PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis
fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles
Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya,
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.
Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Pallsy banyak terjadi namun secara pasti
sulit ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya Bell’s palsy di Indonesian
sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati terbanyak yang sering dijumpai terjadi pada
usia 20-50 tahun, dan angka kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60
tahun. Biasanya mengenai salah satu sisi wajah (unilateral) jarang bilateral dan dapat
berulang (Annsilva, 2010)
Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien bell’s palsy biasanya bila dahi di
kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak mata tidak dapat
menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas. Pada sebagian besar penderita
Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka
kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nevus fasialis perifer yang tidak
Kelainan Bells Palsy meruakan paralisis LMN unilateral idiopatik. Paralisis ini di
hubungkan dengan fenomena infeksi virus, dengan beberapa bukti secara spesifik menunjukan
keterlibatan virus herpes simpleks. Serangannya cepat, dalam jam atau hari, dan mungkin
kortikosteroid dan obat – obat pada 48 jam pertama setelah serangan. Tetapi tanpa pengobatan
ini pun, 85-90 % pasien akan mengalami perbaikan total dalam hitungan minggu atau bulan.
2. Anatomi wajah
Wajah adalah bagian anterior dari kepala, dengan batas kedua telinga lateral, dagu
di inferior dan garis batas tumbuhnya rambut di superior.Tulang tengkorak mempunyai
bagian-bagian yang biasanya ditinjau dari beberapa aspek yaitu aspek anterior, posterior,
superior, dan inferior serta lateral. Terkait dengan perjalanan N. Facialis maka cranium
ditinjau dari arah lateral dan melibatkanOs temporalis, Canalis facialis, Foramen
stylomastoideus, Ramus mandibularis aspek lateral (Shiffman and Giuseppe, 2012).
Jika dilihat dari struktur otot, otot pada wajah sangatlah tipis dan rata.Tidak semua
otot wajah melekat pada tulang, kebanyakan saling terikat pada fascia otot yang
lainnya.Otot diwajah berperan untuk memberikan ekspresi serta memberikan gerakan
2
seperti mengerutkan dahi, menutup kelopak mata, mengunyah, dan lainnya (Shiffman
and Giuseppe, 2012).
Nervus facialis adalah salah satu dari 12 pasang saraf cranial.Nervus facialis
merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot wajah.
Otot – otot wajah beserta fungsinya
1. M. frontalis
Fungsi : menggerakan kulit kepala dan menciptakan kerutan miring pada dahi
2. Corrugator superculi
3. M. orbicularis oculi
4. M. nasalis
5. M. temporalis
3
Insersio : fasia temporalis sebelah atas dan sebelah depan
Insersio :
7. M. orbikulais oris
8. M. mentalis
Insersio :
Insersio : bibir bawah, pipi disebelah lateral sudut mulut, bibir atas
4
12. M. buccinators
5
intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-
serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf
intermedius juga membawa serabut-serabut aferen untuk pengecapan pada dua
pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna
(Japardi, 2004)
6
lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina.Saraf ini mendukung
kelenjar lakrimal dan palatina.Serabut saraf lainnya berjalan turun secara
posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan
memberikan percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes).Lebih
ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang
terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus.Saraf korda timpani merupakan
cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani,
terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa.Saraf
tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis
dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Japardi, 2004).
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk
cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m.
stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke
anterolateral menuju ke kelenjar parotid.Di kelenjar parotid, saraf fasialis
kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal,
zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf
ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot
ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator
dan m. Platysma (Japardi, 2004).
7
meninggal enam minggu seteah mengalami bell’ss palsy (Lowis & Gaharu,
2012).
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus.Akan tetapi, baru
beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena
pada umumnya kasus BP sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi
gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita
Bell’s palsy (Ropper, 2003 ; Bahrudin, 2011). Tahun 1972, McCormick
pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik.
Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas
dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten
dalam ganglion genikulatum.(Ropper, 2003 ; Bahrudin, 2011).
5. Patofisiologi
Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis di
meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau
operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar parotis
(karena tumor) akan menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan kelopak
mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi
lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan menunjukkan
bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian ini
menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral (Snell 2012 ;
Mujaddidah 2017).
Peneliti menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi
sekuens genom virus,dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural
sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’spalsy yang dilakukan
dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Peneliti menginokulasi HSV
dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus
tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes
simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis
8
menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf (Lowis &
Gaharu, 2012).
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,
menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam
kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau
iskemia sekunder terhadap saraf(Kanerva 2008 ; Mujaddidah 2017).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi
saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh
perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva
2008 ;Mujaddidah 2017).
6. Gambaran Klinik
Gejala bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot wajah pada satu sisi
mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak/kaku pada wajah walaupun
tidak ada gangguan sensorik kadang-kadang diikuti oleh hiperakusis
berkurangnya produksi air mata dan berubahnya pengecapan di lidah
kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial/komplit kelumpuhan
parsial dalam 1 – 7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit (Munilson
dkk., 2011).
9
2. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi
1. Ugo Fisch Skala
Ugo Fisch digunakan untuk mengukur kemajuan motorik dan kemampuan
gerak fungsional otot-otot wajah.Peningkatan nilai kekuatan otot wajah
4 skala penilaian,
a) 0%, untuk kekuatan otot 0 : zero, asimetri komplit, tak ada gerak volunter,
b) 30%, untuk kekuatan otot 1 : poor, kesembuhan ke arah asimetri,
c) 70%, untuk kekuatan otot 3 : fair, kesembuhan parsial ke arah simetri,
d) 100%, untuk kekuatan otot 5 : normal, simetris komplit.
Gerakan yang dilakukan,
a) Diam = 20 x (%) =...
b) Mengerutkan dahi= 10 x (%) =...
c) Menutup mata = 30 x (%) =...
d) Tersenyum = 30 x (%) =...
e) Bersiul = 10 x (%) =...
Ket :
1) % adalah persentase sesuai dengan kemampuan dari pasien dan bisa
dihubungkan dengan kekuatan otot yang berperan dalam gerakan diatas.
2) Semakin mendekati 100 skornya akan lebih baik, apabila belum mencapai
100 dari semua penjumlahan hasil dari aktivitas diatas maka fisioterapis
diharapkan belum menghentikan tindakan karena apabila dihentikan sebelum
100 akan mengakibatkan terdapat gejala sisa.
10
Derajat kelumpuhan pada Ugo Fisch Scale
Derajat Interpretasi
Derajat I (100 point) Normal
Derajat II (75-99 point) Kelumpuhan ringan
Derajat III (50-75 point) Kelumpuhan sedang
Derajat IV (25-50 point) Kelumpuhan sedang berat
Derajat V (1-25 point) Kelumpuhan berat
Derajat VI (0 point) Kelumpuhan total
11
Intruksikan pasien untuk menarik bibir kearah lateral diteruskan ke
bawah.
7) M. zigomatikum
Intruksikan pasien untuk bersenyum
8) M. orbicularis oris
Pasien diminta untuk mengerutkan bibir sperti bersiul
9) M. levator labii superior
Intruksikan pasien untuk mengangkat sudut mulut keatas
10) M. mentalis
Intruksikan pasien untuk menarik bibir kearah bawah
11) M, levator anguli oris
Intruksikan asien untuk mengangkat satu sudut bibir atas seperti
menyeringai
12) M. buccinators
Intruksikan pasien untuk mengisap pipi
13) M. depressor anguli oris
Intruksikan pasien untuk menarik bagian lateral bibir kebawah
Nilai Interpretasi
0 (zero) Tidak ada kontraksi bisa diraba atau dilihat
1 (trace) Tidak ada gerakan, tetapi dengan palpasi kontraksi dapat
dirasakan
3 (fair) Gerakan bisa dilakukan, tetapi dengan kesulitan atau hanya
sebagian
5 (normal) Kontraksi penuh, terkontrol dan simetris
12
Kepada pasien dimintakan untuk memberikan garis tegak lurus yang
menandakan derajat beratnya nyeri yang dirasakannya.Instrumen VAS ini tidak
menggambarkan jenis rasa nyeri yang dialami pasien, misalnya shooting pain
dan sebagainya.Jadi sebagaimana pengukuran kategorikal, maka VAS juga
mengukur 69 nyeri secara satu dimensi saja.(Potter & Perry, 2006)
1. nilai 0 : tidak nyeri
2. nilai 1-3 : nyeri ringan
3. nilai 4-6 : nyeri sedang,
4. nilai 7-9 : nyeri berat terkontrol
5. nilai 10 : nyeri hebat tidak terkontrol
0 5 7 10
b. Massage
Kata massage berasal dari kata arab “mash yang berarti menekan dengan
lembut” atau kata yunani “massien” yang berarti memijat atau melulut atau “
maschesch” yang berarti meraba bahasa yahudi. (Latief.A,dkk,2013)
Teknik – teknik massage pada wajah yaitu
13
1. Teknik teknik massage yang biasa digunakan pada kasus bells palsy
antara lain stroking, effleurange, finger kneading dan tapotement.
Troking adalah maniulasi gosokan yang ringan dan halus dengan
menggunakan seluruh permukaan tangan yang bertujuan untuk
meratakan pelican keseluruh wajah pasien, effleurange adalah gerakan
ringan yang berirama, yaitu melakukan gerakan ataupun gosokan yang
dilakukan dengan menggunakan tiga jari tangan diberikan sesuai letak
serabut otot-otot wajah menuju ketelinga. Finger kneading adalah pijatan
jari-jari tangan yang dilakukan dengan cara melingkar dan disertai
dengan tekanan pada kulit dan jaringan-jaringan lunak subcutan. Pijatan
ini diberikan pada seluruh otot-otot wajah dengan arah gerakan menuju
ketelinga. Taptment adalah manipulasi dengan memberikan tepukan-
tepukan yang berirama yang dapat diberikan secara manual ataupun
dengan menggunakan bantuan alat, pada kasus bells palsy salah satu
teknik taptment yang diberikan adalah slapping. Slapping merupakan
sapuan dari ujung-ujung jari yang dilakukan secara tepat dan berirama.
14
membantu meningkatkan aliran darah dan dapat mencegah terjadinya
perlengketan jaringan.
15
d. Strengthening
Strengthening exercise (latihan penguatan) adalah perubahan peningkatan kekuatan
otot pada latihan dengan beban yang terus meningkat dikarenakan adanya perubahan
morfologikal otot, yaitu semakin besar diameter serabut otot maka otot akan semakin
kuat, semakin besar otot terbentuk maka mitokondria akan semakin banyak (Ganong,
2010).
e. Miror exercise
Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan dengan
menggunakan cermin yang akan memberikan efek “biofeedback”. Dalam
pelaksanaan mirror exercise ini, sebaiknya dilakukan ditempat yang tenang dan
tersendiri agar pasien bisa lebih berkonsentrasi. Jenis-jenis latihannya yaitu
melatih gerakan-gerakan pada wajah, antara lain
1) mengangkat alis dan mengkerutkan dahi,
2) menutup mata,
3) tersenyum,
4) bersiul,
5) menutup mulut,
6) menarik sudut 14 mulut kesamping kanan dan kiri,
7) memperlihatkan gigi seri dan mengangkat bibir ke arah atas,
8) mengembang-kempiskan cuping hidung,
16
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
d. Vital Sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Denyut Nadi : 70x/menit
C. Inspeki/ Observasi
1. Statis :
Tidak ada oedema
Wajah merot ke kiri
2. Dinamis :
Saat berbicara, tampak bibir asimetris
17
Saat tersenyum bibir cenderung ke kiri
Kerutan dahi tampak asimetris
Tidak mampu menutup mata dengan rapat
3. Palpasi
Tujuan : untuk mengetahui adanya spasme adanya nyeri tekan dan pada m.
zigomatikum.
D. Pemeriksaan Spesifik
18
2. Tes kemampuan fungsional wajah (UgoFisch Scale)
Hasil :
Posisi Nilai Jumlah
Tersenyum 30% x 30 9
Bersiul 30% x 30 9
Jumlah 30
0 3 5 10
Nyeri gerak :0
Nyeri tekan :3
Nyeri diam :0
E. Diagnosa Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
”Gangguan aktivitas Fungsional Wajah Akibat Kelemahan Otot Wajah Dextra ec
Bell’s Palsy”
F. Problematik Fisioterapi
a. Anatomical/functions impairment
19
Adanya kelemahan otot wajah dextra
Nyeri pada wajah sisi dextra
b. Activity limitation
Adanya gangguan saat makan dan minum
Kesulitan menaikan alis
Tidak mampu menutup mata dengan maximal
Kurang mampu tersenyum
c. Participation restriction
Adanya penurunan rasa percaya diri saat bergaul di lingkungan
masyarakat Karena gangguan ekspresi wajah
4. Tujuan Intervensi
a. Tujuan jangka pendek
Meningkatkan kekuatan otot wajah sinistra
Mengurangi nyeri
b. Tujuan jangka panjang
Mengembalikan kemampuan fungsional wajah semaksimal mungkin
seperi makan dan minum, berekspresi dan meningkatkan kepercayaan
diri pasien.
20
F : 9 diode 5x50 mW
I : 17,4 joules
T : Toleransi pasien
T : 5 menit
2) PNF
a. M. epicranius ( frontalis)
Prosedur : Intruksikan pasien untuk mengangkat alis keatas, berikan
Tahanan terhadap dahi, dorong kearah kaudal dan medial.
Gerakan ini Bekerja dengan mata terbuka. Hal ini diperkuat
dengan ekstensi leher
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
b. M. corrugator
Prosedur : Intruksikan pasien untuk menarik alisnya kebawah.
Berikan Tahanan tepat diatas alis secara diagonal diarah
cranial dan lateral. Gerakan ini bekerja dengan mata
tertutup.
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
c. M. Orbicularis Oculi
Prosedur : Intruksikan pasien untuk menutu mata dengan
menerapkan Latihan terpisah untuk kelopak mata uer dan
lower. Berikan perlawanan Dengan perlahan pada kelopak
mata. Hindari memberi tekanan pada bola mata.
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
21
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
e. M. procerus
Prosedur : Intruksikan pasien untuk mengerutkan hidungnya seperti
mencium aroma busuk. Otot ini bekerja dengan
M.corrugator dan dengan mata tertutup
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
g. M. orbicularis oris
Prosedur : Intruksikan pasien untuk mengerutkan bibirnya sepeeti
bersiul. Berikan tahanan secara lateral dan kearah atas.
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
i. M. mentalis
Prosedur :Intruksikan pasien untuk mengerutkan dahi, aplikasikan
tahanan melakukan kebawah dan arah dagu.
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
22
Prosedur :Intruksikan pasien untuk meanrik ujung mulutnya keatas,
aplikasikan tahanan kebawah dan sudut mulut.
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
h. M. depressor anguli oris
Prosedur : Intruksikan pasien mendorong sudut mulut ke bawah,
berikan tahanan keatas dan medial pada sudut mulut.
Dosis : 8 pengulangan 3x seminggu
5. Strengthening
Tujuan : untuk meningkatkan otot yang lemah
Prosedur : pasien diminta melawan tahanan yang diberikan oleh
fisioterapis
Dosis : toleransi pasien 8 – 10 kali hitungan 3 minggu
G. Home program
Pasien diminta selalu melakukan gerakan – gerakan yang telah fisioterapi
ajarkan. Jenis-jenis latihannya yaitu melatih gerakan-gerakan pada wajah, antara
lain :
1) mengangkat alis dan mengkerutkan dahi,
2) menutup mata,
3) tersenyum,
4) bersiul,
5) menutup mulut,
6) menarik sudut 14 mulut kesamping kanan dan kiri,
23
7) memperlihatkan gigi seri dan mengangkat bibir ke arah atas,
8) mengembang-kempiskan cuping hidung,
H. Evaluasi
Berdasarkan intervensi yang telah diberikan pada pasien diperoleh hasil berupa:
Wajah masih merot
Bibir masih belum terlihat simetris
Mata masih belum tertutup rapat
Pada saat mengangkat alis garis dahi belum terlihat
Nilai vas
Nyeri tekan: 3
Nyeri gerak: 0
Nyeri diam: 0
24
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Bell'spalsy (Bp) Ialah suatu kelumpuhan akut. Fasialis perifer yang tidak
salah satu sisi wajahnya, Ekspresi pada wajah akan menghilang, Sudut mulut
menurun, Bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, Kelopak mata
tidak dapat dipejamkan, Kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk
memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap
terbuka.
motoris. Tetapi bell’spalsy tidak selalu disertai dengan gangguan motoris. Untuk
pasien akan merasa malu karena kondisinya dan menarik diri dari aktivitas
lingkungan sosial.
25
Untuk dapat menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang muncul
antara lain pemanasan dengan sinarin frared, Pnf wajah dan terapi latihan
Saran
26