Dalam pemilu 1955 masyarakat memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante yang
dilakukan dalam dua periode. Pertama tanggal 29 September 1955 untuk memilih
anggota DPR dan kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
Konstituante. Saat itu anggota angkatan bersenjata dan polisi ikut berpartisipasi.
Dari pelaksanaannya, pemilu pertama bisa dikatakan sukses dan berlangsung damai.
Dimana tingkat partisipasi warga begitu tinggi. Suara sah saat pemilu mencapai 88
persen dari 43 juta pemilih. Sedangkan pemilih yang suaranya tidak sah atau tidak
datang (golput) hanya sebesar 12,34 persen.
Presiden Soeharto meninjau pelaksanaan Pemilu tahun 1971 di salah satu TPS di
Jakarta/Arsip Nasional.
Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Banyak perdebatan antara pakar sejarah politik tentang kadar demokrasi dalam pemilu
1971 ini. Karena banyaknya indikator sebuah pemilihan umum demokratis yang tidak
terpenuhi atau bahkan ditinggalkan sama sekali.
Hal ini tidak terlepas dari proses transisi kepemimpinan yang diawali oleh peristiwa
berdarah yang kemudian membuat politik Indonesia disebut-sebut masuk kedalam
sebuah era pretorianisme militer. Sebuah era dimana militer selalu mempunyai peran
penting dalam menjaga serta mempertahankan kekuasan.
Meski demikian, di pemilu ini, golput yang pertama kali dicetuskan dan
dikampanyekan justru mengalami penurunan sekitar 6,67 persen.
Ciri khas dari pelaksanaan sistem pemilu 1977 ialah jumlah partai yang mengikuti
pemilu hanya tiga, yakni PPP, PDI dan golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya
pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai
dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Dalam penghitungannya, dari 70 Juta lebih pemilih, hampir 64 juta suara yang sah
atau sekitar 90,93 persen.
Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung
oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan
berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.
Sementara untuk suara yang sah dalam perhitungan tahun 1982 mencapai 75 Juta
lebih. Dimana golkar tetap menjadi pemenangnya.
Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara
langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan
sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List.
Di pemilu tahun ini dari 93 Juta lebih pemilih, sekitar 85 juta suara yang sah atau
sebanyak 91,32 persen
Sementara untuk suara yang sah tahun 1992 mencapai 97 Juta lebih suara, dari total
pemilih terdaftar 105.565.697 orang.
Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk
bertarung guna memperoleh kursi parlemen.
Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan
kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan
dan di tahun ini jumlah suara yang sah hampir 113 Juta suara.
PDIP merupakan partai pemenang Pemilu tahun 1999. Namun pemilihan presiden
dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB. Sementara Ketua
Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menjadi wakil presiden
Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai,
sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai.
Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999
penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di
daerah pemilihan.
Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya
ia dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk
penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II
(kabupaten/kota).
Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971. Sedangkan
angka partisipasi pemilih mencapai 94.63 persen. Sementara angka Golput hanya
sekitar 5,37 persen saja.
Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran
II).
Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemrintahan Indonesia. Dimana untuk
pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Sekaligus
membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut
oleh pemerintah Indonesia.
Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka.
Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah
pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan
kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Pemilu 2004 ini adalah periode pertama kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono.
Meski demikian di Pemilu Legislatif jumlah pemilih terdaftar yang tidak memakai hak
pilihnya cukup besar yakni sekitar 23 juta lebih suara, dari jumlah pemilih terdaftar
148 Juta pemilih, atau 16 persen tidak memakai hak pilihnya.
Pemilu 2009 dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah kursi di
tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda
dengan Pemilu 2004.
Pemilu 2009 menjadi periode kedua terpilihnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
didampingi Prof. Dr. Boediono sebagai wakil presiden.
Sementara untuk jumlah golput hampir 50 juta suara atau sekitar 30 persen. Jumlah angka
golput ini tergolong besar meskipun masih lebih kecil dari hasil survei yang memprediksi
angka golput mencapai 40 persen
Pemilu 1955
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting
pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
2. Program finek
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Geneva untuk merundingkan
masalah finansial ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin
oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana
persetujuan Finek yang berisi:
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil
langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap
melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya adalah untuk
melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga pada tanggal 3 Mei
1956 Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Sementara itu
dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan
pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
1. Gunting syafruddin
Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam
20.00 tanggal 10 Maret 1950. Gunting Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas
kebijakan ekonomi (khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret
1950
Kebijakan Gunting Syafrudin dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat
itu sedang terpuruk--utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung dan perbaikan
jangka pendek untuk menguatkan perekonomian Indonesia, salah satunya mengurangi
jumlah uang yang beredar dan mengatasi defisit anggaran.
Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Syafrudin bermaksud sekali pukul menembak
beberapa sasaran:
penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru
mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi sehingga menurunkan harga
barang
mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai
Rp 1,5 miliar
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari
pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus
pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang
kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut,
maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang. Guntingan kanan dinyatakan tidak
berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan
akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga
berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan,
demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki
Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari
Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai
rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US $ = Rp 35.000. Seperti juga
‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno membuat
masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara televisi belum
muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Karena dilakukan
hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang menjadi gila
karena uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru
saja melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan
drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno melakukan
sanering akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen). Harga-harga kebutuhan pokok naik
setiap hari sementara pendapatan per kapita hanya 80 dolar us. Sebelum sanering, pada
bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp 250/ liter (naik 62,5 kali).
Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp
120,000 /us$. Setelah sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi
pada naik. Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp 500/
liter & harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr (naik 2 kali). Sesudah itu
tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia pada
tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah mulai April 1998 sampai
menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us $ menjadi rp 17.200. Lalu apakah
kebijakan politik pengebirian nilai fiat money (uang kertas) ini bakal terulang lagi?
Sebenarnya pengebirian nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti,
buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang sesungguhnya
adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu tetap, tapi karena nilai fiat
money yang kita pegang angkanya makin banyak tapi daya belinya makin turun.
2. De javsche bank
De Javache Bank dibangun untuk memperlancar dan mempermudah VOC dalam
perdagangan nasional, 1746 mendirika De Bank van Leening menjadi De Bank Courant
en Bank van Leening 1752. Bank pertama yang menjadi cikal bakal terbentuknya dunia
perbankan di Indonesia. Pada tanggal 9 Desember, Raja Williem menerbitkan surat
kuasa kepada komisaris Jenderal Hindia Belanda yang memiliki wewenang dalam
pemerintahan Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang
khusus.
Setelah Raja Williem dilanjutkan oleh komisaris Jenderal Hindia Belanda yang bernama
Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies pada tanggal 24 Januari 1828
dengan surat komisaris Jenderal Hindia Belanda no.25 pendirian De Javache Bank serta
diangkatnya Mr.C.de. Hann sebagai presiden De Javasche Bank (DJB) dan C. J
Smulders sebagai sekretaris De Javache Bank (DJB).
Setelah Indonesia merdeka yang melalui proses panjang nasionalisasi De Javasche Bank
juga upaya pemerintah untuk memenuhi perangkat-perangkat pemerintahan dalam
menasionalisasikan Bank milik Belanda meskipun sebelumnya juga ada bank-bank
yang sudah didirikan sendiri oleh pemerintah Indonesia. Dengan munculnya Keputusan
Presiden 2 2 Juli 1951 dibentuk Panitia De Javasche Bank pada tanggal 9 Juni 1951.
Panitia ini mempenunyai kekuasaan dalam mengambil tindakan – tindakan persiapan
dan untuk perundingan – perundingan mengenai nasionalisasi kepada pemerintah pada
umumnya dan untuk memajukan
Pada tanggal 15 Desember 1951 telah diumumkan undang – undang tentang
nasionalisasi De Javasche Bank N,V (Undang – Undang 1951 No.24, Lembaran Negara
RI 1951 No.120). Dalam Undang – Undang ini berisi ten tang pencabutan hak
kepemilikan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Indonesia. Meskipun
didalamnya masih tetdapat orang – orang Belanda. Setelah peresmian nasionanalisasi
De Javasche Bank selesai maka yang dibutuhkan adalah tentang asas-asas Bagi Statuta
Bank Sentral Baru dan serta tugas – tugas yang dilakukannya.Pada tanggal 1 Juli 1953
De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia, sebuah lembaga Bank Sentral
Indonesia.
3. Ali baba
Pengusaha-pengusaha yang masuk dalam Program Benteng mulai menyalahgunakan
maksud pemerintah. Mereka mencari keuntungan dengan cepat dengan menjual lisensi
impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya merupakam
milik keturunan Cina dengan menggunakan nama orang pribumi. Orang Indonesia
hanya digunakan untuk memperoleh lisensi, pada kenyataannya yang menjalankan
lisensi adalah perusahaan keturunan Cina. Perusahaan yang lahir dari kerja sama
tersebut dikenal sebagai perusahaan “Ali-Baba”.
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri
perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
1. Untuk memajukan pengusaha pribumi.
2. Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi
nasional.
3. Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi
dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
4. Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha
pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,
pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab
kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-
perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
· Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
· Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan
bebas.
· Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya
jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang
yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup yang
rendah. Selain masalah jangka panjang dan jangka pendek tersebut perekonomian Indonesia
saat itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang menyebabkan keadaan
ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan
dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan
utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian
dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan
memukul perekonomian Indonesia.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang
oleh Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem
ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki
tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi
adalah sebagai berikut.
8. SISTEM EKONOMI BENTENG
a. versi dowo
Selain upaya untuk menasionalisasi Bank menjadi Bank De Javasche
Indonesia, pemerintah juga bekerja untuk menciptakan sebuah sistem ekonomi
Indonesia yang mengarah pada pengembangan masyarakat dan ekonomi bangsa
Indonesia. Pembangunan dan pembangunan ekonomi menerima perhatian penuh
angka ekonomi Indonesia bernama Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Angka-angka ini
berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia sebenarnya adalah
pembangunan ekonomi baru. Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi baru, yang
perlu dilakukan adalah untuk mengubah struktur ekonomi dan sistem ekonomi
menjadi sistem ekonomi nasional.
Sumitro berusaha mempraktekkan memikirkan hal itu di bidang perdagangan. Dalam
tujuan terkandung memberikan kesempatan kepada pengusaha pribumi untuk
berpartisipasi dalam membangun ekonomi nasional. Soemitro juga berpendapat bahwa
pemerintah harus membantu dan membimbing pengusaha itu. Bantuan dan bimbingan
dapat berupa pemberian bimbingan kredit atau beton. Bantuan dan bimbingan yang
diberikan mengingat bahwa Pengusaha Indonesia umumnya tidak memiliki modal
yang cukup. Jika usaha ini berhasil, Pengusaha Indonesia dapat berkembang maju.
Dengan demikian, upaya untuk mengubah struktur ekonomi kolonial akan mudah
tercapai.
Sistem ekonomi gagasan program ini dituangkan dalam Sumitro Natsir (September
1950-April 1951) ketika ia menjabat sebagai Menteri perdagangan. Program ekonomi
Sumitro terkenal untuk program-program dalam ekonomi gerakan benteng atau yang
lebih populer dengan program-program benteng.
Sumitro Djojohadikusumo Fort Program dimulai pada bulan April 1950 dan
berlangsung selama tiga tahun, yaitu, 1950-1953. Sekitar 700 pengusaha pribumi
Indonesia mendapat bantuan kredit Program benteng. Program benteng pada dasarnya
memiliki tujuan berikut :
Mengembangkan dan membangun Pengusaha Indonesia (asli) sambil
mendorong ekonomi nasionalisme atau “Indonesianisasi”.
mendorong para importir untuk bersaing dengan perusahaan nasional impor
asing.
Membatasi impor barang tertentu dan lisensi impor hanya untuk importir
Indonesia.
Bantuan dalam bentuk keuangan kredit kepada pengusaha Indonesia.
Tujuan utama dari program ini adalah pembentukan modal yang cukup besar
melalui kegiatan transaksi impor yang sangat menguntungkan untuk
memungkinkan permulaan mendirikan usaha industri kecil.
Namun, program-program ini tidak mencapai tujuan. Gagal ini menyebabkan
pengusaha pribumi terlalu tergantung pada pemerintah. Mereka kurang mampu secara
independen mengembangkan usahanya. Bahkan, ada majikan yang menyalahgunakan
kebijaksanaan pemerintah oleh mencari keuntungan cepat kredit mereka peroleh.
Penyalahgunaan tersebut jelas dalam praktik-praktik dan menjual fasilitas antara
birokrasi didominasi oleh partai-partai politik yang kebetulan menjadi berkuasa dan
para pendukung mereka yang menjadi klien ekonominya. Namun demikian,
pemerintah masih berusaha untuk mengembangkan pengusaha pribumi. Ketika Mr
Iskaq Tjokroadisuryo menjabat sebagai Menteri ekonomi di bawah Kabinet Ali, ia
melanjutkan usahanya untuk meningkatkan peran pengusaha pribumi. Pada
kenyataannya, lskaq lebih suka kebijaksanaan Indonesianisasi, yaitu mendorong
timbul dan perluasan pengusaha swasta nasional dalam upaya untuk merombak
perekonomian kolonial asli ke dalam perekonomian nasional. Tindakan yang diambil,
termasuk persyaratan yang perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia
menyediakan latihan dan tanggung jawab untuk staf Indonesia untuk menempati
kantor staf, menyiapkan BUMN, memberikan kredit dan lisensi untuk perusahaan
swasta nasional, serta memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan asing.
b. versi pendek
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada
masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri
perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial
menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya
adalah:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan
bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953)
lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program
ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban
keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi
dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara
hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara
cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan.
Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa
defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri
keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan
pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para
pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor.