Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN TENTANG PENYITAAN ASSET KORUPTOR SEBAGAI LANGKAH

PEMBERIAN EFEK JERA

Oleh :

Muhammad Zainul Arifin, Irsan, Meria Utama

Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, Palembang


Email : zainulakim4@gmail.com, irsan_cintahfh@yahoo.com, meriautama@yahoo.com

Abstract
The fundamental problem faced by this nation is corruption which is increasingly sophisticated in
its mode. Almost every year the capture operations carried out by the Corruption Eradication
Commission continue to rise. On the one hand what is done by the KPK must be appreciated. But
from the other side we should realize that corrupt behavior is increasingly pervasive every day
and increasingly sophisticated mode. So that extraordinary crime efforts must continue. For 2018
alone, the KPK has succeeded in securing the risk of state losses reaching 500 billion rupiah.
However, if there is no preventive effort to prevent state losses from corruption, then the KPK's
position will only continue to be a thief catcher, not a peace giver. One of the ideas in this text is
the seizure of corruptor assets as a way to give a deterrent effect to the perpetrators. Namely in
the form of ways to provide deterrent effects to reduce corruption in this country

Keywords: Asset Foreclosure, Corruption, Deterrent Effects

Abstrak
Persoalan mendasar yang dihadapi oleh bangsa ini adalah korupsi yang makin canggih modusnya.
Hampir setiap tahun operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
terus naik. Disatu sisi apa yang dilakukan oleh KPK harus diapresiasi. Namun dari sisi lain
harusnya kita menyadari bahwa perilaku korupsi makin menggurita tiap harinya dan makin
canggih modusnya. Sehingga upaya extraordinary crime harus terus dilakukan. Untuk tahun 2018
saja KPK berhasil mengamankan resiko kerugian negara yang mencapai 500 miliar rupiah. Namun
jika tidak ada upaya preventif untuk mencegah kerugian negara oleh tindak korupsi maka posisi
KPK hanya akan terus menjadi penangkap maling bukan pemberi kedamaian. Salah satu gagasan
yang ada dalam naskah ini adalah penyitaan asset koruptor sebagai cara untuk memberikan efek
jera bagi pelakunya. Yakni berupa cara pemberian efek jera guna mengurangi korupsi di negara
ini.

Kata Kunci : Penyitaan Asset, Korupsi, Efek Jera


A. PENDAHULUAN

Dalam pandangan hukum salah satu aspek penting dari kaidah dasar adalah bagaimana sebuah
aturan ditegakkan dan dapat menjadi batasan bagi masyarakat untuk patuh dan taat pada aturan
yang berlaku. Aturan hukum yang dibuat dapat menjadi efektif dalam implementasinya jika
ditegakkan dan diberi sanksi bagi para pelaku saat terjadi kesalahan tersebut.1 Hal ini sejalan
dengan gagasan konsep hukum represif yang menghukum pelaku tindak pidana kejahatan guna
terciptanya ketertiban dan kedamaian di wilayah suatu Negara. Hal ini menjadi penting sebab
dalam konsep kriminologi sebuah kejahatan dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan
extraordinarycrime jika memenuhi tujuH kriteria.

Pertama, kejahatan itu terlihat dampak korbannya secara luas dan multidimensional. Kedua,
kejahatan itu bersifat transaksional, terorganisir, dan didukung tekhnologi modern di bidang
komunikasi dan informasi. Ketiga, merupakan predicate crimes pidana pencucian uang. Keempat,
memerlukan pengaturan hukum acara pidana yang khusus. Dan kelima memerlukan lembaga-
lembaga yang menukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan wewenang luas. Keenam,
kejahatan itu dilandasi oleh konvensi internasional yang merupakan treaty based crimes. Ketujuh,
kejahatan tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk oleh
masyarakat (people condemnation) baik nasional maupun internasional.2

Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi secara global dan menjangkit semua elemen di
negeri ini adalah korupsi. Secara spesifik korupsi merupakan kejahatan extraordinarycrime yang
penanganannya tidak bisa dikategorikan sebagai penanganan biasa seperti tindak pidana pada
umumnya. Korupsi di Indonesia dimasukkan kedalam kejahatan khusus yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Pandangan yang salah selama ini melihat hukum hanya dalam bias yang tergambar seolah-olah
korupsi hanya menyangkut masalah hukum sehingga kalau sebuah kasus belum diatur dalam
hukum hal itu bukan korupsi. Demikian juga bias sentris Negara memberi gambaran seolah-olah
kesalahan koruptor hanya sejauh menyangkut urusan Negara. Misalnya dalam peran jabatan
pemerintah. Bias ekonomi memberi gambaran bahwa korupsi seolah-olah hanya berkaitan dengan
soal kerugian dalam bentuk uang.3

Secara umum orang-orang menilai bahwa korupsi hanya berkaitan dengan kerugian Negara
dan hilangnya penerimaan Negara terhadap uang yang dimiliki. Padahal korupsi pada akhirnya
menyebabkan kerusakan berupa hancurnya tatanan sosial sebab korupsi memiliki cakupan terkait
dengan perusakan atau pembusukan yang dalam kehidupan sosial bisa menyangkut
penyelewengan moral dn kemerosotan norma-norma yan berlaku di masyarakat.

1
Eddy OS Hiariej, Penegakan Hukum Kejahatan Luar Biasa, Kompas Kolom Opini, 28 Desember 2018.
2
Eddy OS Hiariej, Ibid
3
A. Sudiarja, Merawat Kegelisahan, Memprovokasi Imajinasi, Kompas Kolom Opini, 28 Desember 2018.
Ada banyak langkah-langkah yang sudah coba dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagai cara meminimalisir perilaku korup pejabat daerah di seluruh Indonesia. Namun sejauh ini
langkah KPK belum sepenuhnya efektif sebab koruptor yang dipidana dan selesai menyelesaikan
hukumannya dapat kembali menjadi pejabat di daerah dan diberi kepercayaan oleh kepala daerah
atau koruptor tersebut dapat ikut dalam kontestasi politik untuk maju menjadi anggota DPR/DPRD
sehingga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada pejabat publik. Melihat fenomena diatas
maka penulis ingin mengkaji terkait perampasan asset yang dimiliki koruptor sebagai langkah
dalam memberi efek jera dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

B. METODE PENELITIAN

Sesuai dengan masalah yang diteliti, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif.
Untuk mencari dan menemukan jawaban atas masalah dalam penelitian ini, digunakan pendekatan
perundang-undangan (statue approach) yang terkait dengan Kejahatan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Data yang digunakan untuk mengkaji masalah yang diteliti meliputi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, Undang-undang No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
bahan hukum primer berupa karya-karya ilmiah dan hasil penelitian para ahli hukum, khususnya
yang terkait dengan Tindak pidana korupsi. Data dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan,
kemudian dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif.

C. KERANGKA KONSEPTUAL

Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak
lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.4
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan di seluruh dunia ini rentan korupsi dalam
praktiknya. Beratnya korupsi tentu berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan
korupsi berat yang diresmikan. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan
administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang
ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan kerugian bagi
masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya.5
Dari sudut pandang ekonomi, para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret.
Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi,
imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar

4
Arif Barda Nawai, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Penerbit Kencana Predana Group, Jakarta, Hlm 5
5
Harahap, Krisna, 2009, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung, Grafiti
norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang
yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta.
Dari pengertian korupsi yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Korupsi
adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain
sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang mengakibatkan
kerugian keuangan pada negara. Atau tindakan penyelewengan atau penggelapan uang baik itu
uang Negara atau uang lainnya yang dilakukan untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Bisa juga diartikan sebagai tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam
suatu masalah atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Atau suatu kegiatan yang
merugikan kepentingan publik dan masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu
Tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan publik dimana tidak dibutuhkan
laporan oleh siapapun sebagai syarat untuk melakukan proses hukum terhadap orang yang diduga
melakukan tindakan tersebut. Jika dalam pidana umum proses hukum dimulai dari tahap
penyelidikan oleh pihak Kepolisian sebelum dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan, dalam tindak
pidana korupsi penyelidikan juga bisa dilakukan oleh Kejaksaan sehingga proses hukum tidak
harus melalui tahap di Kepolisian.
Setelah melewati tahap penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan melalui Jaksa Penuntut
Umum (JPU) akan menyerahkan dakwaan ke Pengadilan. Jika dakwaan diterima, maka setelah
pemeriksaan di Pengadilan, JPU akan mengajukan tuntutan yang memuat dakwaan dan vonis yang
diminta kepada hakim untuk dijatuhkan kepada terdakwa. Atas keputusan Pengadilan, baik JPU
maupun terdakwa bisa mengajukan upaya banding, baik melalui banding di Pengadilan Tinggi dan
juga Kasasi di Mahkamah Agung. Pada kasus di mana Pengadilan memberi putusan bebas atau
menolak dakwaan, JPU bisa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.6
Tidak ada ketentuan lamanya proses di tiap-tiap instansi penegak hukum kecuali peraturan
dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur secara tegas berapa lama
seorang tersangka dapat ditahap selama proses hukum berlangsung. Meski demikian, perlu
diperhatikan adanya Surat Edaran dari Kejaksaan Agung tentang percepatan penanganan kasus
korupsi dan Surat Edaran Mabes Polri tentang pengutamaan penanganan kasus dugaan korupsi
yang memberi batasan waktu spesifik bagi masing-masing instansi dalam memproses kasus
dugaan korupsi.

Pembayaran ganti kerugian dalam kasus tindak pidana korupsi termasuk dalam pidana
tambahan selain putusan penjatuhan hukuman pidana dan denda. Pidana tambahan dalam tindak
pidana korupsi dapat berupa:

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,

6
Taufik RInaldi, dkk, Memerangi Korupsi Di Indonesia Yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan
Korupsi Pemerintahan Daerah, Justice For The Poor Project Bank Dunia, Hlm 48
termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu
pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut,
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi,
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun,
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana,
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk memenuhi uang pengganti
tersebut.7

Eksekusi pidana pembayaran ganti kerugian ini sebenarnya dilakukan sama seperti
eksekusi kasus pidana pada umumnya, hanya yang menjadi pembeda adalah adanya batas waktu
bagi terpidana untuk membayar uang pengganti tersebut setelah putusan mempunyai kekuatan
hukum tetap serta diharuskan menyerahkan harta bendanya untuk menutup pembayaran uang
pengganti apabila terpidana mampu membayarnya.

Penyitaan terhadap suatu benda dapat dilakukan jika benda tersebut memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), yaitu :8
a. Seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana.
b. Telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya.
c. Dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d. Khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
e. Mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Penyitaan aset merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau
mencegah beralihnya harta kekayaan dari terpidana korupsi. Praktik penyitaan aset di awali dengan
proses pelacakan aset yang dilakukan sejak dalam tahap penyelidikan. Harta kekayaan inilah yang
akan diputuskan oleh pengadilan, untuk disita untuk mengembalikan kerugian keuangan negara
apabila terpidana korupsi tidak mampu membayar pidana uang pengganti yang ditetapkan oleh
hakim atau sebagai pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan.9

7
Francis Fukuyama, 2005, Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, Hlm 21
8
Lilik Mulyadi, 2011, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya,
Bandung, PT Alumni, Hlm 2
9
Fauzul Romansyah, Pelaksanaan Penyitaan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian
Negara (Studi Di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung), Universitas Lampung, Hlm 1
Upaya pengembalian aset negara “yang dicuri” (stolen asset recovery) dari hasil tindak
pidana korupsi sangatlah tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tindak pidana korupsi
memiliki akses yang cukup luas dan sulit dijangkau dalam menyimpan maupun melakukan
pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Pernyataan serupa juga
terungkap oleh sebuah lembaga internasional, Basel Institute on Governance, International Centre
for Asset Recovery mengemukakan bahwa “asset recovery is a difficult task and is fraught with
the complicity of the banks involved, the navigation of a costly international legal labyrinth and
the fact that those implicated in public looting are usually those with the most power and
influence”. Dapat diartikan bahwa pengembalian aset merupakan masalah yang begitu rumit untuk
ditelusuri jalan keluarnya, dan akan mencakup masalah perbankan, juga berhubungan dengan
adanya fakta pengambilan uang rakyat karena jabatan atau pengaruh yang melekat pada pelaku
tindak pidana korupsi. Pengembalian aset menjadi isu penting karena pencurian aset negara di
negara-negara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di negara yang
bersangkutan merupakan masalah serius. Di Indonesia, korupsi telah menyebabkan kerugian besar
dari keuangan negara, namun juga terhadap keutuhan bangsa.10

D. PEMBAHASAN
1. Pengembalian Kerugian Negara Tidak Menghilangkan Pidana

Salah satu tujuan diundangkannya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi (Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) adalah
untuk mengembalikan kerugian negara. Oleh karena itu, penegakan hukum pidananya lebih
mengutamakan pengembalian kerugian uang negara dari para pelaku tindak pidana korupsi.11
Upaya pengembalian kerugian uang negara dari para pelaku korupsi akan berhasil apabila terjadi
kerjasama antara aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, KPK) untuk mengungkap tindak pidana
korupsi terutama dalam usaha pengembalian kerugian negara. Tanpa adanya kerjasama tersebut
akan sulit terjadi suatu pengembalian kerugian keuangan negara/perekonomian negara. Sebab,
tidak ada pelaku korupsi yang mau mengembalikan uang negara tetapi ia tetap dimasukkan ke
dalam penjara. Pelaku korupsi bersedia mengembalikan uang negara jika perkara pidananya
ditiadakan.

Dalam aspek lain didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi menjelaskan di pasal 4 bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal”
Kebijakan demikian bersifat dilematis, di satu sisi tujuan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi (UUTPK) dapat tercapai sehingga meningkatkan pengembalian kerugian uang negara,

10
Jeremy Pope, 2007, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia, Hlm 4
11
Mutia Oktaria Mega Nanda, Analisis Dampak Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tuntutan
Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi, Skripsi, Universitas Bandar Lampung, Hlm 3
tetapi di sisi lain menimbulkan masalah dalam penegakan hukum pidana, persoalan ini terjadi
karena perumusan pasal dari UUTPK yang menimbulkan multitafsir dalam penegakan hukumnya,
yaitu pada unsur “dapat merugikan keuangan/perekonomian negara”. Kata “dapat” diartikan
bahwa suatu perbuatan korupsi telah memenuhi unsur tindak pidana setelah perbuatan itu
dilakukan, walaupun kemudian pelaku mengembalikan kerugian uang negara, perbuatannya tetap
telah dianggap selesai.

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan


salah satu faktor yang meringankan saja. Dalam praktek penegakan hukum, keadaan ini
mengakibatkan banyak pelaku korupsi yang beranggapan lebih baik dikenakan hukuman daripada
sudah mengembalikan kerugian uang negara tetapi tetap dihukum sehingga tingkat pengembalian
kerugian uang negara dari tahun ke tahun relatif kecil yang tidak sesuai dengan tujuan
diundangkannya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UUTPK). Pengembalian kerugian
keuangan negara ini tidak menghilangkan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.

Data Jumlah Perkara yang berkekuatan hukum tetap perkara Tipikor oleh KPK12

Cara-cara klasik mengembalikan kerugian negara dari tindak pidana korupsi yaitu dengan
menyita dan merampas harta koruptor (terpidana tindak pidana korupsi ) untuk kepentingan negara
yang diperbolehkan KUHAP apabila putusan perkara koruptor sudah berkekuatan hukum tetap.
Namun dalam merampas harta koruptor tidak bisa dilakukan dengan tindakan sembarangan, harus
ada pembuktian terbalik dari mana harta koruptor diperoleh, hal ini diatur pada Pasal 37 A dan
Pasal 38 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disinilah peran dari
penyidik sangatlah dominan untuk mengungkap harta-harta koruptor tersebut, jika penyidiknya
bermain mata dengan koruptor lebih celaka lagi penegakkan hukumnya, disinilah pengawas

12
Data dikutip dari website KPK (komisi Pemberantasan Korupsi) terkait Laporan kasus yang telah
diselesaikan oleh KPK dan telah berkekuatan hukum tetap. https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-
inkracht diakses pada tanggal 8 Januari 2019
penyidikan harus cermat. Cara klasik menyita dan merampas barang hasil kejahatan yang diatur
sesuai KUHAP yang dimaksud biasa-biasa saja, tidak ada bedanya dengan tindak pidana lainnya,
pastilah dilakukan proses hukumnya demikian juga. Pada pidana yang dijatuhkan dalam tindak
pidana korupsi mengandung 3 unsur pemidanaan, yaitu sanksi pidana pokok, sanksi pidana denda,
dan sanksi pidana tambahan.13

Bahwa pada sanksi hukum denda mempunyai kelemahan, sanksi denda dengan adanya Pasal
30 KUHP, yang dapat di subsider paling lama 6 bulan hukuman penjara dan waktu pembayarannya
denda terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut. Sanksi denda
tersebut sangat menguntungkan dan sangat ringan bagi koruptor sedangkan untuk sanksi pidana
tambahan, Jaksa selaku pelaksana putusan enggan melaksanakan pengembalian kerugian negara,
dengan melelang harta sitaan koruptor ataupun menggugat perdata akibat adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap atas harta koruptor. Bahwa untuk sanksi pidana tambahan diwajibkan
pembayaran uang pengganti kerugian negara sebagai pidana tambahan sebagaimana diatur oleh
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau
disebut Undang-Undang Tipikor yang menyatakan sebagai berikut: pertama, selain pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana
tambahan diantaranya.14

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Teori yang dikemukan oleh Barda Nawawi Arief juga menegaskan bahwa pencegahan
dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law
enforcement policy” yang fungsional dan operasional dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
(1) tahap formulasi (kebijakan legislatif); (2) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); (3)
tahap eksekusi (kebijakan eksekusi/administratif). Pada tahapan “formulasi” upaya pencegahan
dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum saja tetapi juga menjadi

13
Yudi Wibowo Sukinto, Konsep Baru Pengembalian Kerugian Negara Dari Tindak Pidana Korupsi,
Yuridika Universitas Airlangga, Hlm 345
14
Yudi Wibowo Sukinto, Ibid
tugas dari aparat pembuat hukum (aparat legislatif).15 Bahkan kebijakan legislatif merupakan
tahapan paling strategis dari “penal policy”. Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan
legislatif merupakan bagian dari kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Jumlah pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2018 tercantum
dalam data ini.16

• Rekor OTT

Wakil ketua KPK Saut Situmorang mengatakan OTT tahun ini jauh lebih banyak dari
tahun-tahun sebelumnya, yaitu 28 OTT, melampaui target. Angka ini masih akan
bertambah karena kemarin malam KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan di
Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Dari 28 OTT, 108 orang ditetapkan sebagai
tersangka. "Ini terbanyak sepanjang sejarah KPK," ujar Saut. 178 Perkara KPK menggarap
perkara korupsi dengan 157 penyelidikan, 178 penyidikan, dan 128 kegiatan penuntutan.
Sebanyak 28 perkaranya dimulai dari operasi tangkap tangan. Saut mengatakan bila dilihat
dari jenis perkara, tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan
dengan 152 perkara, diikuti pengadaan barang dan jasa sebanyak 17 perkara, serta TPPU
sebanyak 6 perkara.

Penanganan perkara berdasarkan tingkat jabatan terdiri dari 91 perkara yang melibatkan
anggota DPR dan DPRD, 50 perkara melibatkan swasta serta 28 perkara melibatkan kepala
daerah 29 kepala daerah aktif, dan 2 mantan kepala daerah. Dan 20 perkara lainnya
melibatkan pejabat eselon I hingga IV.

• Rp 500 Miliar ke Kas Negara

Dari seluruh kegiatan penindakan KPK, lembaga antirasuah tersebut telah menyerahkan
uang senilai Rp 500 miliar hasil dari penanganan perkara korupsi selama tahun
2018. "Lebih dari 500 miliar rupiah telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk PNBP
dari penanganan perkara," ujar wakil ketua KPK, Saut Situmorang. Saut mengatakan uang
itu termasuk pendapatan dari hasil lelang barang sitaan dan rampasan dari perkara tindak
pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang yang mencapai Rp 44.6 miliar. Dan
pelimpahan hibah barang rampasan selama 2018 aset senilai Rp 96.6 miliar.

• Gratifikasi

Selama 2018, KPK menerima 1.990 laporan dugaan penerimaan gratifikasi oleh
penyelenggara negara. Hasilnya, lembaga antirasuah itu menetapkan asset senilai Rp 8,5
miliar dinyatakan milik negara. Termasuk di dalamnya uang lebih dari 6,2 miliar rupiah
yang telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak dan

15
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana DalamPenanggulangan
Kejahatan, Kencana Prenada Media Group 2004, Hlm 78-79.
16
Data ini dikutip dari tempo.com Dalam laporan kinerja 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK merilis
sejumlah capaian selama satu tahun, mulai dari serapan anggaran yang mendekati 90 persen sampai rekor operasi
tangkap tangan (OTT) terbanyak sepanjang tahun. Kutipan https://nasional.tempo.co/read/1168294/suap-dana-hibah-
koni-kpk-panggil-menpora-imam-nahrawi
senilai Rp2,3 miliar dalam bentuk aset. Wakil ketua KPK Alexander Mawarta mengatakan
dari ribuan laporan itu 930 dinyatakan asetnya milik negara, tiga laporan ditetapkan milik
penerima. Sedangkan kata Alex, 290 laporan masih dalam proses penelaahan. Dari instansi
pelapor, BUMN/BUMD merupakan institusi paling banyak yang melaporkan gratifikasi
dengan 597 laporan, diikuti kementerian dengan 578 laporan, dan pemerintah daerah
dengan 380 laporan.

Dalam kejahatan korupsi, pelaku tindak pidana korupsi melakukan berbagai modus untuk
pengalihan harta kekayaan hasil korupsi agar tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum.
Pengalihan aset hasil kejahatan dilakukan oleh pelaku kejahatan dengan berbagai cara cepat dan
mudah, sehingga hasil kejahatan hilang dari pantauan aparatur penegak hukum. Dalam
mengalihkan dan menutupi aset hasil tindak pidana, secara umum pelaku melakukannya dalam
bentuk pengalihan dengan memakai pihak ketiga sebagai sarana penghilangan jejaknya. Modus
pengalihan aset hasil tindak pidana korupsi oleh pelakunya kepada pihak ketiga, tentunya semakin
berkembang cara dan tekhniknya sesuai dengan sarana dan prasarana yang mendukungnya.

Pengembalian kekayaan negara yang diakibatkan oleh adanya tindak pidana korupsi adalah
yang terpenting saat ini, dan pelaksanaanya sangat sulit karena pada umumnya tindak pidana
korupsi baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat
rahasia, terselubung, melibatkan banyak pihak dengan solidaritas kuat untuk saling melindungi
atau menutupi tindak pidana korupsi melalui manipulasi hukum. Harta kekayaan hasil kejahatan
yang dilakukan oleh koruptor sering sudah dialihkan hak kepemilikannya kepada pihak ketiga,
untuk mengaburkan asal-usul kekayaan tersebut. Dengan demikian begitu besar aset negara yang
dihasilkan dari tindak pidana korupsi yang digelapkan agar tidak terlacak oleh aparatur penegak
hukum.

2. PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA MELALUI SITA ASSET

Lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai
oleh hak milik. Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi benda bertubuh dan tak
bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang
dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak.17 Hal ini sesuai dengan
pengertian harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu "Harta kekayaan adalah
semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung."

Sedangkan menurut UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20


tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), dalam pasal 18 ayat (1)
menyatakan bahwa perampasan dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada

17
Data diambil dari website KPK tentang pengembalian keuangan negara melalui sita asset dalam
https://acch.kpk.go.id/id/artikel/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita
pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Dan sebagaimana diatur dalam pasal
18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dikatakan bahwa
perampasan sebagai salah satu bentuk pidana tambahan. Dalam RUU Perampasan Aset Tindak
Pidana, aset tindak pidana adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud
maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang diperoleh atau diduga berasal dari
tindak pidana.18

Dalam perkara tindak pidana korupsi, tentunya sangat berkaitan erat dengan adanya
kerugian negara yang berkorelasi dengan harta kekayaan negara yang diselewengkan oleh
pelakunya. Namun yang menjadi persoalan dalam hal ini yakni ketika pelaku tindak pidana korupsi
telah mengalihkan perolehan harta benda tersebut kepada pihak ketiga. Terlebih lagi dalam
perkembangannya saat ini para pelaku tindak pidana korupsi menggunakan modus-modus yang
terselubung dengan menggunakan instrument hukum untuk peralihan hak secara keperdataan,
sehingga penyidik terkadang mendapatkan hambatan hukum apabila hendak melakukan penyitaan
terhadap aset yang berupa harta benda yang hak kepemilikannya telah dialihkan kepada pihak
ketiga, ketika pihak ketiga tersebut memperlihatkan bukti-bukti hak keperdataan yang dimilikinya
atas objek kebendaan yang dilakukan penyitaan oleh penyidik, sehingga menimbulkan
permasalahan kemudian apabila aset dari hasil tindak pidana korupsi tersebut berada dalam
penguasaan pihak ketiga yang terkait kepentingannya, apakah aset tersebut dapat diletakkan sita
oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan di pengadilan19
Sehingga, jika kita merujuk pada KUHPer, UU No. 8 tahun 2010, dan UU No. 31 tahun
1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001, maka terdapat beberapa istilah yang
digunakan yaitu benda, barang, aset tindak pidana, dan harta kekayaan. Untuk penyederhanaan,
idealnya merujuk ke pasal 39 KUHAP tentang kategori benda yang dapat disita, yang mencakup
seluruh atau sebagian yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana
atau yang biasa disebut sebagai aset. Jadi, penyitaan yang dilakukan oleh KPK dalam kaitan
dengan penyidikan TPK dan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal
39 KUHAP tersebut.20

Penyitaan aset merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau
mencegah larinya harta kekayaan. Harta kekayaan inilah yang kelak diputuskan oleh pengadilan,
apakah harus diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai
pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan. Dalam bagan berikut akan digambarkan
bagaimana prosedur perampasan asset koruptor.21

18
Refki Saputra, Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Nonconviction Based
Asset Forfeiture) Dalam Ruu Perampasan Aset Di Indonesia, Jurnal Integritas KPK, Hlm 117
19
Krisdianto, Implikasi Hukum Penyitaan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Yang Hak Kepemilikannya
Telah Dialihkan Pada Pihak Ketiga, e-Jurnal Katalogis, Volume 3 Nomor 12, Desember 2015 hlm 188-200
20
Refki Saputra, Ibid
21 Super, Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita? Diakses dari website KPK
https://acch.kpk.go.id/id/artikel/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita pada tanggal 14 Januari 2019
Pengamanan
Pencurin Pelacakan
Asset Yang
Asset negara Asset Negara
Dicuri

Proses Pengembalian
Peradilan Asset

Proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi bagian dari tahap penyidikan,
sedangkan proses perampasan terjadi setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
(inkracht). Pelacakan aset sudah dapat dilakukan sejak dalam tahap penyelidikan. Dalam skema
yang digambarkan oleh STAR Bank Dunia dapat dilihat skema sebagai berikut ini: Barang sitaan
berupa uang maupun tabungan dalam rekening (diawali dengan pemblokiran) akan ditampung
dalam rekening penampungan yang dimiliki oleh KPK. Sedangkan jika dalam bentuk non- uang
(barang) disimpan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, atau disingkat Rupbasan.
Penyitaan juga berfungsi untuk mengamankan barang bergerak karena mudah berpindah tempat
dan berpindah tangan.

Fungsi asset tracing adalah melacak dan mengidentifikasi harta kekayaan tersangka
maupun pihak yang terkait dalam tindak pidana korupsi, serta memberikan dukungan data kepada
penyidik dalam upaya penyiapan pembayaran uang pengganti. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 ayat (1) huruf
b bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Pasca pengesahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
yang baru yaitu UU No. 8 Tahun 2010,) KPK mendapat legitimasi menangani TPPU sehingga
kegiatan asset tracing juga diarahkan untuk:22

• Mendeteksi sejak awal (sejak tahap penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka dan atau
keluarga yang mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga sebagai hasil
TPK;
• Hasil asset tracing digunakan selain untuk pembuktian TPK juga untuk menemukan
indikasi TPPU.

Proses asset tracing dilakukan sampai dengan tahap pelimpahan kasus ke pengadilan. Namun,
jika dibutuhkan, tak tertutup kemungkinan untuk membantu jaksa dalam pembuktian di
persidangan ataupun dalam pengembangan kasus lainnya. Dalam setiap tindak pidana, setidaknya
terdapat tiga komponen, yaitu pelaku, tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana. Hal
ini kemudian mendasari penanganan tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan dengan berbagai

Nur Basuki Minarno, ‘Proses Penanganan Perkara dalam Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Hukum
22

Acara “Khusus” dalam Tindak Pidana Korupsi’ (2002) 17 Jurnal Yuridika.


metode pendekatan. Pertama, pendekatan konvensional, Follow the suspect, yakni penanganan
tindak pidana yang berprioritas kepada pelaku kejahatan. Kedua, follow the money and follow the
asset, yaitu penanganan tindak pidana yang berprioritas kepada hasil kejahatan. Metode ketiga,
adalah gabungan dari kedua metode diatas, yang sampai saat ini dianggap paling efektif dan efisien
dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Pembayaran uang pengganti adalah upaya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan


negara. Pada follow the suspect, pelaku hanya dijatuhi pidana pokok, seiring dengan
perkembangan kasus TPK, digunakan metode follow the money and follow the asset, untuk
mengejar seluruh aset yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusan
pengadilan, kita mengenal 2 (dua) jenis pidana, yaitu pidana pokok yang berupa kurungan dan/atau
denda, juga pidana tambahan, yakni pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan
upaya yang sangat penting dalam mengembalikan kerugian Negara yang ditimbulkan dari tindak
pidana korupsi tersebut.

Penyelesaian tunggakan uang pengganti dapat dilakukan dengan penyitaan dan pelelangan
harta benda terpidana atau melalui tuntutan subsider pidana penjara, atau hukuman badan seperti
yang diatur dalam dalam Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, yang
menegaskan bahwa "Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimal dari pidana pokoknya sesuai
dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam
putusan pengadilan".23

Dalam proses pembayaran uang pengganti, peran dari penyitaan aset sangat penting, yaitu
untuk mengunci harta kekayaan pelaku agar tidak dipindahtangankan sampai dengan putusan
inkracht. Melalui pidana tambahan ini diharapkan mampu memberikan deterent effect secara
konkrit, karena tidak akan ada lagi terpidana yang masih dapat berfoya-foya menggunakan hasil
korupsinya di dalam penjara.

3. Penyitaan Asset Yang Sudah Dialihkan Ke Pihak Lain

Pengalihan aset yang diperoleh dari hasil kejahatan lazim dilakukan dalam setiap tindak
kejahatan yang bertujuan agar harta benda tersebut diketahui keberadaannya oleh aparatur penegak
hukum. Lazimnya pelaku tindak pidana korupsi melakukan pengalihan aset agar tidak terdeteksi
oleh para penegak hukum yang bertujuan untuk menutupi aset hasil kejahatan. Modus yang

23
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan (Kencana Prenada Media Group 2004).
digunakan biasanya dengan memanipulasi transaksi-transaksi peralihan hak dengan tujuan untuk
menyamarkan dana-dana gelap hasil kejahatan tersebut.24

Dalam perkara tindak pidana korupsi, tentunya sangat berkaitan erat dengan adanya
kerugian negara yang berkorelasi dengan harta kekayaan negara yang diselewengkan oleh
pelakunya. Namun yang menjadi persoalan dalam hal ini yakni ketika pelaku tindak pidana korupsi
telah mengalihkan perolehan harta benda tersebut kepada pihak ketiga. Terlebih lagi dalam
perkembangannya saat ini para pelaku tindak pidana korupsi menggunakan modus-modus yang
terselubung dengan menggunakan instrument hukum untuk peralihan hak secara keperdataan,
sehingga penyidik terkadang mendapatkan hambatan hukum apabila hendak melakukan penyitaan
terhadap aset yang berupa harta benda yang hak kepemilikannya telah dialihkan kepada pihak
ketiga, ketika pihak ketiga tersebut memperlihatkan bukti-bukti hak keperdataan yang dimilikinya
atas objek kebendaan yang dilakukan penyitaan oleh penyidik, sehingga menimbulkan
permasalahan kemudian apabila aset dari hasil tindak pidana korupsi tersebut berada dalam
penguasaan pihak ketiga yang terkait kepentingannya, apakah aset tersebut dapat diletakkan sita
oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan di pengadilan.25

Melihat pengertian dari tindak pidana korupsi di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah “merugikan keuangan
negara”. Unsur merugikan keuangan negara dalam Undang Undang tindak pemberantasan pidana
korupsi sekiranya perlu untuk diberi penekanan. Hal ini dimaksudkan bahwa undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya untuk memberikan sanksi pidana terhadap
perbuatan melawan hukum (tindak pidana korupsi) yang dilakukan para koruptor namun penting
juga dalam masalah pengembalian kerugian uang negara. Pengembalian kerugian negara secara
maksimal dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.26

Tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur penegak hukum dalam melakukan upaya-upaya
pengembalian hasil tindak pidana korupsi, terdapat kemungkinan terjadi suatu kegagalan atau
kekurangan. Berdasarkan kenyataan dalam praktek upaya-upaya tersebut dapat dilihat beberapa
kelemahan atau bahkan kesulitan yang ada sebagai penghambat atau penghalang dalam rangka
perampasan aset untuk pemulihan aset (recovery aset) dari terjadinya tindak pidana korupsi.
Permasalahan tersebut diantaranya adalah dalam hal pemenuhan uang pengganti oleh terpidana
yang tidak mempunyai itikad untuk membayarnya, terkendala disebabkan harta-harta tersebut
sudah beralih atas nama pihak ketiga. Dimana perikatan antara pelaku dengan pihak ketiga dapat
terjadi dengan didasarkan asas-asas hukum perdata yang memang harus dinilai memiliki kekuatan
hukum yang sah.

24
Op.Cit, Krisdianto, Implikasi Hukum Penyitaan Aset Hasil........... Hlm 191
25
Krisdianto, Ibid
26
Krisdianto, Ibid
Esensi pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dibagi menjadi 3 (tiga) hal yaitu melalui
tindakan preventif, tindakan represif dan restoratif. Tindakan preventif terkait adanya pengaturan
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan harapannya masyarakat tidak melakukan tindak
pidana korupsi. Tindakan restoratif dimana salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak
pidana korupsi berupa tindakan hukum pidana dan gugatan perdata.27 Dalam era globalisasi
dimana upaya mengembalikan/memulihkan kekayaan negara yang dicuri (stolen asset recovery)
melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tindak pidana
korupsi memiliki akses yang luar biasa dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun
melakukan pencucian uang hasil tindak pidana korupsi

Dengan demikian peran kejaksaan dalam menggunakan instrumen hukum perdata terkait
dengan pengembalian/pemulihan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi harus diartikan
secara luas termasuk juga melakukan gugatan di luar negeri dalam rangka penyelamatan dan
pengembalian/pemulihan aset negara akibat tindak pidana korupsi.13 Setelah ratifikasi Konvensi
Anti Korupsi, tahun 2003, berdasarkan Undangundang Nomor 7 Tahun 2006, Pemerintah
Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan penting yaitu langkah pertama menyusun RUU
Tipikor yang mencantumkan kriminalisasi atas perbuatan (baru) tertentu ke dalam lingkup tindak
pidana korupsi yaitu antara lain, perbuatan memperkaya diri sendiri secara ilegal (illicit
enrichment); suap terhadap pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional (bribery of
foreign public officials and officials of publik international organization), dan suap di kalangan
sektor swasta (bribery in the private sector)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU PTPK)
memberikan ancaman kepada pelaku tindak pidana korupsi berupa pidana penjara, pidana denda
dan pembayaran uang pengganti. Khusus untuk uang pengganti jika terpidana tidak membayar
uang pengganti tersebut, maka dilakukan perampasan harta kekayaan atau aset terpidana tersebut.
Sedangkan pidana denda yang tidak dibayarkan oleh terpidana tersebut, maka akan dikenakan
hukuman kurungan sebagai pengganti denda.
Selain memuat ketiga jenis sanksi tersebut UU PTPK juga mengatur tentang
dimungkinkannya untuk dilakukan perampasan asset yang merupakan asset atau hasil dari tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf a undang-undang tersebut.28 UU
PTPK memberikan dua jalan atau dua cara berkenaan dengan perampasan aset hasil tindak pidana
yang menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian Negara. Kedua jalan dimaksud yaitu
perampasan melalui jalur pidana dan perampasan melalui gugatan perdata.

27
Bernadeta Maria Erna, Peranan Jaksa dalam Pengembalian Aset Negara, Seminar Nasional Optimalisasi
Kewenangan Kejaksaan dalam pengembalian Aset hasil Korupsi melalui Instrumen Hukum Perdata, Paguyuban
Pasundan, FH Universitas Pasundan, Bandung 26 Oktober 2013, hlm 2. Dalam Aliyth Prakarsa dan Rena Yulia, Model
Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian NegaraDalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi, Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 6 No. 1 Tahun 2017, hlm 40
28
Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor(Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia), Kompas,
Jakarta, 2013, Hlm 161-162.
Pertama, perampasan aset hasil korupsi melalui jalur tuntutan pidana dapat dilakukan
dengan catatan penuntut umum harus dapat membuktikan kesalahan terdakwa dalam melakukan
tindak pidana korupsi tersebut. Aset-aset yang disita pun harus merupakan asset yang dihasilkan
dari perbuatan korupsi. Untuk membuktikan hal tersebut, tentu memerlukan jaksa penuntut umum
yang memiliki pengetahuan yang cukup dan ketelatenan dalam membuktikan semua aset yang
dirampas adalah hasil dari tindak pidana korupsi. Hal itu karena perampasan aset tindak pidana
korupsi sangat bergantung pada pembuktian yang diberikan oleh jaksa penuntut umum di
peradilan. Jaksa penuntut umum dapat membuktikan kesalahan terdakwa dan juga membuktikan
bahwa asset asset yang akan dirampas merupakan asset yang dihasilkan dari perbuatan korupsi
yang didakwakan.
Konsep yang demikian ini dinamakan perampasan aset berdasarkan kesalahan terdakwa
(Conviction Based Assets Forfeiture), artinya perampasan suatu aset hasil tindak pidana korupsi
sangat tergantung pada keberhasilan penyidikan dan penuntutan kasus pidana tersebut.29 Konsep
tersebut terdapat dalam Pasal 39 dan Pasal 46 ayat (2) KUHAP.

Kesimpulan

Penyelesaian persoalan korupsi menjadi hal yang sentral dan penting. Sejak
diundangkannya undang-Undang Tipikor tahun 1999 kita sudah mulai coba memberantas korupsi
di negeri ini. Namun ada persoalan yang seolah tidak pernah usai. Bahwa motif yang dilakukan
oleh koruptor makin hari makin hebat dan canggih saja. Sehingga pembuktian di persidangan dan
pemberian efek jera bagi koruptor menjadi penting agar dapat menjadi contoh bagi aparatur negara
lainnya untuk dapat berhati-hati dalam menyelenggarakan pemerintahan dan mengingatkan
pejabat publik dan pemangku kebijakan agar senantiasa mawas diri.

Penulis percaya bahwa sita asset yang dimiliki oleh koruptor akan sepenuhnya memberikan
efek jera dan rasa takut bagi koruptor untuk mengulangi perbuatannya tersebut. Sebab selama ini
para koruptor tidak merasa takut dengan hukuman pidana yang diberikan kepada mereka. Sehingga
harusnya ada terobosan baru guna membuat rasa jera bagi koruptor dan menakut-nakuti yang
lainnya melalui sita asset ini agar menjadi contoh bagi para pejabat publik lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

A. Sudiarja, Merawat Kegelisahan, Memprovokasi Imajinasi, Kompas Kolom Opini, 28


Desember 2018.

29
Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor (Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia), Kompas,
Jakarta, 2013. Dalam Aliyth Prakarsa dan Rena Yulia Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif
Memulihkan .................... Hlm 40
Arif Barda Nawai, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Predana Group, Jakarta

Eddy OS Hiariej, Penegakan Hukum Kejahatan Luar Biasa, Kompas Kolom Opini, 28 Desember
2018.

Francis Fukuyama, 2005, Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Fauzul Romansyah, Pelaksanaan Penyitaan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya


Pengembalian Kerugian Negara (Studi Di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung),
Universitas Lampung

Puji Astuti, Politik Korupsi :Kendala Sistemik Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Harahap,
Krisna, 2009, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung,
Grafiti

Taufik Rinaldi, dkk, Memerangi Korupsi Di Indonesia Yang Terdesentralisasi: Studi Kasus
Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah, Justice For The Poor Project Bank
Dunia

Lilik Mulyadi, 2011, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktek dan
Masalahnya, Bandung, PT Alumni

Jeremy Pope, 2007, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia

Mutia Oktaria Mega Nanda, Analisis Dampak Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tuntutan
Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi, Skripsi, Universitas Bandar Lampung

Muh. Zainul Arifin, “Pengelolaan Anggaran Pembangunan Desa Di Desa Bungin Tinggi,
Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan,” J.
Thengkyang, vol. 1, no. 1, pp. 1–21, 2018.
F. M. Muhammad Zainul Arifin, “Penerapan Prinsip Detournement De Pouvoir Terhadap
Tindakan Pejabat BUMN Yang Mengakibatkan Kerugian Negara Menurut Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara,” NURANI, VOL. 18, NO. 2,
DESEMBER 2018, vol. 18, no. 2, pp. 177–194, 2018.
Yunial Laily Mutiari, M. Z. Arifin, Irsan, and M. S. Ramadhan, “PERAN BADAN
KOORDINASI PENANAMAN MODAL DALAM MEMFASILITASI KEGIATAN
INVESTASI ASING LANGSUNG TERHADAP PERUSAHAAN DI INDONESIA,”
Nurani, vol. 18, no. 2, pp. 215–225, 2018.
M. U. Muhammad Zainul Arifin, “Understanding The Role Of Village Development Agency In
Decision Making,” Kader Bangsa Law Rev., vol. 1, no. 1, pp. 68–79, 2019.
Muhammad Zainul Arifin, “Konsep Dasar Otonomi Daerah Di Indonesia Pasca Reformasi,”
Researchgate, vol. 1, no. 1, Palembang, pp. 1–5, 21-Apr-2019.
Muhammad Zainul Arifin, “Freeport Dan Kedaulatan Bangsa,” Media Sriwijaya, Palembang, p.
8, 2015.

Yudi Wibowo Sukinto, Konsep Baru Pengembalian Kerugian Negara Dari Tindak Pidana
Korupsi, Yuridika Universitas Airlangga

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana
DalamPenanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group 2004

Nur Basuki Minarno, ‘Proses Penanganan Perkara dalam Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan
Hukum Acara “Khusus” dalam Tindak Pidana Korupsi’ (2002) 17 Jurnal
Yuridika.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan (Kencana Prenada Media Group 2004).

Refki Saputra, Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Nonconviction
Based Asset Forfeiture) Dalam Ruu Perampasan Aset Di Indonesia, Jurnal
Integritas KPK

Krisdianto, Implikasi Hukum Penyitaan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Yang Hak
Kepemilikannya Telah Dialihkan Pada Pihak Ketiga, e-Jurnal Katalogis, Volume
3 Nomor 12, Desember 2015

Bernadeta Maria Erna, Peranan Jaksa dalam Pengembalian Aset Negara, Seminar Nasional
Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan dalam pengembalian Aset hasil Korupsi
melalui Instrumen Hukum Perdata, Paguyuban Pasundan, FH Universitas
Pasundan, Bandung 26 Oktober 2013, hlm 2. Dalam Aliyth Prakarsa dan Rena
Yulia, Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif
Memulihkan Kerugian NegaraDalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Jurnal
Hukum PRIORIS Vol. 6 No. 1 Tahun 2017

Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor (Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia),


Kompas, Jakarta, 2013

Muh. Zainul Arifin, “Pengelolaan Anggaran Pembangunan Desa Di Desa Bungin Tinggi,
Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan,” J.
Thengkyang, vol. 1, no. 1, pp. 1–21, 2018.
F. M. Muhammad Zainul Arifin, “Penerapan Prinsip Detournement De Pouvoir Terhadap
Tindakan Pejabat BUMN Yang Mengakibatkan Kerugian Negara Menurut Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara,” NURANI, VOL. 18, NO. 2,
DESEMBER 2018, vol. 18, no. 2, pp. 177–194, 2018.
Yunial Laily Mutiari, M. Z. Arifin, Irsan, and M. S. Ramadhan, “PERAN BADAN
KOORDINASI PENANAMAN MODAL DALAM MEMFASILITASI KEGIATAN
INVESTASI ASING LANGSUNG TERHADAP PERUSAHAAN DI INDONESIA,”
Nurani, vol. 18, no. 2, pp. 215–225, 2018.
M. U. Muhammad Zainul Arifin, “Understanding The Role Of Village Development Agency In
Decision Making,” Kader Bangsa Law Rev., vol. 1, no. 1, pp. 68–79, 2019.
Muhammad Zainul Arifin, “Konsep Dasar Otonomi Daerah Di Indonesia Pasca Reformasi,”
Researchgate, vol. 1, no. 1, Palembang, pp. 1–5, 21-Apr-2019.
Muhammad Zainul Arifin, “Freeport Dan Kedaulatan Bangsa,” Media Sriwijaya, Palembang, p.
8, 2015.

WEBSITE

https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-inkracht

https://news.detik.com/berita/d-3787260/kpk-kembalikan-rp-2766-miliar-uang-
negara-di-2017

https://acch.kpk.go.id/id/artikel/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita

https://acch.kpk.go.id/id/artikel/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita

Anda mungkin juga menyukai