Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN LIMNOLOGI

UJI KUALITAS PERAIRAN ESTUARI DI KAWASAN MANGROVE WONOREJO,


SURABAYA

Disusun oleh:
Jauzaa Dyah I. 15030244036
Safirah Nadhila Adhani 15030244037
Silvia Indah Pramesti 15030244039
Nurul Hidayah 15030244041

Biologi 2015

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PRODI BIOLOGI
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di
bumi ini. Fungsi air bagi kehidupan tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Bagi manusia,
air berperan dalam kegiatan pertanian, industri dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga
seperti mandi, mencuci serta kebutuhan air di dalam tubuh manusia itu sendiri.Bagi makhluk
hidup lain, air merupakan tempat tinggal makhluk hidup seperti ikan dan beberapa organisme
air lainnya sehingga tanpa air tidak mungkin kehidupan organisme dapat
berlangsung.Namun, sebagai media tempat tinggal makhluk hidup tentunya diperlukan air
yang memiliki kualitas baik dengan kriteria tertentu untuk dapat mendukung berlangsungnya
kehidupan dan perkembangan organisme tersebut.Pemenuhan kebutuhan air yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari haruslah memenuhi syarat dari segi kualitas maupun kuantitas
yang berkesinambungan (Mahmudi, 2005).Salah satu ekosistem yang perlu dijaga kualitas
airnya untuk mendukung keberlangsungan hidup organisme perairan adalah perairan
estuari.Menurut Salim (2012) wilayah estuari terbentuk diawali dari suatu aliran sungai yang
menuju laut, daerah ini dapat berupa muara sungai yang sangat lebar, rawa-rawa pantai atau
daerah lain yang tidak terlepas dari pengaruh air laut.
Kawasan Pantai Timur Surabaya merupakan salah satu kawasan yang memiliki fungsi
yang sangat penting bagi kota Surabaya secara ekologis maupun geografis. Salah satunya
adalah mencegah ancaman intrusi air laut.Kawasan tersebut terdapat daerah perairan estuari
yang terbentuk sebagai hasil endapan dari sistem sungai yang ada di sekitarnya dan
dipengaruhi oleh air laut.Keberadaan mangrove di Pantai Timur Surabaya juga memiliki
fungsi menetralisir limbah terutama logam berat yang masuk ke laut (Hakim, 2009).
Banyak aliran sungai yang bermuara di daerah Wonorejo dan juga banyak sampah
organik maupun anorganik yang dibuang ke pantai timur Surabaya, sehingga mengakibatkan
perairan maupun daerah mangrove di Wonorejo Surabaya menjadi kotor dan dikhawatirkan
akan mengganggu kelestarian organisme yang menggantungkan hidupnya di daerah tersebut.
Kondisi ini dapat menimbulkan dampak negatif berupa kematian massal organisme perairan
akibat persaingan penggunaan oksigen terlarut seperti terjadi di berbagai perairan di
dunia.Untuk mengetahui kualitas air dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan
mengamati beberapa parameter kimia, seperti pH, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO)
dan kebutuhan oksigen biologis (Biological OxygenDemand = BOD) serta kadar salinitas.
Sedangkan pengukuran kualitas air secara fisik dapat dilihat dari segi suhu, kedalaman dan
kecerahan air.Selain itu juga dapat dilihat dari parameter biologi berupa kelimpahan plankton
yang ada di perairan estuari Kawasan Mangrove Wonorejo, Surabaya.
Kualitas air pada suatu perairan menentukan kehidupan organisme maupun biota-biota
laut yang ada di dalamnya, oleh karena itu jika kondisi air laut tercemar maka akan
membahayakan kehidupan dari biota-biota laut tersebut. Sehingga perlu dilakukan
pengukuran kualitas air perairan estuari di Kawasan Mangrove Wonorejo, Surabaya secara
kimia, fisika, maupun biologi sehingga dapat diketahui kualitas dari peraira estuari tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari praktikum uji kualitas air
di perairan estuari Wonorejo Surabaya ini adalah sebagai berikut,
1. Bagaimana kualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter fisik air
(kedalaman, kecerahan, dan suhu)?
2. Bagaimana kualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter kimia
air (DO, BOD, pH dan salinitas)?
3. Bagaimana kualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter biologi?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari praktikum uji kualitas air di
perairan estuari Wonorejo Surabaya ini adalah sebagai berikut,
1. Untuk mengetahui kualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter
fisik air (kedalaman, kecerahan, dan suhu).
2. Untuk mengetahuikualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter
kimia air (DO, BOD, pH dan salinitas).
3. Untuk mengetahuikualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter
biologi.
1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan diatas, maka manfaat dari praktikum lapang ini adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan informasi mengenai kualitas perairan estuary di kawasan Mnagrove
Wonorejo Kota Surabaya, Malangberdasarkan sifat fisika,kimia, dan biologi.
2. Mempermudah instansi pemerintah daerah dalam upaya konservasi, pengelolaan, dan
pelestarian di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo Surabaya.
3. Membantu penyediaan data tentang kualitas air di daerah estuary yang diperlukan bagi
pihak pengelola dalam menjaga ekosistem perairan yang ada di Kawasan Mangrove
Wonorejo, Surabaya.
4. Memberikan kontribusi khasanah ilmu pengetahuan biologi, khususnya kualitas air pada
waktu yang berbeda di perairan estuarI Wonorejo, Surabaya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Wilayah Estuari
Estuaria merupakan ekosistem perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan
laut dan masih mendapat pengaruh air tawar dari sungai sehingga air laut dengan salinitas
tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Menurut Salim (2012) pembentukan wilayah
estuari diawali dari suatu aliran sungai yang menuju laut, daerah ini dapat berupa muara
sungai yang sangat lebar, rawa-rawa pantai atau daerah lain yang tidak terlepas dari pengaruh
air laut.Sebagian besar estuari didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan
yang dibawah oleh air tawar dan air laut (Effendi, 2012).Perairan estuari inimasih mendapat
pengaruh dari pasang dan surut. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan
menghasilkan suatu komunitas yang khas, karena kondisi lingkungan yang bervariasi, antara
lain (Wolanski, 2007):
1. Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang dari laut, yang berlawanan
menjadikan pola sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta
membawa pengaruh besar pada biotanya.
2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan sifat fisika lingkungan khusus
yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.
3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas
mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.
4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasangsurut air laut, banyaknya
aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut

Estuaria merupakan suatu habitat yang bersifat unik karena merupakan tempat pertemuan
antara perairan laut dan perairan darat. Adanya aliran air tawar yang terus menerus dari hulu
sungai dan adanya proses gerakan air akibat arus pasang surut yang mengangkat mineral-
mineral, bahan organik dan sedimen merupakan bahan dasar yang dapat menunjang
produktifitas perairan di wilayah estuaria yang melebihi produktifitas laut lepas dan perairan
air tawar. Hal ini mengakibatkan estuaria mempunyai peran ekologis penting karenasebagai
sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal
circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria
sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat
untuk bereproduksi dan atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah
spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat
pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi,
pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2004).

Estuaria sering mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber dari
aktifitas manusia, yang menjadi ancaman serius terhadap kelestarian perikanan laut. Menurut
Dahuri dkk (2001) akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir, terutama diakibatkan
oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas industri. Aktifitas pemanfaatan
wilayah pesisir seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang pemanfaatan potensi
sumberdayanya menurun dan rusak. Hal ini karena aktivitas-aktivitas yang dilakukan baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat mengubah tatanan lingkungan di wilayah
pesisir sehingga mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah pesisir. Seperti, adanya
limbah buangan baik dari pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini
mungkin tidak mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem pesisir yang
bertahan, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun lainnya yang sensitif.
Logam berat,mungkin tidak berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan bakau (mangrove),
tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan ikan dan udang-udangnya (krustasea) yang hidup di
hutan tersebut.

2.2 Kawasan Estuari Wonorejo Surabaya

Gambar 2.1 Peta Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya (Sumber:


https://www.google.co.id/maps, diakses pada 15 Mei 2018)
Kawasan Pantai Timur Surabaya sendiri terletak di tepi Selat Madura.Kawasan ini
terbentuk sebagai hasil endapan dari sistem sungai yang ada di sekitarnya dan pengaruh laut.
Secara geografis maupun ekologis, kawasan Pantai Timur Surabaya memiliki fungsi yang
sangat penting bagi kota Surabaya. Salah satunya adalah mencegah ancaman intrusi air
laut.Keberadaan mangrove di Pantai Timur Surabaya juga memiliki fungsi menetralisir
limbah terutama logam berat yang masuk ke laut (Hakim, 2009).
Beberapa sungai bermuara di perairan Pantai Timur Surabaya. Seperti sungai Dadapan,
sungai Wonorejo, kanal Kali Wonokromo, sungai Medokan, sungai Menur-Keputih, sungai
Pacarkeling-Mulyosari, sungai Kenjeran dan sungai Tambak Wedi. Lahan di sepanjang
pantai Timur Surabaya pada saat ini cenderung mengalami pengubahan untuk beberapa
tujuan, antara lain pertambakan dan juga tempat pembuangan sampah (Affandi, 1994).
Banyak aliran sungai yang bermuara di daerah Wonorejo dan juga banyak sampah
organik maupun anorganik yang dibuang ke pantai timur Surabaya, sehingga mengakibatkan
perairan maupun daerah mangrove di Wonorejo Surabaya menjadi kotor dan dikhawatirkan
akan mengganggu kelestarian organisme yang menggantungkan hidupnya di daerah tersebut.
Saat ini kawasan mangrove ini sudah menjadi tempat wisata alam yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Kota Surabaya.Terletak di kawasan Pantai Timur Surabaya, Ekowisata
Mangrove Wonorejo (EWM) menawarkan rehabilitasi, edukasi, dan rekreasi.Pemerintah juga
melakukan penanaman mangrove di daerah yang telah dijadikan wahana ekowisata
tersebut.Hal itu dilakukan selain untuk menarik perhatian pengunjung juga bermanfaat untuk
tetap menjaga keberadaan mangrove yang ada di daerah Wonorejo tetap terjaga
kelestariannya (Anonim, 2008).

2.3 Kualitas Air


Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan oleh semua makhluk hidup. Oleh
karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Air yang sehat adalah air yang mempengaruhi
persyaratan kualitas air yang mencakup parameter fisika, kimia, dan biologi. Kualitas air
merupakan sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain di dalam
air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan
tersuspensi, dan sebagainya), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam, dan
sebagainya), dan parameter biologi (keberadaan dan kelimpahan makrozoobentos, plankton,
bakteri, dan sebagainya).
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, mutu air atau
kualitas air diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yang terdiri dari:
1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku airminum, dan
untukperuntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yangsama dengan kegiatan
tersebut.
2. Kelas dua, air yang diperuntukannya dapat digunakan untukprasarana atau sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, airuntuk mengairi pertanian, dan
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutuair yang sama dengan kegunaan tersebut.
3. Kelas tiga, yang diperuntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan peruntukan lain yang persyaratan mutu
air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat, air yang diperuntukannya lain yang mempersyaratkan mutuair yang sama
dengan kegunaan tersebut.

2.4 Pencemaran Air


Air merupakan salah satu sumber kekayaaan alam yang sangat dibutuhkan oleh semua
makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari, hampir semua
kegiatan yang dilakukan oleh manusia membutuhkan air,seperti mencuci, membersihkan
tubuh, membuat makanan dan minuman, membersihkan tempat tinggal, maupun sebagai
bahan baku industri, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Oleh karena itu penyediaan air bersih
merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup dan kesehatan manusia maupun
makhluk hidup lainya.
Pencemaran air menurut UU No. 32 Tahun 2009 adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain kedalam badan air oleh kegiatan manusia
sehingga melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan. Pencemaran air
didefinisikan sebagai dampak negatif yang berbahaya terhadap kehidupan biota, sumber daya
maupun kenyamanan ekosistem perairan, kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari
ekosistem perairan yang disebabkan secara langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau
limbah ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan manusia.
Pencemaran air merupakan perubahan yang terjadi pada sifat-sifat air yang berasaldari
keadaan normal,bukan dari kemurniannya. Air dikatakan murni bukan berarti air yang tidak
tercemar, melainkan air yang tidak mengandung bahan-bahan kimia berbahaya dan beracun
ketika melebihi ambang batas yang sudah ditentukan, sehingga air tersebut dapat digunakan
secara normal dalam kebutuhan tertentu, misalnya air minum (air ledeng atau air sumur),
berenang atau rekreasi, kehidupan hewan air, pengairan dan keperluan industri (Kristanto,
2002).

2.5 Parameter Kualitas Air Estuari


2.5.1 Parameter Fisika
2.5.1.1 Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari
permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi
di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi
kimia, evaporasi dan volatilisasi.Selain itu, peningkatan suhu air juga
mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4
(Effendi, 2003).Suhu air merupakan parameter penting dalam menentukan kondisi
badan air karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dari tumbuhan dan hewan,
reproduksi dan migrasinya (Gang Ji, 2007).
Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan
diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal
dan air yang datang (pada saat pasang-naik) ke perairan estuaria tersebut kontak
dengan daerah yang substratnya terekspos. Parameter ini sangat spesifik di
perairan estuaria. Ketika air tawar masuk estuaria dan bercampur dengan air laut,
terjadi perubahan suhu. Akibatnya, suhu perairan estuaria lebih rendah di musim
dingin dan lebih tinggi di musim panas daripada suhu air laut didekatnya. Skala
waktu perubahan suhu ini menarik karena dapat dilihat dengan perubahan pasang
surut, dimana suatu titik tertentu di estuaria akan memperlihatkan variasi suhu
yang besar sebagai fungsi dari perbedaan antara suhu air laut dan air sungai.
Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan laju
metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas organisme. Kenaikan
laju metabolisme dan aktifitas ini berbeda untuk spesies, proses dan level atau
kisaran suhu.
2.5.1.2 Arus
Sirkulasi air merupakan mekanisme utama yang menyebabkan terjadinya
proses percampuran di estuaria. Sirkulasi air merupakan fenomena yang kompleks
dipengaruhi oleh angin di atmosfer dan perbedaan panas di lautan.Di estuaria
sirkulasi air umumnya dipengaruhi oleh aliran air tawar yang bersumber dari
badan sungai, pasang surut, hujan dan peguapan, angin dan peristiwa upwelling di
pantai (Mukhtasor, 2007).Arus pasang surut yang terjadi di estuaria berperan
penting sebagai pengangkut zat hara dan polutan, mengencerkan dan membawa
polutan sampai ke laut.
2.5.1.3 Kecerahan
Kecerahan sangat berkaitan dengan jumlah zat yang tersuspensi dalam air,
terutama zat organik, sampah, lumpur serta pasir dalam air laut.Semakin banyak
bahan-bahan tersebut tersuspensi dalam air, maka semakin dapat meningkatkan
tingkat kekeruhan air dan menurunkan tingkat kecerahan.
2.5.1.4 Total Suspended Solid (TSS)
Total Suspended Solid (TSS) adalah parameter yang digunakan untuk
mengetahui banyaknya massa padatan yang tersuspensi pada air (Alaerts dan
Santika, 1987). Padatan tersuspensi tersebut terdiri dari partikel-patrikel yang
ukuran maupun beratnya lebih kecil dibandingkan dengan sedimen seperti massa
organik tertentu (Tarigan dan Edward, 2003). Nilai TSS dapat diketahui dengan
menimbang padatan tersuspensi (mg) dalam satu liter air.Masuknya padatan
tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini
menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas
primer perairan menurun, yang akhirnya mengganggu keseluruhan rantai
makanan.
Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan
tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air,
buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan
tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu
pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna
perairan.

2.6 Parameter Kimia


2.6.1 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut
dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh
organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber utama oksigen dalam air laut
adalah dari udara melalui proses difusi dan hasil proses fotosintesis fitoplankton pada
siang hari.Faktor-faktor yang menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah
kenaikan suhu, respirasi (khususnya malam hari. Air dikategorikan sebagai air
terpolusi jika konsentrasi oksigen terlarut menurun di bawah batas yang dibutuhkan
untuk kehidupan biota.Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota
tidak boleh kurang dari 5 ppm (Fardiaz, 1992).Penyebab utama berkurangnya kadar
oksigen terlarut dalam suatu perairan adalah adanya bakteri aerob dari bahan-bahan
buangan yang mengkonsumsi oksigen (Fardiaz, 1992).
Kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu
dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas (Odum, 1998). Pada lapisan
permukaan perairan kadar oksigen akan lebih tinggi karena adanya proses difusi
antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis.Pada perairan estuari,
nilai oksigen dipengaruhi oleh masuknya air tawar dan air laut ke muara, ditambah
dengan kedangkalan dan turbulensi. Kecenderungan menurunnya oksigen terlarut di
perairan juga sangat dipengaruhi oleh meningkatnya bahan-bahan organik yang
masuk ke perairan disamping faktor-faktor lainnya diantaranya kenaikan suhu,
salinitas, respirasi, adanya lapisan di atas permukaan air, senyawa yang mudah
teroksidasi dan tekanan atmosfir (Simanjuntak, 2007).Distribusioksigen terlarut yang
rendah umumnya ditemukanpada lokasi-lokasi yang dekat pantai karenadipengaruhi
oleh bioproses yang banyak terjadi diperairan estuari, sedangkan kadar oksigen
terlarutyang tinggi pada umumnya ditemukan di lokasi-lokasiyang semakin jauh dari
pantai yang dipengaruhi karenalancarnya oksigen masuk ke dalam air melalui
prosesdifusi dan proses fotosintesa.
2.6.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biochemical Oxygen Demand menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang
dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecahkan atau mengoksidasi bahan-bahan
buangan organik di dalam air (Eko, 2013). Jika konsumsi oksigen tinggi yang
ditandai dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka kandungan bahan-bahan
organik di dalamnya juga semakin tinggi karena organisme hidup yang ada dalam air
tidak mampu untuk megoksidasi bahan-bahan organik yang ada di dalam air
(Kristanto, 2002). Semakin besar nilai BOD maka akan menunjukkan bahwa derajat
pengotoran air limbah oleh buangan zat-zat organik semakin besar (Valentina, 2013).
Pengukuran kadar BOD berdasarkan pada pemeriksaan oksigen terlarut (DO).
Terdapat dua metode yang digunakan dalam menganalisis BOD yaitu metode titrasi
Winkler dan metode elektrokimia dengan DO meter. Pengujian BOD dengan
menggunakan meatode titrasi Winkler adalah penetapan kadar BOD yang dilakukan
dengan cara mengukur berkurangnya kadar oksigen terlarut (DO) dalam sampel yang
disimpan dalam botol tertutup rapat dan diinkubasi selama 5 hari pada suhu kamar
(Eko, 2013).
2.6.3 Salinitas
Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan.
Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk garam
dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu: natrium
(Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4) dan
bikarbonat (HCO3). Salinitas dinyatakan dalam satuan gram/kg atau permil (o /oo).
Fluktuasi salinitas adalah merupakan kondisi umum dari daerah estuaria. Suatu
gradien salinitas akan tampak pada saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi,
bergantung pada musim, topografi estuaria, pasang-surut dan jumlah air tawar
misalnya estuaria. Proses pergerakan massa air laut dan air tawar menyebabkan
terjadinya stratifikasi yang menjadi dasar terjadinya klasifikasi estuaria berdasarkan
salinitas. Berikut ini klasifikasi estuary berdasarkan struktur salinitas menurut Gross
(1987):
1. Estuaria berstratifikasi sempurna atau estuariaa baji garam (salt wedge estuary),
jika aliran lebih besar daripada pasang surut sehingga mendominasi sirkulasi
estuari.
2. Estuari berstratifikasi sebagian atau parsial (moderately stratified estuary), jika
aliran sungai berkurang, dan arus pasang surut lebih dominan maka akan terjadi
percampuran antara sebagian lapisan massa air.
3. Estuari campuran sempurna atau estuari homogeny vertical (well-mixed
estuariaes), jika aliran sungai kecil atau tidak sama sekali, dan arus serta pasang
surut besar, maka perairan menjadi tercampur hampir keseluruhan dari atas
sampai dasar.

Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan kehidupan organism laut atau


payau. Hewan-hewan yang hidup di perairan payau (salinitas 0,5-30 o/oo), hipersaline
(salinitas 40-80o /oo) atau air garam (salinitas >80o /oo), biasanya mempunyai toleransi
terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan dengan organisme yang
hidup di air laut atau air tawar.

2.6.4 Derajat Keasaman pH


Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam
dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam
larutan (Saeni, 1989). Effendi (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman
merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hydrogen dalam perairan. Secara
umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu
perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi
perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa.
Masuknya limbah indutri dan rumah tangga ke perairan akan mempengaruhi derajat
keasaman ekosistem estuaria. Kebasaan perairan meningkat akibat adanya karbonat,
bikarbonat dan hidroksida. Adanya asam mineral bebas dan asam karbonat
menyebabkan tingkat keasaman perairan (Mahida, 1993). Sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi,
2003). Nilai pH juga dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari
unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, seperti H 2S yang bersifat toksik banyak
ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah.

2.7 Parameter Biologi


Pemantauan kualitas perairan selalu menggunakan kombinasi komponen fisika, kimia
dan biologi. Penggunaan salah satu komponen saja sering tidak dapat menggambarkan
keadaan yang sebenarnya. Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa penggunaan
komponen fisika dan kimia saja hanya akan memberikan gambaran kualitas lingkungan
sesaat dan cenderung memberikan hasil dengan penafsiran dan kisaran yang luas. Oleh
sebab itu penggunaan komponen biologi juga sangat diperlukan karena fungsinya yang
dapat mengantisipasi perubahan pada lingkungan kualitas perairan.
Parameter biologi yang digunakan dalam pengujian kualitas air adalah plankton.
Plankton adalah organisme perairan yang keberadaanya dapat dijadikan indikator
perubahan kualitas biologi perairan. Plankton memegang peran penting dalam
mempengaruhi produktifitas primer perairan. Plankton bersifat toleran dan mempunyai
respon yang berbeda terhadap perubahan kualitas perairan. Sifat plankton yang selalu
bergerak dapat djadikan sebagai indikator pencemaran perairan. Plankton akan bergerak
mencari tempat sesuai dengan hidupnya apabila terjadi pencemaran yang mengubah
kondisi tempat hidupnya. Dengan demikian terjadi perubahan susunan komunitas
organisme di suatu perairan, hal ini dapat dijadikan petunjuk terjadinya pencemaran di
perairan. Dalam hal ini terdapat jenis-jenis plankton yang dapat digunakan sebagai
petunjuk untuk mengetahui hal tersebut sesuai dengan kondisi biologi (Zahidin, 2008).
Plankton merupakan sekelompok organisme yang mengapung di air permukaan
danau, sungai dan lautan.Istilah plankton berasal darik bahasa Yunani “planktos” yang
berarti “mengembara”.Plankton merupakan organisme laut yang keberadaannya sangat
penting dalam lingkungan perairan dikarenakan plankton berfungsi sebagai produsen
primer penghasil karbohidrat yang menjadi makanan konsumen primer dan menjadi dasar
dari rantai makanan (Boney, 1975).
Plankton merupakan biota yang mempunyai kemampuan berenang yang sangat
lemah, sehingga mereka dikuasai oleh arus air. Berdasarkan jenisnya maka plankton
dibagi 2 golongan, yaitu: fitoplankton: tumbuhan laut yang bebas melayang dan hanyut
dalam perairan serta mampu berfotosintesis. Zooplankton: hewan yang bebas melayang
dan hanyut dalam perairan. Fitoplankton adalah organisme mikroskopis (algae) yang
bebas melayang mengikuti gerakan air. Fitoplankton merupakan jenis plankton yang bisa
membuat makanannya sendiri dengan cara melakukan proses fotosintesis karena sel dari
fitoplankton ini mengandung klorofil atau pigmen hijau.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, fitoplankton membutuhkan cahaya,
karbondioksida dan air untuk proses fotosintesis, sedangkan hara, mineral terlarut, dan
suhu dibutuhkan untuk aktivitas metabolism (Boney, 1975). Pada siang hari, saat
intensitas cahaya matahari dipermukaan air tinggi, fitoplankton akan bermigrasi ke
perairan yang lebih dalam. Karena intensitas cahaya yang tinggi dapat menghambat
pertumbuhan fitoplankton (Nybaken, 1988). Kelimpahan dan penyebaran fitoplankton
selain dipengaruhi oleh penetrasi cahaya, juga dipengaruhi sifat-sifat fisika kimia seperti:
pH, salinitas, kadar O2 terlarut, karbondioksida (CO2) bebas dan lainnya.
Keberadaan klorofil pada sel fitoplankton ini membuat fitoplankton menempati
urutan pertama atau sebagai produsen primer pada perairan terbuka (Odum, 1971).
Berbeda dengan fitoplankton, zooplankton merupakan golongan plankton yang tidak
dapat membuat makanannya sendiri, karena tidak dapat melakukan proses fotosintesis
seperti pada fitoplankton. Zooplankton berperan penting dalam proses pemindahan
energi, karena zooplankton adalah penghubung antara fitoplankton dengan hewan laut
lain yang lebih besar. Dalam rantai makanan di perairan, zooplankton memiliki peran
seperti hewan herbivore, yaitu sebagai konsumen pemakan fitoplankton (berperan
sebagai produsen primer) (Nontji, 2008). Golongan zooplankton memakan golongan
fitoplankton secara langsung, sedangkan golongan karnivora memakan golongan
herbivora atau golongan karnivora yang lain (Hutabarat, 1985).
Dalam migrasi plankton, dikenal beberapa teori dari beberapa ilmuwan, yaitu Harden
Jones (1968) diakui tiga jenis "gerakan migrasi": hanyut dengan arus, gerakan
berpengerak acak dan gerakan berpenggerak berorientasi. Pola Plankton bermigrasi
adalah kearah permukaan perairan saat matahari terbit dan bermigrasike perairan yang
lebih dalam pada saat matahari terbenam.Pergerakan ini dikenal sebagai diel vertical
migration atau Pola Migrasi Vertikal.Terdapat beberapa pola migrasi pada plankton,
diantaranya migrasi Nocturnal, migrasi Twilight, migrasi Reverse.Kemampuan plankton
untuk tetap berada pada suatu kedalaman tertentu dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk
tubuhnya.Ada pengurangan berat tubuh yang disebabkan oleh pengurangan berat skeleton
atau cangkok, adanya bahan seperti gelatin dan pemeliharaan keseimbangan tekanan
osmotik dengan air laut oleh ion-ion yang ringan seperti sulfat merupakan bentuk
adaptasi plankton untuk mempertahankan dirinya pada kedalaman tertentu.
Menurut Arinardi (1994) dalam Thoha (2007) klasifikasi Plankton berdasarkan
ukurannya, plankton dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu berdasarkan habitatnya,
plankton dikelompokkan menjadi:
1. Haliplankton (Plankton Bahari)
- Plankton oceanic : Plankton yang hidupnya di luar paparan benua
- Plankton neritik : Plankton yang hidupnya diatas paparan benua (mulut
sungai, perairan pantai dan perairan lepas pantai)
- Plankton air payau : Plankton yang hidupnya di perairan yang
bersalinitas rendah (0,5 – 30,0 0/00)
2. Limnoplankton (Plankton Air tawar)
Semua jenis plankton yang hidupnya di perairan yang salinitasnya rendah.

Plankton estuari miskin dalam jumlah spesies. Dengan demikian, ia cenderung


sejalan dengan hasil observasi makrofauna maupun makrovegetasi. Diatom sering kali
mendominasi fitoplankton, tetapi dinoflagelata dapat menjadi dominan selama bulan-
bulan panas dan dapat tetap dominan sepanjang waktu di beberapa estuari.(Nybakken
1992, h. 305).Zooplankton di estuari merupakan gambaran fitoplankton dalam
keterbatasan komposisi spesies.Komposisi spesies juga bervariasi, baik secara musiman
maupun dengan mengikuti gradien salinitas kearah hulu estuari. Beberapa 21
zooplankton estuari yang sebenarnya, terdapat pada estuari yang lebih besar dan stabil, di
mana gradien salinitas tidak begitu bervariasi; estuari yang dangkal dan cepat mengalami
pergantian air dihuni terutama oleh zooplankton laut yang khas yang terbawa ke luar dan
masuk bersama pasang- surut. Zooplankton estuari yang khas meliputi spesies dari genera
kopepoda Eurytemora, Acartia, Pseudodiaptomus, dan Centropages. Zooplankton estuari
rata-rata mempunyai volume 1 ml/m3 , atau lebih besar daripada yang terdapat di
perairan pantai di dekatnya. (Nybakken 1992, h. 305).
BAB III

METODE PENELITIAN
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Berdasarkan praktikum pengukuran kualitas air secara fisik dan kimia di
perairanestuariMangrove Wonorejo Kota Surabaya dari delapan stasiun didapatkan hasil
bahwa kualitas air di daerah estuari Mangrove Wonorejo tergolong baik yang dapat dilihat
pada Tabel 4.1 yaitu hasil pengukuran kualitas air dari beberapa parameter fisik kimia.

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Kualitas Air Di PerairanEstuari Mangrove Wonorejo, Surabaya

Parameter
Stasiun DO Suhu Salinitas TDS Kecerahan Kedalaman
BOD pH
(mg/l) (oC) (º/oo) (gram) (cm) (m)
I 21,53 + 7 29 0 0,2 25 3,1
II 11,16 + 8 29,8 0 0,3 22 4,74
III 8,6 ++ 7,5 30 0 1,5 24 5,23
IV 12,06 +++ 8 29,5 0 0,5 29 5,45
V 16,56 +++ 7 30,5 0 0,7 26 7,46
VI 11,83 +++ 7 31 5 1,4 32 6,7
VII 16,2 ++++ 8,5 31 6 2,5 40 5,3
Keterangan :
(+) = biru pudar
(++) = biru sedang
(+++) = biru
(++++) = biru pekat

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakuakan pada perairan estuari di kawasan
Mangrove Wonorejo Surabaya didapatkan data yang diolah dalam bentuk tabel.Data yang
diperoleh meliputi 3 parameter, yaitu fisika, kimia, dan biologi. Berdasarkan tabel 4.1 pada
stasiun I berdasarkan parameter kimia didapatkan pH perairan sebesar 7; nilai DO sebesar 21,53
ppm; BOD dengan indikator methylene blue diindikasikan dengan warna biru pudar (+); dan
nilai salinitas 0. Berdasarkan parameter fisika diketahui bahwa suhu permukaan perairan sebesar
290C; kecerahan didapatkan nilai sebesar 25 cm; kedalaman sebesar 3,1 m; padatan terlarut 0,2
gram. Pada stasiun II berdasarkan parameter kimia didapatkan pH perairan sebesar 8; nilai DO
sebesar 11,16 ppm; BOD dengan indikator methylene blue diindikasikan dengan warna biru
pudar (+); dan nilai salinitas 0. Berdasarkan parameter fisika diketahui bahwa suhu permukaan
perairan sebesar 29,80C; kecerahan didapatkan nilai sebesar 22 cm; kedalaman sebesar 4,74 m;
padatan terlarut 0,3 gram. Pada stasiun III berdasarkan parameter kimia didapatkan pH perairan
sebesar 7,5; nilai DO sebesar 8,6 ppm; BOD dengan indikator methylene blue diindikasikan
dengan warna biru sedang (++); dan nilai salinitas 0. Berdasarkan parameter fisika diketahui
bahwa suhu permukaan perairan sebesar 300C; kecerahan didapatkan nilai sebesar 24 cm;
kedalaman sebesar 5,23 m; padatan terlarut 1,5 gram. Pada stasiun IV berdasarkan parameter
kimia didapatkan pH perairan sebesar 8; nilai DO sebesar 12,06 ppm; BOD dengan indikator
methylene blue diindikasikan dengan warna biru (+++); dan nilai salinitas 0. Berdasarkan
parameter fisika diketahui bahwa suhu permukaan perairan sebesar 29,50C; kecerahan
didapatkan nilai sebesar 29 cm; kedalaman sebesar 5,45 m; padatan terlarut 0,5 gram. Pada
stasiun V berdasarkan parameter kimia didapatkan pH perairan sebesar 7; nilai DO sebesar 16,56
ppm; BOD dengan indikator methylene blue diindikasikan dengan warna biru (+++); dan nilai
salinitas 0. Berdasarkan parameter fisika diketahui bahwa suhu permukaan perairan sebesar
30,50C; kecerahan didapatkan nilai sebesar 26 cm; kedalaman sebesar 7,46 m; padatan terlarut
0,7 gram. Pada stasiun VI berdasarkan parameter kimia didapatkan pH perairan sebesar 7; nilai
DO sebesar 11,83 ppm; BOD dengan indikator methylene blue diindikasikan dengan warna biru
(+++); dan nilai salinitas 5. Berdasarkan parameter fisika diketahui bahwa suhu permukaan
perairan sebesar 310C; kecerahan didapatkan nilai sebesar 32 cm; kedalaman sebesar 6,7 m;
padatan terlarut 1,4 gram. Pada stasiun VII berdasarkan parameter kimia didapatkan pH perairan
sebesar 8,5; nilai DO sebesar 16,2 ppm; BOD dengan indikator methylene blue diindikasikan
dengan warna biru pekat (++++); dan nilai slinitas 6. Berdasarkan parameter fisika diketahui
bahwa suhu permukaan perairan sebesar 310C; kecerahan didapatkan nilai sebesar 40 cm;
kedalaman sebesar 5,3 m; padatan terlarut 2,5 gram.

Berdasarkan praktikum kualitas air secara biologi di perairan estuari kawasan Mangrove
Wonorejo Kota Surabaya pada delapan stasiun ditemukan beberapa jenis plankton yang disajikan
pada Tabel 4.2 berikut ini,

Tabel 4.2 Hasil identifikasi plankton di perairan Estuari kawasan Mangrove Wonorejo
Spesies plankton yang
Stasiun Jumlah
ditemukan
Navicula sp. 2
I Anabaena sp. 4
Oscillatoria sp. 1
Bacillariaceae 1
II
Anabaena sp. 2
III Closteriopsis longissima 1
Ulothrix sp. 1
IV
Nitzchia spatulata 2
V Nitzchia palea 1
VI Chaetoceros sp. 2
Diacyclops thomasi 3
VII
Chaetoceros sp. 2

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di delapan stasiun pada perairan


estuarikawasan Mangrove Wonorejo Surabaya didapatkan hasil identifikasi plankton yang
telah ditemukan pada tabel 4.2 menunjukkan data kelimpahan plankton baik dari kelompok
fitoplankton maupun zooplankton. Dari ketujuh stasiun paling banyak ditemukan plankton
pada stasiun I yaitu dari golongan fitoplankton sebanyak 7 ekor. Plankton yang ditemukan
sejumlah 22 ekor, yaitu jumlah tertinggi dari golongan algae yaitu spesies Anabaena
sebanyak 4 ekor yang ditemukan pada stasiun I. Sedangkan pada kelompok zooplankton
ditemukan pada stasiun terakhir (VII) yang berada di lautan yaitu spesies Diacyclops
thomasi sebanyak 3 ekor.

4.2 Pembahasan
Kualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter fisik air
meliputi kedalaman, kecerahan, dan suhu. Kedalaman estuaria relatif dangkal sehingga
memungkinkan cahaya matahari mencapai dasar perairan dan tumbuhan akuatik dapat
berkembang di seluruh dasar perairan, karena dangkal memungkinkan penggelontoran
(flushing) dengan lebih baik dan cepat serta menangkal masuknya predator dari laut terbuka
(tidak suka perairan dangkal). Kedalaman pada perairan Wonorejo Surabaya mulai dari
stasiun I hingga stasiun VII memiliki kedalaman yang relatif dangkal yang berkisar 3,1-7,46
m. Berdasarkan hasil yang diperoleh nilai kecerahan dari stasiun I yang dangkal hingga
stasiun VII memiliki tingkat kecerahan yang semakin meningkat. Kecerahan sangat berkaitan
dengan jumlah zat yang tersuspensi dalam air, terutama zat organik, sampah, lumpur serta
pasir dalam air laut. Semakin banyak bahan-bahan tersebut tersuspensi dalam air, maka
semakin dapat meningkatkan tingkat kekeruhan air dan menurunkan tingkat kecerahan.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, suhu dari stasiun I hingga VII mengalami
kenaikan. Namun, terdapat stasiun yang suhunya mengalami fluktuasi. Suhu dari perairan
Wonorejo Surabaya berkisar antara 29-31ºC. Menurut Effendi (2003) menyatakan bahwa
suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut,
sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Suhu air di daerah
estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan diurnal yang lebih besar daripada
laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air yang datang (pada saat pasang-naik)
ke perairan estuaria tersebut kontak dengan daerah yang substratnya terekspos. Parameter ini
sangat spesifik di perairan estuaria. Ketika air tawar masuk estuaria dan bercampur dengan
air laut, terjadi perubahan suhu. Akibatnya, suhu perairan estuaria lebih rendah di musim
dingin dan lebih tinggi di musim panas daripada suhu air laut didekatnya. Skala waktu
perubahan suhu ini menarik karena dapat dilihat dengan perubahan pasang surut, dimana
suatu titik tertentu di estuaria akan memperlihatkan variasi suhu yang besar sebagai fungsi
dari perbedaan antara suhu air laut dan air sungai. Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi
organisme dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi dan
aktifitas organisme. Kenaikan laju metabolisme dan aktifitas ini berbeda untuk spesies,
proses dan level atau kisaran suhu.
Kualitas perairan estuari Wonorejo Surabaya berdasarkan parameter kimia air
meliputi DO, BOD, pH dan salinitas. Oksigen terlarut (DO) adalah gas oksigen yang terlarut
dalam air. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota tidak boleh kurang
dari 5 ppm (Fardiaz, 1992). Berdasarkan hasil yang diperoleh nilai DO pada perairan
Wonorejo Surabaya berkisar antar 8,6-21,53 mg/l. Kadar oksigen dalam air laut akan
bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya
salinitas (Odum, 1998). Pada perairan estuari, nilai oksigen dipengaruhi oleh masuknya air
tawar dan air laut ke muara, ditambah dengan kedangkalan dan turbulensi. Kecenderungan
menurunnya oksigen terlarut di perairan juga sangat dipengaruhi oleh meningkatnya bahan-
bahan organik yang masuk ke perairan disamping faktor-faktor lainnya diantaranya kenaikan
suhu, salinitas, respirasi, adanya lapisan di atas permukaan air, senyawa yang mudah
teroksidasi dan tekanan atmosfir (Simanjuntak, 2007).
Selain itu, parameter kimia lainnya adalah Biochemical Oxygen Demand (BOD).
Biochemical Oxygen Demand menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh
organisme hidup untuk memecahkan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan organik di
dalam air (Eko, 2013). Pada hasil yang diperoleh nilai BOD dari stasiun I hingga stasiun VII
nilai BOD semakin tinggi. Semakin besar nilai BOD maka akan menunjukkan bahwa derajat
pengotoran air limbah oleh buangan zat-zat organik semakin besar (Valentina, 2013).
Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam
dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan
(Saeni, 1989). PH pada perairan Wonorejo Surabaya diperoleh berkisar 7-8,5 yang
menunjukkan kondisi perairan bersifat basa. Masuknya limbah indutri dan rumah tangga ke
perairan akan mempengaruhi derajat keasaman ekosistem estuaria. Kebasaan perairan
meningkat akibat adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida. Adanya asam mineral bebas
dan asam karbonat menyebabkan tingkat keasaman perairan (Mahida, 1993). Sebagian besar
biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi,
2003).
Selain itu, parameter kimia lainnya adalah salinitas. Salinitas perairan
menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan. Fluktuasi salinitas adalah
merupakan kondisi umum dari daerah estuaria. Suatu gradien salinitas akan tampak pada
saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi, bergantung pada musim, topografi estuaria,
pasang-surut dan jumlah air tawar misalnya estuaria. Proses pergerakan massa air laut dan
air tawar menyebabkan terjadinya stratifikasi yang menjadi dasar terjadinya klasifikasi
estuaria berdasarkan salinitas. Hasil yang diperoleh pada perairan Wonorejo Surabaya pada
stasiun I hingga V yang merupakan daerah dangkal memiliki salinitas 0 o/oo, sedangkan pada
stasiun VI dan VII yang dekat dengan laut memiliki salinitas 5 o/oo dan 6 o/oo. Faktor yang
mempengaruhi yaitu musim, pada pengambilan data yang dilakukan pada musim hujan.
Parameter biologi yang digunakan untuk mengetahui kualitas perairan Wonorejo
Surabaya adalah plankton. Plankton adalah organisme perairan yang keberadaanya dapat
dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan. Plankton memegang peran penting
dalam mempengaruhi produktifitas primer perairan. Plankton bersifat toleran dan
mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan kualitas perairan. Dari ketujuh stasiun
paling banyak ditemukan plankton pada stasiun I yaitu dari golongan fitoplankton sebanyak
7 ekor.

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kualitas air pada perairan estuari di Mangrove Wonorejo Surabaya berdasarkan


parameter fisik yaitu kedalaman dari stasiun I hingga VII relatif dangkal berkisar 3,1-7,46
m, tingkat kecerahan semakin meningkat, Suhu perairan berkisar antara 29-31ºC.
2. Kualitas air perairan pada perairan estuari di Mangrove Wonorejo Surabaya berdasarkan
parameter kimia yaitu nilai DO pada stasiun I hingga VII berkisar antar 8,6-21,53 mg/l,
nilai BOD semakin tinggi, pH berkisar 7-8,5, salinitas pada I hingga V yang merupakan
daerah dangkal memiliki salinitas 0 o/oo, sedangkan pada stasiun VI dan VII yang dekat
dengan laut memiliki salinitas 5 o/oo dan 6 o/oo.
3. Kualitas air perairan pada perairan estuari di Mangrove Wonorejo Surabaya berdasarkan
parameter biologi dengan pengamatan plankton didapatkan jenis plankton Navicula sp.,
Anabaena sp., Oscillatoria sp., Bacillariaceae, Anabaena sp., Anabaena sp.,
Closteriopsis longissimi, Ulothrix sp., Nitzchia spatulate, Nitzchia palea, Chaetoceros
sp., Diacyclops thomasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. dan Santika, S. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional.

Bengen, D. G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Boney, C. A. D. 1975. Phytopankton. 1st Ed. Southhampton: The Camelot Press Ltd.
Dahuri, R., Rais J., Ginting S.P., Sitepu M. J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Eko, J. P. 2013. Perbandingan Penggunaan Arang Aktif Kulit Kacang Tanah-Reaktor Biosand
Filter dan MnZeolit-Reaktor Biosand Filter Untuk Menurunkan Kadar COD Dan BOD
Dalam Air Limbah Industri Farmasi. Tugas Akhir II. Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gross, M. G. 1987. Oceanography A View of the Earth. Fourth Edition Prentice-Hall, Inc: 406
pp.
Harden Jones, F. R. 1968. Fish Migration. London: Edward Arnold Ltd.
Hutabarat, S. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ji Zhen-Gang. 2008. Hidrodynamics and Water Quality. John Wiley and Sons. Amerika
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi.
Mahida U.N. 1993. Pencemaran air dan Pemanfaatan Limbah Industri. PT.Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Mahmudi, M. 2005. Produktivitas Perairan. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Pradnya Paramita. Jakarta.
Nontji, Anugerah. 2008. Plankton Laut Jakart:LIPI Press.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia.
Odum, E.P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga (Alihbahasa Tjahjono Samingan).
Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Odum, E.P. 1998. Dasar- Dasar Ekologi. Edisi keempat: Terjemahan Samingan Tjahyono.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sastrawijaya A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Salim, A. 2012. Estuari. Ambon: Widyaiswara BPPP.
Simanjuntak, M. 2007. Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization di Perairan Teluk
Klabat, Pulau Bangka. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 12 (02): 59-66.
Tarigan, M.S, dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended
Solid) di Perairan Raha.Sulawesi Tenggara: Makara.
Valentina, A.E. 2013. Pemanfaatan Arang Eceng Gondok Dalam Menurunkan Kekeruhan, COD,
BOD, pada air sumur. Indonesia Journal of Science. Vol.2 No.2.
Wolanski, E. 2007. Estuarine Ecohydrology. Amsterdam: Elsevier.
Zahidin, M. 2008. Kajian Kualitas Air di Muara Sungai Pekalongan ditinjau dari Indeks
Keanekaragaman Makrozoobentos dan Indeks Saprobitas Plankton. Tesis. Program pasca
Sarjana UNDIP: Semarang.
Lampiran 1. Dokumentasi praktikum limnologi di perairan estuari Mangrove Wonorejo,
Surabaya
Lampiran 2.Dokumentasi praktikum identifikasi plankton menggunakan mikroskop
No Gambar Klasifikasi
1 Kingdom :Algae
Divisi :Chrysophyta
Classis :Bacillariophyceae
Ordo :Pennales
Familia :Naviculaceae
Genus :Navicula
Spesies    : Navicula sp.

M = 40x10
2 Kingdom    :Bacteria
Divisi     :Cyanophyta
Class    :Cyanophyceae
Order    :Oscillatoriales
Family    :Oscillatoriaceae
Genus    :Oscillatoria
Spesies    :Oscillatoria sp.

M = 40x10

3 Divisi :Bacillariophyta
Kelas :Bacillarophyceae
Ordo :Bacillariales
Famili :Bacillariaceae

M = 10x10
4 Kingdom    :Bacteria
Divisi :Cyanophyta
Class    :Cyanophyceae
Ordo    :Oscillatoriales
Famili     :Nostocaceae
Genus    :Anabaena
Spesies    :Anabaena sp.

M= 40x10

5 Divisi : Chlorophyta
Kelas : Ulvophyceae
Ordo : Ulothricales
Famili : Ulothricaeae
Genus : Ulothrix
Spesies : Ulothrix sp.

M = 40x10

6 Divisi : Bacillariophyta
Kelas : Bacillarophyceae
Ordo : Bacillariales
Famili : Bacillariaceae
Genus : Nitzchia
Spesies : Nitzchia palea

M = 40x10
7 Divisi: Bacillariophyta
Kelas: Bacillarophyceae
Ordo: Bacillariales
Famili: Bacillariaceae
Genus: Nitzchia
Spesies: Nitzchia palea

M = 40x10

8 Divisi : Heterokontophyta
Kelas : Bacillarophyceae
Ordo : Centrales
Famili : Chaetocerotaceae
Genus : Chaetoceros
Spesies : Chaetoceros sp.

M = 40x10

9 Divisi : Bacillariophyta
Kelas : Bacillarophyceae
Ordo : Bacillariales
Famili : Bacillariaceae
Genus : Nitzchia
Spesies : Nitzchia spatulata

M = 10x10
10 Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Maxillopoda
Ordo : Cyclopoida
Famili : Cyclopidae
Genus : Diacyclops
Spesies : Diacyclops thomasi
M = 40x10
11  Kingdom  : Plantae
Divisi : Chlorophyta
Kelas  : Chlorophyceae
Ordo  : Chlorococcales
Famili  : Oocystaceae
Genus  : Closteriopsis
Spesies : Closteriopsis
longissima

M = 40x10

Anda mungkin juga menyukai