Anda di halaman 1dari 5

Difusi Fasa Gas

Jika seseorang menyemprotkan parfum ke bajunya, orang lain di dalam ruangan yang sama
dapat mencium aroma dari parfum tersebut. Hal ini terjadi karena proses difusi, yaitu pergerakan
partikel dari area konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi hanya terjadi pada partikel yang
dapat bergerak, artinya difusi tidak terjadi pada partikel padatan karena padatan hanya dapat
bergetar dan tidak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Difusi sering terjadi dalam
proses kehidupan, misalnya saat udara melintasi membran alveolus paru-paru, yang memisahkan
karbon dioksida dengan mengikat oksigen yang ada di udara. Karbon dioksida (CO 2) berdifusi
melintasi membran ke udara sementara oksigen (O2) berdifusi melintasi membran dan menjadi
terlarut dalam darah (Levitzky, 2003).

Peningkatan suhu merupakan peningkatan kecepatan molekul rata-rata sehingga difusi


terjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pada suhu tertentu molekul yang kecil dan ringan
seperti Hidrogen (H2) berdifusi lebih cepat dari molekul yang lebih besar seperti Nitrogen (N2)
karena mereka bergerak lebih cepat. Menurut hukum Graham, laju dimana gas berdifusi
berbanding terbalik dengan akar kuadrat dari kepadatan gas (Keith, 1982).

Difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi. Jika zat kimia seperti parfum
dilepaskan dalam suatu ruangan, partikel parfum bercampur dengan partikel udara. Partikel gas
tersebut bergerak cepat kesegala arah dan berlanjut sampai konsentrasi partikel-partikel gas sama
di seluruh ruangan. Pada saat konsentrasi partikel sama, partikel-partikel tersebut masih bergerak
(BBC, 2020).

Menurut teori molekul kinetik, partikel-partikel gas berada dalam keadaan bergerak
konstan, bergerak dengan kecepatan acak dan dalam banyak arah yang berbeda. Laju gerakan ini
adalah fungsi viskositas medium, suhu dan massa (ukuran) partikel. Difusi yang terjadi
menghasilkan pencampuran bahan secara bertahap dan akhirnya membentuk campuran yang
homogen.

Faktor-faktor yang memengaruhi difusi fasa gas, yaitu luas gradien konsentrasi, berat
molekul, ukuran molekul yang menyebar, suhu, densitas pelarut, luas permukaan dan ketebalan
membran plasma dan jarak yang ditempuh. Pengaruh luas gradien konsentrasi adalah semakin
besar perbedaan konsentrasi maka laju difusi semakin cepat. Pengaruh berat molekul adalah
molekul yang lebih berat akan bergerak lebih lambat sehingga proses difusi terjadi lebih lambat.
Ukuran molekul yang berdifusi juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses difusi
yang terjadi. Ukuran molekul yang lebih besar akan berdifusi lebih lama dari pada ukuran molekul
yang lebih kecil (Singh and Heldman, 2001).

Proses difusi pada suhu yang lebih rendah menurunkan energi molekul sehingga
mengurangi laju difusi begitu juga sebaliknya pada suhu yang lebih tinggi enegi molekul akan
meningkat sehingga mempercepat laju difusi. Ketika densitas pelarut meningkat, laju difusi
berkurang. Molekul-molekul melambat karena molekul membutuhkan waktu yang lebih banyak
untuk melewati medium yang lebih padat. Peningkatan luas permukaan akan meningkatkan laju
difusi, sedangkan membran yang lebih tebal menurunkan laju difusi. Semakin besar jarak yang
harus ditempuh oleh suatu zat maka semakin lambat laju difusinya (Petrucinni, 2002).

Proses-proses yang terjadi pada difusi ada 3 yaitu dialisis, osmosis dan ultrafiltrasi. Dialisis
yaitu suatu proses pemisahan berdasarkan lewatnya zat terlarut dan pelarut yang tidak sama
melalui membran yang berpori-pori sangat kecil. Osmosis adalah suatu proses dimana hanya
pelarut yang berpindah melalui membran semi permeabel. Ultrafiltrasi merupakan proses yang
digunakan untuk memisahkan partikel koloid dan molekul dengan menggunakan suatu membran.

Operasi pemisahan komponen yang melibatkan proses difusi didasarkan pada perpindahan
massa dan panas karena perbedaan konsentrasi atau gradien konsentrasi dan perbedaan suhu atau
gradien suhu. Metode-metode yang tercakup dalam istilah operasi perpindahan massa yaitu
distilasi, absorpsi, humidifikasi, ekstraksi, leaching dan kristalisasi. Pada proses absorpsi gas, zat
terlarut akan terdifusi melalui fasa gas ke antarmuka antara kedua fasa dan melalui zat cair dari
antarmuka tersebut. Pada distilasi, komponen yang memiliki titik didih rendah akan terdifusi
melalui fasa zat cair ke antarmuka dan dari antarmuka ke fasa uap dimana komponen yang
memiliki titik didih tinggi terdifusi pada arah yang berlawanan lalu berpindah melalui fasa uap ke
fasa cair, pada proses ekstraksi zat cair, zat terlarut mengalami difusi melalui fasa rafinat ke
antarmuka, lalu antarmuka ke fasa ekstrak. Pada proses kristalisasi, zat terlarut terdifusi melalui
cairan induk ke kristal dan kemudian mengendap ke permukaan zat padat. Pada proses
humidifikasi, difusi fasa zat cair tidak terjadi karena zat cairnya murni dan tidak mungkin ada
gradien konsentrasi di dalam zat cair tersebut, namun uap yang ada terdifusi ke antarmuka zat cair
atau gas.
Difusi molekuler adalah transfer massa yang disebabkan oleh gerakan molekuler secara
acak dalam fluida diam atau dalam fluida yang mengalir secara laminar. Transfer molekuler juga
disebut traansfer molekul dalam fasa yang sama. Dalam difusi molekuler fasa gas terdapat
beberapa jenis proses difusi, yaitu equimolar counter diffusion dan difusi gas secara konveksi.
Equimolar counter diffusion terjadi bila ada dua gas yaitu gas A dan gas B yang berada pada
kondisi tekanan total konstan dalam dua ruang yang terhubung oleh pipa dimana terjadi difusi
molekular pada kondisi steady state. Karena tekanan total konstan, jumlah mol A yang berdifusi
ke kanan akan sama dengan jumlah mol B yang berdifusi ke kiri. Difusi gas A dan gas B dengan
konveksi terjadi saat suhu fluida berpindah dalam aliran konveksi kearah kanan.

Dalam industri pabrik, sistem operasi dengan menggunakan proses difusi sangat sering
digunakan. Salah satunya adalah proses pengolahan limbah gas pabrik. Limbah gas yang dibuang
ke udara tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu akan menyebabkan pencemaran udara. Ada 5
pencemar udara primer yang menyumbang lebih dari 90% pencemaran udara yaitu hidrokarbon
(HC), karbon monoksida (CO), sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx) dan partikulat (debu)
( Abidin, 2019). Limbah gas yang dihasilkan pabrik berasal dari penggunaan bahan baku, proses,
dan hasil serta sisa pembakaran. Limbah yang ada dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
reaksi kimia dan kebocoran gas. Jenis industri yang menjadi penghasil pencemaran udara yang
besar adalah industri besi dan baja, industri semen, industri kendaraan bermotor, industri pupuk,
industri aluminium, industri pembangkit tenaga listrik, industri kertas, industri kilang minyak dan
industri pertambangan.

Pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah gas industri bergantung pada jenis limbah,
volume yang lepas di udara bebas dan lamanya berada di udara. Arah angin dapat memengaruhi
luas daerah pencemaran karena sifat gas yang ringan dan bercampur dengan udara. Meningkatnya
konsentrasi limbah gas dalam udara dapat menimbulkan berbagai pengaruh, misalnya gangguan
jarak pandang oleh kendaraan bermotor, gangguan pernafasan, dan timbulnya beberapa jenis
penyakit tertentu.

Pengendalian pencemaran udara dalam sebuah pabrik terdiri dari dua bagian, yaitu
penanggulangan emisi debu dan penanggulan emisi senyawa pencemar. Salah satu peralatan yang
digunakan yaitu absorber. Absorber menggunakan prinsip absorpsi, dimana emisi gas yang akan
diolah dilewatkan melalui packed-tower, spray-tower atau spray-plate dan absorber venturi,
dimana gas akan bersentuhan dengan medium penyerap cairan yang dilarutkan secara selektif atau
bereaksi dengan kontaminan udara yang akan dipisahkan, misalnya hidrogen fluorida dapat
diserap oleh air atau larutan air alkali, oksida nitrogen dapat diserap oleh air. Absorpsi secara
umum juga digunakan untuk mengendalikan emisi sulfur dioksida, hidrogen sulfida, hidrogen
klorida, klorin, dan beberapa hidrokarbon. Injeksi lime dapat mengendalikan emisi gas asam dari
incinerator.
Selain menggunakan absorber, pemisahan dapat dilakukan menggunakan adsorber.
Adsorber adalah fixed-bed jenis stasioner atau berputar, dalam silinder horizontal atau vertical
biasanya dengan lapisan karbon aktif atau screens yang dilalui aliran gas. Dalam adsorpsi,
molekul-molekul suatu fluida seperti cairan atau zat terlarut dan gas yang akan diolah, dikontakkan
dengan adsorben (seperti karbon aktif, alumina, silikat, arang, atau gel yang mengumpulkan
kontaminan dalam pori-pori atau kapiler). Bahan yang diadsorpsi disebut adsorbat. Dalam
beberapa kasus, adsorben, seperti karbon aktif, diregenerasi oleh uap super panas pada temperatur
343° kontaminan kemudian dikondensasi dan dikumpulkan untuk dibuang dengan baik. Dalam
kasus lain, adsorben dan adsorbat akan dipisahkan dari fluida dan dibuang. Adsorpsi zat padat
memiliki rasio permukaan terhadap volume yang sangat besar dan kemampuan adsorptif yang
berbeda, tergantung pada adsorbat tertentu.
Contoh penggunaan adsorber dalam mengurangi emisi senyawa pencemar adalah adsorber
type FGD, seperti Wet Limetsone Forced Oxidation FGD dan Seawater FGD yang digunakan
untuk melakukan desulfurisasi gas buang dalam industri pembangkit listrik berbahan batubara
(Jatmiko, 2016). Namun sistem tersebut membutuhkan modal besar, kompleks dan hampir tidak
mungkin untuk di aplikasikan kepada pembangkit yang belum memiliki FGD. Oleh karena itu,
Wet Limetsone Forced Oxidation FGD dan Seawater FGD lebih sesuai untuk aplikasi tahap awal
(konstruksi) dan tidak sesuai untuk pemasangan pada unit eksiting (retrofit). Salah satu sistem
FGD yang lebih sesuai untuk aplikasi retrofit tersebut adalah FGD jenis kering dengan sistem Duct
Sorbent Injection (DSI).
Gambar 1. Skema FGD jenis Duct Sorbent Injection (Susetyo, 2016).

Sistem yang lebih cocok digunakan adalah jenis Duct Sorbent Injection (DSI). Duct
Sorbent Injection (DSI) menginjeksikan absorben penyerap SO 2 di saluran gas buang. Pada
Gambar 1 ditunjukkan lokasi injeksi yang disarankan untuk PLTU, absorben yang diinjeksikan
kemudian mengalir bersama gas buang, menyerap SO 2 di gas buang hingga tertangkap oleh
elektrostatic precipitator (EESP) bersama abu terbang (fly ash). Berdasarkan hasil penelitian
(Susetyo, 2018), absorben yang sesuai untuk sistem ini adalah natrium bikarbonat (NaHCO 3). Hal
yang memengaruhi kesesuaian jenis absorben adalah laju reaksi kimia dengan SO 2, kestabilan
kimiawi absorben untuk penyimpanan pada temperatur lingkungan dan kompatibilitas absorben
terhadap temperatur lokasi injeksi dimana pada lokasi injeksi, temperatur gas buang harus diatas
1400C untuk memungkinkan dekomposisi termal agar natrium bikarbonat (NaHCO3) berubah
menjadi Na2CO3 dalam bentuk solut dan melepaskan uap H2O dan gas CO2 (Susetyo, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dekomposisi termal dibatasi pada temperatur sekitar
4000C. Diatas temperatur tersebut, terjadi penggumpalan, karena terjadi penggumpalan akibat
tercapainya titik leleh dari absorben. Lokasi injeksi pada saluran buang gas PLTU yang terbaik
menurut data penelitian adalah area flue gas duct diantara economizer dan air-preheater dengan
temperatur tipikal 300-4000C. Hal ini memungkinkan proses dekomposisi termal terbaik, serta
waktu reaksi yang terlama sebelum mencapai elektrostatik presipitator (Susetyo, 2016).

Anda mungkin juga menyukai