Anda di halaman 1dari 10

DISKUSI 11

MANAJEMEN STRATEJIK (EKMO5309.01)

Pertanyaan

Dear all,

Pendekar Bodoh 
Hari Jumat (15/2) lalu saya ketemu Pak David Marsudi, presiden direktur jaringan
restoran D’Cost. Orang satu ini luar biasa nyentrik-nya. Dia misalnya, menyebut dirinya
sebagai pendekar bodoh (nama perseroan D’Cost adalah PT. Pendekar Bodoh). Kenapa? Karena,
menurut dia, menjadi pengusaha itu harus terus-terusan merasa bodoh. “Karena merasa bodoh,
maka kemudian Kita harus terus belajar. Kalau Kita sudah pintar, Kita berhenti belajar,” ujarnya.
Pada saat mau ketemu Pak David, kebetulan saya melewati meja resepsionis dengan latar
belakang logo D’Cost Academy, training center jaringan resto bersemboyan: “Mutu Bintang
Lima, Harga Kaki Lima” ini. Yang mengusik saya adalah tagline D’Cost Academy yang
bunyinya menggelitik, “Stupid Guys Keep Learning“; orang bodoh selalu belajar. Intinya, tagline
itu ingin mengatakan, semua karyawan D’Cost adalah orang bodoh, Dan karena itu akan selalu
belajar. “Kami adalah orang-orang bodoh berjiwa pendekar,” tukasnya.
Ruarrr biasa!!! Terus terang, setelah hampir dua jam saya ngobrol dengan Pak David, saya jadi
malu abis karena selama ini saya merasa pinter Dan sok keminter. Padahal sesungguhnya nggak
Ada apa-apanya dibanding Pak David hehehe.

Giving
Yang membuat saya salut luar biasa ke Pak David adalah prinsip bisnisnya yang meneduhkan.
Begini bunyi falsafah bisnisnya: “Hanya konsentrasi pada apa yang dapat Anda berikan, jangan
kawatir atas apa yang akan Anda dapatkan“. Intinya, D’Cost harus memberi, memberi, Dan
memberi. Semakin banyak memberi, maka ujung-ujungya akan semakin banyak
mendapatkan. The more you give, the more you get!!!

Pak David memberi perumpamaan pendulum: “Ketika dilempar, maka pada akhirnya pendulum
pasti akan kembali.” Saya kemudian iseng menimpali, “Tapi masalahnya, kapan pendulum itu
akan balik Pak?” Dengan tangkas IA menjawab, “mungkin saat itu juga, mungkin sebulan
kemudian, mungkin setahun kemudian, bisa juga bertahun-tahun kemudian. Nggak masalah, itu
semua Tuhan yang atur, Kita manusia tak usah repot-repot mikirin,” jawabnya enteng.
Prinsip memberi inilah yang melandasi kenapa Pak David memilih restoran sebagai bidang
usahanya. “Karena restoran itu menampung banyak pegawai,” ujarnya. Kalau bisnis D’Cost
sukses, maka makin banyak karyawan yang ditampung, semakin banyak berkah diberikan
kepada karyawan. Karena itu Pak David punya spirit bahwa D’Cost harus menjadi “distributor
rezeki” bagi bagi para karyawan Dan siapapun yang berbisnis dengan D’Cost. Wow betapa
indahnya.
Memerdekakan
Berkah yang diberikan D’Cost, kata Pak David, tak hanya kepada karyawan Dan partner bisnis.
Yang terutama justru kepada konsumen. Apa itu? Pak David bercerita bahwa model bisnis
D’Cost sesungguhnya simpel, yaitu: menjadikan makanan-makanan yang dulunya nggak
terjangkau oleh kantong rakyat kecil, kini menjadi terjangkau. “Mimpi saya adalah menjadikan
rakyat kecil bisa makan masakan hotel berbintang tapi dengan harga yang terjangkau oleh

1 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
kantong mereka,” papar Pak David mengenai falsafah di balik tagline “Mutu Bintang Lima,
Harga Kaki Lima.”
Contohnya seafood. Selama ini Kita mengenal seafood sebagai masakan Mahal, tapi oleh D’Cost
kini dibikin murah sehingga terjangkau rakyat jelata. Pak David kini juga sedang merintis
restoran susi Jepang yang bakal buka sebentar lagi. Prinsipnya sama, kalau selama ini masakan
susi Mahal Dan hanya Ada di hotel berbintang, maka kini harus menjadi murah Dan terjangkau
rakyat kecil. “Nanti Kita akan bikin restoran Italia, restoran Amerika, restoran Eropa dengan
harga rakyat jelata,” tambahnya.
Jadi prinsip giving di sini diterjemahkan sebagai memerdekakan rakyat kecil yang ingin
merasakan Dan menikmati masakan Mahal, masakan hotel, atau masakan luar negeri, yang
selama ini tak terjangkau oleh isi kocek mereka.
Pengusaha Bodoh
Ada lagi konsep bisnis nyleneh Pak David yang membuat saya berpikir tujuh keliling. Yaitu
argumentasi Pak David yang menyebut dirinya sebagai “pengusaha bodoh“. Dia bilang bahwa,
kini pasar dipenuhi oleh “konsumen pintar” Dan “pengusaha pintar“. Ciri konsumen pintar
adalah IA minta mutu tinggi tapi dengan harga semurah mungkin. Sementara ciri pengusaha
pintar adalah IA memberikan mutu tinggi tapi dengan harga berlipat-lipat lebih tinggi. “Kalau
konsumen Dan pengusaha sama-sama pintar, maka ini nggak akan ketemu-ketemu,” jelas Pak
David.
Karena itu, Pak David memosisikan diri sebagai “pengusaha bodoh“. Apa cirinya pengusaha
bodoh? Yaitu ketika dia memberikan mutu setinggi mungkin, tapi memasang harga semurah
mungkin (yup, ini namanya “ngajak bangkrut” hehehe). “Saya bisa pastikan, konsumen
pintar lebih suka pada pengusaha bodoh dibanding pengusaha pintar. Itu sebabnya saya memilih
menjadi pengusaha bodoh,” seloroh Pak David berargumen.
Secara logika model bisnis yang diambil Pak David selintas nggak masuk akal. Bagaimana bisa
memberikan mutu tinggi, tapi harga murah? Tapi justru inilah indahnya prinsip bisnis Pak David.
Intinya kalau niatnya ikhlas untuk memberikan yang terbaik untuk konsumen, maka Tuhan akan
memberikan yang terbaik untuk Kita. Pendulum yang dilempar pasti pada waktunya akan
kembali. Inilah indahnya prinsip memberi. Its the power of giving.
Nyentrik
Untuk memberikan gambaran bagaimana prinsip giving ini dijalankan Pak David, coba Kita
simak program-program promosi nyleneh Dan melawan arus (yup, paradoks) yang dijalankan
D’Cost. Ambil contoh program “Diskon Umur“. Program ini memberikan diskon ke konsumen
sesuai umur yang tertera di KTP. Kalau umur Anda 30 tahun maka Anda dapat diskon 30%.
Kalau umur Anda 80 tahun Anda dapat diskon 80%. Lalu bagaimana kalau umur Anda 104
tahun? “Anda malah dapat cash back, habis makan malah dapat duit,” ujar pak David.
Kwkwkwwkkw!!!
Contoh program nyleneh lain adalah program “Hamil Baru Bayar“. Program ini memberikan
kesempatan para pasangan untuk merayakan pernikahan di D’Cost gratis untuk 300 kursi plus
dekorasi pelaminan. Bayarnya kapan? Bayarnya setelah si istri hamil. Begini bunyi iklannya:
“Pesta Pernikahan Sekarang Hamil Baru Bayar.. (Tidak Hamil, Gratis)“. Ada juga program
“Uang dan Doa” dimana konsumen membayar makanan di D’Cost dengan “Separo Uang,
Separo Doa“. Syaratnya, si konsumen wajib mendoakan orang lain dalam secarik kertas, doa
inilah yang dipakai untuk membayar separo harga makanan yang dipesan. Kwkwwkwkw!!!
Seperti halnya saya, Anda para pembaca pasti bertanya-tanya: “Konsumen usia 104 tahun makan
di D’Cost nggak bayar malah dapat duit, apa itu nggak bikin bangkrut?” Atau, “Pasangan

2 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
menggelar resepsi gratis di D’Cost tapi setelah hamil menghilang nggak bayar, apa itu nggak
bikin bangkrut?” Inilah sekali lagi keindahan dari spirit of giving. Barangkali memang banyak
pasangan yang tidak balik ke D’Cost saat istrinya hamil, tapi bagi pak David itu tidak jadi
masalah. “Dari program-progran yang unik itu kita mendapatkan simpati dari konsumen dan ini
bisa memicu promosi dari mulut ke mulut yang nilai rupiahnya bisa miliaran,” ujar pak David
tangkas, “pokoknya nggak usah kawatir,” itu semua Tuhan yang atur.
Kini bahkan pak David sedang mempersiapkan gerai bakery-nya dengan merek D Stupid Baker.
Yang menarik adalah tagline-nya yang berbunyi: “5 Star Quality, Stupid Price“. Yang lebih
menarik adalah nama perusahaan yang menaungi D’Stupid Baker, yaitu PT Bocuan Gapapa.
Mau tahu apa maksudnya? Bocuan Gapapa maksudnya “nggak profit nggak papa” yang penting
memberi.. kwkwkkwkwkwkk.
Mengikuti pengalaman saya ngobrol dengan pak David, mungkin Anda kini mulai terbuka lebar
hatinya. Barangkali Anda mulai sepakat dengan saya bahwa, setelah membaca kolom ini kita
harus menjadi orang bodoh. Orang bodoh yang berjiwa pendekar. Orang bodoh yang
bersenjatakan spirit memberi. Sekali lagi: Its the power of giving.

Dari kasus di atas, mahasiswa diminta untuk mendiskusikan materi tersebut. Untuk memulai
diskusi saya berikan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Dari kasus di atas, apakah Restoran D’Cost sudah melakukan evaluasi strategi?
Berikan critical review anda berdasarkan sumber referensi baik yang mendukung (PRO)
maupun yang tidak mendukung komentar anda (KONTRA).
2. Apakah Restoran D’Cost bisa dikatakan telah menerapkan konsep “Misfit” (Hamel and
Prahalad)?
3. Apakah Restoran D’Cost bisa dikategorikan sebagai perusahaan yang mengedepankan
prinsip spiritualitas? Berikan alasan berdasarkan sumber referensi

Diskusi ini dinilai

3 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
Tanggapan

Dalam diskusi ini, saya coba share tanggapan terkait dengan permasalahan di atas. Mohon
pencerahan, saran dan feedbacknya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Dari kasus di atas, apakah Restoran D’Cost sudah melakukan evaluasi strategi?
Berikan critical review anda berdasarkan sumber referensi baik yang mendukung
(PRO) maupun yang tidak mendukung komentar anda (KONTRA).

Secara umum, proses implementasi strategi, Cetro dan Peter (1990) memberikan suatu model
tentang tugas-tugas utama yang seharusnya dilakukan dalam proses implementasi strategi seperti
tampak pada gambar berikut.

Gambar 1. Implementasi Strategi menurut Certo & Peter.

Berdasarkan Gambar 1 di atas, terlihat bahwa tahap implementasi dan evaluasi strategi ini
merupakan tahap akhir dalam implementasi strategi. Dalam tahap ini manajemen sudah harus
mempunyai gagasan yang jelas mengenai tingkat perubahan yang diinginkan, baik menyangkut
struktur organisasi, budaya perusahaan maupun gaya kepemimpinan. Menurut Thomas V.
Bonoma  dalam Hari Purnomo dan Zulkiflimansyah (1999), untuk melakukan tahap
implementasi dan evaluasi strategi dengan baik dan berhasil, manajemen perusahaan perlu
terbiasa dan membiasakan diri dengan empat jenis keahlian dasar, yaitu:
(a) Kemampuan Berinteraksi (Interacting Skills)
Kemampuan ini ditunjukkan dengan kapabilitas manajemen perusahaan dalam berinteraksi
dan berempati dengan berbagai perilaku dan sikap orang lain untuk mencapai tujuannya
(b) Kemampuan Mengalokasi (Allocation Skills)
Kemampuan  ini diperlukan untuk menunjang kemampuan manajemen dalam menjadwallkan
tugas-tugas, anggaran waktu, serta sumberdaya-sumberdaya lain secara efisien.
(c) Kemampuan Memonitoring (Monitoring Skills)
Kemampuan ini meliputi kapabilitas perusahaan dalam menggunakan informasi secara
efisien untuk memperbaiki atau menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam proses
implementasi.

4 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
(d) Kemampuan Mengorganisasikan (Organizing Skills)
Merupakan kemampuan untuk menciptakan jaringan atau organisasi informal dalam rangka
menyesuaikan diri dengan berbagai masalah yang mungkin terjadi.
Setelah melakukan implementasi strategi, agar manajemen dapat mengetahui bahwa strategi
yang telah diimplementasikan sudah  sesuai dengan strategi yang telah diformulasikan,  maka
strategi tersebut harus dievaluasi. Materi  ini tidak dijelaskan pada pembahasan kali ini,
namun  akan dijelaskan pada bab lain.

Sedangkan menurut Hunger (1996), untuk memulai proses implementasi, pihak manajemen
harus memperhatikan 3 (tiga) pertanyaan berikut.
(a) Siapa yang akan melaksanakan rencana strategis yang telah diformulasikan?
(b) Apa yang harus dilakukan?
(c) Bagaimana sumberdaya manusia yang bertanggungjawab dalam implementasi akan
melaksanakan berbagai aspek yang diperlukan?

Di samping itu secara konsep dan implementasi dalam manajemen stratejik, evaluasi strategi
sangat penting bagi keberhasilan organisasi, dan evaluasi yang dilakukan pada saat yang tepat
dapat membuat manajemen menyadari adanya masalah atau yang berpotensi menjadi masalah
sebelum keadaan menjadi lebih parah.
Pada dasarnya evaluasi dan pengendalian strategi merupakan aktivitas membandingkan
keadaaan yang terjadi dengan standar atau situasi yang dikehendaki dan selanjutnya melakukan
tindakan-tindakan untuk mengembalikan keadaaan ke jalur yang dikehendakinya.
David (2013) menyatakan bahwa evaluasi dan pengendalian strategi mencakup tiga aktivitas
utama (1) menelaah landasan strategi organisasi, (2) membandingkan hasil aktual dengan hasil
yang diharapkan, dan (3) melakukan tindakan perbaikan (koreksi) untuk memastikan bahwa
kinerja sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan Wheelen dan Hunger menjelaskan bahwa
proses tersebut dapat dipandang sebagai model umpan-balik lima langkah yang terdiri dari (1)
menentukan apa yang akan diukur, (2) menetapkan standar kinerja, (3) mengukur kinerja aktual,
(4) membandingkan kinerja aktual dengan kinerja standar, dan (5) melakukan tindakan
perbaikan.

Dalam melakukan evaluasi strategi yang efektif, pihak-pihak yang seharusnya terlibat adalah
pemegang saham, dewan direksi, sekretaris perusahaan, serta kepala divisi dan para pemegang
jabatan yang terkait dengan implementasi strategi perusahaan. Selain itu, ada beberapa ukuran
yang dapat dievaluasi dalam pelaksanaan evaluasi strategi baik kriteria kualitatif maupun
kuantitatif, yaitu:
 Pencapaian penjualan
 Marjin laba
 Pangsa pasar
 Tingkat profitabilitas perusahaan
 Likuiditas perusahaan
 Solvabilitas perusahaan, dsb

Berdasarkan konsep dan teori diatas terkait evaluasi strategi, maka menurut pendapat saya
“Restoran D’Cost” sudah melakukan evaluasi strategi. Hal ini berdasarkan beberapa hal di
bawah ini

5 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
Dalam konsep persaingan global yang ketat, perlu dicari strategi yang tepat bagi perusahaan
agar mampu bersaing di level tertinggi. Strategi sebagai alat untuk mencapai tujuan jangka
panjang dari sebuah perusahaan, disadari betul oleh D’cost dan mulai dengan menerapkan slogan
“Mutu Bintang Lima, Harga Kaki Lima” seakan menjawab kebutuhan para pelanggan dan calon
pelanggannya akan makan enak dengan harga terjangkau.Tagline ini selanjutnya
dikomunikasikan secara sangat jelas dan dimengerti oleh para pelanggan setianya dan calon
pelanggan berikutnya.
Untuk mendapatkan dan mempertahankan keunggulan kompetitive (competitive advantage),
‘Cost juga menerapkan strategi dengan pemanfaatan teknologi informasi dengan menggunakan
layanan dari perangkat IT sebagai alat pencatat pesanan yang terhubung langsung dengan
komputer di dapur dan di kasir, yang cukup efektif untuk meningkatkan waktu pelayanan
terhadap pelanggan termasuk meminimalisasi kesalahan dalam order.
Strategi bisnis lain yang dilakukan oleh D’Cost adalah dengan strategi mengontrol harga,
tanpa menguarangi kualitas produk yang diberikan. Dengan harga yang sangat kompetitif
dibandingkan para pesaingnya, namun D’Cost mampu menyguhkan produk yang dengan kualitas
di atas rata-rata. Konsistensi dari kualitas yang diberikan oleh D’Cost merupakan keunggulan
strategi D’Cost setelah melakukan banyak inovasi dari hasil proses evaluasi strategi yang
dilakukannya.
Dalam konteks promosi produk, D’Cost, dengan penerapan Unique Selling Point (USQ),
Above The Line (ATL), dan pemilihan media promosi yang konsisten serta efektif, menjadikan
produk-produk D’Cost mudah dikenali dan diminati oleh calon-calon pelanggan baru.
Sedangkan pelanggan lama, susah untuk pindah ke lain produk. Proses pengembangan D’Cost
dengan konsep D’cost harus banyak yang tahu, yang sudah tahu mau datang, yang datang mau
beli, yang beli mau kembali lagi dan punya cukup cash untuk tumbuh , melalui promo-promo
yang kreatif seperti seperti up to you price yaitu makan bayarnya terserah, diskon umur, uang
dan doa yaitu promo setiap hari raya keagamaan, dan hamil baru bayar yang adalah promo
resepsi pernikahan di gerai D'Cost.menjadikan D’Cost semakin banyak diminati. Proses ini
tentunya melalui proses perjalanan panjang hasil dari evaluasi strategi bisnis D’Cost.
Keunggulan lain dari D’Cost setelah melalui proses ealuasi strategi dari manajemen D’Cost
adalah keberhasilannya untuk mengisi gap di sub-segmen pasar pada saat yang tepat. Ketika
merek yang sudah ada sibuk dengan dirinya sendiri dan mempunyai masalah yang tidak
disadarinya (hidden issues), D’Cost berhasil memberikan solusi yang pas sebagai penyelesaian
masalah konsumen. Dalam hal ini D’Cost berhasil memanfaatkan momentum untuk tetap
menancapkan bisnisnya pada level yang tinggi dan kompetitif.

2. Apakah Restoran D’Cost bisa dikatakan telah menerapkan konsep “Misfit” (Hamel
and Prahalad)?

Strategi, menurut Hamel dan Prahalad merupakan tindakan yang bersifat senantiasi
meningkat (incremental) dan terus menerus serta dilakukan berdasarkan dari sudut pandang
tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggandi masa depan. Dengan dimikan perencanaan
strategi hampir selalu dimulai dari “apa yang dapat terjadi”, bukan dimulai dari “apa yang
terjadi”. Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola konsumen memerlukan
kompetensi inti (core competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis
yang dilakukan”.

6 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
Lebih lanjut dikatakan bahwa hanya kapabilitas yang memiliki kriteria tertentu yang dapat
dimasukkan sebagai kompetensi inti. Kapabilitas tersebut antara lain:
1. Valuable Capabilities. Kapabilitas yang memungkinkan perusahaan dapat memanfaatkan
peluang dan meminimalkan ancaman yang dihadapi.
2. Rare Capabilities. Kapabilitas yang dimiliki oleh sangat sedikit pesaing.
3. Imperfectly Imitable Capabilities. Kapabilitas yang tidak mudah dikembangkan oleh para
pesaing.
4. Non-Substitutable Capabilities. Kapabilitas yang tidak dapat disubsitusikan

Teori misfit menekankan bahwa tiap organisasi akan mengadaptasi struktur dengan
menggeser keadaan yang tidak cocok (misfit) sebagai akibat adanya performansi rendah kepada
keadaan cocok (fit), dimana ada keteraturan untuk mencapai efektifitas dan performansi
organisasi, atau perubahan struktural sifat positif dan produktif terhadap organisasi.
Hamel dan Prahalad mengatakan lebih lanjut bahwa perusahaan yang hanya mengejar
menjadi rarnping dan lebih cepat lewat restrukturisasi, downsizing dan yang sebangsanya akan
tetap kalah. Demikian pula yang hanya mencoba mencari proses yang lebih baik lewat
reinjiniring. Dikatakan bahwa sebuah perusahaan akan survive bila perusahaan tersebut
menciptakan sesuatu yang berbeda. Untuk menjadi berbeda, maka perusahaan harus menciptakan
cara dan aturan main yang baru dan selalu inovatif.
Berdasarkan teori di atas, maka D’Cost telah menerapkan konsep misfit. D’cost memulai
konsep dengan mengarah pada dasar pemikiran Prahalad dan hamel dimana persaingan meraih
masa depan adalah persaingan untuk menciptakan dan mendominasi peluang yang muncul
dengan memperebutkan ruang bersaing yang baru melalui inovasi-inovasi produk yang
menjanjikan. Tentunya inovasi ini akan sangat erat kaitanya dengan konsep bahwa menciptakan
masa depan lebih menantang dibandingkan mengejar ketertinggalan. D’cost lebih suka
menciptakan sesuatu yang baru dibandingkan dengan mengikut iproduk yang sudah ada. Di sini
D’Cost akan menciptakan jalur bisnis tersendiri, yang berbeda dengan perusahaan lainnya.
Inovasi yang berbeda yang dipilih D’Cost untuk mempertahankan segmen pasar yang telah
dimiliki dan juga memperluas pelanggan baru merupakan bentuk implementasi dari teori
Prahalad dan Hamel. Tentunya D’cost menyadari adanya tantangan dimana menembus
ketidakpastikan dan mengembangkan wawasan ke depan. Hal lain yang disiapkan oleh D’Cost
adalah pengarah strategi yang akan memberikan blue print dalam membangun kompetensi yang
diperlukan untuk mendominasi dan menguasai pasar di masa depan.
Dengan konsep yang diterapkannya, maka D’Cost, tidak perlu memikirkan ketidakcocokan
antara tujuan dan sumber daya tetapi lebih mengutamakan penciptaaan tujuan terbaru yang
memperluas tujuan awal (stretch goals) dengan melibatkan para karyawan untuk mencapai apa
yang kelihatannya tidak mungkin menjadi mungkin terjadi melalu strategi yang dinamis dan
inovatif serta leverage resource yang ada. Disini terlihat bahwa D’Cost dalam proses menguasi
pasar, dilakukan dengan “breaking managerial frame” dan mengubah paradigma fit menjadi
“stretch dan leverage” yaitu dengan menggunakan konsep RBV (Resource-Based View).
Perusahaan tidak sekedar fokus pada kegiatan-kegiatan manajerial dan pemasaran saja, namun
hal terpenting yang harus dilakukan adalah memaksimalkan kapasitas internal melalui
peningkatan kompetensi inti dari internal perusahaan itu sendiri baik financial maupun non
financial.

7 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
Lebih jauh D’Cost mempercayai bahwa sebuah perusahaan akan berhasil meraih
keuntungan di atas rata-rata bukan karena mempunyai sumberdaya yang baik, tetapi bagaimana
menggunakan sumberdaya secara lebih baik dan efektif pada setiap level aktivitas.

3. Apakah Restoran D’Cost bisa dikategorikan sebagai perusahaan yang mengedepankan


prinsip spiritualitas? Berikan alasan berdasarkan sumber referensi

Kesadaran spiritual diperlukan sebagai kekuatan untuk mengatasi efek sistem kapitalisme
bisnis pada pemikiran bisnis dan manajemen yang merusak lingkungan maupun kehidupan
manusia. Dengan kesadaran spiritualitas, maka sukses material (profit, uang, aset) maupun
sukses sosial (reputasi, brand, citra) tanpa dibarengi kesuksesan spiritual dapat menimbulkan
ketimpangan tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri tapi juga bagi masyarakat, lingkungan,
maupun bangsa. Jika motif-motif spiritual ini berhasil ditanamkan ke dalam manajemen, maka
manajemen bisnis yang semula bersifat kapitalis akan menunjukkan wajahnya yang lebih
spiritual.
Tanpa disadari perkembangan bisnis dengan menekankan nilai-nilai spiritual mengalami
periode yang mengagumkan. Kini telah banyak ahli manajemen dan kepemimpinan modern yang
menyadari pentingnya nilai-nilai spiritual untuk menyertai kegiatan bisnis, antara lain mencakup
kejujuran, semangat, atau optimisme, kebijaksanaan, serta keberanian  dalam mengambil
keputusan dan bertindak. Jack Welch, CEO dari General Electric mengatakan bahwa yang
dibutuhkan saat ini adalah pemimpin-pemimpin yang memiliki landasan spiritual untuk
memimpin sebuah perusahaan.
Gay Hendricks, dan Kate Ludeman (2002), konsultasi manajemen senior yang meneliti
dengan mengambil sampel 800 manajer perusahaan, menyimpulkan: "Dalam era pasar global,
akan ditemukan 'orang-orang suci' di perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi
modern, bukan diwihara, kuil, gereja, atau masjid."
Hasil wawancara Hendricks dan Kate Ludeman serta hasil penelitian Kouzes dan Posner
menyimpulkan, di masa depan, keberhasilan bisnis akan diperoleh jika berbisnis dilandasi nilai-
nilai spiritual. Padahal, di masa lampau, ketika dunia belum mengenal teori tentang nilai-nilai
spiritual, kepemimpinan, bisnis, dan manajemen Muhammad sudah membuktikan dirinya
sebagai pebisnis dan pemimpin yang melekat dengan nilai-nilai spiritual, bahkan nilai-nilai
spiritual yang melekat pada diri beliau, bersumber dari segala sumber keagungan nilai. Itulah
nilai-nilai Islam.
Manusia adalah makhluk yang paling cerdas dan kompleks di muka bumi. Potensi
kecerdasan itu secara umum dibagi menjadi IQ (Intelligence Quotients), EQ (Emotional
Quotients), SQ (Spiritual Quotients) dan ESQ (Emotional and Spiritual Quotients).
Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa IQ adalah kemampuan manusia untuk menalar,
merencanakan sesuatu, memecahkan masalah, belajar, berfikir dan sebagainya yang pada intinya
adalah kecerdasan otak manusia. Sedangkan EQ adalah kemampuan manusia untuk
mengendalikan emosi, memotivasi diri, ketekunan, bertahan dalam menghadapi frustasi dan
lainnya.
Nah, SQ disini bukan berarti selalu berhubungan dengan agama, dia tidak bergantung pada
budaya dan nilai. SQ adalah kecerdasan spiritual, kecerdasan dari dalam hati, kecerdasan yang
membangun manusia secara utuh, menjadikan kita kreatif dalam menghadapi masalah pribadi
dan mencoba melihat makna yang terkandung didalamnya.

8 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
Secara umum, diidentifikasikan ada enam manfaat yang didapat perusahaan dengan
menyandarkan bisnisnya pada aspek spiritualitas. (1) Perusahaan akan jauh dari berbagai
kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi akibat 'menghalalkan segala cara'. Karena, dari sinilah
kebangkrutan perusahaan dimulai. (2) Meningkatnya produktivitas dan kinerja perusahaan. (3)
Terbangunnya suasana kerja yang harmonis atau hadirnya sinergi di antara karyawan dan
pimpinan perusahaan. (4) Meningkatkan citra (image) positif perusahaan. (5) Perusahaan
menjadi tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan (sustainable company). (6)
Menurunkan perpindahan (turnover) karyawan.
Berangkat dari konsep-konsep bisnis dan spiritual di atas, maka Perusahaan yang ingin
menerapkan konsep spiritual dalam organisasi dan bisnisnya, akan mereview kembali visi dan
misi perusahaan sehingga pada akhirnya akan mampu segaris dan optimum dalam
mengembangkan dan menjalankan bisnis perusahaan.
Penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis akan melibatkan semua level
dalam organisasi. Aktivitas ini akan dilakukan oleh orang per orang, oleh unit
kerja, oleh para manajer dan pimpinannya, atau oleh organisasinya secara
keseluruhan. Perkembangan ini menjadikan organisasi bisnis menjadi lebih
bersahabat, lebih menciptakan lingkungan kreatif, membantu kehidupan,
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan membahagiakan karyawan.
Spiritualitas dalam organisasi bisnis dapat didefinisikan sebagai sebuah
pengakuan bahwa karyawan memiliki kehidupan dalam dirinya (inner life)
yang dipelihara dengan pekerjaan yang bermakna dan memiliki peran dalam
konteks komunitas. (Ashmos, Duncon, dan Laine, 1999).
Spiritualitas dalam pekerjaan adalah sebagai sebuah perjalanan menuju
kesatuan antara pekerjaan dan spiritualitas, bagi individu dan organisasi,
yang memberikan arahan, keutuhan, dan keterhubungan dalam dalam
pekerjaan.
Seperangkat nilai-nilai spiritualitas yang sudah dibahas sebelumnya
tentunya baru akan memberikan dampak dan peranan bagi kinerja individu
atau organisasi ketika nilai-nilai tersebut terwujud dalam perilaku dan sistem
organisasi. Penerapan spiritualitas dalam organisasi bisnis dapat dilihat dari
berbagai level organisasi mulai dari level individual, level kelompok, level
kepemimpinan, dan level organisasi.
Berdasarkan konsep diatas, maka dapat disimpulkan bahwa D’cost telah melakukan
pendekatan spiritual dalam menjalankan bisnisnya. Kesadaran adanya manfaat yang besar,
menjadikan konsep spiritual sebagai salah satu pilar utama D’Cost untuk menghadapi persaingan
yang ketat dalam bisnisnya.
Falsafah bisnis D’Cost dengan tema give and receive dan juga konsep “Hanya konsentrasi
pada apa yang dapat Anda berikan, jangan khawatir atas apa yang akan Anda dapatkan”
menunjukan perilaku yang baik yang perusahaan yang mengedepankan spiritualitas. Konsep
memberi akan memberi makna yang lebih jauh dimana D’Cost dan teamnya dituntut untuk
mampu menggali kaingin dan kebutuhan dasar dari konsumen, sehingga akan mampu
memetakan apa yang dapat diberi kepada konsumen. Secara bersamaan, dengan metode promo
yang interaktif dengan pendekatan spiritual, seperti Program Paket Nikah, “Hamil Dulu Baru
Bayar” memberikan nuansa yang berbeda dan penuh energi positif bagi perusahaan.

9 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1
Konsep-konsep spiritual banyak diterapkan oleh D’Cost untuk mendobrak pola dan strategi
konvensional dari perusahaan selama ini dan tentunya sangat membantu perkembangan dari
D’Cost dalam mengembangkan bisnisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Certo, Samuel dan Paul Peter (1990). Strategic Management, New York: McGraw Hill.
Cara inovatif dcost dan panorama ramu strategi untuk jarring pelanggan. Diunduh tanggal 21
November 2019 dari World Wide Web: https://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/d-
3040926/cara-inovatif-dcost-dan-panoramaramu-strategi-untuk-jaring-pelanggan
D’Cost: Berkontribusilah, maka Tuhan akan mengatur Rejekimu. Diunduh tanggal 21 November
2019 dari World Wide Web: https://marketplays.id/talk/thread/dcost-berkontribusilah-
maka-tuhan-akan-mengat/256
David, Fred R. (2005). Strategic Management: Concepts and Cases 10th Edition. New Jersey:
Prentice Hall.
Gunarto, Muji. (2019). Diktat Kuliah - Manajemen Stratejik. Diunduh 21 November 2019, dari
situs World Wide Web: https://elearning.ut.ac.id/
Hunger, J. David dan Thomas Wheelen, (1996). Strategic Management 5th Edition. New York:
Addison Wesley.
Maulana, Agus. (2019). Manajemen Strategik Cetakan Keempat. Tangerang Selatan: Penerbit
Universitas Terbuka.
Purnomo, Setiawan Hari dan Zulkiflimansyah. (1999). Manajemen Strategi: Sebuah Konsep
Pengantar. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Satyagraha, Tomy. (2016). Spiritualitas Dalam Organisasi Bisnis. Diunduh tanggal 21 November
2019 dari World Wide Web: www.academia.edu

10 |M a n a j e m e n S t r a t e j i k – E K M O 5 3 0 9 . 0 1

Anda mungkin juga menyukai