Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/260155420

IMPLEMENTASI MODEL ENTREPRENEURIAL GOVERNMENT DALAM


MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Tinjauan Dalam Perspektif
Sumberdaya Manusia) Oleh : Nur Efendi

Article · February 2014

CITATIONS READS

0 3,490

1 author:

Nur Efendi
Lampung University
9 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Model Desa Mandiri View project

Sistem Informasi Pemberkasan Perkuliahan Berbasis Web Menggunakan Framework Laravel View project

All content following this page was uploaded by Nur Efendi on 13 February 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


IMPLEMENTASI MODEL ENTREPRENEURIAL GOVERNMENT
DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
(Tinjauan Dalam Perspektif Sumberdaya Manusia)

Oleh : Nur Efendi

A. Pendahuluan
Pemikiran manajemen public dalam dua dekade terakhir mengalami kembangan yang
sangat pesat. Isu globalisasi yang dihembuskan sejak tahun 1990-an ikut memacu para
ahli dan praktisi administrasi untuk turut memikirkan cara mengantisipasi tuntutan
perubahan yang terjadi. Globalisasi yang pada awalnya lebih bernuansa kepentingan
ekonomi negara industri untuk memasarkan produk-produk mereka ternyata melanda
hampir semua aspek kehidupan. Demam globalisasi berdampak secara luas pada
berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, politik, sosial budaya, dan lingkungan, yang
didukung oleh penggunaan teknologi tinggi dibidang informasi. Dengan globalisasi,
batas-batas negara menjadi semakin kabur karena saling terhubung satu sama lainnya
melalui teknologi informasi.

Perubahan lingkungan global yang menunjukkan turbulensi dan ketidakpastian ini


mengharuskan pemerintah memberikan respon yang cepat dan melakukan berbagai
penyesuaian agar organisasi pemerintahan tetap berjalan secara efektif dan efisien.
Praktek-praktek manajemen publik yang selama ini dijalankan oleh birokrasi pemerintah
dirasa tidak lagi mampu beradaptasi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat
sebagai konsumen yang semakin meningkat. Dan bukan hanya itu, Osborne dan Gaebler
(1992 : 108) mengatakan perlunya dilakukan transformasi dari Rule-Driven Organization
menjadi Mission-Driven Organization, yang banyak dikritik karena sangat tidak
mungkin organisasi publik berjalan tanpa peraturan. Namun seperti dikatakan Osborne
dan Gaebler (1992 : 113-114), organisasi yang dikendalikan oleh misi ini memiliki
beberapa keunggulan, yaitu “more efficient, more better, more innovative, more flexible,
and have higher morale. Reinventing Government yang maksud oleh Osborne dan
Gaebler bermuara pada pemikiran bagaimana mentransformasikan semangat
kewirausahaan pada sector publik (Entrepreneurial Government). Pemikiran ini
didasarkan pada fakta bahwa kelambanan organisasi dan aparat birokrasi dalam
merespon kebutuhan dan perkembangan masyarakat telah menyebabkan ketidakpuasan

1
para pembayar pajak. Oleh sebab itu dibutuhkan organisasi birokrasi yang smaller,
better, faster, and cheaper (Osborne dan Gaebler,1992)

Praktek birokrasi diberbagai lapisan manajemen organisasi pemerintahan menunjukkan


kesan yang kurang lebih sama. Birokrasi seolah-olah memiliki kesan adanya suatu
proses yang panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu
urusan dengan aparatur pemerintah (Kristiadi,1994 : 93). Hal ini tentunya bukan
sesuatu yang tidak beralasan. Status sebagai pegawai pemerintah telah menempatkan
para birokrat pada posisi yang lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Sikap mental
yang minta dilayani muncul lebih dominan dibandingkan dengan kewajiban melayani
yang seharusnya mereka lakukan. Dan orientasi loyalitas berpindah dari negara ke partai
politik yang berkuasa. Netralitas birokrasi sudah tidak ada dan cenderung berafiliasi
dengan partai yang berkuasa. Akibatnya pelayanan kepada masyarakat menjadi
terabaikan, berjalan lambat, lama, dan seringkali berbau suap karena tidak adanya
standar biaya pelayanan yang jelas. Dan tidak jarang aparat birokrasi menunjukkan sikap
yang tidak ramah dalam melayani masyarakat. Hal ini terjadi karena, pelayanan birokrasi
lebih berorientasi pada kepentingan pejabat public daripada masyarakat sebagai
konsumen. Sehingga dengan ukurannya maksimalis dan kualitas pelayanan yang
minimalis itu, organisasi birokrasi digambarkan sebagai seorang wanita tua yang gemuk,
lamban, dan rewel.

Perubahan lingkungan dan peningkatan kebutuhan masyarakat menuntut pelayanan


birokrasi yang lebih efektif, efisien dan murah. Organisasi birokrasi harus tampil dengan
paradigm baru, dimana kebutuhan masyarakat menjadi prioritas dan kinerja dinilai
dengan indicator yang lebih terukur. Masih rendahnya kualitas pelayanan aparat
birokrasi yang diterima oleh masyarakat dianggap tidak sesuai dengan kondisi
lingkungan semakin kompleks dan kompetitif. Dengan demikian, ide Enterpricing
Government yang dilontarkan oleh Osborne dan Gaebler (1992 : 1995) atau apa yang
disebut sebagai The New Enterpricing Organization oleh Salaman (dalam Gay, 2005:
148) menjadi suatu yang sangat mungkin untuk diterapkan, termasuk di Indonesia.
Dalam hal ini, birokrat dituntut untuk berpikir dan bertindak seperti seorang wirausaha.
Dalam konteks keindonesiaan, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah model
Entrepreneurial Government ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan public?

2
B. Pembahasan
Memperhatikan judul makalah ini, kesan pertama yang muncul adalah terlalu jauhnya
hubungan antara Entrepreneurial Government dengan kualitas pelayanan public. Hal ini
ada benarnya karena ada banyak variabel yang saling berkaitan dalam menciptakan suatu
layanan yang berkualitas. Salah satu variabel kunci adalah masyarakat sebagai
konsumen yang dilayani. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana
Entrepreneurial Government memberi dampak positif terhadap kualitas pelayanan
public, pembahasan selanjutnya dibagi dalam tiga sesi, yaitu Entrepreneurial
Government, kualitas pelayanan, dan implementasi model Entrepreneurial Government
untuk meningkatkan kualitas pelayanan public.

1. Entrepreneurial Government

Sebelum pembahasan ini dilanjutkan, ada baiknya dipahami terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan entrepreneur. American Heritage Dictionary mendefinisikan
entrepreneur sebagai “a person who organizes, operates, and assumes the risk for
business ventura” (dalam Siropolis, 1994: 37). Sementara Bolton dan Thompson yang
dikutip oleh Thompson (2001:425) mendefinisikan entrepreneur sebagai “a person who
habitually creates and innovates to build something of recognized value around
perceived opportunities”

Kedua definisi ini meskipun berbeda namun saling melengkapi karena beranjak dari dua
pendekatan yang berbeda. Siropolis lebih menekankan pengertian entrepreneur pada
orang yang mengelola suatu bisnis, dan menanggung risiko untuk bisnisnya. Sedangkan
definisi Bolton dan Thompson lebih menekankan pada sifat dan karakteristik yang
dimiliki oleh seorang entrepreneur, yaitu creates dan innovates untuk mendapatkan suatu
peluang. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan entrepreneur adalah orang yang
mengelola suatu bisnis dengan mengambil berbagai risiko dan ia menciptakan,
berinovasi untuk membangun sesuatu yang lebih bernilai untuk mendapatkan peluang
bisnis. Sedangkan entrepreneurship adalah “the capacity for innovation,investment, and
expansion in new market, product, and techniques”( Siropolis, 1994: 41).

Ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh seorang entrepreneur. Siropolis (1994:
43-49) mencatat beberapa ciri yaitu, innovation, risk taking, self-confidence, work hard,
goal setting, dan accountability. Secara lebih rinci David McClelland yang dikutip oleh

3
Zimmerer dan Scarborough (2005:4-6) memberikan profil seorang entrepreneur sebagai
berikut :

a. Menyukai tanggung jawab.


b. Lebih menyukai risiko menengah.
c. Keyakinan atas kemampuan untuk meraih keberhasilan.
d. Hasrat untuk langsung mendapatkan umpan balik.
e. Tingkat energi yang tinggi.
f. Orientasi ke depan
g. Keterampilan mengorganisasi.
h. Menilai prestasi lebih tinggi daripada uang.
i. Komitmen yang tinggi.
j. Toleransi terhadap ketidakpastian.
k. Fleksibilitas.
l. Keuletan.

Ada satu hal yang harus diingat sebelum menerapkan entrepreneurial government, yaitu
pengambilan risiko. Birokrasi tidak bisa mengambil risiko dengan uang pembayar pajak.
Seorang entrepreneur government tidak mencari risiko tetapi mencari peluang ( Osborne
dan Gaebler (1992). Dengan demikian tidak ada uang negara yang hilang untuk sebuah
risiko, yang ada adalah dana untuk mendapatkan sebuah peluang. menutuoleh pajak yang
dibayar

Ada dua hal yang saling berkaitan yang harus dimiliki agar seorang entrepreneur sukses,
yaitu inovasi dan kreatifitas. Inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan solusi kreatif
terhadap masalah dan peluang. Kreatifitas adalah kemampuan untuk mengembangkan
gagasan-gagasan baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam melihat masalah dan
peluang (Zimmerer dan Scarborough, 2005:40). Theodore Levitt mengemukakan bahwa
kreatifitas adalah memikirkan hal-hal baru dan inovasi adalah mengerjakan hal-hal baru
(Zimmerer dan Scarborough (2005:40).

Dalam konteks organisasi public, pada bagian pengantar buku Reinventing Government,
Osborne dan Gaebler menyatakan bahwa:

“When we talk about Public Entrepreneurs, we means people who do …new ways to
maximize productivity and effectiveness….When we talk about the entrepreneurial

4
model, we mean public sector institutions that habitually act this way – that constantly
use their resources in new ways to heighten both their efficiency and their effectiveness”.

Dengan demikian, public entrepreneur seperti yang dimaksudkan oleh Osborne dan
Gaebler adalah aparat birokrasi yang memiliki kreatifitas dan inovasi sehingga dapat
memaksimalkan produktifitas dan efektifitas organisasi. Satu hal juga penting adalah
bahwa, entrepreneurial government yang dimaksudkan bukan menjadikan organisasi-
organisasi public sebagai sebuah unit bisnis yang bisa mendatangkan pendapatan bagi
negara. Osborne dan Gaebler (1992: 22) mengatakan“The fact that government cannot
be run just like business but does not mean it cannot become more entrepreneurial, of
course. Apa yang dimaksud entrepreneurial government lebih pada “ the new ways to
heighten both their efficiency and their effectiveness”. Artinya, konsep entrepreneurship
yang diadopsi oleh organisasi-organisasi public terbatas pada semangat kewirausahaan
(The entrepreneurial spirit).

Menurut Dawkins, “the entrepreneurial spirit is often difficult to define let alone
examine in detail because of its perception as a highly creative and dynamic entity”
(http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins). Meskipun semangat kewirausahaan itu
abstrak dan sulit untuk di definisikan, namun menurut Dawkins, ada beberapa konsep
yang melekat pada entrepreneurial spirit, yaitu :

a. Uniqueness
b. Creativity
c. Risk Taking
d. Business Savy
e. Developing Potential
f. Adaptability
g. Ultimately Destructive
(http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins)
Meskipun entrepreneurial spirit banyak ditemukan pada sektor bisnis seperti dikatakan
oleh Dawkins, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semangat inipun ditemukan
pada sector public, karena selain merupakan bakat, kreatifitas dapat juga diajarkan
(Joyce Wycoff, dalam Zimmerer dan Scarborough, 2005:44) seperti juga halnya

5
entrepreneurship. Setiap orang mempunyai kreatifitas dan inovasi dengan kadar yang
berbeda-beda. Karakter dan semangat kewirausahaan tidak hanya dimonopoli oleh orang
yang menciptakan dan mengelola suatu bisnis, tetapi bisa juga dimiliki oleh seorang
karyawan. Karyawan yang memiliki entrepreneurial spirit ini adalah orang yang
dipekerjakan oleh seseorang entrepreneur atau dikenal dengan intrapreneur. Intrapreneur
menurut Bridge et.al (1998) yang dikutip oleh Thompson (2011 : 463) adalah “…people
with entrepreneurial talent who are motivated to use their abilities and initiative and do
something on their own, but who may not want to start their own business.

Intrapreneur tidak hanya ada di organisasi privat tetapi juga banyak terdapat di
organisasi public. Artinya, dalam organisasi birokrasi juga terdapat banyak orang
berprilaku sebagai intrapreneur. Dengan demikian dalam konteks implementasi
pendekatan entrepreneurial government kita dapat kelompokkan aparat birokrasi dalam
dua kategori, yaitu intrapreneur, dan pegawai biasa (employees). Berdasarkan kategori
ini maka reinventing government yang dimaksudkan oleh Osborne dan Gaebler dapat
dilakukan dalam bidang pelayanan public dengan menjadikan intrapreneur government
sebagai ujung tombak.

Definisi yang diberikan oleh Bridge et.al tentang intrapreneur secara jelas dapat
dibedakan dengan entrepreneur. Intrapreneur adalah seseorang yang memiliki bakat
sebagai seorang entrepreneur yang termotivasi untuk menggunakan kemampuan dan
inisiatifnya dan melakukan sesuatu menurut caranya sendiri, tetapi tidak memiliki
keinginan untuk memulai bisnisnya sendiri. Intrapreneur muncul pada saat seseorang
mengajukan dan menjual ide-idenya pada organisasi dan membangun sebuah tim
pendukung. Mereka mengendalikan perubahan (Thompson, 2001 : 463). Seorang
intrapreneur memiliki karakter strategically aware, ideas-driven, creative, flexible,
innovative, good networkers, individualistic but also able to work well in team, persistent
and courageous (Thompson, 2001 : 463). Jadi jelas bahwa birokrat yang memiliki
karakteristik seperti ini dapat disebut sebagai intrapreneur government.

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa intrapreneur government adalah


seorang pegawai pemerintah yang memiliki motivasi dan inisiatif untuk menggunakan
kemampuan dan ide-idenya dalam bekerja sehingga tujuan organisasi dapat dicapai
secara efektif dan efisien. Karakter yang dimiliki oleh seorang intrapreneur government
adalah :

6
a. Kreatif dan inovatif.
b. Memanfaatkan peluang
c. Bekerja keras
d. Berorientasi pada hasil
e. Fleksibel
f. Bertanggung jawab.

2. Kualitas Pelayanan Publik

Dalam era kompetisi global seperti saat ini kualitas ditentukan oleh konsumen. Kualitas
menurut Deming adalah adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar (dalam Nasution,
2001 : 16). Dan menurut Garvin (dalam Tjiptono, 1996: 52) kualitas adalah suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan
tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau
konsumen. Ironisnya, kebanyakan organisasi publik tidak tahu siapa yang menjadi
konsumen mereka (Osborne dan Gaebler (1992 : 166). Akibatnya, kualitas dipersepsikan
sesuai dengan willingness mereka masing-masing. Dan kita tidak akan menemukan
standar kualitas yang sama dalam pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik.

Savas yang dikutip oleh Waluyo (2007 : 127) mengemukakan bahwa pada sektor publik,
terminologi pelayanan pemerintah diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh agen
pemerintah melalui pegawainya. Sedangkan pelayanan menurut Davidow adalah hal-hal
yang jika diterapkan terhadap sesuatu produk akan meningkat daya atau nilai terhadap
pelanggan (Lovelock dalam Waluyo, 2007:127). Hal yang paling penting adalah
membuat setiap orang dalam organisasi berorientasi pada kualitas. Dengan demikian,
kualitas pelayanan publik seharusnya memenuhi standar nilai yang dibutuhkan dan
diinginkan oleh publik sebagai konsumen.

Secara praktis kita tidak mungkin menyamakan antara organisasi publik dengan privat.
Ada banyak perbedaan yang menyebabkan kedua organisasi ini berbeda, seperti dalam
misi, tujuan,sumber pendapatan, dan lain-lainnya. Namun demikian, perkembangan
masyarakat menuntut kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik bisa
disamakan dengan kualitas pelayanan organisasi privat. Kesulitan bagi sektor publik
untuk memberikan pelayanan yang memenuhi standar kualitas sesuai dengan kebutuhan
masyarakat adalah karena mereka dibelenggu oleh berbagai aturan yang tidak membuka

7
ruang untuk berimprovisasi dan berinovasi. Sebagai organisasi pemerintah mereka
terikat pada jargon rules-driven organization. Setiap tindakan birokrasi dipantau
melalui berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Anti
Korupsi, yang menyebabkan sebagian besar birokrat memilih untuk ”tiarap” dari pada
beraksi tetapi dipenjarakan karena kesalahan prosedur.

Kualitas pelayanan publik seharusnya mengacu pada indeks kepuasan masyarakat sesuai
dengan KEPMENPAN Nomor 2 Tahun 2004, yaitu :

1. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan


untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenisnya.
2. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan (nama, jabatan, wewenang dan tanggung jawab).
3. Kedispilinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
layanan terutama berkaitan dengan konsistensi waktu sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
4. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung
jawab petugas dalm penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
5. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu keahlian dan keterampilan yang dimiliki
petugas dalam memberikan pelayanan.
6. Kecepatan pelayanan, yaitu waktu pelayanan sesuai dengan target yang
ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
7. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
8. Kesopanan dan kerahamahan petugas, ayitu sikap dan prilaku dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai
dan menghormati.
9. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu biaya pelayanan yang ditetapkan oleh unit
pelayanan dapat dijangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat.
10. Kepastian biaya pelayanan, yaitu keseuaian biaya pelayanan yang dibayarkan
dengan biaya yang ditetapkan.
11. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.

8
12. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi, dan teratur sehingga membeikan rasa nyaman kepada penerima
layanan.
13. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan maupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan.

Dan kualitas pelayanan publik yang diukur melalui indeks kepuasan masyarakat ini
dikuatkan lagi dengan dikeluarkannya KEPMENPAN Nomor 25 Tahun 2004 dimana
pelayanan publik harus memenuhi standar sebagai berikut :

1. Prosedur pelayanan dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk


prosedur pengaduan.
2. Waktu penyelesaian ditetapkan sejak saat pengajuan permohonsn sampai dengan
penyelesaian pelayanan, termasuk pengaduan.
3. Biaya pelayanan meliputi tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam
proses pemberian pelayanan.
4. Produk pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
5. Sarana dan prasarana yang memadai bagi penyelenggaraan pelayanan publik.
6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan
pengetahuan,keahlian, keterampilan, sikap, dan prilaku yang dibutuhkan.

Dengan dikeluarkannya Kepmenpan ini maka pelayanan publik diharapkan mampu


memberikan kualitas pelayanan yang bernilai bagi masyarkat yang dilayani melalui
pelayanan publik yang tepat, cepat, dan murah. Untuk mewujudkan kondisi seperti ini,
Husaini menyarankan agar organisasi publik mulai mengenali dinamika customers need
and wants, mengembangkan suatu kerangka pendekatan kearah pencapaian kepuasan
pelanggan, dan mempertemuk tujuan organisasi dalam rangka pencapaian kepuasan
pelanggan (dalam Waluyo, 2007 : 130) atau apa yang sebut Osborne dan Gaebler sebagai
“meeting needs of customer, not the bureaucracy” (1992 : 138)

Sebagai pembanding, Zethaml,dkk dalam Tangkilisan (2005 : 219) mengemukakan tolok


ukur kualitas layanan dapat dilihat dari 11 (sebelas) dimensi, yaitu :

9
1. Kenampakan fisik (tangible), yang terdiri dari fasilitas fisik, peralatan dan
personil.
2. Reliabilitas (reliability), yaitu kemampuan unit pelayanan untuk memberikan
pelayanan secara tepat.
3. Responsivitas (responsibility), yaitu kecepatan petugas untuk merespon keluhan
yang disampaikan konsumen.
4. Kompetensi (Competence), yaitu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh petugas pelayanan.
5. Kesopanan (Courtesey), yaitu sikap atau prilaku yang ramah, bersahabat, tanggap
terhadap keinginan konsumen dan mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.
6. Kredibilitas (Credibility), yaitu sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik
kepercayaan masyarakat.
7. Keamanan (Security), yaitu pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari
bahaya dan risiko.
8. Akses (Acces), yaitu adanya kemudahan untuk melakukan kontak dan
pendekatan.
9. Komunikasi (Communication), yaitu kemauan petugas untuk mendengarkan
keinginan dan aspirasi pelanggab sekaligus kesediaan untuk selalu memberikan
informasi kepada pelanggan.
10. Pengertian (Understanding), yaitu mau melakukan berbagai usaha untuk
memahami kebutuhan dan keinginan konsumen.
11. Akuntanbilitas (Accountability), yaitu pertanggungjawaban kepada pelanggan.

Lovelock (dalam Widodo, 2001 : 272) mengemukakan 5 (lima) dimensi kualitas jasa,
yaitu :
1. Tangible.
2. Reliability.
3. Responsiveness.
4. Assurance
5. Empathy
Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang dikutip oleh Widodo (2001 : 276) membuat
beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, yaitu :
1. Kesederhanaan.
2. Kejelasan dan kepastian.
10
3. Keamanan
4. Keterbukaan.
5. Efisiensi.
6. Ekonomis.
7. Keadilan yang merata.
8. Ketepatan waktu.
9. Kuantitatif.
Dari uraian di atas jelas bahwa pelayanan public yang diinginkan oleh masyarakat adalah
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan memenuhi
criteria kualitas. Dan dengan dengan dikeluarkannya Kepmenpan Nomor 2 dan 25 tahun
2004, serta kualitas pelayanan yang baik yang dikeluarkan oleh LAN, maka seharusnya
kaulitas pelayanan public yang diterima masyarakat bisa lebih baik.

3. Implementasi Model Entrepreneurial Government Untuk Meningkatkan


Kualitas Pelayanan Publik

Mengimplemantasikan model Entrepreneurial Government pada sector public bukanlah


suatu hal yang mudah. Dalam perspektif sumberdaya manusia, ada beberapa factor yang
bisa menjadi hkendala jika model ini diterapkan, yaitu :
a. Ketidaksiapan aparatur pemerintah terutama di tingkat bawah.
Masalah utama dalam dalam pelayanan public yang diberikan oleh birokrasi adaalah
rendahnya kualitas yang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan aparatur dalam
memberikan pelayanan. Hal in bisa disebabkan oleh 2 hal, yaitu pertama, masalah
karakter aparatur yang lebih lebih banyak menempatkan diri sebagai “tuan”
dibandingkan sebagai “pelayan”. Aparatur yang seperti ini biasanya tidak menyukai
perubahan karena dianggap mengamcam status quo. Kedua, masalah kompetensi
sebagian besar aparatur yang masih rendah sehingga mereka gagal mengartikulasikan
kepentingan public.

b. Ketidaksiapan peraturan pendukung.


Perubahan lingkungan global yang demikian cepat, ternyata tidak bisa diikuti oleh
peraturan perundangan-undangan yang ada untuk mendukung setiap upaya perbaikan
yang harus dilakukan. Akibatnya, aparat birokrasi harus menunggu perubahan peraturan
atau dibuatnya peraturan yang baru agar mereka tidak dipidanakan karena dianggap
menyalahi prosedur hukum.

11
c. Peraturan kepegawaian yang tidak up date.
Sebagian besar peraturan kepegawaian yang digunakan saat ini merupakan peraturan
lama yang dibuat pada awal orde baru. Demikian “rigit”nya aturan kepegawaian kita
sehingga semuannya dikeluarkan dalam bentuk undang-undang. Meskipun undang-
undang dapat diubah, namun untuk mengubahnya dibutuhkan waktu yang lama sehingga
selalu tertinggal dan tidak sesuai dengan kondisi pada saat diberlakukan.

Ketiga hal ini seharusnya menjadi suatu tantangan bagi pemerintah dalam rangka
reformasi birokrasi sehingga organisasi public dan birokrasi dapat berjalan secara efektif
dan efisien seiring dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan. Tantangan ini
semakin besar pada saat pemerintah masuk pada zona entrepreneurial government karena
spirit yang diinginkan ada pada aparat birokrasi harus didukung dengan cara melakukan
reformasi birokrasi secara besar-besaran.

Implementasi model entrepreneurial government membutuhkan prakondisi sebagai


starting point sebagai berikut :
a. Perubahan mindset aparatur birokrasi tentang konsep diri mereka dari “tuan” menjadi
pelayan, dan kualitas pelayanan. Hal ini sangat penting karena apapun yang akan
dilakukan selanjutnya tergantung pada mindset mereka. Ini bukan suatu hal yang
mudah untuk dilakukan karena telah terpatri kuat dalam benak mereka dan
diwujudkan dalam bentuk prilaku yang terkadang arogan. Muatan materi pendidikan
dan pelatihan prajabatan dan teknis untuk birokrat harus mulai menempatkan
masyarakat sebagai konsumen, dan bukan hanya sebagai “civil”.
b. Melakukan desentralisasi kewenangan sehingga setiap organisasi public memiliki
otonomi untuk menjalankan fungsinya. Hal ini pada gilirannya akan memberi
keleluasaan kepada aparatur negara untuk mengeluarkan ide-ide kreatif dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
c. Melakukan penilaian kinerja dengan indicator yang terukur dan transparan.
Penilaian kinerja aparatur negara dengan hanya menggunakan DP3 harus
ditinggalkan dan diganti dengan sistem penilaian kinerja yang lebih berorientasi pada
hasil dan dilakukan secara transparan. Suka atau tidak, penilaian kinerja melalui
DP3 selama ini tidak mampu prestasi kerja pegawai secara riil. Berbagai
penyimpangan terjadi, mulai dari pengisian nilai yang dilakukan sendiri oleh pegawai
12
yang bersangkutan sampai pada hasil penilaian yang cenderung meningkat dari tahun
ke tahun.
d. Menerapkan sistem kompensasi yang adil
Penjenjangan kepangkatan sebagai dasar penggolongan ruang gaji pegawai sudah
tidak bisa dipertahankan lagi karena ada unsure ketidakpuasan dikalangan pegawai
karena mereka dibayar sama dengan pegawai yang kinerjanya rendah. Pemerintah
harus mengubah bukan hanya standar gaji yang sudah tidak mencerminkan
pertumbuhan kebutuhan, tetapi juga memberikan berbagai macam jenis imbalan
dengan memperhatikan prestasi kerja, beban kerja, dan tingkat kerumitan kerja.
e. Menerapkan konsep the right man on the right place dengan masa jabatan yang
relative lama.
Praktek manajemen kepegawaian yang dilakukan selama ini harus diakui meninggal
banyak masalah karena penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan minat, bakat
dan kompetensinya. Sehingga tidak mengherankan jika ada pejabat public yang
bingung tidak tahu apa yang harus dikerja dan tidak tahu tugas pokok dan fungsinya.
Sistem penempatan pegawai yang sarat dengan aroma KKN yang ikut mewarnai
praktek kepegawaian harus dipangkas dengan mengfungsikan Badan Pertimbangan
Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) secara optimal

Kelima hal ini menjadi penting karena bisa memupuk dan meningkatkan semangat
entrepreneur dan intrapreneur yang dimiliki oleh aparatur public dan menciptakan
kepuasan kepada pemerintah. Robbins (2001 :77) mengatakan bahwa organisasi dengan
pegawai yang puas cenderung menjadi lebih efektif daripada organisasi dengan kepuasan
pegawai yang rendah. Dan dengan demikian produktifitas organisasinya juga lebih baik
daripada organisasi yang kepuasan kerja pegawainya rendah. Organisasi public yang
memiliki produktifitas yang tinggi dan efektif dalam menjalankan pelayanan akan
menciptakan kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan public. Kerangka
pemikiran dalam makalah ini secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut ini.

13
Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Reinventing
Government
Mindset
Desentralisasi
Penilaian kinerja
Sistem imbalan Entrepreneurial
Sistem
/intrapreneurial
penempatan
Government

Efisiensi Efektifitas

Kinerja
Layanan cepat Layanan murah
layanan
publik

Kualitas
Pelayanan
Publik

Harapan
publik

Reinventing Governmet yang dilakukan melalui entrepreneurial dan intrapreneurial


government mengharuskan suatu prakondisi. Dalam perspektif sumberdaya manusia,
yang harus dilakukan adalah mengubah mindset aparatur negara, desentralisasi
kewenangan yang memungkinkan otonomi yang lebih luas, penilaian kinerja yang
transparan, sistem imbalan dan kompensasi yang adil, dan penempatan pejabat yang
tepat sesuai dengan minat, bakat dan kompetensinya. Jika hal ini telah dilakukan maka
entrepreneur dan intrapreneur government akan bisa menjalankan organisasi public
secara efektif dan efisien sehingga pelayanan kepada public juga dapat dilakukan secara
cepat,tepat dan murah. Kinerja organisasi pelayanan public ini diharapkan mampu
mengartikulasikan harapan public tentang pelayanan yang berkualitas. Seberapa besar
perbandingan antara kinerja yang diberikan organisasi public dengan harapan public
merupakan kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi public. Semakin besar

14
hasil perbandingan semakin berkualitas pelayanan public yang diberikan menurut
persepsi public.

C. Kesimpulan
Kondisi sumberdaya aparatur negara saat ini belum siap untuk menerima suatu gagasan
baru yang disebabkan oleh karakter budaya birokrasi yang mereka warisi. Selain itu,
implementasi model juga akan terkendala oleh rendahnya kompetensi aparat sehingga
mereka tidak siap untuk memberikan pelayanan public yang lebih berkualitas.

Entrepreneurial dan intrapreneurial spirit dapat diajarkan dan harus dimiliki oleh
aparatur birokrasi yaitu (1) kreatif dan inovatif, (2) memanfaatkan peluang, (3) bekerja
keras, (4) berorientasi pada hasil, (5) fleksibel, dan (6) bertanggung jawab. Spirit ini
diharapkan mampu membawa aparatur birokrasi kearah kualitas pelayanan public yang
semakin baik.

Rekomendasi
Agar implementasi model entrepreneurial government ini berjalan secara optimal maka
pemerintah harus membuat berbagai regulasi dan melakukan deregulasi dibidang
kepegawaian terutama berkaitan dengan sistem penilaian prestasi kerja pegawai dan
sistem imbalan yang adil dan kompetitif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gay, Paul Du. 2005. The Values of Bureaucracy. Oxford University Press. New
York.

2. Kristiadi, JB. 1994. Administrasi/Manajemen Pembangunan. LAN-RI. Jakarta.

3. Nasution, MN. 2001. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management).


Ghalia Indonesia. Jakarta

4. Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government : How The
Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Published by Plume. USA

5. Robbins, P. Stephen. 2001. Organizational Behavior.9 th edition. Prentice Hall New


Jersey.

6. Siropolis, Nicholas, 1994. Small Business Management ; A Guide to


Entrepreneurship. 5th edition. Houhgton Miffin Company. USA

15
7. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. PT. Grasindo. Jakarta

8. Thompsom. John. L. 2001. Strategic Management. 4 th edition. Thomson Learning.


London.

9. Tjiptono, Fandy. 2006. Manajemen Jasa. Andi Yogyakarta


10. Waluyo. 2007. Manajemen Publik ; Konsep, Aplikasi, dan Implementasinya Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah. CV.Mandar Maju. Bandung

11. Widodo, Joko. 2001. Good Governance : Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada
Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendikia. Surabaya

12. Zimmer, Thomas W dan Norman M. Scarborough. 2005. Essential of


Entrepreneurship And Small Business Management. 4th edition. PT. Indeks. Jakarta

13. KEPMENPAN Nomor 2 Tahun 2004

14. KEPMENPAN Nomor 25 Tahun 2004

15. (http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins).

16

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai