net/publication/260155420
CITATIONS READS
0 3,490
1 author:
Nur Efendi
Lampung University
9 PUBLICATIONS 1 CITATION
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Sistem Informasi Pemberkasan Perkuliahan Berbasis Web Menggunakan Framework Laravel View project
All content following this page was uploaded by Nur Efendi on 13 February 2014.
A. Pendahuluan
Pemikiran manajemen public dalam dua dekade terakhir mengalami kembangan yang
sangat pesat. Isu globalisasi yang dihembuskan sejak tahun 1990-an ikut memacu para
ahli dan praktisi administrasi untuk turut memikirkan cara mengantisipasi tuntutan
perubahan yang terjadi. Globalisasi yang pada awalnya lebih bernuansa kepentingan
ekonomi negara industri untuk memasarkan produk-produk mereka ternyata melanda
hampir semua aspek kehidupan. Demam globalisasi berdampak secara luas pada
berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, politik, sosial budaya, dan lingkungan, yang
didukung oleh penggunaan teknologi tinggi dibidang informasi. Dengan globalisasi,
batas-batas negara menjadi semakin kabur karena saling terhubung satu sama lainnya
melalui teknologi informasi.
1
para pembayar pajak. Oleh sebab itu dibutuhkan organisasi birokrasi yang smaller,
better, faster, and cheaper (Osborne dan Gaebler,1992)
2
B. Pembahasan
Memperhatikan judul makalah ini, kesan pertama yang muncul adalah terlalu jauhnya
hubungan antara Entrepreneurial Government dengan kualitas pelayanan public. Hal ini
ada benarnya karena ada banyak variabel yang saling berkaitan dalam menciptakan suatu
layanan yang berkualitas. Salah satu variabel kunci adalah masyarakat sebagai
konsumen yang dilayani. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana
Entrepreneurial Government memberi dampak positif terhadap kualitas pelayanan
public, pembahasan selanjutnya dibagi dalam tiga sesi, yaitu Entrepreneurial
Government, kualitas pelayanan, dan implementasi model Entrepreneurial Government
untuk meningkatkan kualitas pelayanan public.
1. Entrepreneurial Government
Sebelum pembahasan ini dilanjutkan, ada baiknya dipahami terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan entrepreneur. American Heritage Dictionary mendefinisikan
entrepreneur sebagai “a person who organizes, operates, and assumes the risk for
business ventura” (dalam Siropolis, 1994: 37). Sementara Bolton dan Thompson yang
dikutip oleh Thompson (2001:425) mendefinisikan entrepreneur sebagai “a person who
habitually creates and innovates to build something of recognized value around
perceived opportunities”
Kedua definisi ini meskipun berbeda namun saling melengkapi karena beranjak dari dua
pendekatan yang berbeda. Siropolis lebih menekankan pengertian entrepreneur pada
orang yang mengelola suatu bisnis, dan menanggung risiko untuk bisnisnya. Sedangkan
definisi Bolton dan Thompson lebih menekankan pada sifat dan karakteristik yang
dimiliki oleh seorang entrepreneur, yaitu creates dan innovates untuk mendapatkan suatu
peluang. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan entrepreneur adalah orang yang
mengelola suatu bisnis dengan mengambil berbagai risiko dan ia menciptakan,
berinovasi untuk membangun sesuatu yang lebih bernilai untuk mendapatkan peluang
bisnis. Sedangkan entrepreneurship adalah “the capacity for innovation,investment, and
expansion in new market, product, and techniques”( Siropolis, 1994: 41).
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh seorang entrepreneur. Siropolis (1994:
43-49) mencatat beberapa ciri yaitu, innovation, risk taking, self-confidence, work hard,
goal setting, dan accountability. Secara lebih rinci David McClelland yang dikutip oleh
3
Zimmerer dan Scarborough (2005:4-6) memberikan profil seorang entrepreneur sebagai
berikut :
Ada satu hal yang harus diingat sebelum menerapkan entrepreneurial government, yaitu
pengambilan risiko. Birokrasi tidak bisa mengambil risiko dengan uang pembayar pajak.
Seorang entrepreneur government tidak mencari risiko tetapi mencari peluang ( Osborne
dan Gaebler (1992). Dengan demikian tidak ada uang negara yang hilang untuk sebuah
risiko, yang ada adalah dana untuk mendapatkan sebuah peluang. menutuoleh pajak yang
dibayar
Ada dua hal yang saling berkaitan yang harus dimiliki agar seorang entrepreneur sukses,
yaitu inovasi dan kreatifitas. Inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan solusi kreatif
terhadap masalah dan peluang. Kreatifitas adalah kemampuan untuk mengembangkan
gagasan-gagasan baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam melihat masalah dan
peluang (Zimmerer dan Scarborough, 2005:40). Theodore Levitt mengemukakan bahwa
kreatifitas adalah memikirkan hal-hal baru dan inovasi adalah mengerjakan hal-hal baru
(Zimmerer dan Scarborough (2005:40).
Dalam konteks organisasi public, pada bagian pengantar buku Reinventing Government,
Osborne dan Gaebler menyatakan bahwa:
“When we talk about Public Entrepreneurs, we means people who do …new ways to
maximize productivity and effectiveness….When we talk about the entrepreneurial
4
model, we mean public sector institutions that habitually act this way – that constantly
use their resources in new ways to heighten both their efficiency and their effectiveness”.
Dengan demikian, public entrepreneur seperti yang dimaksudkan oleh Osborne dan
Gaebler adalah aparat birokrasi yang memiliki kreatifitas dan inovasi sehingga dapat
memaksimalkan produktifitas dan efektifitas organisasi. Satu hal juga penting adalah
bahwa, entrepreneurial government yang dimaksudkan bukan menjadikan organisasi-
organisasi public sebagai sebuah unit bisnis yang bisa mendatangkan pendapatan bagi
negara. Osborne dan Gaebler (1992: 22) mengatakan“The fact that government cannot
be run just like business but does not mean it cannot become more entrepreneurial, of
course. Apa yang dimaksud entrepreneurial government lebih pada “ the new ways to
heighten both their efficiency and their effectiveness”. Artinya, konsep entrepreneurship
yang diadopsi oleh organisasi-organisasi public terbatas pada semangat kewirausahaan
(The entrepreneurial spirit).
Menurut Dawkins, “the entrepreneurial spirit is often difficult to define let alone
examine in detail because of its perception as a highly creative and dynamic entity”
(http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins). Meskipun semangat kewirausahaan itu
abstrak dan sulit untuk di definisikan, namun menurut Dawkins, ada beberapa konsep
yang melekat pada entrepreneurial spirit, yaitu :
a. Uniqueness
b. Creativity
c. Risk Taking
d. Business Savy
e. Developing Potential
f. Adaptability
g. Ultimately Destructive
(http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins)
Meskipun entrepreneurial spirit banyak ditemukan pada sektor bisnis seperti dikatakan
oleh Dawkins, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semangat inipun ditemukan
pada sector public, karena selain merupakan bakat, kreatifitas dapat juga diajarkan
(Joyce Wycoff, dalam Zimmerer dan Scarborough, 2005:44) seperti juga halnya
5
entrepreneurship. Setiap orang mempunyai kreatifitas dan inovasi dengan kadar yang
berbeda-beda. Karakter dan semangat kewirausahaan tidak hanya dimonopoli oleh orang
yang menciptakan dan mengelola suatu bisnis, tetapi bisa juga dimiliki oleh seorang
karyawan. Karyawan yang memiliki entrepreneurial spirit ini adalah orang yang
dipekerjakan oleh seseorang entrepreneur atau dikenal dengan intrapreneur. Intrapreneur
menurut Bridge et.al (1998) yang dikutip oleh Thompson (2011 : 463) adalah “…people
with entrepreneurial talent who are motivated to use their abilities and initiative and do
something on their own, but who may not want to start their own business.
Intrapreneur tidak hanya ada di organisasi privat tetapi juga banyak terdapat di
organisasi public. Artinya, dalam organisasi birokrasi juga terdapat banyak orang
berprilaku sebagai intrapreneur. Dengan demikian dalam konteks implementasi
pendekatan entrepreneurial government kita dapat kelompokkan aparat birokrasi dalam
dua kategori, yaitu intrapreneur, dan pegawai biasa (employees). Berdasarkan kategori
ini maka reinventing government yang dimaksudkan oleh Osborne dan Gaebler dapat
dilakukan dalam bidang pelayanan public dengan menjadikan intrapreneur government
sebagai ujung tombak.
Definisi yang diberikan oleh Bridge et.al tentang intrapreneur secara jelas dapat
dibedakan dengan entrepreneur. Intrapreneur adalah seseorang yang memiliki bakat
sebagai seorang entrepreneur yang termotivasi untuk menggunakan kemampuan dan
inisiatifnya dan melakukan sesuatu menurut caranya sendiri, tetapi tidak memiliki
keinginan untuk memulai bisnisnya sendiri. Intrapreneur muncul pada saat seseorang
mengajukan dan menjual ide-idenya pada organisasi dan membangun sebuah tim
pendukung. Mereka mengendalikan perubahan (Thompson, 2001 : 463). Seorang
intrapreneur memiliki karakter strategically aware, ideas-driven, creative, flexible,
innovative, good networkers, individualistic but also able to work well in team, persistent
and courageous (Thompson, 2001 : 463). Jadi jelas bahwa birokrat yang memiliki
karakteristik seperti ini dapat disebut sebagai intrapreneur government.
6
a. Kreatif dan inovatif.
b. Memanfaatkan peluang
c. Bekerja keras
d. Berorientasi pada hasil
e. Fleksibel
f. Bertanggung jawab.
Dalam era kompetisi global seperti saat ini kualitas ditentukan oleh konsumen. Kualitas
menurut Deming adalah adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar (dalam Nasution,
2001 : 16). Dan menurut Garvin (dalam Tjiptono, 1996: 52) kualitas adalah suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan
tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau
konsumen. Ironisnya, kebanyakan organisasi publik tidak tahu siapa yang menjadi
konsumen mereka (Osborne dan Gaebler (1992 : 166). Akibatnya, kualitas dipersepsikan
sesuai dengan willingness mereka masing-masing. Dan kita tidak akan menemukan
standar kualitas yang sama dalam pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik.
Savas yang dikutip oleh Waluyo (2007 : 127) mengemukakan bahwa pada sektor publik,
terminologi pelayanan pemerintah diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh agen
pemerintah melalui pegawainya. Sedangkan pelayanan menurut Davidow adalah hal-hal
yang jika diterapkan terhadap sesuatu produk akan meningkat daya atau nilai terhadap
pelanggan (Lovelock dalam Waluyo, 2007:127). Hal yang paling penting adalah
membuat setiap orang dalam organisasi berorientasi pada kualitas. Dengan demikian,
kualitas pelayanan publik seharusnya memenuhi standar nilai yang dibutuhkan dan
diinginkan oleh publik sebagai konsumen.
Secara praktis kita tidak mungkin menyamakan antara organisasi publik dengan privat.
Ada banyak perbedaan yang menyebabkan kedua organisasi ini berbeda, seperti dalam
misi, tujuan,sumber pendapatan, dan lain-lainnya. Namun demikian, perkembangan
masyarakat menuntut kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik bisa
disamakan dengan kualitas pelayanan organisasi privat. Kesulitan bagi sektor publik
untuk memberikan pelayanan yang memenuhi standar kualitas sesuai dengan kebutuhan
masyarakat adalah karena mereka dibelenggu oleh berbagai aturan yang tidak membuka
7
ruang untuk berimprovisasi dan berinovasi. Sebagai organisasi pemerintah mereka
terikat pada jargon rules-driven organization. Setiap tindakan birokrasi dipantau
melalui berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Anti
Korupsi, yang menyebabkan sebagian besar birokrat memilih untuk ”tiarap” dari pada
beraksi tetapi dipenjarakan karena kesalahan prosedur.
Kualitas pelayanan publik seharusnya mengacu pada indeks kepuasan masyarakat sesuai
dengan KEPMENPAN Nomor 2 Tahun 2004, yaitu :
8
12. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi, dan teratur sehingga membeikan rasa nyaman kepada penerima
layanan.
13. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan maupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan.
Dan kualitas pelayanan publik yang diukur melalui indeks kepuasan masyarakat ini
dikuatkan lagi dengan dikeluarkannya KEPMENPAN Nomor 25 Tahun 2004 dimana
pelayanan publik harus memenuhi standar sebagai berikut :
9
1. Kenampakan fisik (tangible), yang terdiri dari fasilitas fisik, peralatan dan
personil.
2. Reliabilitas (reliability), yaitu kemampuan unit pelayanan untuk memberikan
pelayanan secara tepat.
3. Responsivitas (responsibility), yaitu kecepatan petugas untuk merespon keluhan
yang disampaikan konsumen.
4. Kompetensi (Competence), yaitu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh petugas pelayanan.
5. Kesopanan (Courtesey), yaitu sikap atau prilaku yang ramah, bersahabat, tanggap
terhadap keinginan konsumen dan mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.
6. Kredibilitas (Credibility), yaitu sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik
kepercayaan masyarakat.
7. Keamanan (Security), yaitu pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari
bahaya dan risiko.
8. Akses (Acces), yaitu adanya kemudahan untuk melakukan kontak dan
pendekatan.
9. Komunikasi (Communication), yaitu kemauan petugas untuk mendengarkan
keinginan dan aspirasi pelanggab sekaligus kesediaan untuk selalu memberikan
informasi kepada pelanggan.
10. Pengertian (Understanding), yaitu mau melakukan berbagai usaha untuk
memahami kebutuhan dan keinginan konsumen.
11. Akuntanbilitas (Accountability), yaitu pertanggungjawaban kepada pelanggan.
Lovelock (dalam Widodo, 2001 : 272) mengemukakan 5 (lima) dimensi kualitas jasa,
yaitu :
1. Tangible.
2. Reliability.
3. Responsiveness.
4. Assurance
5. Empathy
Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang dikutip oleh Widodo (2001 : 276) membuat
beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, yaitu :
1. Kesederhanaan.
2. Kejelasan dan kepastian.
10
3. Keamanan
4. Keterbukaan.
5. Efisiensi.
6. Ekonomis.
7. Keadilan yang merata.
8. Ketepatan waktu.
9. Kuantitatif.
Dari uraian di atas jelas bahwa pelayanan public yang diinginkan oleh masyarakat adalah
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan memenuhi
criteria kualitas. Dan dengan dengan dikeluarkannya Kepmenpan Nomor 2 dan 25 tahun
2004, serta kualitas pelayanan yang baik yang dikeluarkan oleh LAN, maka seharusnya
kaulitas pelayanan public yang diterima masyarakat bisa lebih baik.
11
c. Peraturan kepegawaian yang tidak up date.
Sebagian besar peraturan kepegawaian yang digunakan saat ini merupakan peraturan
lama yang dibuat pada awal orde baru. Demikian “rigit”nya aturan kepegawaian kita
sehingga semuannya dikeluarkan dalam bentuk undang-undang. Meskipun undang-
undang dapat diubah, namun untuk mengubahnya dibutuhkan waktu yang lama sehingga
selalu tertinggal dan tidak sesuai dengan kondisi pada saat diberlakukan.
Ketiga hal ini seharusnya menjadi suatu tantangan bagi pemerintah dalam rangka
reformasi birokrasi sehingga organisasi public dan birokrasi dapat berjalan secara efektif
dan efisien seiring dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan. Tantangan ini
semakin besar pada saat pemerintah masuk pada zona entrepreneurial government karena
spirit yang diinginkan ada pada aparat birokrasi harus didukung dengan cara melakukan
reformasi birokrasi secara besar-besaran.
Kelima hal ini menjadi penting karena bisa memupuk dan meningkatkan semangat
entrepreneur dan intrapreneur yang dimiliki oleh aparatur public dan menciptakan
kepuasan kepada pemerintah. Robbins (2001 :77) mengatakan bahwa organisasi dengan
pegawai yang puas cenderung menjadi lebih efektif daripada organisasi dengan kepuasan
pegawai yang rendah. Dan dengan demikian produktifitas organisasinya juga lebih baik
daripada organisasi yang kepuasan kerja pegawainya rendah. Organisasi public yang
memiliki produktifitas yang tinggi dan efektif dalam menjalankan pelayanan akan
menciptakan kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan public. Kerangka
pemikiran dalam makalah ini secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut ini.
13
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Reinventing
Government
Mindset
Desentralisasi
Penilaian kinerja
Sistem imbalan Entrepreneurial
Sistem
/intrapreneurial
penempatan
Government
Efisiensi Efektifitas
Kinerja
Layanan cepat Layanan murah
layanan
publik
Kualitas
Pelayanan
Publik
Harapan
publik
14
hasil perbandingan semakin berkualitas pelayanan public yang diberikan menurut
persepsi public.
C. Kesimpulan
Kondisi sumberdaya aparatur negara saat ini belum siap untuk menerima suatu gagasan
baru yang disebabkan oleh karakter budaya birokrasi yang mereka warisi. Selain itu,
implementasi model juga akan terkendala oleh rendahnya kompetensi aparat sehingga
mereka tidak siap untuk memberikan pelayanan public yang lebih berkualitas.
Entrepreneurial dan intrapreneurial spirit dapat diajarkan dan harus dimiliki oleh
aparatur birokrasi yaitu (1) kreatif dan inovatif, (2) memanfaatkan peluang, (3) bekerja
keras, (4) berorientasi pada hasil, (5) fleksibel, dan (6) bertanggung jawab. Spirit ini
diharapkan mampu membawa aparatur birokrasi kearah kualitas pelayanan public yang
semakin baik.
Rekomendasi
Agar implementasi model entrepreneurial government ini berjalan secara optimal maka
pemerintah harus membuat berbagai regulasi dan melakukan deregulasi dibidang
kepegawaian terutama berkaitan dengan sistem penilaian prestasi kerja pegawai dan
sistem imbalan yang adil dan kompetitif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gay, Paul Du. 2005. The Values of Bureaucracy. Oxford University Press. New
York.
4. Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government : How The
Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Published by Plume. USA
15
7. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. PT. Grasindo. Jakarta
11. Widodo, Joko. 2001. Good Governance : Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada
Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendikia. Surabaya
15. (http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins).
16