Anda di halaman 1dari 25

PERJALANAN HIDUP UTSMAN BIN AFFAN:

SEBUAH PERKENALAN

(RADHIYALLAHU ‘ANHU)

Oleh
Rimbun Natamarga

1
BAB I
PRIBADI DAN KELUARGA UTSMAN

Nama, Kuniyah, dan Julukan Utsman


Utsman bin Affan adalah salah seorang menantu Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, berbeda dengan
menantu-menantu nabi lainnya, Utsman adalah satu-satunya
menantu nabi yang menikah dengan dua putri nabi. Dari sini, para
sahabat nabi pun mempersaksikan bahwa tidak ada orang yang
memiliki keistimewaan seperti Utsman. Karena itulah Utsman
dijuluki dengan Dzun Nurain, Sang Pemilik Dua Cahaya.
Utsman lahir enam tahun setelah lahirnya Rasulullah. Ayah
Utsman bernama Affan bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdisy Syams
bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab Al Qurasyi, sedangkan ibu
Utsman bernama Arwa bintu Quraiz bin Rabi’ah. Affan meninggal
dunia sebelum Islam datang, sedangkan Arwa masuk Islam dan
ikut hijrah ke Madinah sebelum akhirnya wafat di sana pada masa
pemerintahan Utsman. Karena ayah Utsman adalah cucu Umayyah,
maka Utsman pun termasuk bagian dari keluarga besar Al Umawi.
Dari nasab ayahnya, nasab Utsman bertemu dengan nasab
nabi pada sosok Abdu Manaf. Akan tetapi, dari jalur ibunya,
Utsman tidak lain dari anak bibi nabi. Sebab nenek Utsman dari ibu
Utsman adalah Ummu Hakim Al Baidha’ bintu Abdil Muththalib.
Menariknya, nenek Utsman itu saudara kandung seayah dan seibu
dengan Abdullah dan Abu Thalib, ayah dan paman nabi.
Sebelum menikahi Ruqayyah bintu Rasulullah, Utsman
dikenal dengan kuniyah Abu Amr. Setelah menikah, Utsman ber-
kuniyah dengan Abu Abdillah, sebab Ruqayyah melahirkan seorang
putra Utsman yang bernama Abdullah. Akan tetapi, cucu nabi ini

2
tidak lama hidupnya. Ia meninggal dunia ketika berumur enam
tahun.

Ciri-Ciri Fisik dan Sifat-Sifat Utsman


Utsman adalah laki-laki yang tampan, meskipun ada bekas cacar di
wajahnya. Rambut dan jenggotnya lebat. Dahinya lebar. Hidungnya
mancung dan bentuk mulutnya bagus. Gigi-gigi depannya bagus.
Utsman bertubuh kekar. Ia tidak jangkung dan tidak pula
pendek. Bahunya bidang, sedangkan tulang-tulang persendian
tubuhnya besar-besar. Ia juga dikaruniai kedua betis yang besar-
besar, sedangkan kedua telapak kakinya lebar-lebar.
Kulit Utsman bewarna sawo matang. Di lengannya yang
panjang, tumbuh bulu-bulu yang lebat. Ketika jenggotnya telah
memutih, ia senang mengecatnya dengan tumbuhan henna.
Utsman memiliki perangai yang lembut. Ia, bahkan, dikenal
sebagai laki-laki yang pemalu. Meski demikian, ia adalah salah
seorang sahabat nabi yang paling dermawan dan dihormati di
tengah-tengah kalangan Quraisy.
Sebagian orang menilai bahwa Utsman terlalu lunak kepada
anggota-anggota kerabatnya. Mereka juga menganggap Utsman
terlalu memihak kepada keluarganya. Anggapan seperti ini tidak
benar. Dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir
mengatakan,

“Utsman memiliki akhlak mulia. Ia sangat pemalu, dermawan, dan


terhormat. Ia mengutamakan keluarga dan kerabatnya di jalan Allah
sebagai bentuk melunakkan hati mereka dengan harta benda dunia
yang fana. Harapannya, hal itu dapat mendorong mereka agar
mendahulukan yang abadi dari yang fana, seperti yang dilakukan
Rasulullah—beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang

3
memberikan harta kepada satu kaum dan tidak memberi harta
kepada kaum yang lain, karena khawatir mereka akan dimasukkan
Allah ke dalam Neraka. Sebagian orang memrotes Utsman karena
apa yang ia lakukan itu, sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Khawarij kepada Rasulullah atas pembagian harta rampasan Perang
Hunain.”

Istri-Istri dan Anak-Anak Utsman


Selain menikah dengan Ruqayyah putri Rasulullah, Utsman juga
menikahi Ummu Kultsum, putri bungsu Rasulullah. Akan tetapi,
pernikahan ini baru terjadi setelah Ruqayyah meninggal dunia pada
tahun ke-2 H. Ummu Kultsum sendiri meninggal dunia pada tahun
ke-9 H. Jika dari pernikahan dengan Ruqayyah Utsman mendapat
seorang putra, pernikahannya dengan Ummu Kultsum tidak
meninggalkan seorang anak sama sekali.
Selain menikahi dua putri Rasulullah, Utsman juga menikahi
beberapa orang wanita lainnya. Empat orang di antara mereka
masih hidup ketika Utsman terbunuh di rumahnya.
Setelah Ummu Kultsum meninggal dunia, Utsman menikah
dengan Fakhitah bintu Ghazwan. Darinya, Utsman mendapatkan
seorang putra yang bernama Abdullah Ash Shaghir.
Kemudian, Utsman menikah dengan Ummu Amr bintu
Jundub. Dari pernikahan mereka, lahir anak-anak yang dinamakan
Amr, Khalid, Aban, Umar, dan Maryam.
Utsman juga menikahi Fatimah bintu Walid bin Abdi Syams
Al Makhzumiyah. Darinya, lahir anak-anak yang bernama Al Walid,
Sa’id, dan Ummu Sa’id.
Istri Utsman berikutnya adalah Ummul Banin bintu ‘Uyainah
bin Hishn. Putri salah seorang sahabat Rasulullah ini melahirkan
untuk Utsman seorang putra yang bernama Abdul Malik.

4
Selain Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah bintu Al
Walid, wanita Quraisy yang juga pernah dinikahi Utsman adalah
Ramlah bintu Syaibah. Darinya, lahir anak-anak Utsman yang
bernama Aisyah, Ummu Aban, dan Ummu ‘Amr.
Satu-satunya istri Utsman yang berasal dari kalangan ahlul
kitab adalah Nailah bintu Al Farafishah. Ketika Utsman dibunuh,
Na-ilah sempat menjadikan dirinya sebagai tameng untuk
suaminya. Dari Na-ilah, Utsman mendapatkan seorang putri yang
bernama Maryam.

5
BAB II
UTSMAN SEMASA RASULULLAH HIDUP

Utsman radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat-sahabat nabi yang


pertama-tama masuk Islam (as sabiqunal awwalun). Beliau masuk
Islam melalui dakwah yang disampaikan oleh Abu Bakar Ash
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu di hari-hari pertama Islam datang.
Seperti sahabat-sahabat nabi lainya, Utsman juga mendapati
cobaan dari kaum musyrik Quraisy. Di antaranya adalah dari
paman beliau sendiri, Al Hakam bin Abil Ash bin Umayyah. Utsman
diikat oleh pamannya dan dipaksa untuk murtad, namun Utsman
tetap bergeming dan teguh di atas Islam yang dipeluknya.
Ketika cobaan makin meningkat dan para sahabat nabi
diizinkan untuk hijrah ke Habasyah, Utsman adalah orang pertama
yang melakukan hijrah ke sana. Bersama istri beliau, Ruqayyah
putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Utsman pergi
menyelamatkan keimanannya, mendahului belasan sahabat nabi
yang hijrah di gelombang pertama itu.
Utsman tidak lama di Habasyah. Beliau kembali ke Mekkah
dan turut serta hijrah ke Madinah ketika Allah izinkan kaum
muslimin untuk hijrah ke sana. Karena pernah hijrah ke Habasyah
dan Madinah itulah, Utsman terkadang disebut sebagai shahibul
hijratain, orang yang hijrah dua kali.
Tidak seperti Abu Bakar dan Umar, Utsman tidak mengikuti
semua perang yang diikuti oleh Rasulullah. Utsman hanya
mengikuti Perang Uhud, Perang Ahzab, Perjanjian Hudaibiyah,
Perang Khaibar, Penaklukan Mekkah, Perang Hunain, Perang Tha-
if, dan Perang Tabuk.
Meski tidak mengikuti Perang Badar, Rasulullah tetap
menggolongkan Utsman sebagai salah satu peserta perang.

6
Ketidakhadiran Utsman dalam perang ini disebabkan oleh tugas
khusus yang diberikan oleh Rasulullah untuk merawat Ruqayyah
yang sedang sakit waktu itu. Rasulullah sendiri, ketika Perang
Badar berkecamuk, menembakkan anak-anak panah beliau atas
nama Utsman. Demikian pula ketika pembagian harta rampasan
perang, Rasulullah menjatahkan satu bagian untuk Utsman.
Keistimewaan seperti itu bisa didapati juga dalam beberapa
peristiwa lainnya. Di antaranya adalah ketika Baiat Ridhwan,
menjelang terjadi Perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-6 H.
Sebelum baiat, Rasulullah mengutus Utsman untuk mendatangi
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah guna menjelaskan maksud
kedatangan rombongan Rasulullah ke Mekkah. Waktu itu,
Rasulullah dan 1.400 orang sahabat hendak melakukan umrah di
Mekkah.
Akan tetapi, kaum musyrikin menolak itikad tersebut.
Mereka bahkan menyuruh Rasulullah serta rombongan untuk
pulang kembali ke Madinah dan baru boleh umrah pada tahun ke-7
H. Utsman yang menjadi utusan Rasulullah ditahan oleh mereka
sementara waktu, sampai akhirnya beredar kabar bahwa Utsman
dibunuh oleh kaum musyrikin.
Menyikapi kabar itu, Rasulullah meminta para sahabat
beliau untuk berbaiat, berjanji setia untuk tidak lari dan siap
berperang sampai mati untuk membela kehormatan Islam. Mereka
pun berbaiat, satu demi satu, di bawah pohon samurah yang ada di
daerah Hudaibiyah.
Khusus untuk Utsman, Rasulullah mengangkat tangan
kanan beliau dan berkata, “Ini adalah tangan Utsman.” Dengan
tangan mulia itulah, Rasulullah mewakili Utsman dalam Baiat
Ridhwan, sehingga Utsman pun terhitung sebagai salah seorang

7
peserta Baiat Ridhwan yang tentangnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

‫ﻟ َ ْﻦ ﯾ َ ْﺪ ُ َﻞ اﻟﻨ َﺎر َر ُ ٌﻞ َﺷﻬِﺪَ ﺑ َ ْﺪ ًرا َواﻟْ ُ ﺪَ ﯾْ ِ ﺔ‬


“Tidak akan masuk Neraka seseorang yang mengikuti Perang Badar
dan Al Hudaibiyah.” (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Syaikh
Muhammad Al Albani di dalam kitab Ash Shahihah)

Juga, dalam Al Qur-an, Allah subhanahu wa ta’ala memuji para


peserta baiat itu melalui kalamNya,

‫ﴈ ا ُ َﻋ ِﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِ َﲔ ا ْذ ﯾ ُ َﺒﺎ ِﯾ ُﻌﻮﻧ ََﻚ َ ْﲢ َﺖ اﻟﺸ َﺠ َﺮ ِة ﻓَ َﻌ ِ َﲅ َﻣﺎ ِﰲ ﻗُﻠُﻮﲠِ ِ ْﻢ ﻓَ َﺰ َل‬ َ ِ ‫ﻟ َ َﻘ ْﺪ َر‬


‫اﻟﺴ ِﻜ ﻨَ َﺔ َﻠَ ْ ِﳱ ْﻢ َو َ ﲠَ ُ ْﻢ ﻓَ ْ ًﺎ ﻗَ ِﺮﯾﺒ ًﺎ‬
“Sungguh, Allah telah ridho kepada orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji-setia kepadamu di bawah pohon. Allah pun
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Allah turunkan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka
dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath: 18)
Akan tetapi, yang paling diingat kaum muslimin dari Utsman
dalam sejarah Islam adalah peran beliau dalam mempersiapkan
pasukan Perang Tabuk pada tahun ke-9 H. Perang Tabuk sendiri
adalah perang yang terjadi pada masa-masa sulit, sehingga
terkadang disebut sa’atul usrah (masa yang sulit). Buah-buahan
baru akan berbuah dan kaum muslimin sedang ditimpa musim
paceklik. Sementara itu, musuh yang akan dihadapi adalah pihak
Romawi yang terkenal memiliki pasukan yang banyak dan
persenjataan yang kuat.

8
Kaum muslimin yang akan berangkat berperang berjumlah
lebih dari 30.000 orang. Sementara itu, bekal yang ada tidak
mencukupi. Rasulullah pun mendorong sahabat-sahabat beliau
untuk membantu kesiapan pasukan. Para sahabat nabi
berbondong-bondong menyumbang apa saja yang mereka mampu.
Sampai-sampai, orang-orang munafik menghina sahabat-sahabat
nabi tersebut.

ِ َ‫ون اﻟْ ُﻤﻄ ّ ِﻮ ِ َﲔ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِ َﲔ ِﰲ اﻟﺼﺪَ ﻗ‬


َ ُ‫ﺎت َوا ِ َﻦ َﻻ َﳚِﺪ‬
‫ون اﻻ ُ ْ ﺪَ ُ ْﱒ‬ َ ‫ا ِ َﻦ ﯾَﻠْ ِﻤ ُﺰ‬
‫ون ِﻣ ْﳯُ ْﻢ‬
َ ‫ﻓَ َ ْﺴﺨ َُﺮ‬
“(Orang-orang munafik itu) adalah orang-orang yang mencela orang-
orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan
(mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu
menghina mereka.” (QS. At Taubah: 79)

Dalam keadaan seperti itu, bekal yang terkumpul pun tidak


mencukupi untuk semua kaum muslimin. Sampai akhirnya, ada
sejumlah sahabat nabi yang terpaksa tidak ikut perang karena tidak
memiliki bekal. Bahkan, ada yang menangis karena tidak
mendapatkan hewan tunggangan untuk berperang, seperti yang
Allah ta’ala singgung dalam firmanNya,

َ ُ‫َ َﲆ اﻟْ َﻤ ْﺮ َﴇ َو َﻻ َ َﲆ ا ِ َﻦ َﻻ َﳚِﺪ‬


َ ‫ون َﻣﺎ ﯾُﻨ ِﻔ ُﻘ‬
‫ﻮن َﺣ َﺮ ٌج ا َذا‬ ‫ﻟ ْ َﺲ َ َﲆ اﻟﻀ َﻌ َﻔﺎء َو َﻻ‬
‫َ َﲆ اﻟْ ُﻤ ْﺤ ِﺴ ﻨِ َﲔ ِﻣﻦ َﺳ ِ ٍﻞ َوا ّ ُ ﻏَ ُﻔ ٌﻮر ر ِﺣ ٌﲓ‬ ‫ﻧ ََﺼ ُﺤﻮ ْا ِ ّ ِ َو َر ُﺳﻮ ِ ِ َﻣﺎ‬

9
“Tidak ada dosa (lantaran tidak bisa berperang) atas orang-orang
yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak
memperoleh apa yang akan mereka gunakan sebagai bekal, apabila
mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan rasulNya. Tidak ada jalan
sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. At Taubah:
91), dan juga,

‫َو َﻻ َ َﲆ ا ِ َﻦ ا َذا َﻣﺎ ﺗ َْﻮكَ ِﻟ َﺘ ْﺤ ِﻤﻠَﻬ ُْﻢ ﻗُﻠْ َﺖ َﻻ ِ ﺪُ َﻣﺎ ْ ِﲪﻠُ ُ ْﲂ َﻠَ ْﯿ ِﻪ ﺗ ََﻮﻟﻮ ْا و ْﻋ ُﯿﳯُ ُ ْﻢ‬
َ ‫ﺗَ ِﻔ ُﺾ ِﻣ َﻦ ا ْﻣﻊ ِ َﺣ َﺰ ً ﻻ َﳚِﺪُ و ْا َﻣﺎ ﯾُﻨ ِﻔ ُﻘ‬
‫ﻮن‬
“Tiada pula berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang
kepadamu agar engkau memberi mereka tunggangan, lalu engkau
katakan, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa
kalian.’ Mereka pun pulang, sedangkan mata mereka bercucuran air
mata karena sedih lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka gunakan sebagai bekal.” (QS. At Taubah: 92)

Adapun Utsman, maka beliau menyumbang 1.000 ekor unta


dan 100 ekor kuda untuk tunggangan-tunggangan pasukan. Beliau
juga memberikan 83,3 kg emas dan 1.000 dinar kepada Rasulullah
agar dapat digunakan oleh pasukan selama perang. Semuanya
dipersiapkan Utsman dengan sebaik mungkin, hingga tidak satu
pun unta dan kuda yang terlepas dari ikatannya. Karena itu,
pantaslah, jika Rasulullah bersabda,

(‫َﻣﺎ َﴐ ُﻋﺜْ َﻤ َﺎن َﻣﺎ َ ِﲻ َﻞ ﺑ َ ْﻌﺪَ اﻟْ َﯿ ْﻮ ِم ) َﻣﺮﺗ ْ َِﲔ‬

10
“Tidak ada yang dapat membahayakan Utsman setelah apa yang
dilakukannya pada hari ini (2x).” (HR. At Tirmidzi dan di-hasan-
kan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab
Shahih Sunan At Tirmidzi)

Bahwa Utsman menyumbang banyak harta untuk pasukan


tersebut, sudah menjadi sesuatu yang tidak asing lagi. Beliau
memang dikenal sebagai salah seorang sahabat nabi yang
dermawan. Di antara bentuk kedermawanan beliau adalah ketika
masjid nabi mulai dirasa sempit disebabkan jamaah yang
bertambah. Rasulullah berencana meluaskan masjid, maka beliau
pun bersabda,

‫َﻣ ْﻦ َْﺸ َ ِﱰي ﺑ ُ ْﻘ َﻌ َﺔ ٓ ِل ﻓُ َﻼ ٍن ﻓَ َ ِﲒﯾﺪَ ﻫَﺎ ِﰲ اﻟْ َﻤ ْﺴ ِ ِﺪ ِ َﲞ ْ ٍﲑ ِﻣ ْﳯَﺎ ِﰲ اﻟْ َﺠﻨ ِﺔ‬
“'Siapa yang akan membeli sebidang tanah milik keluarga Fulan,
lalu ia tambahkan tanah itu ke tanah masjid karena mengharap
yang terbaik baginya di surga kelak?” (HR. At Tirmidzi dan di-
hasan-kan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam
kitab Shahih Sunan At Tirmidzi)

Utsman segera membebaskan tanah itu dan mewakafkannya untuk


masjid.
Utsman juga pernah membeli satu rumah yang cukup luas
dan menempel ke dinding Masjidil Haram seharga 10.000 dinar
ketika Mekkah telah ditaklukkan Rasulullah. Rumah itu kemudian
beliau berikan kepada kaum muslimin agar bisa ditambahkan ke
dalam komplek bangunan Masjidil Haram.
Kedermawanan Utsman berlanjut ketika Rasulullah
memerlukan sumur Rumah untuk kepentingan kaum muslimin.

11
Utsman segera menginfakkan 1.000 dirham untuk membeli dan
menggali sumur Rumah. Karenanya, Utsman mendapatkan
keutamaan yang disebutkan Rasulullah dalam salah satu sabda
beliau,

‫َﻣ ْﻦ َ ْﳛ ِﻔ ُﺮ ﺑ ْ َِﱤ ُر ْو َﻣ َﺔ ﻓَ َ ُ اﻟْ َﺠﻨﺔ‬


“Siapa saja yang menggali sumur Rumah, maka untuknya Surga.”
(HR. Al Bukhari)

Semua itu dilakukan Utsman tanpa mengharap pamrih dari


manusia. Rasulullah pun mempersaksikan apa yang diperbuat
Utsman itu, sehingga tidak heran jika Utsman dimasukkan oleh
Rasulullah sebagai salah seorang sahabat beliau yang dijamin
masuk Surga. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َﴩ ٌة ِﰲ اﻟْ َﺠﻨ ِﺔ ﺑُﻮ َ ْﻜ ٍﺮ ِﰲ اﻟْ َﺠﻨ ِﺔ َو ُ َﲻ ُﺮ ِﰲ اﻟْ َﺠﻨ ِﺔ َو ُﻋﺜْ َﻤ ُﺎن َو َ ِﲇ َو اﻟﺰﺑ َ ْ ُﲑ َو‬
َْ‫ﻋ‬
‫َﻃﻠْ َ ُﺔ َو َﻋ ْﺒﺪُ اﻟﺮ ْ َﲪ ُﻦ َو ﺑُﻮ ُﻋ َﺒ ْﯿﺪَ ُة َو َﺳ ْﻌﺪُ ْ ُﻦ ِﰊ َوﻗﺎص‬
“Sepuluh orang di Surga. Abu Bakar di Surga. Umar di Surga.
Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Abdurrahman [bin ‘Auf], Abu
‘Ubaidah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash di Surga.” [HR. At Tirmidzi
nomor 3748 dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani dalam kitab Shahih Sunan At Tirmidzi]

12
BAB III
UTSMAN SETELAH RASULULLAH WAFAT

Sepeninggal Rasulullah, Utsman menjadi salah seorang


kepercayaan khalifah, baik di masa pemerintahan Abu Bakar Ash
Shiddiq maupun di masa pemerintahan Umar bin Al Khaththab.
Misalnya, Utsman ditunjuk oleh Abu Bakar untuk menuliskan
wasiat terakhir beliau kepada kaum muslimin yang berisi
penunjukan Umar sebagai khalifah sepeninggal Abu Bakar. Utsman
juga ditunjuk oleh Umar sebagai salah seorang rijal asy syura yang
bertugas mencari dan memilih khalifah sepeninggal Umar.
Utsman diangkat sebagai khalifah penerus Umar pada
tanggal 3 Muharram tahun 24 H. Kaum muslimin membaiat beliau
dari sebelum waktu Zhuhur sampai setelah Zhuhur. Orang yang
pertama membaiat beliau adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu. Ketika masuk waktu Ashar, Utsman mulai mengimami shalat
kaum muslimin.
Setelah shalat Ashar, Utsman menyampaikan pidato
pertamanya. Di antara yang disampaikan beliau dalam pidato itu
adalah wasiat untuk bersegera meraih kehidupan akhirat.
“Buanglah dunia, seperti Allah membuangnya. Dan carilah akhirat.
Sebab sesungguhnya Allah telah membuat perumpamaan dengan
yang lebih baik. Allah berfirman,

‫اﴐ ْب ﻟَﻬُﻢ ﻣ َ َﻞ اﻟْ َﺤ َﯿﺎ ِة ا ﻧْ َﯿﺎ َ َ ء َﺰﻟْﻨَﺎ ُﻩ ِﻣ َﻦ اﻟﺴ َﻤﺎ ِء ﻓَﺎ ْﺧ َﻠَﻂَ ِﺑ ِﻪ ﻧ َ َﺒ ُﺎت‬
ِ ْ ‫َو‬
‫ﳾ ٍء ﻣ ْﻘ َ ِﺪر ًا‬ ّ ِ ُ ‫ا ْ ْر ِض ﻓَ ْﺻ َﺒ َﺢ ﻫ َِﺸ ً ﺗ َْﺬ ُرو ُﻩ ّ ِاﻟﺮ َ ُح َو َﰷ َن ا ُ َ َﲆ‬
َْ ‫ﰻ‬
‘Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan
dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit. Maka

13
menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan di muka bumi karenanya. Lalu,
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.
Dan adalah Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu.’ (QS. Al
Kahfi: 45)

ً ‫ﺎت ْ ٌَﲑ ِﻋﻨﺪَ َرﺑ ّ َِﻚ ﺛَ َﻮا‬


ُ َ ‫ﺎت اﻟﺼﺎ ِﻟ‬ َ ‫اﻟْ َﻤ ُﺎل َواﻟْ َﺒ ُﻨ‬
ُ َ ‫ﻮن ِزﯾﻨَ ُﺔ اﻟْ َﺤ َﯿﺎ ِة ا ﻧْ َﯿﺎ َواﻟْ َﺒﺎ ِﻗ‬
‫َو ْ ٌَﲑ َﻣ ًﻼ‬
‘Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi
amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.’ (QS. Al Kahfi: 46)”

Dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir


mengemukakan bahwa permasalahan hukum pertama yang
ditangani oleh Utsman adalah kasus pembunuhan yang dilakukan
oleh Ubaidullah bin Umar bin Al Khaththab. Setelah tahu bahwa
yang menikam Umar adalah Abu Lu’luah, Ubaidullah segera
mencari dan membunuh anak Abu Lu’luah. Setelah itu, Ubaidullah
membunuh Jufainah dan Al Hurmudzan yang menghasut Abu
Lu’luah agar membunuh Umar.
Penyelesaian hukum atas tindakan itu baru dilakukan
setelah Utsman dibaiat. Setelah mengajak bermusyawarah sejumlah
sahabat nabi seperti Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Al Ash serta
sejumlah sahabat nabi dari kalangan muhajirin, Utsman
memutuskan agar Ubaidullah tidak di-qishash, tetapi cukup
membayar diyat dan Utsman mengambil dari hartanya pribadi uang
yang akan dipakai untuk membayar diyat itu.
Masa pemerintahan Utsman adalah masa-masa keemasan
Islam. Kaum muslimin merasakan kemakmuran lewat limpahan

14
rezeki yang demikian banyak. Dalam kitab At Tarikh karya Al
Bukhari, Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,

“Aku mengalami masa pemerintahan Utsman ketika para


pemberontak memusuhi beliau. Tidak sedikit hari yang mereka lalui
kecuali pada hari-hari itu mereka bagi-bagi rezeki. Dikatakan kepada
mereka, ‘Wahai kaum muslimin, segera ambil jatah kalian’. Mereka
pun mengambilnya dalam jumlah banyak. Dikatakan lagi kepada
mereka, ‘Segera ambil minyak samin dan madu kalian’. Berbagai
pemberian dari negara terus datang. Rezeki berlimpah ruah.
(Negara) aman dari musuh. Ukhuwah terjalin erat. Kebaikan
menyebar luas. Tidak ada seorang mukmin pun yang takut dengan
mukmin lainnya. Siapa saja yang ia temui, maka itulah saudaranya.”

Perluasan wilayah Islam juga terus berjalan pada masa


Utsman. Ke arah timur, Utsman mengirimkan pasukan-pasukan
untuk menaklukkan Azerbaijan, Armenia, Ray, Istakhar, Naisabur,
Thabaristan, Kirman, Marw, Jizjan, Faryab, Balkh, Sijistan, dan
sisa-sisa wilayah Khurasan yang belum ditaklukkan pada masa
Umar. Ke arah barat, pasukan-pasukan Utsman menaklukkan
Iskandariah, Afrika Utara, Siprus, dan sisa-sisa wilayah Syam yang
belum ditaklukkan pada masa Umar. Bahkan, masa pemerintahan
Utsmanlah dimulai usaha untuk menaklukkan Andalusia dan
Konstaninopel.
Jasa Utsman tidak terbatas pada hal-hal itu saja. Ada
banyak jasa penting Utsman bagi kaum muslimin, seperti
membentuk angkatan laut pertama Islam. Akan tetapi, jasa beliau
yang paling penting dan paling besar untuk umat Islam adalah
usaha beliau untuk menyeragamkan qira-ah kaum muslimin
melalui penyeragaman tulisan ayat-ayat Al Qur-an sesuai bacaan Al

15
Qur-an yang terakhir dibacakan Jibril ‘alaihis salam kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua itu bermula dari laporan Hudzaifah bin Al Yaman
radhiyallahu ‘anhuma ketika mengikuti sejumlah penaklukan
wilayah-wilayah non-muslim pada masa Utsman. Dalam beberapa
kesempatan, Hudzaifah menyaksikan adanya perdebatan yang
mejurus kekerasan terkait perbedaan qira-ah di tengah kaum
muslimin. Orang-orang Syam, misalnya, mengambil qira-ah dari Al
Miqdad bin Al Aswad dan Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhuma.
Sementara itu, orang-orang Irak mengambil qira-ah dari Abdullah
bin Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari.
Yang patut disayangkan, waktu itu banyak dari kaum
muslimin yang tidak tahu bahwa Al Qur-an turun dalam beberapa
qira-ah dan inilah yang menjadi pangkal masalah. Akibatnya, ada
sejumlah kaum muslimin yang menyalahkan bacaan kaum
muslimin lainnya yang berbeda dalam qira-ah. Bahkan, ada di
antara mereka yang bukan hanya menyalahkan, tetapi juga
mengafirkan orang yang berbeda qira-ah darinya.
Dari situlah kemudian Hudzaifah memberanikan diri melapor
sekaligus meminta kepada Utsman agar mengambil tindakan
secepatnya. “Wahai Amirul Mukminin,” kata Hudzaifah, “benahilah
umat ini sebelum mereka berselisih tentang kitab suci mereka
sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang
Yahudi dan Nasrani terhadap kitab-kitab suci mereka.”
Utsman segera mengambil tindakan. Beliau kumpulkan
sahabat-sahabat Rasulullah dan musyawarahkan hal tersebut. Dari
hasil musyawarah itu, Utsman kemudian meminta lembaran-
lembaran Al Qur-an yang dulu dikumpulkan pada masa
pemerintahan Abu Bakar—sebelum kemudian dipegang oleh Umar

16
radhiyallahu ‘anhu pada masa pemerintahannya dan dipegang oleh
Hafshah bintu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Setelah itu, Utsman perintahkan Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu agar menyalinnya dengan dibacakan oleh Sa’id bin Al Ash Al
Umawi dan disaksikan oleh Abdullah bin Az Zubair dan
Abdurrahman bin Harits Al Makhzumi radhiyallahu ‘anhum. Jika
mereka berselisih, Utsman memerintahkan mereka agar menulisnya
sesuai dengan bahasa Arab yang dipakai Quraisy.
Dari kerja tim kecil itu, dihasilkanlah enam kopi bundel
lembaran-lembaran Al Qur-an yang tertulis atau yang diistilahkan
dengan mush-haf Al Qur-an. Keenam kopi mush-haf itu kemudian
ditetapkan sebagai al mashahif al a-immah atau mushaf-mushaf
induk dan disebar ke beberapa penjuru wilayah Islam: satu mushaf
untuk penduduk negeri Syam, satu mushaf untuk penduduk negeri
Mesir, satu mushaf untuk penduduk negeri Bashrah, satu mushaf
untuk penduduk negeri Kufah, satu mushaf untuk penduduk negeri
Mekkah – Yaman, dan satu mushaf untuk Madinah.
Mushaf-mushaf induk itulah yang disebut dengan mashahif
Utsmaniyyah atau mushaf rasmu Utsmani yang artinya mushaf yang
ditulis Utsman. Maksudnya, mushaf yang ditulis pada masa
pemerintahan Utsman atas inisiatif beliau dan penulisannya
dilakukan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu.
Apa yang dilakukan oleh Utsman itu adalah perkara yang
disepakati oleh para sahabat Rasulullah dan bahkan dinilai sebagai
sesuatu yang tepat. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, misalnya,
pernah mengatakan, “Jika Utsman tidak melakukannya, niscaya
aku yang akan melakukannya.”
Sebelum menyebar mushaf-mushaf tersebut, Utsman
memerintahkan agar semua mushaf yang berbeda dan beredar di
tengah kaum muslimin dikumpulkan untuk kemudian dibakar.

17
Tentang ini, banyak timbul reaksi dari kaum muslimin sendiri.
Akan tetapi, para sahabat nabi sendiri yang waktu itu membela apa
yang dilakukan oleh Utsman. Ali bin Abi Thalib, misalnya,
mengatakan,

“Wahai hadirin sekalian, janganlah kalian berlebihan dalam


menyikapi Utsman. Kalian mengatakan bahwa ia telah membakar
mushaf-mushaf. Demi Allah, ia tidak membakarnya, kecuali di
hadapan sekumpulan sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Seandainya aku yang dibaiat menjadi khalifah, niscaya aku
akan melakukan apa yang telah dilakukan Utsman itu.”

Masa pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun


kurang 12 hari. Ketika wafat, Utsman berusia 80 tahun lebih.
Beliau dibunuh oleh para pemberontak pada tanggal 18 Dzulhijjah
tahun 35 H di kediaman beliau selepas shalat Ashar. Waktu itu,
Utsman dalam keadaan shaum dan sedang membaca Al Qur-an.
Sebenarnya, ada lebih dari satu orang dari kalangan
pemberontak yang masuk dan melakukan kekerasan fisik terhadap
Utsman sampai terbunuh. Dalam Tarikh Ad-Dimasyq karya Ibnu
Asakir dan Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir,
disebutkan nama-nama orang yang masuk dan melakukan
kekerasan fisik itu berdasarkan riwayat-riwayat yang sahih.
Orang pertama adalah laki-laki yang dijuluki Al Mawt Al
Aswad, kematian yang hitam. Ia adalah orang yang mencekik
Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah tak-bernyawa, Al
Mawt Al Aswad keluar.
Orang kedua adalah Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman
siuman, Kinanah memukul rusuk dan kepala Utsman dengan tiang
besi sampai jatuh tersungkur.

18
Orang ketiga adalah Sudan bin Humran Al Muradi. Ialah
yang membuat jari-jari istri Utsman, Na-ilah, terputus ketika
hendak melindungi suaminya. Ketika tidak terhalang lagi, Sudan
segera menikam Utsman sampai terbunuh. Belum sempat beranjak
pergi, Sudan dibunuh oleh salah seorang pelayan Utsman.
Orang keempat adalah ‘Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah
ditikam, ‘Amr segera menduduki dada Utsman. Dengan penuh
kebencian, ‘Amr menikam Utsman yang sudah tidak bernyawa lagi
itu. “Tiga tikaman,” kata ‘Amr, “kuberikan karena Allah. Enam
tikaman lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan
dadaku.”
Khalifah Khayyath, dalam kitab tarikh miliknya,
menambahkan orang kelima, Jabalah. Ia berasal dari rombongan
yang datang dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh banyak
orang sebagai pembunuh Utsman sebenarnya.
Antara keluarnya Al Mawt Al Aswad dan masuknya Kinanah
bin Bisyr, sempat masuk Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu
Bakar Ash Shiddiq dari istri yang bernama Asma’ binti Umais.
Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat
keadaan Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan
dilakukannya.
Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar. Ia yang
bergabung dengan rombongan orang-orang dari Mesir sempat
berusaha menahan dan menyadarkan teman-temannya. Meski
demikian, amarah massa sudah tidak terbendung lagi dan usaha
Muhammad pun berlalu sia-sia.

19
BAB IV
MUTIARA HIKMAH DARI LISAN UTSMAN

Utsman adalah salah seorang sahabat nabi yang paling banyak


mengingatkan umat dengan kehidupan akhirat. Dalam salah satu
pidatonya, beliau menyampaikan,

“Sesungguhnya kalian berada di tempat persinggahan dan sisa-sisa


umur kalian. Karena itu, bersegeralah kalian berbuat kebaikan
semampu kalian. Sebab, sungguh, kalian sedang ditangguhkan.
Kalian sedang diberi waktu pagi dan waktu sore. Ketahuilah,
sesungguhnya dunia itu dilumuri dengan tipu daya.

‫َ ﳞَﺎ اﻟﻨ ُﺎس اﺗ ُﻘﻮا َر ُ ْﲂ َواﺧْﺸَ ْﻮا ﯾ َ ْﻮﻣ ًﺎ ﻻ َ ْﳚ ِﺰي َوا ِ ٌ َﻋﻦ َو َ ِ ِﻩ َو َﻻ َﻣ ْﻮﻟُﻮ ٌد ﻫ َُﻮ‬
‫َ ﺎ ٍز َﻋﻦ َوا ِ ِ ِﻩ َﺷ ْ ًﺎ ان َو ْﺪَ ا ِ َﺣﻖ ﻓَ َﻼ ﺗَﻐُﺮ ُ ُﲂ اﻟْ َﺤ َﯿﺎ ُة ا ﻧْ َﯿﺎ َو َﻻ ﯾَﻐُﺮ ُﲂ‬
‫ِ ِ اﻟْﻐ َُﺮ ُور‬
‘Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian dan
takutlah akan satu hari yang (pada hari itu) seorang ayah tidak dapat
menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat menolong
ayahnya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka
janganlah sekali-kali kehidupan dunia menipu kalian dan jangan
(pula) setan itu menipu kalian dengan tipu daya’. (QS. Lukman: 33)”

Demikian pula dalam salah satu khotbah beliau yang lain.


Beliau radhiyallahu ‘anhu kembali mengingatkan manusia tentang
bahaya dan tipu daya dunia.

20
“Sesungguhnya Allah hanya memberi kalian dunia agar dengannya
kalian bisa mencari akhirat dan Allah tidak memberi kalian agar
kalian condong kepadanya. Sesungguhnya, dunia itu fana dan
akhirat abadi. Janganlah kalian tertipu dengan sesuatu yang fana
dan janganlah hal yang demikian menyibukkan kalian dari sesuatu
yang abadi. Kejarlah sesuatu yang abadi di atas sesuatu yang fana.
Sebab sesungguhnya dunia itu akan lenyap dan sesungguhnya
tempat pulang adalah kepada Allah. Bertakwalah kepada Allah.
Sebab ketakwaan kepada Allah itu perisai dari siksaNya dan jalan
menujuNya. Berhati-hatilah kalian dari perubahan zaman.
Berpeganglah pada jamaah kaum muslimin dan jangan ikuti
kelompok-kelompok [sesat].

‫ﻨﱲ ْﺪَ اء ﻓَ ﻟ َﻒ ﺑ َ ْ َﲔ ﻗُﻠُﻮ ِ ُ ْﲂ ﻓَ ْﺻ َﺒ ْﺤ ُﱲ ِﺑﻨِ ْﻌ َﻤﺘِ ِﻪ‬ ْ ُ ‫َو ْاذ ُﻛ ُﺮو ْا ِﻧ ْﻌ َﻤ َﺖ ا ّ ِ َﻠَ ْﯿ ُ ْﲂ ا ْذ ُﻛ‬
‫ﻨﱲ َ َ َﲆ َﺷ َﻔﺎ ُﺣ ْﻔ َﺮ ٍة ِّﻣ َﻦ اﻟﻨﺎ ِر ﻓَ ﻧ َﻘ َﺬ ُﰼ ِّﻣ ْﳯَﺎ َﻛ َﺬ ِ َ ﯾ ُ َﺒ ِ ّ ُﲔ ا ّ ُ ﻟَ ُ ْﲂ ٓ َ ﺗِ ِﻪ‬
ْ ُ ‫اﺧ َْﻮا ً َو ُﻛ‬
َ ُ‫ﻟ َ َﻌﻠ ُ ْﲂ ﲥَ ْ َﺘﺪ‬
‫ون‬
‘Dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika dulu kalian
bermusuh-musuhan. Allah pun menyatukan hati-hati kalian, lalu
jadilah kalian karena nikmat Allah itu orang-orang yang bersaudara.
Sementara dulu kalian telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah
selamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah terangkan ayat-
ayatNya kepada kalian agar kalian mendapatkan petunjuk’.

‫وف َو َ ْﳯَ ْﻮ َن َﻋ ِﻦ اﻟْ ُﻤﻨ َﻜ ِﺮ‬


ِ ‫ون ِ ﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮ‬ َ ‫َوﻟْ َﺘ ُﻜﻦ ِّﻣ ُ ْﲂ ﻣ ٌﺔ ﯾ َ ْﺪ ُﻋ‬
َ ‫ﻮن ا َﱃ اﻟْ ْ َِﲑ َوﯾ َ ُﻣ ُﺮ‬
َ ‫َو ْوﻟ َ ﺌِ َﻚ ُ ُﱒ اﻟْ ُﻤ ْﻔ ِﻠ ُﺤ‬
‫ﻮن‬

21
‘Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru
kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan melarang dari
yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung’. (QS. Ali
Imran: 104)”

Di antara kalimat mutiara Utsman lainnya adalah apa yang


diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Az Zuhdu.
Dalam riwayat itu disebutkan,

“Adalah Utsman radhiyallahu ‘anhu yang jika berada di kuburan


menangis sampai basah jenggot beliau. Maka, ada yang bertanya
kepada beliau, ‘Engkau diingatkan dengan Surga dan Neraka tidak
menangis. Tetapi engkau malah menangis karena kuburan ini?’.
Utsman pun menjawab, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

ُ َ ‫ ﻓَﺎ ْن َ َﳒﺎ ِﻣ ْ ُﻪ ﻓَ َﻤﺎ ﺑ َ ْﻌﺪَ ُﻩ‬، ‫اﻟْ َﻘ ْ ُﱪ و ُل َﻣ َﺎ ِز ِل ا ٓ ِﺧﺮ ُة‬


‫ َوا ْن ﻟ َ ْﻢ ﯾ َ ْﻨ ُﺞ ِﻣ ْ ُﻪ‬، ‫ْﴪ‬
‫ﻓَ َﻤﺎ ﺑ َ ْﻌﺪَ ُﻩ َﺷﺪ ﻣ ْ ُﻪ‬
‘[Alam] kubur itu adalah awal kehidupan akhirat. Karena itu, siapa
saja yang selamat dari siksa kubur, maka apa yang terjadi
setelahnya lebih mudah. Dan siapa saja yang tidak selamat, maka
apa yang ada setelahnya lebih dahsyat baginya.”

Apa yang disampaikan kepada kaum muslimin itu Utsman


terapkan pada diri beliau sendiri. Karena itulah, beliau dikenal
orang sebagai sosok yang gemar beribadah selama hidupnya. Di
antaranya, Utsman sering melakukan shaum sunnah. Bahkan,
banyak orang menganggap beliau melakukan shaum setiap hari (di

22
luar hari raya dan hari tasyriq). Ketika dibunuh oleh kawanan
pemberontak pun Utsman sedang dalam keadaan shaum.
Utsman juga dikenal sebagai orang yang gemar shalat malam
dan paling panjang shalat malamnya. Istri-istri dan orang-orang
terdekat Utsman pun tahu bagaimana Utsman sering meng-khatam-
kan Al Qur-an dalam satu rakaat shalat malam beliau.
Kebiasaan itu terus berlangsung sampai Utsman menginjak
usia lanjut. Salah seorang tabi’in yang bernama Atha bin Abi Rabah
pernah mengatakan, “Sesungguhnya Utsman pernah mengimami
shalat berjamaah. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat malam di
belakang maqam Ibrahim. Beliau menggabungkan seluruh isi Al
Qur-an dalam satu rakaat witir beliau.”
Membaca Al Qur-an, baik dengan hafalan ataupun dengan
membaca mushaf, tampaknya menjadi kebiasaan Utsman hingga
beliau terbunuh dalam keadaan sedang membacanya. Karena
seringnya membaca Al Qur-an, kata Al Hasan Al Bashri, “Ketika
Utsman meninggal dunia, mushaf beliau robek karena sering sekali
dibaca.” Tentang kebiasaan membaca Al Qur-an ini, Utsman pernah
mengatakan, “Seandainya hati-hati kalian itu bersih, niscaya kalian
tidak akan pernah kenyang dari [membaca] kalam Allah. Tidaklah
ada yang aku senangi ketika datang siang dan malam, kecuali
menatap kalam Allah.”

23
DAFTAR RUJUKAN

Adz Dzahabi, Muhammad bin Ahmad bin Utsman. Siyar A’lam


An Nubala’: Sirah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Cet. 11).
Beirut: Mu-assasah Ar Risalah. 1417H/1996M.

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan At Tirmidzi


lil Imam Al Hafizh Muhammad bin ‘Isa bin Saurah At
Tirmidzi: Mujallad Ats Tsalits. Ar Riyadh: Maktabah
Al Ma’arif lin Nasyr wat Tawzi’. 1320H/2000M.

Al Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. Shahih Al


Bukhari. Damaskus: Dar Ibn Katsir. 1423H/2003M.

Al Khamis, Utsman bin Muhammad. Hiqbatun min At Tarikh:


Ma baina Wafatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ila Maqtal Al Husain radhiyallahu ‘anhu Sanah 61
Hijriyyah. Kairo: Dar Ibn Hazm – Dar Ar Risalah.
1432H/2011M.

Al Maqdisi, Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdil Wahid.


Mukhtashar Sirah An Nabi wa Sirah Ash-habi Al
‘Asyrah. TTp: Mu-assasah Sulaiman bin Abdil Aziz
Ar Rajihi Al Khairiyah. 1424H.

24
Bayumi, Muhammad. Al Mubasysyiruna bil Jannah wal
Mubasysyiruna bin Nar. Al Manshurah: Maktabah Al
Iman. 1415H/1995M.

Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. Al Fushul fi Sirah Ar Rasul (Cet.


III). Kuwait: Ghuras. 1430H/2009M.

Ibnul Jauzi, Jamaluddin Abul Faraj. Shifatush Shafwah.


Beirut: Darul Kitab Al ‘Arabi. 1433H/2012M.

Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairi An Naisaburi. Shahih Muslim


Al Musamma Al Musnad Ash Shahih Al Mukhtashar
min As Sunan bi Naqli Al ‘Adl ‘an Al ‘Adl ila Rasulillah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riyadh: Dar Thayyibah.
1427H/2006M.

25

Anda mungkin juga menyukai