Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga
bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun
yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral
dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
(Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini
akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
1
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
2
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat
defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas
sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.
(Djoerban Z dkk, 2006)
PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran
penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga
bertahap. (Djoerban Z dkk, 2006)
3
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan
berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan
gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,
2006)
4
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi
HIV akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti
telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului
oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala
klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan
hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam
kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu.
Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah
tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,
2006)
5
limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban
Z dkk, 2006)
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya
infeksi oportunistik.
6
DAFTAR PUSTAKA
3. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006