Pada masa penjajahan Belanda, terdapat dualisme hukum yang berlaku di Indonesia yaitu
berlakunya hukum agraria barat di satu pihak dan hukum agraria menurut hukum adat di pihak
lain. Hukum agraria barat berlaku bagi warga negara Belanda dan orang-orang asing lainnya
yang tunduk pada hukum barat, termasuk bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang
Barat seperti Jepang. Sedangkan hukum agraria menurut hukum adat berlaku bagi warga negara
asli (pribumi). Hukum barat dikodifikasikan dalam Burgerlijk Wetboek (B.W) sedangkan hukum
adat merupakan hukum rakyat asli yang tidak tertulis.
Agrarische Wet
Agrarische Wet merupakan dasar bagi hukum agraria pemerintah Belanda yang dibuat di negri
Belanda pada tahun 1870 (Stb.tahun 1870 no.55). Agrarische Wet lahir atas desakan modal besar
swasta pada waktu dijalankan stelsel tanam paksa pada pertengahan abad 19.
A. Tujuan Agrarische Wet adalah:
a. Memberi kesempatan pihak swasta agar mendapatkan tanah luas dengan sewa murah
Hak pakai (menyewa tanah)
b. Pemerintah boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan umum
c. Golongan bumi putera diberi kesempatan mengkonvensi HAT untuk menjadi
egendom.
Agrarische Besluit
Pelaksanaan daripada ketentuan-ketentuan Agrarische Wet ini diatur dalam berbagai peraturan
dan keputusan. Salah satu yang terpenting ialah Koningklijke Besluit yang terkenal dengan nama
Agrarische Besluit dan dimuat dalam Stb no.118. Di dalam Agrarische Besluit pasal 1 termuat
pernyataan penting yang terkenal dengan sebutan “Domein Verkaling“, yang berisi ketentuan
bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendomnya maka tanah tersebut domeinnya,
adalah domein negara.
Disamping domein verkaling yang bersifat umum di dalam perundang undangan agraria Barat
masih terdapat lagi pernyataan domein yang khusus berlaku bagi daerah-daerah tertentu yang
disebut Speciale Domein Verkaling. Pernyataan ini terdapat di dalam pasal 1dari beberapa
Ordonansi Erfpacht sebagai berikut:
untuk Sumatra (Stb tahun 1874 no 94f)
untuk kresidenan menado (Stb.tahun 1877 no 55)
untuk keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur (Stb tahun 1888 no 58)
Domein Verkaling mempunyai beberapa fungsi:
sebagai landasan negara untuk memberi hak-hak barat seperti:hak eigondom,hak opstal, hak
erfpacht dan lain-lain. Menurut pemerintah Hindia Belanda hanya satu eigenaar (pemilik) saja
yang dapat memberikan tanah dengan hak barat,oleh sebab itu perlu negara yang menyatakan
dirinya sebagai eigenar
untuk keperluan pembuktian sehingga negara tidak perlu membuktikan hak eigondomnya dalam
suatu perkara. Pihak lainlah yang harus membuktikan haknya itu.
Dalam tahun 1918 dikeluarkan ordonansi yang mula-mula diberi nama Grondhur Reglementvoor
de Residentie Soerakarta en Yogyakarta yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1918 No. 20
dan pada tahu 1928 diubah namanya menjadi Vorstenlands Grondhur Reglement (V.G.R).
Dengan peraturan ini pengusaha asing dapat memperoleh hak atas tanah dengan cara Konversi.
Maksudnya ialah pergantian/perubahan hak atas tanah,yaitu memperkenankan kepada pengusaha
asing untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu melalui Beschikking dari Raja.
Pada tahun 1948, usaha-usaha yang konkret menyusun dasar-dasar Hukum Agraria yang akan
menggantikan Hukum Agraria warisan dari pemerintah kolonial, diwujudkan dalam bentuk
Panitia Agraria.
Panitia ini dibentuk karena adanya Penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21
Mei 1948 No. 16. Panitia Agraria Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo.
Tugas dari panitia ini yaitu untuk memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai soal-soal
hukum tanah pada umumnya; merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria
Negara Republik Indonesia; merancang perubahan, pergantian, pencabutan peraturan-peraturan
lama, baik dari sudut legislative maupun sudut praktik dan menyelidiki soal-soal lain yang
berhubungan dengan hukum tanah.
Beberapa usulan asas-asas yang merupakan Hukum Agraria, antara lain :
1) Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
2) Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat yaitu hak
milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
3) Diadakan penyelidikan dalam peraturan-peraturan Negara lain.
4) Perlu diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauperisme diantara
petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang layak.
5) Perlunya penetapan luas maksimum
6) Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh Sarimin
Reksodiharjo.
7) Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting.
Panitia Agraria Jakarta
Panitia ini dibentuk dengan pertimbangan, Panitia Agraria Yogyakarta tidak sesuai lagi dengan
keadaan Negara. Maka tanggal 19 Maret 1951 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 36/1951 Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk panitia baru yang
berkedudukan di Jakarta, panitia ini masih diketuai oeh Sarimin Reksodiharjo. Pada dasarnya
tugas panitia ini hamper sama dengan Panitia Agraria Yogyakarta.
Kesimpulan panitia mengenai soal tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu :
8) Mengadakan batas minimum.
9) Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga.
10) Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga Indonesia.
11) Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum : hak milik, hak usaha, hak sewa
dan hak pakai.
12) Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan pokok-
pokok dasar Negara.
Panitia Soewahjo
Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55/1955 pada tanggal 29 Maret 1955
dibentuklah Kementrian Agraria yang tugasnya mempersiapkan pembentukan perundang-
undangan agrarian nasional.
Pada masa jabatan Menteri Agraria Goenawan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
tanggal 14 Januari 1956 No. 1/1956. Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk panitia
baru yang diketuai Soewahjo Soemodilogo.
Tugas utamanya mempersiapkan rencana undang-undang Pokok Agraria yang nasional, sedapat-
dapatnya dalam waktu satu tahun.
Tahun 1957 panitia telah berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria,
pokok-pokoknya adalah :
13) Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus ditundukkan pada
kepentingan umum (Negara).
14) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara.
15) Dulisme hukum agraria dihapuskan.
16) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial, ada hak
usaha, hak bangunan dan hak pakai.
17) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warganegara Indonesia.
18) Perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi
milik seseorang atau badan hukum.
19) Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
20) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
b.Rancangan Soenarjo
Dengan adanya perubahan mengenai sistematika dan rumusan beberapa pasal. Rancangan
panitia Soewahjo tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo. Rancangan Soenarjo telah
dibicarakan dalam sidang pleno DPR pada tingkat Pemandangan Umum babak pertama.
Untuk melanjutkan pembahasannya DPR membentuk suatu panitia ad-hoc. Sejak itu
pembicaraan RUU UUPA dalam sidang pleno menjadi tertunda dan ditarik kembali oleh kabinet.
c. Rancangan Sadjarwo
Dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Rancangan tersebut disetujui oleh
Kabinet Inti dan Kabinet Pleno dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR).
Rancangan Sadjarwo secara tegas menggunakan Hukum Adat sebagai dasarnya, berbeda dengan
rancangan Soenarjo yang tidak tegas konsepsi yang melandasinya.
Pengesahan dan pengundangan
Setelah selesai dilakukannya pembahasan dan pemeriksaan pendahuluan, pada tanggal 14
September 1960 dengan suara bulat DPR-GR menerima baik Rancangan UUPA yang diajukan
oleh Sadjarwo.
Pada tanggal 24 September 1960 Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui DPR-GR
tersebut disyahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian disingkat dengan nama Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA).
Catatan Artikel: