebut.
2. Jika dilakukan komunikasi dengan dokter yang lain dari pasien tersebut.
3. Jikaormasi tersebut bukan informasi yang tergolong rahasia. Bandingkan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
yang juga menentukan kekecualian terhadap kewajiban membuka rahasia dokter tersebut
yaitu sebagai berikut
4. Jika dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien, atau
5. Jika dilakukan atas permintaan penegak hukum, atau
6. Jika dilakukan atas permintaan pasien sendiri, atau
7. Jika dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan lainnya. (vide pasal 48 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004). Karena itu, sebagai kekecualian, seorang
dokter mestinya diperkenankan untuk membuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada
pihak tertentu saja, asalkan ada alasan pembenar yang masuk akal.
Dalam hal ini, berlaku 3 (tiga) syarat batasan sebagai berikut:
1. Syarat keterbatasan para pihak, yakni boleh dibuka rahasia hanya terhadap pihak yang
relevan saja, misalnya hanya kepada pihak istri/suami, mantan istri/suami, pengadilan,
pihak yang mungkin akan ketularan penyakit, dan lain-lain.
2. Syarat keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka informasi sejauh yang diperlukan saja
oleh pihak yang menerima informasi.
3. Syarat keterbatasan persyaratan, yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratan
tertentu saja, antara lain persyaratan-persyaratan sebagai Berikut:
Ada risiko (misalnya menularnya penyakit) terhadap pihak-pihak keluarga/teman
dekat dari pasien.
Secara medis informasi tersebut layak dibuka. Jadi, dokter sebagai salah seorang
profesional, secara etika (yang dikuatkan oleh hukum) wajib juga menjaga rahasia
yang didapatinya dari pasiennya.
Akan tetapi, ketentuan ini tidaklah berlaku mutlak disebabkan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Dokter tidak semata-mata merupakan alter ago dari pasiennya, tetapi merupakan pihak
profesional yang bekerja sesuai etika profesi.
2. Masih ada kepentingan lain yang mungkin lebih penting dari kepentingan melindungi
rahasia antara dokter dan pasien.
Pelanggaran profesi kedokteran di bidang hukum dapat dilakukan berdasarkan sesuatu yang
terletak dalam:
1. Bidang MEDIK
2. NON-MEDIK (informed consent, surat keterangan yang tidak benar, membuka rahasia
medis pasien, dsb).